Anda di halaman 1dari 64

Assabiqunal Awwalun

) adalah orang-orang terdahulu yang


As-Sabiqun al-Awwalun (Arab:
pertama kali masuk/ memeluk Islam. Mereka adalah dari golongan Muhajirin dan
Anshar[1] dan mereka semua sewaktu masuk Islam berada di kota Mekkah, sekitar tahun
610 Masehi.[2] Akar kalimat as-Sabiqun dalam bahasa Arab adalah dari huruf S-B-Q (-
- Sin-Ba-Qaf), Sabaqa ( )sebuah kata kerja yang artinya mendahulukan, pergi
sebelum, lebih dahulu, melampaui, juga berarti "sudah" atau sebelum; aksi pendahulu,
bergerak

sebelumnya

dan

sebagainya,

contoh:

Dan (malaikat-malaikat) yang mendahului dengan kencang...(An-Nazi'at, 79:4)

yang artinya melewati atau melampaui. Sabaqa: berpacu (kata kerja). Sabiq: bertindak.[3]
[sunting]

Kerasulan

[sunting]

Muhammad

Awal

kerasulan

Muhammad dilahirkan di tengah-tengah masyarakat terbelakang yang senang dengan


kekerasan dan pertempuran. Ia sering menyendiri ke Gua Hira', sebuah gua bukit dekat
Mekkah, yang kemudian dikenali sebagai Jabal An Nur karena bertentangan sikap dengan
kebudayaan Arab pada zaman tersebut. Di sinilah ia sering berpikir dengan mendalam,
memohon

kepada

Allah

supaya

memusnahkan

kekafiran

dan

kebodohan.

Pada suatu malam, ketika Muhammad sedang bertafakur di Gua Hira', Malaikat Jibril
mendatanginya. Jibril membangkitkannya dan menyampaikan wahyu Allah di telinganya.
Ia diminta membaca. Ia menjawab, "Saya tidak bisa membaca". Jibril mengulangi tiga
kali meminta agar Muhammad membaca, tetapi jawabannya tetap sama. Akhirnya, Jibril
berkata:
Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan manusia dari segumpal
darah. Bacalah, dengan nama Tuhanmu yang Maha Pemurah, yang mengajar manusia
dengan perantaraan (menulis, membaca). Dia mengajarkan kepada manusia apa yang
tidak

diketahuinya.

(Al-Alaq

96:

1-5)

Ini merupakan wahyu pertama yang diterima oleh Muhammad. Ketika itu ia berusia 40
tahun. Wahyu turun kepadanya secara berangsur-angsur dalam jangka waktu 23 tahun.
Wahyu tersebut telah diturunkan menurut urutan yang diberikan Muhammad, dan

dikumpulkan dalam kitab bernama Al Mushaf yang juga dinamakan Al-Quran (bacaan).
[sunting]

Pendakwahan

[sunting]

Siriyyah

(rahasia)

Selama tiga tahun pertama, Muhammad hanya menyebarkan agama terbatas kepada
teman-teman dekat dan kerabatnya. Kebanyakan dari mereka yang percaya dan meyakini
ajaran Muhammad adalah para anggota keluarganya serta golongan masyarakat awam.
Muhammad menjadi nabi dan berdakwah pada kisaran tahun 610 - 614 Masehi. Setelah
adanya

wahyu,

surat

Al-Muddatsir:

1-7,

yang

artinya:

Hai orang yang berkemul (berselimut), bangunlah, lalu berilah peringatan! dan Rabbmu
agungkanlah, dan pakaianmu bersihkanlah, dan perbuatan dosa (menyembah berhala)
tinggalkanlah, dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan)
yang lebih banyak. Dan untuk (memenuhi perintah) Rabbmu, bersabarlah. (Al-Mudatsir
74:

1-7)

Dengan turunnya surat Al-Muddatsir ini, mulailah Rasulullah berdakwah. Mula-mula ia


melakukannya secara sembunyi-sembunyi di lingkungan keluarga, sahabat, pengasuh dan
budaknya. Orang pertama yang menyambut dakwahnya adalah Khadijah, istrinya. Dialah
yang pertama kali masuk Islam. Menyusul setelah itu adalah Ali bin Abi Thalib, saudara
sepupunya yang kala itu baru berumur 10 tahun, sehingga Ali menjadi lelaki pertama
yang

masuk

Islam.

Kemudian Abu Bakar, sahabat karibnya sejak masa kanak-kanak. Baru kemudian diikuti
oleh Zaid bin Haritsah, bekas budak yang telah menjadi anak angkatnya, dan Ummu
Aiman, pengasuh Muhammad sejak ibunya masih hidup. Setelah mereka, lalu masuk
yang lainnya. Abu Bakar sendiri kemudian berhasil mengislamkan beberapa orang teman
dekatnya, seperti, Utsman bin Affan, Zubair bin Awwam, Abdurrahman bin Auf, Sa'ad
bin Abi Waqqas, dan Thalhah bin Ubaidillah. Dari dakwah yang masih rahasia ini,
belasan orang telah masuk Islam. Sedangkan menurut sejarah Islam, putri Abu Bakar
yaitu

Aisyah

adalah

orang

ke

21

atau

22

yang

masuk

[sunting]

Islam.[4]
Terbuka

Dakwah secara siriyyah ini dilakukan selama kurang lebih 3 tahun dan setelah orang
Islam

berjumlah

40

orang[5],

maka

turunlah

ayat

Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat (Asy-Syuara, 26:214)

dan

juga

pada

ayat,

Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan


(kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik. Sesungguhnya kami
memelihara kamu daripada (kejahatan) orang-orang yang memperolok-olokkan (kamu).
(Al-Hijr

ayat

15:94-95)

Muhammad mulai terbuka menjalankan dakwah secara terang-terangan. Mula-mula ia


mengundang kerabat karibnya bangsa Quraisy dalam sebuah jamuan. Pada kesempatan
itu

ia

menyampaikan

ajarannya.

Namun ternyata hanya sedikit yang menerimanya. Sebagian menolak dengan halus,
sebagian menolak dengan kasar, salah satunya adalah Abu Lahab dan istrinya Ummu
Jamil.

Mereka

sangat

membenci

[sunting]

ajaran

yang

dibawa

oleh

Muhammad.

Madrasah

Pertama

Muhammad mulai merasa perlu mencari sebuah tempat bagi para pemeluk Islam dapat
berkumpul bersama. Di tempat itu akan diajarkan kepada mereka tentang prinsip-prinsip
Islam, membacakan ayat-ayat Al-Qur'an, menerangkan makna dan kandungannya,
menjelaskan hukum-hukumnya dan mengajak mereka untuk melaksanakan dan
mempraktikkannya. Pada akhirnya Muhammad memilih sebuah rumah di bukit Shafa
milik Abu Abdillah al-Arqam bin Abi al-Arqam. Semua kegiatan itu dilakukan secara
rahasia

tanpa

sepengetahuan

siapa

pun

dari

kalangan

orang-orang

kafir.

Rumah Abu Abdillah al-Arqam bin Abi al-Arqam ini merupakan Madrasah pertama
sepanjang sejarah Islam,[6] tempat ilmu pengetahuan dan amal saleh diajarkan secara
terpadu oleh sang guru pertama, yaitu Muhammad Rasulallah. Ia sendiri yang mengajar
dan

mengawasi

[sunting]

proses

Daftar

pendidikan

pemeluk

Islam

disana.
Awal

Ibnu Hisyam pernah menulis 40 nama as-sabiqun al-awwalun. Ia menulis Khadijah dalam
nomor urut pertama, Asma' di nomor urut 18, dan Aisyah di nomor urut 19. Umar Ibn
Khattab
Yang
Khadijah

berada
termasuk

jauh

As-Sabiqun
binti

di
Al-Awwalun

bawah
adalah
Khuwailid

Aisyah.[7]
sebagai

berikut:

Zaid

bin

Ali

Haritsah

bin

Abu

Abi
Bakar

Thalib
Al-Shiddiq

Ummu

Aiman

Hamzah

bin

Abbas

Abdul

bin

Muthalib

Abdul

Muthalib

Abdullah

bin

Abdul-Asad

Ubay

bin

Kaab

Abdullah

bin

Rawahah

Abdullah

bin

Mas'ud

Mus'ab

bin

Umair

Mua'dz

bin

Jabal

Aisyah
Umar

bin

Utsman
Arwa'
Zubair

Khattab

bin

Affan

binti

Kuraiz

bin

Awwam

Abdurrahman
bin

Auf
Abi

Thalhah

bin

Abdullah

Waqqas
Ubaidillah

bin

Miqdad

Zubair

bin

Bilal

Aswad

bin

Utsman
Abu

Khuwailid

bin

Sa'ad

Said

bin

Rabah

bin
bin

Mazh'un
Zayd

Ubaidah

Amru

bin

Waraqah

bin

Abu

bin

al-Jarrah
Naufal

Dzar

Al-Ghiffari

Umar

bin

Anbasah

Said

bin

Al-Ash

Abu

Salamah

bin

Abdul

Asad

Abu

Abdillah

al-Arqam

Muawiyah

bin

Yasir

bin

Abi

Abu

Sufyan

bin

Ammar

bin

Sumayyah

binti

Amir

Amir
Yasir
Khayyat

bin

Ja'far

al-Arqam

bin

Abdullah
Abi

Thalib

Khabbab

bin

Al-Arat

Ubaidah

bin

Harits

Ummu

al-Fadl

Lubaba

Shafiyyah
Asma'
Fatimah

bin

Suhayb

Khattab
Ar-Rummi

Khadijah, Zaid bin Haritsah, Ali bin Abi Thalib, Abu Bakar Al-Shiddiq, Ummu Aiman,
merekalah orang yang pertama kalinya mengucap kalimat dua syahadat, lalu menyebar ke
yang

lainnya.

Kesemuanya

berasal

dari

kabilah

Quraisy.

Daftar di atas tersebut, tidaklah sesuai dengan kronologis urutan sejarah aslinya,
dikarenakan penyebaran Islam ini awalnya secara rahasia, maka terlalu sulit untuk
mencari siapa saja yang terlebih dahulu memeluk Islam, setelah lima besar pemeluk
Islam.
[sunting]

Profesi

Kalangan as-sabiqun al-awwalun terdiri dari beberapa lapisan golongan masyarakat,


terdiri dari pemuka adat, pemimpin suku, panglima perang, ibu rumah tangga, anak-anak,
majikan, saudagar, pengusaha, pedagang, petani, peternak binatang, pelayan rumah
tangga,

orang

merdeka,

budak.

Para budak banyak yang tertarik dengan prinsip yang diajarkan oleh Islam, yaitu tentang
kesetaraan manusia di hadapan Allah, Rasulallah mempersaudarakan sebagian muslim
dari golongan aristokrat Quraisy dengan sekelompok muslim lain yang dari golongan
budak. Tidak ada perbedaan antara yang kaya dan miskin, kuat maupun lemah, merdeka

maupun budak, Arab maupun non-Arab, semua setara. Menurut kaca mata Islam, Allah
tidak pernah melihat umat-Nya berdasarkan profesi/ pangkat dan jabatan seseorang, yang
Dia

nilai

hanya

iman

dan

taqwa

hamba-Nya.

[sunting]

Tugas

As-Sabiqun al-Awwalun yang Salaf, memiliki beberapa tugas penting yang harus
diemban

mereka.

Bertauhid
Beriman

Tugas

itu

(mengesakan
kepada

para

Allah),

malaikat,

rasul,

kitab-kitab

Menegakkan

shalat,

Menunaikan

zakat,

Melakukan

keadilan,

Melakukan

amal
kekejian,

Meninggalkan

kemungkaran,

Meninggalkan

kezaliman,
penyembahan

Berhala

dihancurkan,
kemusyrikan,

Darah

tidak
ada

jiwa

yang

Jalan-jalan

ditumpahkan,
harus

dibunuh

silaturahmi

Menjunjung

tinggi

karena

kebenaran,

aman,
terus

kesetaraan/

Mencegah

dijalin,
kemerdekaan

manusia,

keburukan,

Mempertahanan
[sunting]

kecuali

tetap

Tali

Menyebarkan

takdir

berhala,

harus

Melarang
Tidak

Allah,

kebaikan,

Meninggalkan

meninggalkan

meliputi:

bela
secara

diam-diam

Surga

agama
Bagi

agama,
yang

dibawa

oleh

As-Sabiqun

Muhammad.
al-Awwalun

Menurut kepercayaan Islam, As-Sabiqun al-Awwalun akan mempunyai tempat tinggal


yang

mulia,

Surga

Jannatun

Na'im.

Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orangorang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah

ridha kepada mereka dan mereka pun rida kepada Allah dan Allah menyediakan bagi
mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya
selama-lamanya.

Itulah

kemenangan

yang

besar

(At-Taubah

ayat

9:100)

Diperkuat oleh dalam hadits mutawatir yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari tentang
tiga masa yang mendapatkan kemulian dan keutamaan muslim dan lain-lainnya, dimana
Muhammad
bersabda

Sebaik-baik manusia adalah generasiku, kemudian generasi setelahnya, kemudian
generasi

setelahnya.[8]

[sunting]

Islam

datang

secara

asing

dan

akan

kembali

asing

Menurut beberapa hadits yang shahih, agama Islam dikatakan pertama kali muncul dalam
keadaan terasing, kemudian akan kembali menjadi asing sebagaimana semula ajaran
Islam itu datang. Sementara itu orang disekelilingnya telah menjadi rusak secara aqidah
dan

mereka

Pernyataan

akan
didasari

memusuhi

ajaran

beberapa

hadits

Islam
berikut

itu

sendiri.

dibawah

ini:

Muhammad bersabda, "Sesungguhnya Islam pertama kali muncul dalam keadaaan asing
dan nanti akan kembali asing sebagaimana semula. Maka berbahagialah orang-orang
yang

asing

(alghuroba')."[9]

"Berbahagialah orang-orang yang asing (alghuroba'). (Mereka adalah) orang-orang shalih


yang berada di tengah orang-orang yang berperangai buruk dan orang yang memusuhinya
lebih

banyak

daripada

yang

mengikuti

mereka."[10]

"Berbahagialah orang-orang yang asing (alghuroba'). Yaitu mereka yang mengadakan


perbaikan
[sunting]
Sahabat
Ahlul
[sunting]

(ishlah)

ketika

manusia
Lihat

rusak."[11]
pula

Nabi
Bait
Catatan

kaki

1. ^ Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan
muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha
kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka
surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di

dalamnya.
2.
3.

Itulah

Nabi
^

5.

Muhammad
Arti

4.

kemenangan

Sirah

berdakwah

dari

yang

Sabiqun
Aisyah

besar.

yaitu

(At-Taubah

9:100)

tahun

Masehi.

pada

disitus

web

masuk

An-Nabawiyah,

Ibnu

610

Sabiqun.net
Islam.

Hisyam,

1/245-262.

6. ^ Khadijah Ummul Mu'minin Nazharat Fi isyraqi Fajril Islam, Abdul Mun'im


Muhammad,
7.

Sirah

8.

9.

10.

hal.

96

An-Nabawiyah,
Hadits
Hadits
Hadits

dan
Ibnu

Hisyam,

155.
1/245-262.

sahih

Imam

Bukhari.

shahih

riwayat

Muslim.

shahih

riwayat

Ahmad.

11. ^ Hadits shahih riwayat Abu Amr Ad Dani dan Al Ajurry.


Diposkan oleh ZAKARIYAMOJO di 17:23

Nama lengkapnya adalah Jafar bin Abi Thalib bin Thalib Abd Manaf bin Abd al-Muthallib bin
Hasyim bin Abd Manaf bin Qushai al-Quraisyi al-Hasyimi. Jafar adalah putra ketiga Abu
Thalib, paman Nabi Saw dan kakak kandung Ali bin Abi Thalib yang berusia sepuluh tahun lebih
tua diatas Ali bin Thalib. Dia dikenal dengan julukan Jafar al-Thayyar (Jafar sebagai burung
terbang).
Sosok Jafar bin Abi Thalib digambarkan sebagai seorang yang bertubuh tinggi, besar serta kuat.
Jafar juga seorang yang mempunyai otak yang cerdas, dia adalah salah satu diantara 5 orang
sahabat yang secara fisik mirip dengan Rosulullah Saw, kelima orang tersebut adalah Abu
Sufyan bin al-Harist, Qatsam bin al-Abbas, Al-Saib bin Ubaid bin Abd Yazid, al-Hasan bin Abi
Thalib, cucu Rosulullah Saw dari putrinya Fatimah al-Zahra, dan Jafar bin Abi Thalib sendiri.
Mengenai kemiripan Jafar dengan Rosullah Saw, beliau sendiri pernah bersabda: Engkau ini
Jafar bin Abi Thalib, orang yang paling mirip denganku, baik secara fisik maupun akhlak.
Engkau juga berasal dari jajaran keluargaku.

Jafar bin Abi Thalib bersama istrinya Asma binti Umais termasuk golongan sahabat yang
pertama masuk Islam. Semenjak kecil Jafar diasuh oleh pamannya Abbas bin Abdul Muthalib
dimana Abbas juga termasuk ke dalam golongan orang yang pertama masuk Islam. Dia diasuh
oleh pamannya karena memang Abu Thalib adalah seorang yang miskin dan mempunyai anak
yang banyak, karenanya dia merelakan beberapa putranya untuk diasuh oleh saudaranya,
termasuk Ali bin Abi Thalib yang diasuh oleh Rosulullah Saw.
Jafar bersama istrinya Asma turut serta dalam hijrah pertama kaum muslimin ke negeri
Habasya. Negeri yang dipimpin oleh seorang raja Nasrani yang dikenal adil, sehingga sang raja
bisa menerima kehadiran kaum muslimin dengan baik dan dengan tangan terbuka. Kepergian
kaum muslimin ke negeri Habasya melahirkan kecemasan tersendiri dikalangan kaum musyrikin.
Mereka takut jika kaum muslimin akan bertambah kuat setelah berada di sana. Karenanya kaum
musyrikin mengutus beberapa orang untuk menghadap raja Negus dan membujuknya untuk
menolak kedatangan kaum muslimin dan mengembalikan mereka ke negerinya. Utusan kaum
kafir Quraisy ini juga membawa sejumlah hadiah yang akan diberikan kepada para pembesar dan
pendeta Habasya agar niat mereka bisa dikabulkan. Pada saat yang sama utusan kaum muslimin
yang salah satunya diwakili oleh Jafar bin Abi Thalib juga sedang menghadap sang raja.
Pada saat raja Negus, dihadapkan dengan utusan Quraisy dan kaum muhajirin Islam, utusan
Quraisy mengatakan tuduhan terhadap kaum muslimin bahwa kaum muslimin itu adalah orangorang bodoh dan tolol yang meninggalkan agama nenek moyang mereka tetapi tidak pula hendak
memasuki agama yang dianut oleh raja Negus dan bahkan datang dengan agama baru yang
mereka ada-adakan sehingga utusan itu meminta mereka dikembalikan pada kaumnya. Negus
pun bertanya kepada kaum muslimin, agama apakah yang menyebabkan mereka meninggalkan
bangsanya tetapi juga tidak memandang perlu pula terhadap agamanya(Nasrani). Mendengar
pertanyaan

raja

Habasya

tersebut,

Jafar pun bangkit berdiri untuk menunaikan tugas yang telah diamanahkan padanya oleh kawankawannya sesama Muhajirin yang mereka tetapkan dalam rapat yang diadakan sebelumnya.
Dengan pandangan ramah penuh kecintaan kepada baginda raja yang telah baik menerima
mereka, beliau berkata: Wahai paduka yang mulia! Dahulu kami memang orang-orang jahil dan
bodoh; kami menyembah berhala, memakan bangkai, melakukan pekerjaan-pekerjaan keji,
memutuskan silaturahmi, menyakiti tetangga dan orang yang berhampiran. Yang kuat waktu itu

memakan yang lemah. Hingga datanglah masanya Allah mengirimkan Rasul-Nya kepada kami
dari kalangan kami. Kami kenal asal-usulnyam kejujurannya, ketulusan dan kemuliaan jiwanya.
Ia mengajak kami untuk mengesakan Allah dan mengabdikan diri pada-Nya, dan agar
membuang jauh-jauh apa yang pernah kami sembah bersama bapak-bapak kami dulu, berupa
batu-batu dan berhala. Beliau menyuruh kami bicara benar, menunaikan amanah,
menghubungkan silaturahmi, berbuat baik kepada tetangga dan menahan diri dari menumpahkan
darah yang dilarang Allah. Dilarangnya kami berbuat keji dan zina, mengeluarkan ucapan
bohong, memakan harta anak yatim, dan menuduh berbuat jahat terhadp wanita yang baik-baik.
Lalu kami benarkan ia dan kami beriman kepadanya, dan kami ikuti dengan taat apa yang
disampaikannya dari Tuhannya. Lalu kami beribadah kepada Tuhan Yang Maha Esa dan tidak
kami persekutukan sedikitpun juga, dan kami haramkan apa yang dihalalkan-Nya untuk kami.
Karenanya kaum kami memusuhi kami dan menggoda kami dari agama kami, agar kami kembali
menyembah berhala lagi, dan kepada perbuatan-perbuatan jahat yang pernah kami lakukan dulu.
Maka sewaktu mereka memaksa dan menganiaya kami, dan menggecet hidup kami dari agama
kami, kami keluar hijrah ke negeri paduka, dengan harapan akan mendapatkan perlindungan
paduka dan terhindar dari perbuatan mereka.
Jafar mengucapkan kata-kata yang mempesona itu laksana cahaya sehingga membangkitkan
perasaan dan keharuan pada jiwa raja Negus. Ketika raja Negus menanyakan wahyu yang
dibawa dari Rasulullah, Jafar langsung membacakan bagian dari surat Maryam. Mendengarnya,
sang rajapun langsung menangis, begitu pula dengan para pendeta dan pembesar lainnya.
Selanjutnya Negus mengatakan kepada kaum Quraisy bahwa sesungguhnya yang dibaca tadi dan
yang dibawa oleh Isa a.s. sama memancar dari satu pelita, karena itu utusan Quraisy
dipersilahkan pergi dan beliau tidak akan menyerahkan kaum muslimin kepada mereka.
Tetapi keesokan harinya utusan kaum Quraisy itu datang kembali menghadap Raja Negus
hendak memojokkan kaum muslimin telah mengucapkan suatu ucapan keji yang merendahkan
kedudukan Isa sehingga hal itu cukup menggoncangkan raja Negus dan para pengikutnya. Raja
Negus pun memanggil kaum muslimin kembali untuk menanyai bagaimana sebenarnya
pandangan

Agama

Islam

tentang

Isa

al-Masih.

Jafar pun kemudian berdiri dan berkata: Kami akan mengatakan tentang Isa a.s , sesuai dengan
keterangan

yang

dibawa

Nabi

kami

Muhammad

saw,

bahwa

Isa adalah seorang hamba Allah dan Rasul-Nya serta kalimah-Nya yang ditiupkan-Nya kepada
Maryam dan ruh daripada-Nya. Mendengar ucapan Jafar, raja Negus bertepuk tangan tanda
setuju seraya mengumumkan bahwa memang begitulah yang dikatakan al-Masih tentang dirinya.
Akhirnya raja Neguspun mempersilahkan kaum muslimin itu untuk tinggal bebas di negerinya
dan akan melindungi mereka serta mengusir para utusan Quraisy dengan mengembalikan hadiahhadiahnya.
Jafar juga dikenal dengan julukan bapak orang miskin. Julukan ini diberikan kepadanya karena
sikap kedermawanan dan kepeduliannya yang tinggi terhadap orang-orang miskin. Dia tidak
pernah menggenggam harta bendanya sendirian, tetapi melibatkan kaum muslimin untuk ikut
memilikinya. Dia sering menanggung makanan kaum fakir miskin dan sering menjenguk serta
menjamin kebutuhan mereka.
Jafar juga seorang yang terkenal dengan keberaniannya. Dia selalu mengikuti berbagai
peperangan yang terjadi di masa Rosulullah Saw. Sehingga dia menjadi syahid dalam
pertempuran Mutah. Dalam pertempuran pertama melawan bangsa Romawi tersebut, Jafar
menjadi panglima perang bersama Zaid bin Haritsah dan Abdullah bin Rawanah. Setelah Zaid
tewas di medan peperangan, Jafar kemudian mengambil bendera kepemimpinan. Dengan gagah
berani dan pantang menyerah dia terus menghunuskan pedangnya kekanan dan ke kiri kearah
pasukan lawan, hingga akhirnya salah satu tangannya terputus, kemudian dengan sigap, bendera
kepemimpinan beralih di tangan kirinya hingga akhirnya tangan kirinyapun terputus, sebelum
akhirnya dia tewas menjadi syahid.
Ketika rosulullah Saw mendengar Jafar bin Abi Thalib dan beberapa sahabat tewas di medan
perang, beliau datang ke rumah Jafar dan menemui istri dan anak-anaknya. Saat itu istri Jafar
Asma sedang membuat adonan kue untuk menyambut kedatangan suaminya Jafar dari medan
peperangan. Anak-anakpun sudah dimandikan dengan rapi. Kemudian Rosulullah berkata kepada
Asma: Kemana anak-anakmu? Bawa kemari. Setelah anak-anak dibawa kehadapan beliau,
Rosulullah Saw mendekap mereka sambil menitikkan air mata. Suasana menjadi begitu
mengharukan. Kemudian Asma bertanya kepada Rosulullah Saw: Wahai Rosulullah, demi ayah
ibuku, aku tidak tahu kenapa suasanya jadi menjadi begitu mengharukan. Apa yang membuat

engkau menangus seperti ini?, jangan-jangan telah datang berita tentang Jafar dan para sahabat
yang lain dari medan pertempuran?.
Rosulullah Sawpun menjawab: Betul wahai Asma, tabahkan hatimu, Jafar bin Abi Thalib dan
beberapa orang sahabat telah menjadi syahid. Sontak Asmapun menangis tersedu-sedu.
Rosulullahpun menasihatinya untuk selalu tabah dan berserah diri kepada Allah. Kemudian
beberapa anggota keluarga Rosulullah seperti Fatimah putrinya juga segera datang dengan
bercucuran airmata untuk menghibur dan mengucapkan bela sungkawa kepada Asma.
Jafar meninggal dalam usia 41 tahun. Dia menjadi syahid yang pasti akan diganjar surga oleh
Allah karena telah berjuang dengan membawa panji-panji kebenaran[1].

[1]

http://id.wikipedia.org/wiki/Ja%27far_bin_Abi_Thalib,

http://embuntarbiyah.wordpress.com/2007/06/18/ja%E2%80%99far-bin-abi-thalib/, Hilmi Ali


Syaban, Ibid, hlm 5-53
1 comment April 15, 2010

32. Ammar bin Yasir


Ammar bin Yasir adalah putra dari Yasir bin Amir dari seorang ibu Sumayyah binti Khayyat.
Sebagai anak yang lahir dari keluarga yang fakir dan berasal dari kelas paling rendah dalam
strata sosial masyarakat Arab masa itu, maka sejak kecil Ammar juga sudah sangat akrab dengan
berbagai penderitaan. Sosok Ammar digambarkan sebagai seorang yang bertubuh tinggi dengan
bahunya yang bidang dan matanya yang biru, dia adalah seorang yang amat pendiam dan tak
suka banyak bicara
Setiap hari Rasulullah saw. berkunjung ke tempat disiksanya keluarga Yasir, mengagumi
ketabahan dan kepahlawanannya, hati beliaupun hancur menyaksikan mereka menerima siksaan
yang sangat menyakitkan. Ketika Rasulullah saw. mengunjungi mereka, Ammar berkata kepada
Rosulullah: WahaiRasulullah, adzab yang kami derita telah sampai ke puncak. Mendengar

keluhan

dari

mulut

Ammar

Rasulullah

saw

berkata:

Shabarlah, wahai Abal Yaqdhan, Shabarlah, wahai heluarga Yasir, tempat yang dijanjikan bagi
halian ialah Surga.
Siksaan yang diami oleh Ammar banyak dilukiskan oleh kawan-kawannya dalam beberapa
riwayat. Pernah suatu ketika Ammar disiksa sampai-sampai ia tak menyadari apa yang
diucapkannya. Ammar juga pernah dibakar dengan api oleh orang-orang musyrik. Ketika itu
Rosulullah Saw lewat di tempat tersebut dan melihat kejadian penyiksaan itu. Kemudian
Rosulullah Saw memegang kepalanya dengan tangan beliau, sambil bersabda: Hai api, jadilah
kamu sejuk dingin di tubuh Ammar, sebagaimana dulu hamu juga sejuk dingin di tubuh
Ibrahim!.
Pernah di hari yang lain, Ammar dipukul oleh tukang-tukang cambuk dengan sekuat tenaga
mereka. Kemudian dibakar dengan besi yang sangat panas, disalib di atas pasir panas dengan
ditindih batu laksana bara merah, bahkan sampai ditenggelamkan ke dalam air hingga sesak
nafasnya

dan

mengelupas

kulitnya

yang

penuh

dengan

luka.

Pada hari itu, ketika ia telah tak sadarkan diri lagi karena siksaan yang demikian berat, orangorang itu mengatakan kepadanya: Pujalah olehmu tuhan-tuhan kami!. Dengan kondisi yang
tidak sadar Ammar mengikutinya tanpa mengetahui apa yang diucapkannya. Ketika ia siuman
sebentar akibat dihentikannya siksaan, tiba-tiba ia sadar akan apa yang telah diucapkannya,
segeralah dia memohon ampun atas apa yang telah diucapkannya.
Ketika itu Rasulullah saw. Sedang menemui Ammar dan mendapatinya ia sedang menangis,
maka disapunyalah tangisnya itu dengan tangan beliau dan bertanya kepada Ammar: Orangorang hafir itu telah menyiksamu dan menenggelamkanmu ke dalam air sampai kamu
mengucapkan

begini

dan

begitu

?,

Ammarpun

menjawab:

Benar: wahai RasuIullah. Kemudian Rasulullah Saw tersenyum sambil berkata: Jika mereka
memaksaimu lagi, tidak apa, ucapkanlah seperti apa yang kamu katakan tadi .!
Lalu

Rasulullah

Saw

membacakan

sebuah

kepadanya

sebuah

ayat

mulia,

yakni:

Kecuali orang yang dipaksa, sedang hatinya tetap teguh dalam keimanan ...(Q.S. 16 an-Nahl:
106). Mendengar sabda Rosulullah Saw Ammarpun merasakan ketenangan.

Setelah Rosulullah berhijrah di Madinah. Ammarpun mengikuti beliau berhijrah dan tinggal di
Madinah. Ammar selalu aktif mengikuti berbagai peperangan baik pada masa Rosulullah Saw,
maupun peperangan yang terjadi setelah wafatnya beliau. Mulai dari perang Badar, perang Uhud,
perang Khondaq, perang tabuk dan lain sebagainya. Dia juga berada pada barisan terdepan ketika
berperang melawan para murtaddin setelah wafatnya Rosulullah Saw, bahkan salah satu
telinganya terpotong pada saat perang tersebut. Ammar juga berada dalam barisan pasukan
muslim ketika terjadi peperangan besar kaum muslimin melawan bangsa Romawi dan Persia.
Ammar juga dikenal sebagai seorang yang zuhud dan tidak memikirkan tentang hal-hal
keduniawian. Pada masa pemerintahan khalifah Umar bin Khattab, Ammar dipercaya sebagai
Amir di kufah dengan Abdullah bin Masud sebagai bendaharanya. Ketika sang khalifah
mengangkat Ammar dan Abdullah bin Masud, Umar mengirimkan surat kepada para penduduk
Kufah yang isinya adalah sebagai berikut: Saya kirim kepada tuan-tuan Ammar bin Yasir
sebagai Amir, dan Ibnu Masud sebagai bendahara dan wazir Keduanya adalah orang-orang
pilihan, dari golongan sahabat Muhammad SAW, dan termasuk pahlawan-pahlawan Badar!
Selama menjadi seorang Amir, Ammar tetaplah menjadi seorang yang biasa saja dan tidak rakus
dengan jabatan dan harta. Meski sebagai seorang pemimpin Ammar bin Yasir biasa membeli
sayuran di pasar, lalu mengikatnya dengan tali dan memikulnya di atas punggung dan
membawanya pulang. Suatu ketika, salah seorang awam berkata (menghina) kepada Ammar bin
Yasir, Hai, yang telinganya terpotong! Mendengar omongan orang itu, sang amir yang tidak
kelihatan keamirannya, berkata, Yang kamu cela itu adalah telingaku yang terbaik karena ia
ditimpa kecelakaan waktu perang fi sabilillah.
Ammar adalah sahabat kesayangan Rosulullah Saw. Bahkan beliau sering membanggakan
Ammar dihadapan para sahabat yang lain dengan berkata: Diri Ammar dipenuhi keimanan
sampai ke tulang pungungnya!. Pernah suatu ketika terjadi selisih faham antara Khalid bin
Walid

dengan

Ammar,

Rasullah

bersabda:

Siapa yang memusuhi Ammar, maka ia akan dimusuhi Allah; dan siapa yang membenci
Ammar, maka ia akan dibenci Allah!. Mendengar perkataan Rosulullah Saw, maka tidak ada
pilihan bagi Khalid bin Walid, pahlawan Islam itu, selain segera mendatangi Ammar untuk
mengakui kekhilafannya dan meminta maaf.

Pada masa pemerintahan khalifah Ali bin Abi Thalib, Ammar berada dibelakang sang khalifah
untuk turut serta dalam perang shiffin. Padahal saat usia Ammar sudah tidak muda lagi yakni
telah berumur 93 tahun, tetapi semangat Ammar masih sangat tinggi, sehingga diapun bertekad
untuk turut serta dalam peperangan demi membela kebenaran. Akhirnya Ammarpun tewas
menjadi syahid dalam perang shiffin tersebut. Begitulah sosok Ammar, seorang yang menggapai
kemuliaan karena keteguhan dan kekuatannya dalam membela ajaran agamanya. Ajaran agama
yang benar. Dia tidak takut kepada siapapun dan apapun kecuali kepada Allah. Dia selalu
memasrahkan dirinya kepada sang Maha hidup, sehingga dia selalu siap berkorban seluruh jiwa
dan raganya untuk menegakkan kebenaran[1].

[1]

http://sabdaislam.wordpress.com/2009/12/01/045-ammar-bin-yasir/,

syurga.co.cc/2009/12/ammar-bin-yasir.html,

http://www.perindu-

http://id.wikipedia.org/wiki/Ammar_bin_Yasir,

http://tokohtokohislam.blogspot.com/2009/07/amar-bin-yasir-radhiallahu-anhu.html
Add a comment April 15, 2010

31. Yasir bin Amir


Yasir bin Amir adalah seorang sahabat Nabi Saw yang termasuk golongan orang fakir dan papa.
Dia bersama keluarganya (istrinya Sumayyah dan putranya Ammar bin Yasir) adalah termasuk
golongan orang yang pertama diberikan cahaya untuk masuk Islam. KeIslaman Yasir bin Amir
dimulai ketika dia berangkat meninggalkan negerinya di Yaman untuk mencari dan menemui
salah seorang saudaranya. Sesampainya di Makkah, rupanya dia merasa cocok untuk tinggal di
kota dimana Rosulullah Saw lahir dan menerima wahyu kenabian yang akhirnya membuatnya
tertarik untuk mengikuti ajaran Rosulullah Saw. Setelah Bermukim disana, dia mengikat
perjanjian persahabatan dengan Abu Hudzaifah Ibnul Mughirah.
Kemudian Abu Hudzaifah mengawinkan dengan salah seorang sahayanya bernama Sumayah
binti Khayyath, dan dari perkawinan yang penuh berkah ini, dikarunia seorang putra bernama
Ammar. Keislaman Yasir bersama keluarganya membuatnya harus melalui ujian yang sangat

berat. Sebagai seorang fakir dan budak yang tidak mempunyai pelindung, Yasir bersama istri dan
anaknya mendapatkan siksaan yang cukup berat dari orang-orang kafir Quraisy. Tetapi
kekejaman dan kebiadaban yang ditimpakan kepada Yasir, istri serta putranya Ammar tidak
membuatnya luntur dan kembali kepada kepercayaan nenek moyangnya.
Orang-orang Quraisy memang melakukan pertentang terhadap kaum muslimin sesuai dengan
kapasitasnya dan kedudukannya. Seandainya mereka ini golongan bangasawan dan berpengaruh,
mereka hadapi dengan ancaman dan gertakan. Abu Jahal, misalnya, menggertak dengan
ungkapan, Kamu berani meninggalkan agama nenek moyangmu padahal mereka lebih baik
daripadamu! Akan kami uji sampai dimana ketabahanmu; akan kami jatuhkan kehormatanmu;
akan kami rusak perniagaanmu; dan akan kami musnahkan harta bendamu! Setelah itu, mereka
lancarkan kepadanya perang urat syaraf yang amat sengit. Sementara, sekiranya yang beriman itu
dari kalangan penduduk Mekah yang rendah martabatnya dan yang miskin; atau dari golongan
budak belian, mereka didera dan disulutnya dengan api bernyala.
Keluarga Yasir memang telah ditakdirkan oleh Allah SWT termasuk dalam golongan yang kedua
ini. Karenanya tidak mengherankan jika setiap hari, Yasir, Sumayyah, dan Ammar dibawa ke
padang pasir Mekah yang demikian panas, lalu didera dengan berbagai adzab dan siksa. Hingga
akhirnya Yasir dan Sumayyah menjadi syahid di tangan orang-orang yang mendzaliminya.
Begitulah sosok Yasir, seorang yang miskin yang terus menerus mengalami siksaan dan
kebiadaban dari orang-orang kafir Quraisy.Tetapi dia tetap teguh mempertahankan keimanannya
meski harus melewati hari-hari yang berat dan sangat menyakitkan. Keyakinan akan kebenaran
agama yang dibawa Muhammad Saw, serta janji Allah yang akan memberikan tempat yang layak
bagi hamba yang sholeh menjadikannya kuat melawan segala ujian yang menimpanya. Sebuah
contoh teladan yang baik bagi semua umat muslim.
Add a comment April 15, 2010

30. Abu Abdillah al-Arqam bin Abi al-Arqam

Abu Abdillah al-Arqam bin Abi al-Arqam adalah termasuk sahabat Nabi yang pertama-tama
masuk Islam. Dia adalah seorang pengusaha yang cukup berpengaruh, berasal dari suku
Makhzum dari kota Mekkah.
Pada awal penyebaran Islam, Rosulullah Saw masih menyebarkan agama secara sembunyisembunyi. Muhammad mulai merasa perlu mencari sebuah tempat bagi para pemeluk Islam
dapat berkumpul bersama. Di tempat itu akan diajarkan kepada mereka tentang prinsip-prinsip
Islam, membacakan ayat-ayat Al-Quran, menerangkan makna dan kandungannya, menjelaskan
hukum-hukumnya dan mengajak mereka untuk melaksanakan dan mempraktikkannya. Pada
akhirnya Muhammad memilih sebuah rumah di bukit Shafa milik Abdillah al-Arqam bin Abi alArqam. Semua kegiatan itu dilakukan secara rahasia tanpa sepengetahuan siapa pun dari
kalangan

orang-orang

kafir.

Rumah milik Abu Abdillah al-Arqam bin Abi al-Arqam ini merupakan Madrasah pertama
sepanjang sejarah Islam, tempat ilmu pengetahuan dan amal saleh diajarkan secara terpadu oleh
sang guru pertama, yaitu Muhammad Rasulallah Saw. Beliau sendiri yang mengajar dan
mengawasi proses pendidikan disana. . Akhirnya rumah Al-Arqam yang sebelumnya disebut Dar
al-Arqam (rumah Al-Arqam), setelah dia memeluk Islam disebut dengan Dar al-Islam (Rumah
Islam)[1].

[1] http://id.wikipedia.org/wiki/Abu_Abdillah_al-Arqam_bin_Abi_al-Arqam
Add a comment April 15, 2010

29. Said bin Al-Ash


Said bin Al-Ash adalah salah sahabat Rosulullah Saw yang berasal dari keturunan Bani
Umayyah. Nama lengkapnya adalah Said bin Ash bin Said bin Ash bin Umayyah bin Abdu
Syams. Dia termasuk golongan sahabat yang pertama masuk Islam.
Said dikenal sebagai seorang yang sangat dermawan dan berkelakuan baik. Dalam sebuah kisah
disebutkan bahwa Suatu ketika, Muhammad bin Jahm al-Barmaki (gubernur di masa Khalifah

Al-Mamun) bermaksud menjual rumahnya. Beberapa orang berkumpul dan salah seorang di
antara mereka membayar rumah itu seharga 50.000 dirham. Muhammad bin Jahm berkata
kepada si pembeli, Ambillah rumah ini dan berbahagialah serta bersenang-senanglah!
Mengapa demikian? tanya si pembeli heran. Dijawab oleh Muhammad bin Jahm al-Barmaki,
Karena rumah ini berdampingan dengan rumah Said bin al-Ash, Lalu pembeli bertanya
kembali, Bagaimana perilakunya terhadap para tetangga?. Jika kamu meminta sesuatu dia
pasti akan memberi. Bila kamu tidak meminta, dia akan menawarkan diri. Bila kamu
menyakitinya ia akan membalasnya dengan kebaikan. Dan bila ia berbuat baik kepadamu, ia
tidak akan menceritakannya kepada orang lain. Cerita ini sampai ke telinga Said bin al-Ash. Ia
pun memberi Muhammad bin Jahm 100.000 dirham seraya berkata, Ambillah uang ini dan
urungkan niatmu untuk menjual rumah!
Begitulah sosok Said, yang tidak pernah berfikir panjang untuk mengeluarkan sebagian hartanya.
Pada masa pemerintahan Utsman bin Affan (tahun 30 H), sang khalifah mengangkatnya sebagai
penguasa di Kufah. Said termasuk pembantu khalifah dalam program pengkodifikasian AlQuran. Said wafat di Madinah pada tahun 59 H atau 679 M[1].

[1] http://id.wikipedia.org/wiki/Sa%E2%80%99id_bin_Al-Ash
Add a comment April 15, 2010

28. Abu Dzar Al-Ghiffari


Nama aslinya adalah Jundub bin Junadah bin Sakan, tetapi dia dikenal dengan sebutan Abu
Dzar al-Ghiffari. Dia adalah sahabat Rosulullah yang berasal dari suku ghiffar dan termasuk
golongan orang yang pertama masuk Islam. Sebelum menjadi seorang muslim, Abu Dzar dikenal
sebagai seorang perampok yang suka merampok para kabilah yang pedagang yang melewati
padang pasir. Suku Ghiffar memang sudah dikenal sebagai binatang buas malam dan hantu
kegelapan. Jika bertemu dengan mereka, jarang sekali orang yang selamat dari perampokan.

Meski dia adalah seorang perampk, tetapi hidayah Allah telah menghampiri diri Abu Dzar.
Sebelum Rosulullah Saw diangkat menjadi utusan Allah dengan ajaran Islam, Abu Dzar memang
sudah tidak percaya dengan berhala-berhala buatan yang menjadi sesembahan sebagian besar
masyarakat jazirah Arab. Karenanya ketika dia mendengar akan hadirnya seorang yang
membawa kebenaran. Diapun ingin pergi dan bertemu dengan beliau. Dengan langkah yang
terhuyung karena lemah setelah melewati perjalanan yang cukup jauh. Perjalanan dari kampung
halamannya ke Makkah memang merupakan perjalanan panjang dengan medan yang sulit
ditambah dengan teriknya panas matahari serta udara padang pasir membuat siapapun akan
merasa sangat kelelahan dan membuat kondisi fisik menjadi lemah. Setelah Abu Dzar telah
sampai ke kota Makkah. Dia menyamar seolah-olah ia adalah seorang yang hendak melakukan
thawaf keliling berhala-berhala besar di Kabah atau seolah-olah musafir yang sesat dalam
perjalanan atau lebih tepat orang yang telah menempuh jarak amat jauh, yang memerlukan
istirahat dan menambah perbekalan. karena seandainya orang-orang Mekah mengetahui
kedatangannya untuk menemui Muhammad Saw dan mendengar keterangannya, pastilah mereka
akan membunuhnya. Tetapi, lelaki ini tak perduli apakah akan dibunuh atau dianiaya asalkan ia
dapat menjumpai laki-laki yang dicarinya dan menyatakan iman kepadanya. Kebenaran dan
dakwah yang diberikan Muhammad SAW dapat memuaskan hatinya.
Dia terus melangkah sambil memasang telinga, dan setiap didengarnya orang memerkatakan
Muhammad SAW, ia pun mendekat dan menyimak dengan hati-hati; hingga dari cerita yang
tersebar di sana-sini, diperolehnya petunjuk yang dapat menunjukkan tempat persembunyian
Muhammad SAW, dan mempertemukannya dengan beliau.
Di pagi suatu hari ia pergi ke tempat itu, didapatinya Muhammad SAW sedang duduk seorang
diri. Didekatinya Rasulullah, dan berkata, Selamat pagi wahai kawan sebangsa! Alaikum
salam, wahai sahabat, jawab Rasulullah. Kemudian Abu Dzar berkata, Bacakanlah kepadaku
hasil gubahan Anda! Mendengar hal itu Rosulullah menjawab: Ia bukan syair hingga dapat
digubah, tetapi adalah Quran yang mulia!.
Kemudian Dibacakanlah oleh Rasulullah Saw ayat-ayat al-Quran, sedangkan Abu Dzar
mendengarkan dengan penuh perhatian, hingga tidak berselang lama ia pun berseru, Asyhadu

alla ilaha illallah wa asyhadu anna Muhammadan abduhu wa rasuluh. Setelah itu Rosulullah
bertanya: Anda dari mana, saudara sebangsa?, Dari Ghifar, jawab Abu Dzar.
Akhirnya Abu Dzar telah resmi menyatakan dirinya sebagai seorang muslim. Setelah itu
Rosulullah Saw menyuruhnya untuk kembali ke kampung halamannya hingga Rosulullah akan
memberi perintah setelah dia sampai disana. Tetapi Abu Dzar berkata kepada beliau: Demi
Tuhan yang menguasai nyawaku, saya takkan kembali sebelum meneriakkan Islam dalam
masjid!
Sebagai seorang yang radikal dan revolusioner, dia kemudian pergi menuju masjidil haram dan
menyerukan dengan sekeras-kerasnya, Asyhadu Alla ilaaha illallah, wa asyhadu anna
Muhammadar rasulullah. Pada saat itu Rosulullah masih berdakwah dengan sembunyisembunyi, sehingga teriakan Abu Dzar tersebut merupakan teriakan pertama tentang agama
Islam yang menentang kesombongan orang-orang Quraisy dan memekakkan telinga mereka.
Kalimat itu diserukan oleh seorang perantau asing yang di Mekah tidak mempunyai bangsa,
sanak keluarga, maupun pembela. Dan sebagai akibatnya, ia mendapat perlakuan dari mereka
yang sebetulnya telah dimaklumi akan ditemuinya. Orang-orang musyrik mengepung dan
memukulnya hingga rebah.
Berita mengenai peristiwa yang dialami Abu Dzar itu akhirnya sampai juga kepada paman Nabi
Saw, Abbas bin Abdul Muthalib. Ia segera mendatangi tempat terjadinya peristiwa tersebut,
dengan menggunakan diplomasi halus Abbas bin Abdul Muthalib berusaha membebaskannya
dari cengkraman kaum kafir Quraisy, maka kemudian berkatalah Abbas kepada mereka, Wahai
kaum Quraisy! Anda semua adalah bangsa pedagang yang mau tak mau akan singgah di
kampung Bani Ghifar. Dan, orang ini salah seorang warganya, bila ia bertindak akan dapat
menghasut kaumnya untuk merampok kafilah-kafilahmu nanti!
Mereka pun akhirnya menyadari hal itu, kemudian pergi meniggalkannya. Tetapi Abu Dzar
memang seorang yang berani dan tidak mengenal rasa takut. Karenanya dia mengulang kejadian
yang sama pada hari berikutnya. Ketika itu Abu Dzar sedang dua orang wanita sedang thawaf
keliling berhala-berhala Usaf dan Na-ilah sambil memohon kepadanya. Abu Dzar segera berdiri
menghadangnya, lalu di hadapan mereka berhala-berhala itu dihina sejadi-jadinya. Kedua wanita

itu memekik dan berteriak, hingga orang-orang gempar dan berdatangan laksana belalang, dan
seperti yang pernah dialami sebelumnya oleh Abu Dzar, mereka lalu menghujani Abu Dzar
dengan pukulan hingga tak sadarkan diri. Ketika ia siuman, maka yang diserunya tiada lain
hanyalah, Tiada Tuhan yang haq diibadahi, melainkan Allah, dan bahwa Muhammad itu utusan
Allah.
Rasulullah SAW sangat memaklumi watak dan tabiat murid barunya yang ulung serta
mempunyai keberaniannya yang menakjubkan dalam melawan kebathilan. Sayang saatnya
belum tiba, karenanya Rosulullah Saw kembali memerintahkannya untuk pulang, sampai
akhirnya nanti Rosulullah memerintahkan untuk berdakwah secara terang-terangan.
Setelah itu, diapun kembali ke kampung halamannya dan ikut menyampaikan ajaran kebenaran
dari Rosulullah Saw kepada orang-orang di sekitarnya. Diantara para muallaf yang masuk Islam
melalui dia, adalah : Ali-al-Ghifari, Anis al-Ghifari, Ramlah al-Ghifariyah. Pernah suatu hari Abu
Dzar

berkata

wasiat

Rasulullah

menyantuni
hal

di

aku

harta

dan

dari

orang

besarpun
Allah.

SAW

orang-orang

harta,

yang
miskin

disuruhnya

kekuasaan).
lain.

resikonya.
Dan

hadapan

aku

selalu
dan

memandang
Aku

Aku
Aku

banyak

disuruhnya

disuruhnya

agar

membawa

pedang

Ada

tujuh

kupegang

teguh.

Aku

disuruhnya

mendekatkan

diri

dengan

mereka.

dan

tidak

ke

disuruhnya

disuruhnya

orang,

bawah
agar

tidak

mengatakan
agar

tidak

ke

atas

meminta

Dalam
(pemilik

pertolongan

hal

yang

benar

pernah

takut

membela

memperbanyak

agar

seberapa
agama

menyebut

la

haula

walaa

tajam

pinggangnya

quwwata illa billah.


Abu

Dzar

selalu

digunakannya
padanya,

Maukah

Bersabarlah
ia

mengganti

pedangnya.

untuk
hingga

menebas
kamu

musuh-musuh

kutunjukkan

kamu

pedangnya

yang

bertemu
dengan

yang

sangat
Islam.
lebih

denganku

lidahnya

yang

di

Ketika
baik
di

dari

Rasulullah

ternyata

bersabda

pedangmu?

akhirat?
lebih

yang

Sejak
tajam

(Yaitu)
itulah
dari

Keberanian Abu Dzar juga ditunjukkan ketika dia berani mengkritik pemerintahan Ustman bin
Affan.

Ketika

itu

dia

kota

menyampaikan

harta

di

masa

keliling
sering

protesnya

kekhalifahan

kota,

meneriakkan

ratusan

emas

di

jalanan,

kepada
Ustman

orang

kata-katanya

diulang-ulang,

menumpuk

berteriak

bin

pasir

dan

yang

rajin

menumpuk

turun

ke

jalan,

dan

ikut

Setiap
di

panji

kepada

Mereka

padang

penguasa

Affan.

menjadi

Beritakanlah
perak.

para

mengikuti

yang

dan

lembah,

belakangnya,
yang

para

akan

kali
sangat

penumpuk

diseterika

dengan

sudut

terkenal

dan

harta,

yang

api

neraka,

di

jazirah

kening dan pinggang mereka akan diseterika di hari kiamat!


Teriakan-teriakannya
Arab.

Ketika

berkata,

Demi

tuan-tuan
sempat

telah

menggetarkan

para

penguasa

Allah

yang

sekalian

menaruh

menyampaikan

saat

itu

nyawaku
pedang

ucapan

seluruh

penguasa

melarangnya,

berada
diatas

dalam
yang

lantang

genggaman-Nya!

pundakku,

Rasulullah

dengan
sedang

kudengar

Sekiranya

mulutku
darinya,

ia

masih
pastilah

akan kusampaikan sebelum tuan-tuan menebas batang leherku. Sepak terjangnya menyebabkan
penguasa

tertinggi

saat

itu

Ustman

bin

Affan turun tangan untuk menengahi. Bahkan Ustman bin Affan menawarkan tempat
tinggal

dan

berbagai

kenikmatan,

tetapi

Abu

Dzar

yang

zuhud

berkata,

aku

tidak butuh dunia kalian!.


Abu Dzar memang tidak hanya seorang yang berani tetapi dia juga seorang yang zuhud dan tidak
pernah berfikir tentang dunia. Bahkan Rasulullah SAW pernah bersabda, Tidak ada di dunia ini
orang yang lebih jujur ucapannya daripada Abu Dzar, pada saat yang lain Rosulullah SAW juga
pernah bersabda, Abu Dzar di antara umatku memiliki sifat zuhud seperti Isa ibn Maryam.
Kezuhudannya juga diperlihatkannya ketika Abu Dzar menjelang detik-detik kematiannya. Saat
itu

istrinya

menangis.

Abu

Dzar

kemudian

bertanya,

Mengapa

engkau menangis wahai istriku?, sang istripun menjawab, Bagaimana aku tidak menangis,
engkau
yang

sekarat
cukup

di

untuk

hamparan

padang

mengkafanimu

dan

pasir
tidak

sedang
ada

aku

orang

tidak
yang

mempunyai
akan

kain

membantuku

menguburkanmu. Namun akhirnya datanglah pertolongan dari Allah melalui serombongan

musafir yang dipimpin oleh Abdullah bin Masud ra (salah seorang sahabat Rasulullah SAW
juga).
Benarlah

Abdullah
ucapan

bin
Rasulullah!.

Masud
Kamu

pun

membantunya

berjalan

sebatang

kara,

dan
mati

berkata,
sebatang

kara, dan nantinya (di akhirat) dibangkitkan sebatang kara.


Begitulah kisah seorang sahabat Nabi Saw Abu Dzar, sosok yang selalu berani dalam
menyerukan kebenaran yang diyakini. Dia tidak pernah takut dengan apapun bahkan nyawanya
sendiri menjadi taruhannya karena dia yakin bahwa Allah akan selalu bersama dengan orangorang yang berada di jalan kebenaran[1].

[1]

http://www.majalahdzikir.com/index.php?

option=com_content&task=view&id=547&Itemid=95,
http://www.bimasislam.depag.go.id/index.php?
option=com_content&view=article&id=176&catid=49:artikel&Itemid=92&Itemid,
http://sunatullah.com/sahabat-nabi/abu-dzar-al-ghiffari.html,
http://id.wikipedia.org/wiki/Abu_Dzar_Al-Ghifari
Add a comment April 15, 2010

26. Abu Ubaidah bin al-Jarrah (Seorang kepercayaan Umat)


Nama lengkapnya adalah Amir bin Abdullah bin al-Jarah bin Hilal al-Fahry al-Qursy, biasanya
dipanggil dengan sebutan Abu Ubaidillah. Dia adalah salah satu sahabat Rosulullah Saw yang
berasal dari kaum Quraisy. Lahir di Makkah dari sebuah keluarga yang terhormat. Abu Ubaidah
adalah seorang yang berperawakan tinggi, kurus, dan tidak terlalu berisi. Jenggotnya tidak tebal.
Orangnya pemurah dan sederhana. berwibawa, bermuka ceria, rendah diri dan sangat pemalu.
Dia juga termasuk orang yang berani ketika dalam kesulitan. Meski seorang yang pemalu dia
disenangi oleh semua orang yang melihatnya, sehingga siapapun yang mengikutinya akan
merasa tenang.

Masuknya Abu Ubaidillah ke dalam ajaran Islam adalah berkat peran dari Abu Bakar Al-Shiddiq.
Karena dia telah berteman dan mengenal sejak lama Abu Bakar, sehingga tidak sulit bagi Abu
Ubaidillah untuk menerima ajakan Abu Bakar untuk mempercayai ajaran baru yang dibawa oleh
Muhammad Saw. Sebagaimana sahabat yang lain, keislaman Abu Ubaidillah juga tidak lepas
dari tantangan dan siksaan dari orang-orang kafir Quraisy. Meski dia berasal dari keluarga yang
cukup terhormat di mata kaum Quraisy. Ayahnya sendiri sangat menentang keputusannya untuk
meninggalkan ajaran nenek moyangnya. Dia terus menerus dibujuk oleh ayahnya untuk kembali
kepada ajarannya semula, hingga ayah Abu Ubaidillah mempersempit ruang geraknya. Tetapi
semua cobaan dapat dilalui dengan sabar dan tawakkal kepada Allah SWT.
Pada saat Rosulullah Saw menyuruh kaum muslimin untuk berhijrah ke Habasyah dalam rangka
menghindari berbagai tantangan dan siksaan dari kaum kafir Quraisy yang semakin berat, Abu
Ubadillahpun turut serta dalam rombongan para sahabat untuk berhijrah. Abu Ubaidillah juga
salah satu sahabat yang sangat aktif dalam mengikuti berbagai peperangan pada masa Rosulullah
Saw, mulai perang badar, Uhud dan lain sebagainya. Dalam perang Badar dia berperang
melawan ayahnya sendiri yang menjadi salah satu tentara dari pasukan kaum kafir. Sedangkan
pada saat terjadi perang Uhud, ketika wajah Rosulullah terkena dua rantai besi hingga berdarah,
dengan cepat Abu Ubaidillah berusaha mencabutnya dari wajah Rosulullah, dia mencabut
dengan gigi sehingga dua giginya patah. Pada masa kholifah Abu Bakar al-Shiddiq, dia juga ikut
dalam rombongan tentara melawan para murtaddin (orang-orang yang keluar dari agama Islam).
Abu Ubadillah juga termasuk salah satu komandan tentara Islam yang diutus Abu Bakar dalam
penaklukan Islam. Selama ikut dalam peperangan, beliau berhasil mentaklukan Damaskus,
Hamsh, Antokia, Ladhakia, Hebron hingga seluruh Syam.
Abu Ubaidillah mendapat julukan Aminul Ummah (Orang yang dipercaya bagi kaumnya) dan
Amirul Umaro (pemimpin para pemimpin) dari Rosulullah Saw. Julukan tersebut diberikan oleh
Rosulullah Saw berkenaan dengan suatu peristiwa dimana pada suatu hari delegasi Najran dari
Yaman datang untuk menyatakan keislaman mereka, dan meminta kepada Nabi SAW agar
mengutus bersama mereka orang yang mengajarkan kepada mereka al-Quran, Sunnah dan
Islam, maka Nabi SAW mengatakan kepada mereka, Aku benar-benar akan mengutus bersama
kalian seorang pria yang sangat dapat dipercaya, benar-benar orang yang dapat dipercaya, benarbenar orang yang dapat dipercaya, benar-benar orang yang dapat dipercaya. Semua sahabat

berharap bahwa dialah yang bakal dipilih oleh Rasulullah SAW termasuk Umar bin Khattab.
Ternyata persaksian ini menjadi keberuntungannya. Setelah Rosulullah Saw melaksanakan sholat
dzuhur bersama para sahabat, beliau menengok ke kanan dan ke kiri hingga pandangannya
tertuju pada Abu Ubaidillah dan beliau meminta Abu Ubaidillah untuk pergi bersama mereka.
Pada watku beliau Abu Ubaidillah berdiri, Rasulullah bersabda; Inilah orang kepercayaan umat
Islam.
Setelah Rosulullah Saw wafat, para sahabat berkumpul pada hari Saqifah untuk memilih seorang
kholifah. Pada saat itu Abu Bakar berkata: Saya rela salah satu dari dua orang ini; Umar bin
Khottob dan Abu Ubaidah untuk memimpin Islam. Kemudian Umar bin Al-Khattab ra
mengatakan kepada Abu Ubaidah bin al-Jarrah, Hulurkan tanganmu! Agar saya baiat kamu,
karena saya mendengar Rasulullah SAW bersabda, Sungguh dalam setiap kaum terdapat orang
yang jujur. Orang yang jujur di kalangan umatku adalah Abu Ubaidah. Kemudian Abu Ubaidah
menjawab, Saya tidak mungkin berani mendahului orang yang dipercayai oleh Rasulullah SAW
menjadi imam kita di waktu shalat (Saidina Abu Bakar as-Shiddiq ra), oleh sebab itu kita
sayogyanya membuatnya jadi imam sepeninggalan Rasulullah SAW. Akhirnya keputusan itu di
terima oleh semua pihak dan akhirnya Abu Bakar di baiat menjadi khalifah.
Kepribadian dan keluhuran budi pekerti Abu Ubaidillah memang sudah tidak bisa diragukan lagi.
Rosulullah Saw pernah bersabda: Sesungguhnya setiap umat memiliki orang kepercayaan, dan
orang kepercayaan umat ini adalah Abu Ubaidillah bin Al-Jarrah. Ketika Umar bin Khattab sang
khalifah hendak menghembuskan nafas terakhirnya, dia juga berkata: Seandainya Abu
Ubaidillah bin Al-Jarrah masih hidup, niscaya aku menunjuknya sebagai penggantiku. Jika
Rabbku bertanya kepadaku tentang dia, maka aku jawab, Aku telah menunjuk kepercayaan
Allah dan kepercayaan RasulNya sebagai penggantiku. Abdullah bin Masud, salah satu sahabat
Rosulullah Saw juga sangat bangga dengannya. Dia berkata: Paman-pamanku yang paling setia
sebagai sahabat Rasulullah saw. Cuma tiga orang. Mereka adalah Abu Bakar, Umar bin Khattab,
dan Abu Ubaidah,.
Abu Ubaidillah juga dikenal dengan kezuhudannya.Dalam satu kisah disebutkan ketika Abu
Ubaidillah menjabat sebagai seorang gubernur Syam. Umar bin Khattab sang khalifah pada saat
itu hendak berkunjung ke rumahnya. Hai Abu Ubaidah, bolehkah aku datang ke rumahmu?

tanya Umar. Jawab Abu Ubaidah, Untuk apakah kau datang ke rumahku? Sesungguhnya aku
takut kau tak kuasa menahan air matamu begitu mengetahui keadaanku nanti. Namun Umar
memaksa dan akhirnya Abu Ubaidahpun mengizinkan Umar berkunjung ke rumahnya. Ketika
Umar bin Khattab sampai di rumah Abu Ubaidillah, dia sangat terkejut. Ia mendapati rumah
Sang Gubernur Syam kosong melompong. Tidak ada perabotan sama sekali. Melihat hal
tersebut,

kemudian

Umar bertanya, Hai Abu Ubaidah, di manakah penghidupanmu? Mengapa aku tidak melihat
apa-apa selain sepotong kain lusuh dan sebuah piring besar itu, padahal kau seorang gubernur?,
Adakah kau memiliki makanan? tanya Umar lagi. Abu Ubaidah kemudian berdiri dari
duduknya menuju ke sebuah ranjang dan memungut arang yang didalamnya. Umar pun
meneteskan air mata melihat kondisi gubernurnya seperti itu. Abu Ubaidah pun berujar, Wahai
Amirul Mukminin, bukankah sudah kukatakan tadi bahwa kau ke sini hanya untuk menangis.
Umar berkata, Ya Abu Ubaidah, banyak sekali di antara kita orang-orang yang tertipu oleh
godaan dunia.
Suatu ketika Umar mengirimi uang kepada Abu Ubaidah sejumlah empat ribu dinar. Orang yang
diutus Umar melaporkan kepada Umar, Abu Ubaidah membagi-bagi uang kirimanmu.
Kemudian Umar berkata, Alhamdulillah, puji syukur kepada-Nya yang telah menjadikan
seseorang dalam Islam yang memiliki sifat seperti dia. Begitulah Abu Ubaidah. Hidup baginya
adalah pilihan. Ia memilih zuhud dengan kekuasaan dan harta yang ada di dalam genggamannya.
Baginya jabatan bukan aji mumpung buat memperkaya diri. Tapi, kesempatan untuk beramal
lebih intensif guna meraih surga.
Ketika di negeri Syam sedang terjangkit wabah penyakit, Umar bin Khattab mengirim surat
untuk memanggil Abu Ubaidah. Namun Abu Ubaidah menyatakan keberatannya sesuai dengan
isi surat yang dikirimkannya kepada khalifah yang berbunyi, Hai Amirul Mukminin!
Sebenarnya saya tahu, kalau kamu memerlukan saya, akan tetapi seperti kamu ketahui saya
sedang berada di tengah-tengah tentera Muslimin. Saya tidak ingin menyelamatkan diri sendiri
dari musibah yang menimpa mereka dan saya tidak ingin berpisah dari mereka sampai Allah
sendiri menetapkan keputusannya terhadap saya dan mereka. Oleh sebab itu, sesampainya surat
saya ini, tolonglah saya dibebaskan dari rencana baginda dan izinkanlah saya tinggal di sini.

Setelah Umar ra membaca surat itu, beliau menangis, sehingga para hadirin bertanya, Apakah
Abu Ubaidah sudah meninggal? Umar menjawabnya, Belum, akan tetapi kematiannya sudah
di ambang pintu.
Akhirnya Abu Ubaidah meninggal karena wabah penyakit tersebut. Menjelang kematian Abu
Ubaidah ra, beliau memesankan kepada tenteranya, Saya pesankan kepada kalian sebuah pesan.
Jika kalian terima, kalian akan baik, Dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, puasalah di bulan
Ramadhan, berdermalah, tunaikanlah ibadah haji dan umrah, saling nasihat menasihatilah kalian,
sampaikanlah nasihat kepada pimpinan kalian, jangan suka menipunya, janganlah kalian
terpesona dengan keduniaan, karena betapa pun seorang melakukan seribu upaya, beliau pasti
akan menemukan kematiannya seperti saya ini. Sungguh Allah telah menetapkan kematian untuk
setiap pribadi manusia, oleh sebab itu semua mereka pasti akan mati. Orang yang paling
beruntung adalah orang yang paling taat kepada Allah dan paling banyak bekalnya untuk
akhirat. Kemudian beliau melihat kepada Muaz bin Jabal ra dan mengatakan, Ya Muaz!
Imamilah shalat mereka. Setelah itu, Abu Ubaidah ra pun menghembuskan nafasnya yang
terakhir.
Sepeninggalan Abu Ubaidah, Muaz bin Jabal ra berpidato di hadapan kaum Muslimin yang
berbunyi, Hai sekalian kaum Muslimin! Kalian sudah dikejutkan dengan berita kematian
seorang pahlawan, yang demi Allah saya tidak menemukan ada orang yang lebih baik hatinya,
lebih jauh pandangannya, lebih suka terhadap hari kemudian dan sangat senang memberi nasihat
kepada semua orang dari beliau. Oleh sebab itu kasihanilah beliau, semoga kamu akan dikasihani
Allah.
Pada saat Umar bin Khaththab RA mendengar kematian Abu Ubaidah, dia memejamkan kedua
matanya dalam keadaan penuh dengan air mata. Air mata pun mengalir, lalu dia membuka kedua
matanya dalam kepasrahan. Ia memo-honkan rahmat Allah untuk sahabatnya dalam keadaan air
mata mengalir dari kedua matanya, air mata orang-orang shalih. Air mata mengalir karena
kematian orang-orang yang shalih. Umar bin Khaththab RA berkata, Seandainya aku boleh
berangan-angan, maka aku hanya mengangankan sebuah rumah yang dipenuhi orang-orang
semisal Abu Ubaidah.

Begitulah sosok seorang zuhud dan bijak Abu Ubaidah. Dia dapat menjadi contoh teladan bagi
para pemimpin bahwa menjadi pemimpin bukanlah jalan untuk memperkaya diri sendiri, tetapi
seorang pemimpin hanyalah seorang pelayan dari masyarakat yang seharusnya bersikap wajar
dan tidak berlebih-lebihan[1].

[1]

http://sirah.blogsome.com/2005/09/28/abu-ubaidah-bin-jarrah-radhiallahu-anh/,

http://id.wikipedia.org/wiki/Abu_Ubaidah_bin_al-Jarrah, http://www.2lisan.com/agama/sahabatrasul-saw/abu-ubaidah-bin-al-jarrah/,
q=cache:kuPtxdP9ZFIJ:rinialfatih.multiply.com/journal/ite,

http://74.125.113.132/search?
http://halaqah-

online.com/v3/index.php?option=com_content&view=article&id=586:abu-ubaidah-bin-aljarrah&catid=66:sirah-tokoh-sahabat-nabi&Itemid=536
3 komentar April 15, 2010

25. Said bin Zayd bin Amru


Nama lengkapnya adalah Said bin Zayd bin Amru bin Nufail Al Adawi. Dia adalah salah satu
Rosulullah Saw yang berasal dari kaum Quraisy dan termasuk golongan kedalam golongan
sepuluh sahabat yang dijanjikan akan masuk surga. Said dilahirkan di Makkah 22 tahun sebelum
hijriyah dan sering kali dipanggil dengan sebutan Abul Awaar.
Said adalah putra Zaid seorang yang selama hidupnya selalu mencari kebenaran akan agama
yang haq. Dia juga tidak mempercayai akan agama yang dianut oleh nenek moyangnya. Zaid
juga dikenal sebagai penyelamat bayi perempuan pada masa jahiliyah, karena di masa itu
mempunyai bayi perempuan dianggap sebuah aib besar yang dapat meruntuhkan kehormatan
keluarga. Zaid menyelamatkan para bayi perempuan dengan mengangkatnya sebagai anak dan
kemudian mengasuhnya.
Ketidakpercayaan Zaid terhadap ajaran nenek moyangnya dapat dibuktikan dalam sebuah
peristiwa yakni; suatu hari Zaid bin Amr bin Nufail berdiri di tengah-tengah orang banyak yang
berdesak-desakan menyaksikan kaum Quraisy berpesta merayakan salah satu hari besar mereka.

Kaum pria memakai serban sundusi yang mahal, yang kelihatan seperti kerudung Yaman yang
lebih mahal. Kaum wanita dan anak-anak berpakaian bagus warna menyala dan mengenakan
perhiasan indah-indah. Hewan-hewan ternak pun dipakaikan bermacam-macam perhiasan dan
ditarik orang-orang untuk disembelih di hadapan patung-patung yang mereka sembah.
Kemudian Zaid bersandar ke dinding Kabah dan berkata, Hai kaum Quraisy! hewan itu
diciptakan Allah. Dialah yang menurunkan hujan dari langit supaya hewan-hewan itu minum
sepuas-puasnya. Dialah yang menumbuhkan rumput-rumputan supaya hewan hewan itu makan
sekenyang-kenyangnya. Kemudian, kalian sembelih hewan-hewan itu tanpa menyebut nama
Allah. Sungguh bodoh dan sesat kalian.
Al-Khattab, ayah Umar bin Khottob, berdiri menghampiri Zaid, lalu ditamparnya Zaid. Kata AlKhattab, Kurang ajar kau! kami sudah sering mendengar kata-katamu yang kotor itu, namun
kami biarkan saja. Kini kesabaran kami sudah habis! Kemudian, dihasutnya orang-orang bodoh
supaya menyakiti Zaid. Zaid benar-benar disakiti mereka dengan sungguh-sungguh sehingga dia
terpaksa menyingkir dari kota Mekah ke Bukit Hira. Al-Khattab menyerahkan urusan Zaid
kepada sekelompok pemuda Quraisy untuk menghalang-halanginya masuk kota. Karena itu, Zaid
terpaksa pulang dengan sembunyi-sembunyi.
Dalam kisah lain disebutkan juga bahwa suatu hari Zaid bin Amr bin Nufail berkumpul ketika
orang-orang Quraisy tengah bersama-sama dengan Waraqah bin Naufal. Abdullah bin Jahsy,
Utsman bin Harits, dan Umaimah binti Abdul Muthallib, bibi Muhammad saw. Mereka berbicara
tentang kepercayaan masyarakat Arab yang sudah jauh tersesat. Pada saat itu Zaid berkata,
Demi Allah! sesungguhnya Saudara-Saudara sudah maklum bahwa bangsa kita sudah tidak
memiliki agama. Mereka sudah sesat dan menyeleweng dari agama Ibrahim yang lurus. Karena
itu, marilah kita pelajari suatu agama yang dapat kita pegang jika Saudara-Saudara ingin
beruntung.
Keempat orang itu akhirnya pergi menemui pendeta-pendeta Yahudi, Nasrani, dan pemimpinpemimpin agama lain untuk menyelidiki dan mempelajari agama Ibrahim yang murni. Waraqah
bin Naufal akhirnya meyakini agama Nasrani sebagai agama yang dipegannya. Sementara
Abdullah bin Jahsy dan Utsman bin Harits tidak menemukan apa-apa. Adapun Zaid bin Amr bin

Nufail mengalami kisah tersendiri ketika sedang dalam pencarian agama tersebut. Zaid
mempelajari agama Yahudi dan Nasrani. Tetapi, keduanya ditinggalkannya karena dia tidak
memperoleh sesuatu yang dapat menenteramkan hati dan menjawab kegelisahan-kegelisahannya.
Kemudian Zaidpun berkelana ke berbagai pelosok mencari agama Ibrahim. Ketika dia sampai ke
negeri Syam, dia diberitahu tentang seorang Rahib yang mengerti ilmu kitab. Kemudian dia
mendatangi sang Rahib untuk menceritakan kepadanya tentang kegelisahannya tentang agama
nenek moyangnya serta pengalamannya dalam mempelajari agama Yahudi dan Nasrani.
Mendengar cerita dari Zaid, kemudian sang Rahib tersebut berkata: Saya tahu engkau sedang
mencari agama Ibrahim, hai putra Mekah?, Zaid pun menjawab: Betul, itulah yang saya
inginkan. Kemudia sang Rahib berkata: Anda mencari agama yang dewasa ini sudah tak
mungkin lagi ditemukan. Tetapi, pulanglah Anda ke negeri Anda. Allah akan membangkitkan
seorang nabi di tengah-tengah bangsa Anda untuk menyempurnakan agama Ibrahim. Bila Anda
bertemu dengan dia, tetaplah Anda bersamanya.
Mendengar keterangan dari rahib tersebut, akhirnya Zaid berhenti berkelana dan dia memutuskan
untuk kembali ke Mekah menunggu nabi yang dijanjikan. Ketika Zaid sedang dalam perjalanan
pulang. Allah mengutus Muhammad menjadi nabi dan rasul dengan agama yang hak. Tetapi,
Zaid belum sempat bertemu dengan beliau, dia dihadang perampok-perampok Badui di tengah
jalan dan terbunuh sebelum ia kembali ke Mekah. Waktu dia akan menghembuskan napasnya
yang terakhir, Zaid menengadah ke langit dan berkata, Wahai Allah, jika Engkau
mengharamkanku dari agama yang lurus ini, janganlah anakku Said diharamkan pula
daripadanya.
Doa Zaid inipun dikabulkan oleh Allah. Putra kesayangannya Said akhirnya menjadi seorang
muslim bahkan menjadi pelopor dari keislaman orang-orang Quraisy lainnya. Sebagai seseorang
yang dididik dari keluarga yang tidak mempercayai tradisi agama nenek moyangnya, tentu
membuat Said begitu mudah untuk menjadi muslim begitu dia mendengar Nabi Saw menyerukan
dakwah kepada agama kebenaran. Karenanya Said termasuk golongan orang yang pertama-tama
masuk Islam. Dia mempercayai ajaran baru yang di bawa oleh seorang utusan Allah Muhammad
Saw di saat banyak orang masih meragukannya.

Masuknya Said kedalam Islam tidak lepas dari berbagai siksaan dari orang-orang kafir yang
tidak rela kehilangan pengikut agama nenek moyangnya. Dia menyatakan dirinya sebagai
seorang muslim bersama istrinya Fatimah binti Khattab, adik perempuan Umar bin Khattab,
seorang pemuka Qurasiy yang pada saat itu sangat membenci ajaran baru yang dibawa oleh
Muhammad. Said menjadi seorang muslim dalam usia 20 tahun. Dia tetap teguh dalam
keimanannya ketika mengalami berbagai siksaan. Bahkan keteguhan Said bersama istrinya
dalam meyakini ajaran agamanya telah meluluhkan hati Umar bin Khattab seorang yang
mempunyai hati yang keras dan pada saat itu menjadi salah satu penghalang yang berat bagi
dakwah Rosulullah Saw.
Said adalah seorang yang mengabdikan seluruh hidupnya bagi kepentingan agamanya. Dia ikut
serta dalam hijrah kaum muslimin baik hijrah ke negeri Habasya maupun hijrah ke Madinah. Dia
juga selalu mengikuti peperangan pada masa Nabi Saw, kecuali perang Badar karena saat itu dia
bersama Thalhah bin Ubaidillah mendapat tugas dari Rosulullah Saw untuk mengintai orangorang Quraisy. Said juga ikut serta dalam salah satu perang terbesar dalam sejarah umat muslim
yakni perang Yarmuk yang menggulingkan kekuasaan bangsa Romawi masa itu, dia juga
mengikuti perang dalam menggulingkan kekuasaan Persia yang semuanya terjadi pada
pemerintahan khalifah Umar bin Khattab. Said juga mengikuti perang dalam menaklukkan
Damsyiq, bahkan Abu Ubaidah bin Jarrah mengangkat Said bin Zaid menjadi wali di sana.
Dialah wali kota pertama dari kaum muslimin setelah kota itu dikuasai.
Said juga seorang ahli ibadah yang doanya seringkali dikabulkan oleh Allah. Dalam sebuah kisah
disebutkan bahwa pada masa pemerintahan Bani Umayah, merebak suatu isu dalam waktu yang
lama di kalangan penduduk Yatsrib terhadap Said bin Zaid. Yakni, seorang wanita bernama
Arwa binti uwais telah menuduh Said bin Zaid merampas tanahnya dan menggabungkannya
dengan tanah Said sendiri. Wanita tersebut menyebarkan tuduhannya itu kepada seluruh kaum
muslimin, dan kemudian mengadukan perkaranya kepada Wali Kota Madinah, yang pada saat itu
adalah Marwan bin Hakam. Marwan menerima pengaduan tersebut dan kemudian mengirimkan
beberapa petugas kepada Said untuk menanyakan perihal tuduhan wanita tersebut. Sahabat
Rasulullah Saw ini merasa prihatin atas fitnah yang dituduhkan kepadanya itu.

Kemudian Said berkata: Dia menuduhku menzaliminya (meramapas tanahnya yang berbatasan
dengan tanah saya). Bagaimana mungkin saya menzaliminya, padahal saya telah mendengar
Rasulullah saw. bersabda, Siapa saja yang mengambil tanah orang lain walaupun sejengkal,
nanti di hari kiamat Allah memikulkan tujuh lapis bumi kepadanya. Wahai Allah! dia menuduh
saya menzaliminya. Seandainya tuduhan itu palsu, butakanlah matanya dan ceburkan dia ke
sumur yang dipersengketakannya dengan saya. Buktikanlah kepada kaum muslimin sejelasjelasnya bahwa tanah itu adalah hak saya dan bahwa saya tidak pernah menzaliminya.
Tidak berapa lama kemudian, terjadi banjir yang belum pernah terjadi seperti itu sebelumnya.
Maka, terbukalah tanda batas tanah Said dan tanah Arwa yang mereka perselisihkan. Sehingga
kaum muslimin memperoleh bukti bahwa Saidlah yang benar, sedangkan tuduhan wanita itu
adalah palsu. Hanya sebulan sesudah peristiwa itu, wanita tersebut menjadi buta. Ketika dia
berjalan meraba-raba di tanah yang dipersengketakannya, dia pun jatuh ke dalam sumur.
Begitulah sosok seorang Said bin Zaid, salah satu sahabat Rosulullah Saw yang dijanjikan akan
masuk surga. Dia meninggal dalam usia 73 tahun di Madinah pada tahun 51 H[1].

[1]

http://id.wikipedia.org/wiki/Said_bin_Zayd_bin_Amru,

http://majlisdzikrullahpekojan.org/kisah-sahabat-nabi/said-bin-zaid-bin-amru-bin-nufail.html,
http://sufiimaan.blogspot.com/2009/12/sahabat-said-bin-zayd-bin-amru-bilal.html,
http://sunatullah.com/sahabat-nabi/sa%E2%80%99id-bin-zaid.html,
Add a comment April 15, 2010

24. Utsman bin Mazhun


Ustman bin Mazhun adalah salah satu sahabat Nabi Saw yang termasuk golongan orang yang
pertama masuk Islam. Dia termasuk cendekiawan Arab pada masa Jahiliyah. Sebagaimana
sahabat Rosulullah lain, masuknya Utsman ke dalam ajaran Islam juga menuai siksaan dan
penderitaan dari orang-orang kafir Quraisy. Karenanya ketika Rosulullah memerintahkan kepada
para sahabat untuk berhijrah ke Habasyah dalam rangka menghindari siksaan kaum kafir Quraisy

yang semakin menjadi-jadi, berangkatlah Utsman dan putranya Said bin Utsman bersama
rombongan para sahabat untuk melakukan hijrah pertama kaum muslimin. Bahkan Rosulullah
meminta Utsman untuk menjadi pemimpin rombongan kaum muslimin yang berhijrah. Negeri
Habasyah dipilih sebagai tempat berhijrah kaum muslimin karena meskipun Habasyah dipimpin
oleh seorang raja yang beragama Nasrani yakni raja Negus, tetapi tidak ada orang yang dianiaya
disitu, sehingga raja Neguspun dapat menerima kaum muslimin dengan baik.
Setelah mendengar isu bahwa kota Makkah sudah cukup aman bagi kaum muslimin, para
sahabat yang telah lama meninggalkan kota Makkahpun ingin segera kembali ke kampung
halaman mereka. Dengan perasaan rindu yang tidak dapat dibendung, mereka meminta izin Raja
Negus untuk kembali ke Makkah. Sesampai di kota Makkah, ternyata informasi yang mereka
dengar tidak benar, orang-orang kafir justru semakin senang menyiksa, mereka seperti
menemukan kembali buronan yang dicari-cari. Mereka memasang jebakan untuk menyambut
kedatangan kaum muslimin ke Makkah. Sementara kaum muslimin dalam kondisi yang lemah
dan tidak dapat berbuat apa-apa, sehingga siksaan demi siksaan diterima pengikut Rosulullah
dengan lapang dada.
Kesulitan dan siksaan tersebut tidaklah dirasakan oleh Ustman karena dia telah mendapatkan
jaminan dari pamannya Walid bin Mughirah, seorang tokoh Quraisy. Jaminan dari seorang tokoh
memang sangat berpengaruh bagi kaum Quraisy masa itu. Perlindungan menjadi tradisi
masyarakat Arab. Siapa pun dan seberapa rendah kelas seseorang, jika masuk dalam
perlindungan tokoh waktu itu, mereka akan aman. Tidak boleh mendapat gangguan sekecil apa
pun. Meski berada dalam perlindungan pamannya, tetapi Ustman merasa tidak nyaman melihat
saudara-saudaranya sesama muslim mendapat perlakuan kasar, kekerasan dan siksaan dari kaum
kafir Quraisy. Untuk itu, dia meminta kepada pamannya untuk melepas perlindungan atas
dirinya, agar diapun dapat merasakan siksaan yang diterima oleh saudara-saudaranya yang
seiman. Ustman berkata kepada pamannya: Wahai Abu Abdi Syam (sebutan penghormatan bagi
Walid bin Mughirah), sejak saat ini aku melepaskan perlindungan yang telah engkau berikan
padaku. Karena aku tidak ingin mendapatkan perlindungan selain dari-Nya. Umumkanlah hal ini,
seperti waktu engkau umumkan perlindungan atasku sebelumnya, kata Utsman dengan suara
lantang. Walid tak menyangka kemenakannya akan mengatakan itu. Kemudian Walidpun
bertanya kepada keponakannya, Mengapa wahai keponakanku? Mungkin ada salah seorang

anak buahku yg mengganggumu?, Tidak ujar Utsman bin Mazhun. Hanya saja saya ingin
berlindung kepada Allah dan tidak suka lagi kepada lain-Nya. Karenanya pergilah Anda ke
masjid serta umumkanlah maksudku ini secara terbuka seperti Anda dahulu mengumumkan
perlindungan terhadap diriku!
Setelah Ustman dapat meyakinkan pamannya, akhirnya mereka berdua pergi ke masjid, dan
Walid mengumumkan kepada semua orang bahwa dia telah melepas perlindungannya atas
Ustman bin Mazhun. Tidak lama setelah Walid mengumumkan pelepasan perlindungan atas diri
Ustman, Kaum Quraisy lantas berdatangan ke arahnya dan mulai menyiksanya. Utsmanpun
menerimanya dengan lapang dada. Ia justru bangga karena ia kini menerima nasib sama dengan
saudara-saudara seimannya. Ia nikmati siksaan demi siksaan itu bagaikan belaian. Siksaan demi
siksaan diterimanya persis di depan sang paman. Ayolah, Utsman, kalau kamu menghendaki
keselamatan, masuklah ke dalam perlindunganku kembali. Tetapi Utsman menolak tawaran itu.
Dengan tenang ia berkata, Mataku yang sehat ini memerlukan pukulan seperti yang telah
dirasakan saudara-saudaraku seiman. Sebenarnya aku berada dalam perlindungan Allah, yang
lebih kuat dari perlindungan yang bisa engkau berikan untukku. Kemudian Ustman pulang ke
rumahnya sambil mendendangkan sebuah pantun:
Andaikata

dalam

Mataku
Maka
Karena
Hai
Daku
Dan

mencintai

ditinju
Yang

tangan

Maha

yang

Ilahi

orang

mulhidi

menyediakan

imbalannya

jahil

Rahman

siapa

ridla

telah
diridhai-Nya

pasti

ummat,

walau

menurut

katamu

daku

kan

tetap

dalam

agama

Rasul,

tujuanku

tiada

lain

hanyalah

Allah

dan

agama

berbahagia
ini

sesat
Muhammad

yang

haq

walaupun lawan berbuat aniaya dan semena-mena.


Ketika Rosulullah Saw memerintahkan kepada kaum muslimin untuk berhijrah ke Madinah,
Utsmanpun ikut serta dalam hijrah tersebut. Di Madinah, Utsman bin Mazhun menjadi sangat
tekun dan rajin beribadah: malam harinya bagai rahib dengan ibadah shalat dan dzikirnya; siang
harinya bagai pahlawan dengan berjuang membela kebenaran. Dia sangat dikenal dengan
kezuhudannya dan tidak memikirkan kesenangan duniawi.

Suatu hari Ustman sedang masuk masjid dengan pakaian yang compang camping dan beberapa
sobekan yang ditambal dengan kulit unta. Dia mendengar Rosulullah Saw sedang bercakapcakap dengan para sahabat dan berkata kepada mereka: Bagaimana pendapat Kalian, bila
Kalian punya pakaian satu stel untuk pakaian pagi dan sore hari diganti dengan stelan lainnya
kemudian disiapkan di depan kalian suatu perangkat wadah makanan sebagai ganti perangkat
lainnya yang telah diangkat serta kalian dapat menutupi rumah-rumah kediaman kalian
sebagaimana Kabah bertutup? Kemudian para sahabat menjawab: Kami ingin hal itu dapat
terjadi, wahai Rasulullah, hingga kita dapat mengalami hidup makmur dan bahagia!, mendengar
jawaban para sahabat kemudian Rasulullah sawpun bersabda: Sesungguhnya hal itu telah
terjadi, kemudian Kalian sekarang ini lebih baik dari keadaan Kalian waktu lalu.
Mendengar ucapan yeng menginginkan kecukupan, Ustman tidak pernah terpengaruh, bahkan
dia sangat istiqomah dengan kezuhudannya, sehingga saking zuhudnya, dia hendak menahan diri
untuk menggauli istrinya sampai Rasulullah Sawpun memanggil dan menyampaikan kepadanya
Sesungguhnya keluargamu itu mempunyai hak atas dirimu.
Ustman adalah salah satu sahabat yang sangat dicintai oleh Rosulullah Saw. Pada saat dia sedang
menghadapi detik-detik kematian menuju kehadapan sang khalik, Rosulullah Saw sempat
membungkuk dan menciumnya dengan air mata yang membasahi kedua pipi beliau.
Rosulullahpun bersabda: Semoga Allah memberimu rahmat wahai Abu Saib..Kamu pergi
meninggalkan dunia tak satu keuntungan pun yg kamu peroleh daripadanya serta tak satu
kerugian pun yg dideritanya daripadamu. Ustman meninggal dengan wajah yang memancarkan
sinar dan senyuman pada tahun 2 Hijriyah (624 M). Dia adalah muhajirin pertama yang
meninggal di Madinah dan sahabat Rosulullah yang pertama yang dimakamkan di baqi.
Sepeninggal Ustman, Rosulullah Saw tidak pernah melupakan sahabatnya tersebut, bahkan
ketika putrinya Rukayyah akan menghadap sang khalik, Rosulullah Saw berkata: : Pergilah
susul pendahulu hita yang pilihan. Utsman bin Mazhun[1].

[1]

http://tokoh-ilmuwan-penemu.blogspot.com/2009/12/utsman-bin-mazh.html,

http://sunatullah.com/sahabat-nabi/utsman-bin

-mazh%E2%80%99un.html,

http://blog.re.or.id/utsman-bin-mazh-un.htm,

http://id.wikipedia.org/wiki/Utsman_bin_Mazh

%27un, http://abughifari.wordpress.com/2008/09/15/utsman-bin-mazhun/
Add a comment April 15, 2010

23. Bilal bin Rabah (Mutiara hitam bersuara emas)


Bilal ibn Rabah adalah seorang budak yang berasal dari Habasyah (sekarang disebut Ethiopia).
Bilal dilahirkan di daerah Sarah kira-kira 34 tahun sebelum hijrah dari seorang ayah yang dikenal
dengan panggilan Rabah. Sedangkan ibunya dikenal dengan Hamamah. Hamamah ini adalah
seorang budak wanita yang berkulit hitam yang tinggal di Mekkah. Oleh karenanya, sebagian
orang memanggilnya dengan nama Ibnu Sauda (Anaknya budak hitam).
Masa kecil Bilal dihabisakan di Makkah, sebagai putra dari seorang budak, Bilal melewatkan
masa kecilnya dengan bekerja keras dan menjadi budak. Sosok Bilal digambarkan sebagai
seorang yang berperawakan khas Afrika yakni tinggi, besar dan hitam. Dia menjadi budak dari
keluarga bani Abduddar. Kemudian saat ayah mereka meinggal, Bilal diwariskan kepada
Umayyah bin Khalaf, seorang yang menjadi tokoh penting kaum kafir.
Bilal termasuk orang yang teguh dengan pendiriannya. Ketika Rosulullah Saw mulai
menyampaikan risalahnya kepada penduduk Makkah. Bilal termasuk golongan orang yang
pertama-tama masuk Islam. Masuknya Bilal ke dalam ajaran Islam mengakibatkan penderitaan
yang mendalam karena berbagai siksaan yang diterima dari majikannya. Apalagi sang majikan
Umayyah bin Khalaf termasuk tokoh penting kaum kafir Quraisy. Siksaan yang diterima Bilal
memang cukup berat, hal ini karena Bilal adalah seorang budak yang lemah dan tidak
mempunyai kuasa apapun. Berbeda dengan para sahabat Nabi Saw yang lain seperti Abu Bakar,
Ali bin Abi Thalib yang mempunyai keluarga dan siap melindungi menghadapi ulah kaum kafir
yang senantiasa mengganggu dan menghalangi kaum muslimin dengan berbagai cara.
Penyiksaan kaum kafir Quraisy terhadap para budak yang mustadafin memang sangat kejam.
Hal ini juga dirasakan oleh Bilal bin Rabah yang diperlakukan secara kejam oleh Umayyah bin

Khalaf beserta para algojonya. Bilal dicambuk hingga tubuhnya yang hitam tersebut melepuh.
Tetapi dengan segala keteguhan hati dan keyakinannya, dia tetap mempertahankan keimanannya
meski harus menahan berbagai siksaan tanpa bisa melawan sedikitpun. Setiap kali dia dicambuk,
dia hanya bisa mengeluarkan kata-kata: ahad, ahad (Tuhan yangEsa). Tidak hanya sekedar
dicambuk, kemudian Umayyahpun menjemur Bilal tanpa pakaian di tengah matahari yang sangat
terik dengan menaruh batu yang besar di atas dadanya. Dengan segala kepasrahan, lagi-lagi
Bilalpun hanya bisa berkata: ahad, ahad. Setiap kali menyiksa Bilal, Umayyah selalu
mengingatkannya untuk kembali pada ajaran nenek moyang, dan Tuhannya Latta, Uzza, tetapi
Bilal tidak pernah menyerah dengan keadaan. Dia tetap kukuh dan terus berkata: ahad, ahad
setiap kali siksaan itu datang kepadanya. Semakin Bilal teguh dan kuat, semakin keras Umayyah
menyiksa Bilal. Bahkan dia mengikatkan sebuah tali besar di leher Bilal lalu menyerahkannya
kepada orang-orang bodoh dan anak-anak. Umayyah menyuruh mereka untuk membawa keliling
Bilal ke seluruh perkampungan Mekkah serta menariknya ke seluruh dataran yang ada di kota
tersebut.
Akhirnya Allah mengakhiri siksaan demi siksaan yang dialami oleh Bilal melalui Abu Bakar alShiddiq. Suatu hari, disaat Bilal kembali disiksa oleh majikannya Umayyah, Abu Bakar sedang
lewat tidak jauh dari tempat penyiksaannya. Melihat hal tersebut, Abu Bakar bermaksud
membeli Bilal dari Umayyah bin Khalaf. Lalu Umayyahpun meninggikan harganya karena ia
menduga bahwa Abu Bakar tidak akan mampu untuk membayarnya.
Namun Abu Bakar mampu membayarnya dengan 9 awqiyah dari emas. Umayyah berkata kepada
Abu Bakar setelah perjanjian jual-beli ini usai: Kalau engkau tidak mau mengambil Bilal
kecuali dengan 1 awqiyah emas saja, pasti sudah aku jual juga. Kemudian Abu Bakar
menjawab: Jika engkau tidak mau menjualnya kecuali dengan 100 awqiyah, pasti aku akan
tetap membelinya!
Begitu Abu Bakar As Shiddiq memberitahukan Rasulullah Saw bahwa dia telah membeli Bilal
dan menyelamatkannya dari tangan penyiksa, maka Nabi Saw bersabda: Libatkan aku dalam
pembebasannya, wahai Abu Bakar! As Shidiq lalu menjawab: Aku telah membebaskannya, ya
Rasulullah.

Begitulah akhirnya Bilalpun menjadi seorang yang merdeka dan selamat dari siksaan sang
majikan. Kebebasannya menjadikan Bilal seorang yang semakin taat mengikuti ajaran agama
Allah dan rosulnya. Ketika Rosulullah Saw berhijrah ke Madinah. Bilalpun turut serta berhijrah
ke Madinah untuk menjauhi siksaan kaum kafir Quraisy Makkah. Dia mengabdikan diri
sepanjang hidupnya kepada Rosul yang sangat dicintainya. Dia menjadi pengikut Rosul yang
setia dan selalu mengikuti setiap peperangan yang terjadi pada masa itu. Bahkan dia melihat
dengan mata kepala sendiri bagaimana akhirnya Abu Jahal dan Umayyah bin Khalaf mantan
majikannya tewas di tangan pedang kaum muslimin.
Ketika Rosulullah Saw selesai membangun Masjid Nabawi di Madinah dan menetapkan azan,
maka Bilal bin Rabah ditunjuk sebagai orang pertama yang mengumandangkan azan (muazin)
dalam sejarah Islam. Bilalpun menjadi Muadzin tetap pada masa Rosulullah Saw. Suaranya yang
begitu merdu sangat menggetarkan hati siapapun yang mendengarnya. Rosulullahpun sangat
menyukai suara Bilal. Biasanya, setelah mengumandangkan adzan, Bilal berdiri di depan pintu
rumah Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam seraya berseru, Hayya alashsholaati hayya
alashsholaati(Mari melaksanakan shalat, mari meraih keuntungan.) Lalu, ketika
Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam keluar dari rumah dan Bilal melihat beliau, Bilal segera
melantunkan iqamat.
Ketika Rosulullah Saw akan menaklukkan kota Makkah, Bilalpun berada di samping beliau. Saat
Rasulullah Saw memasuki Kabah, Beliau hanya didampingi oleh 3 orang saja, mereka adalah:
Utsman bin Thalhah sang pemegang kunci Kabah, Usamah bin Zaid orang kesayangan
Rasulullah dan anak dari orang kesayangan Beliau Zaid bin Haristah, serta Bilal bin Rabah sang
muadzin Rasulullah Saw. Kemudian Rosulullah Saw menyuruh Bilal untuk naik di atas kabah
dan menyerukan kalimat tauhid. Bilal menyerukan adzan dengan suara yang keras dan
menggetarkan hati setiap orang yang mendengarnya. Ribuan leher manusia melihat ke arah Bilal.
Ribuan lisan manusia yang mengikuti ucapan Bilal dengan hati yang khusyuk.
Pada suatu hari, Najasyi, Raja Habasyah, menghadiahkan tiga tombak pendek yang termasuk
barang-barang paling istimewa miliknya kepada Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam.
Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam mengambil satu tombak, sementara sisanya diberikan
kepada Ali bin Abu Thalib dan Umar ibnul Khaththab, tapi tidak lama kemudian, beliau

memberikan tombak itu kepada Bilal. Sejak saat itu, selama Nabi hidup, Bilal selalu membawa
tombak pendek itu ke mana-mana. Ia membawanya dalam kesempatan dua shalat id (Idul Fitri
dan Idul Adha), dan shalat istisqa (mohon turun hujan), dan menancapkannya di hadapan beliau
saat melakukan shalat di luar masjid. Begitulah sosok Bilal, dia selalu berada di belakang
Rosulullah dalam kondisi apapun. Kecintaannya terhadap Rosulullah Saw pernah membuatnya
terbuai dalam mimpi bertemu dengan Rosul sepeninggal beliau. Dalam mimpinya itu, Rasulullah
Saw berkata kepada Bilal: Bilal, sudah lama kita berpisah, aku rindu sekali kepadamu,
Kemudian Bilalpun menjawab: Ya, Rasulullah, aku pun sudah teramat rindu ingin bertemu dan
mencium harum aroma tubuhmu, kata Bilal masih dalam mimpin-ya. Setelah itu, mimpi
tersebut berakhir begitu saja. Dan Bilal bangun dari tidurnya dengan hati yang gulana. Ia
dirundung rindu. Keesokan harinya, ia menceritakan mimpi tersebut pada salah seorang sahabat
lainnya. Seperti udara, kisah mimpi Bilal bin Rabah segera memenuhi ruangan kosong di hampir
seluruh penjuru kota Madinah. Tak menunggu senja, hampir seluruh penduduk Madinah tahu,
semalam Bilal bermimpi ketemu dengan nabi junjungannya.
Sesaat setelah Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam mengembuskan napas terakhir, waktu
shalat tiba. Bilal berdiri untuk mengumandangkan azan, sementara jasad Rasulullah Shalallahu
alaihi wasallam masih terbungkus kain kafan dan belum dikebumikan. Saat Bilal sampai pada
kalimat, Asyhadu anna muhammadan rosuulullaahi (Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah
utusan Allah), tiba-tiba suaranya terhenti. Ia tidak sanggup mengangkat suaranya lagi. Kaum
muslimin yang hadir di sana tak kuasa menahan tangis, maka meledaklah suara isak tangis yang
membuat suasana semakin mengharu biru.
Sejak

kepergian

Rasulullah

Sholallahu

alaihi

wasallam,

Bilal

hanya

sanggup

mengumandangkan azan selama tiga hari. Setiap sampai kepada kalimat, Asyhadu anna
muhammadan rosuulullaahi (Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah), ia langsung
menangis tersedu-sedu. Sehingga kaum muslimin yang mendengarnya ikut larut dalam tangisan
pilu. Karena itulah kemudian Bilal memohon kepada Abu Bakar, sang khalifah yang
menggantikan posisi Rasulullah Sholallahu alaihi wasallam sebagai pemimpin, agar
diperkenankan tidak mengumandangkan azan lagi, karena tidak sanggup melakukannya. Selain
itu, Bilal juga meminta izin kepadanya untuk keluar dari kota Madinah dengan alasan berjihad di
jalan Allah dan ikut berperang ke wilayah Syam.

Awalnya, ash-Shiddiq merasa ragu untuk mengabulkan permohonan Bilal sekaligus


mengizinkannya keluar dari kota Madinah, namun Bilal mendesaknya seraya berkata, Jika dulu
engkau membeliku untuk kepentingan dirimu sendiri, maka engkau berhak menahanku, tapi jika
engkau telah memerdekakanku karena Allah, maka biarkanlah aku bebas menuju kepada-Nya.
Kemudian Abu Bakar menjawab, Demi Allah, aku benar-benar membelimu untuk Allah, dan
aku memerdekakanmu juga karena Allah.. Mendengar jawaban Abu Bakar, Bilalpun segera
menyahut, Kalau begitu, aku tidak akan pernah mengumandangkan azan untuk siapa pun
setelah Rasulullah Sholallahu alaihi wasallam wafat. Akhirnya Abu Bakar menjawab,
Baiklah, aku mengabulkannya. Bilal pergi meninggalkan Madinah bersama pasukan pertama
yang dikirim oleh Abu Bakar. Ia tinggal di daerah Darayya yang terletak tidak jauh dari kota
Damaskus. Bilal benar-benar tidak mau mengumandangkan azan hingga kedatangan Umar ibnul
Khaththab ke wilayah Syam, yang kembali bertemu dengan Bilal Rodhiallahu anhu setelah
terpisah cukup lama. Pada saat itu khalifah Umar bin Khattab baru saja menerima kunci kota
Yerussalem. Dalam pertemuan tersebut khalifah Umar bin Khattab meminta kepada Bilal untuk
mau mengumandangkan adzan dan akhirnya Bilalpun mau menuruti permintaan sang khalifah.
Mendengar Bilal menyuarakan adzan, kaum musliminpun merasa sangat terharu, bahkan Umar
tidak dapat menahan dirinya untuk tidak menangis tersedu-sedu. Suara Bilal membangkitkan
segenap kerinduan mereka kepada masa-masa kehidupan yang dilewati di Madinah bersama
Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam. BiIal adalah pengumandang seruan langit itu.
Peristiwa tersebut merupakan adzan terakhir yang diperdengarkan oleh suara merdu dan syahdu
Bilal bin Rabah di hadapan kaum muslimin. Bilal tetap tinggal di Damaskus hingga akhir
hayatnya. Menjelang kematiannya untuk menghadap sang Khalik, Bilal seringkali mengucapkan
kata-kata secara secara beulang-ulang, kata tersebut adalah:
Esok

kita

bersua

Muhammad
Esok

dengan

orang-orang

dan
kita

bersua

dengan

terkasih
sahabat-sahabatnya

orang-orang

terkasih

Muhammad dan sahabat-sahabatnya


Demikianlah kisah seorang Bilal, keteguhan, ketegaran dan keyakinannya akan ajaran
kebenaran, telah mengangkat derajadnya dan menjadikannya seorang mulia di sisi Allah dan

rosulnya meskipun dia berasal dari seorang budak hitam yang hina dan fakir. Sebuah kisah
teladan bagi kita semua[1].

Khulafaurrasyidin ialah para khalifah yang arif bijaksana. Merekalah pengganti Rasulullah Saw,
sebagai pemimpin tertinggi kaum muslimin karena sepak terjang mereka mencontoh Nabi
Muhammad

Saw.

Juga arah tujuannya, yaitu membawa umat mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat
kelak

1. Abu

Bakar

Ash-Shiddiq

(Th.11-13

H/632-634

M)

Ia dilahirkan dua tahun satu bulan setelah kelahiran Nabi Muhammad.


Nama aslinya Abdullah bin Ab Quhafah. Kemudian terkanal dengan
sebutan Abu Bakar. Sedang gelar Ash-Shiddiq diberikan oleh para
sahabat

karena

ia

sangat

membenarkan

Rasulullah

Saw.

Sejak muda Abu Bakar memang sudah akrab dengan Rasulullah. Dialah
yang menemani Nabi Muhammad di Gua Hira' dan dialah yang pertama
kali masuk Islam dari kalangan orang tua terhormat. Sewaktu Nabi
sakit ia dipercaya para sahabat menjadi Imam Sholat. Maka pantaslah
bila kaum muslimin memilihnya sebagai Khalifah pertama setelah
baginda

Rasulullah

wafat.

Tugas pertama yang dilaksanakan sebagai Khalifah, yaitu memerangi


orang-orang murtad. Sepeninggal Rasulullah memang banyak kaum
muslimin

yang

kembali ke

agamanya

semula.

Karena Nabi

Muhammad, pimpinan mereka, sudah wafat, mereka merasa berhak


berbuat sekehendak hati. Bahkan muncul orang-orang yang mengaku
Nabi, antara lain Musailamah Al-Kadzab, Thulaiha Al-Asadi, dan AlAswad

Al-Ansi

Kemurtadan saat itu terjadi di mana-mana dan menimbulkan

kekacauan. Untuk itu Abu Bakar mengirim 11 pasukan perang dengan


11 daerah tujuan. Antara lain, pasukan Khalid bin Walid ditugaskan
menundukkan Thulaiha Al-Asadi, pasukan 'Amer bin Ash ditugaskan di
Qudhla'ah. Suwaid bin Muqrim ditugaskan ke Yaman dan Khalid bin
Said

ditugaskan

ke

Syam

Selanjutnya, atas usul Umar bin Khatab, Abu Bakar memproyekkan


pengumpulan dan penulisan ayat Al-Qur'an dengan menunjuk Zaid bin
Tsabit

sebagai

pelaksananya.

Hal

ini

dilakukan

mengingat

a. Banyak sahabat yang hafal Al-Qur'an gugur dalam perang


penumpasan

orang-orang

murtad.

b. Ayat-ayat Al-Qur'an yang ditulis pada kulit-kulit kurma, batu-batu,


dan kayu sudah banyak yang rusak sehingga perlu penyelamatan.
c. Pembukuan Al-Qur'an ini mempunyai tujuan agar dapat dijadikan
pedoman

bagi

umat

Islam

sepanjang

masa.

Disamping itu, Abu Bakar memperluas daerah dakwah Islamiyah,


antara lain ke Irak yang masa itu termasuk wilayah jajahan Persi dan ke
Syam yang dibawah kekuasaan Rum. Setelah memerintah selama dua
tahun, Abu Bakar pulang ke Rahmatullah pada tanggal 23 Jumadil
Akhir 13 H. Dalam usia 63 tahun dan dimakamkan dekat makam
Rasulullah Saw. Beliau dikenang oleh para sahabat sebagai khalifah
yang sangat taat kepada Allah dan Rasul-Nya serta berbudi luhur, tidak
sombong dan amat sederhana.
2. Umar

Bin

Khatab

(Th.13-23

H/634-644

M)

Ia lebih muda 13 tahun dari Nabi Muhammad Saw. Sejak kecil ia sudah
terkenal sangat cerdas dan pemberani. Tidak pernah takut menyatakan
kebenaran di depan siapa pun. Tidaklah mengherankan setelah
masuknya Umar ke dalam barisan orang muslim. Ia yang sebelum
memeluk Islam paling berani menentang Islam, setelah masuk Islam
paling

berani

menghancurkan

musuh

Islam.

Kemudian terkenallah Umar sebagai "Singa Padang Pasir", sangat

disegani. Ia sangat tegas dalam mengatakan kebenaran. Oleh karenanya


digelari oleh masyarakat Al-Faruq, artinya yang dengan tegas
membedakan antara yang benar dan yang salah . Sedemikian gigihnya
Umar dalam menegakkan Syariat Islam sampai Abdullah bin Mas'ud
mengatakan

"Sejak

Islamnya

Umar

kami

merasa

mulia,"

(HR.Bukhari)
Pada masa pemerintahan Khalifah Umar, wilayah Islam semakin
meluas sampai ke Mesir, Irak, Syam, dan negeri-negeri Persi lainnya.
Beliaulah

yang

pertama

membentuk

badan

kehakiman

dan

menyempurnakan usaha Abu Bakar dalam membukukan Al-Qur'an.


Khalifah Umar wafat pada usia 63 tahun setelah memerintah selama 10
tahun 6 bulan oleh tikaman pedang Abu Lu'lu'ah, seorang budak milik
Al-Mughirah bin Syu'bah. Dikenang umat Islam sebagai pahlawan
yang sangat sederhana dan sportif. Kata-kata beliau yang sangat
terkenal, "Siapa yang melihat pada diriku membelok, maka hendaklah
ia meluruskannya". Selain itu, beliau dikenal sangat menyayangi
rakyat.
3. Ustman

Bin

Affan

(Th.23-35

H/644-656

M)

Ia lima tahun lebih muda dari NAbi Muhammad Saw. Sejak muda, ia
memiliki akhlak yang sangat mulia. Ia juga seorang saudagar yang kaya
raya dan pendiam. Ialah yang membeli sumur Raumah untuk dijadikan
sumur umum. Sedemikian banyak amalnya hingga masyarakat
menggelarinya "ghaniyyun Syakir", yaitu orang kaya yang banyak
syukurnya kepada Allah Swt. Sekalipun amat kaya, Ustman tidak
segan-segan turut serta berperang. Ia juga termasuk penulis wahyu yang
terkenal. Karena kebaikan-kebaikannya itulah, ia dikawinkan dengan
putri Nabi yang bernama Ruqaiyah. Setelah Ruqaiyah meninggal, ia
dikawinkan dengan putri Nabi lagi yang bernama Umi Kultsum. Oleh
karenanya digelari "Dzun Nurain", artinya yang mempunyai dua
cahaya.

Langkah-langkah yang ditempuhnya setelah menjafi Khalifah, adalah


mengganti gubernur-gubernur negara taklukan Islam yang ingin
memisahkan

diri

setelah

wafatnya

Umar.

Kemudian

beliau

memperbanyak naskah Al-Qur'an yang sudah dibukukan menjadi tujuh


eksemplar yang antara lain dikirim ke Syam, Yaman, Bahrain, Basrah,
dan

Kufah.

Beliau wafat pada usia 82 tahun setelah memerintah selama 12 tahun.


Meninggal oleh tikaman pedang Humran bin Sudan, saat beliau
membaca Al-Qur'an. Jasa besar beliau memelihara kemurnian AlQur'an sebagaimana yang tersebar sekarang.
4. Ali

Bin

Abi

Thalib

(Th.35-40

H/656-661

M)

:Ia sepupu Nabi Muhammad. Putra dari Abu Thalib. Usianya 32 tahun
lebih muda dari Nabi. Ia mendapat asuhan langsung dari beliau.
Tidaklah mengherankan jika beliaulah dari golongan anak-anak
pertama masuk Islam setelah Nabi diangkat menjadi Rasul. Maka,
pantas bila pengetahuan Ali tentang Islam sangat luas. Juga terkenal
sangat

teguh

dalam

memegang

ajaran

agama.

Pada masa pemerintahan Ali Bin Abi Thalib ini, Islam banyak
mengalami kemunduran. Bermula dari banyaknya pihak yang menuntut
dendam atas terbunuhnya Ustman bin Affan. Terutama dari golongan
Bani Umayyah dan dari kelompok Aisyah, istri Nabi Muhammad Saw.
Suasana tersebut kian memanas dengan adanya kebijaksanaan Khalifah
Ali mengganti sebagian besar pegawai pemerintahan yang telah
diangkat

oleh

Ustman.

Setelah usaha menenangkan banyak golongan yang menuntut balas atas


kematian Khalifah Ustman dengan jalan damai tidak berhasil, maka
ditempuhlah peperangan. Pertama, terjadi perang Waq'atul Jamali atau
peperangan unta antara pasukan Khalifah Ali dengan pasukan Aisyah.
Perang saudara ini terjadi pada tahun 36 H/657 M akibat hasutan
Abdullah bin Saba'. Dalam perang ini, pasukan Ali memperoleh

kemenangan. Aisyah dikembalikan ke Madinah dengan hormat dan


dimuliakan.
Perang kedua yang terjadi antara pasukan Khalifah Ali dengan pasukan
golongan Umaiyyah yang dipimpin oleh Amer bin Ash. Perang ini
dinamakan perang Shiffin, terjadi di dekat Sungai Furat (Ifrat) pada
tahun 36 H/658 M. Menjelang kekalahannya, Amer bin Ash mengajak
pasukan Ali ke meja perundingan. Siasat Amer bin Ash ini berhasil.
Khalifah Ali berhasil dicopy dari jabatannya dan diangkatlah
Muawiyah.
Khalifah Ali wafat pada usia 63 tahun, setelah memerintah selama 5
tahun. Ia terbunuh oleh Abdurrahman bin Muljim, seorang dari aliran
Khawarij, yaitu aliran yang tidak memihak pada Khalifah Ali, juga
tidak merencanakan pembunuhan terhadap Khalifah Ali, Muawiyah dan
Amer bin Ash. Mereka berargumentasi, jika ketiga pemimpin tersebut
terbunuh, umat Islam dapat dipersatukan.

ABDULLAH BIN MASUD


Pemuda Pemberani, Pelantun Al-Quran dihadapan Kaum Kafir
Abdullah bin Masud adalah Sahabat Nabi Muhammad SAW. Abdullah bin Masud termasuk
dalam golongan pertama yang masuk Islam (as-sabiquna al-awalun). Ia memiliki kepandaian
dan pengetahuan yang mendalam tentang Islam. Ia memperoleh umur yang panjang dan hidup
hingga masa Khalifah Utsman bin Affan dan meninggal yang disebabkan usia yang tua.
Masyarakat di sekitarnya memanggilnya Ibn Umm Abd atau putra dari budak wanita. Namanya
sendiri adalah Abdullah dan nama ayahnya adalah Masud. Dia adalah sahabat Rasulullah SAW
yang ketika kecil merupakan penggembala kambing milik salah satu ketua adat Bani Quraisy
bernama Uqbah bin Muayt.

Suatu hari, ia mendengar kabar tentang kenabian Rasulullah. Namun Abdullah tidak tertarik dan
tidak ingin tahu mengingat usianya yang masih kecil. Selain itu, ia memang jauh dari komunitas
masyarakat Makkah, karena pekerjaannya sebagai penggembala kambing, yang terbiasa
berangkat pagi dan pulang petang hari.
Suatu hari, ketika ia tengah menjaga ternaknya, ia melihat dua orang pria paruh baya bergerak
mendekatinya dari kejauhan. Mereka terlihat lelah, dan sangat kehausan. Mereka kemudian
berjalan ke arahnya, memberikan salam dan memintanya memerah susu kambing yang ia
gembalakan sehingga mereka dapat minum. Namun Abdullah berkata ia tidak bisa
memberikannya kepada mereka. Kambing-kambing ini bukan milikku, saya hanya
memeliharanya, ujarnya jujur. Mendapat jawaban seperti itu, kedua pria ini tidak memberikan
bantahan. Meskipun mereka sangat kehausan, namun mereka sangat senang dengan jawaban
jujur dari sang bocah penggembala ini. Kegembiraan ini terlihat jelas dari wajah mereka. Di
lubuk hati Abdullah, ia juga mengagumi tamunya.
Kedua pria tadi tidak memungkiri apa yang dikatakan oleh bocah ini, dan tampak dari wajahnya
bahwa mereka menerima alasan bocah itu. Lalu salah seorang di antara mereka berkata kepada
bocah tadi, Tunjukkan kepadaku seekor domba jantan! Maka bocah tersebut menunjuk ke arah
seekor domba kecil yang ada di dekatnya. Lalu pria tadi menghampiri dan menangkapnya. Ia
mengusap puting kambing dengan tangannya sambil membaca nama Allah. Bocah tadi
mengamati apa yang dilakukan pria ini dengan penuh keheranan. Bagaimana mungkin seekor
domba jantan kecil dapat mengeluarkan susu?! gumamnya.
Akan tetapi, puting susu kambing itu tiba-tiba menggelembung, lalu keluarlah susu yang begitu
banyak darinya. Lalu pria yang lain mengambil sebuah batu kering dari tanah. Kemudian batu
tersebut diisinya dengan susu. Dan keduanya minum dengan batu tersebut. Lalu keduanya
memberikan susu itu kepadaku untuk diminum. Aku hampir saja tidak mempercayai apa yang
baru saja kulihat. Setelah kami merasa puas. Pria yang mendapatkan berkah dengan susu
kambing tadi berkata: Berhentilah! Maka berhentilah susu tersebut sehingga puting kambing
kembali seperti sedia kala.

Pada saat itu, aku berkata kepada manusia yang penuh berkah tadi: Ajarkan aku ucapan yang
kau baca tadi! Ia menjawab: Engkau adalah seorang bocah yang terpelajar! Peristiwa
tersebut adalah awal mula Abdullah bin Masud mengenal Islam. Karena pria yang penuh berkah
tadi tiada lain adalah Rasulullah SAW, dan sahabat yang menyertainya saat itu adalah Abu Bakar.
Pada hari itu mereka berdua pergi menuju lereng-lereng Makkah, karena menghindari
penyiksaan oleh suku Quraisy. Tak lama berselang dari peristiwa itu, Abdullah bin Masud
menyatakan masuk Islam dan menyerahkan dirinya kepada Rasulullah SAW untuk membantu
Beliau. Maka Rasulullah SAW menjadikan dia sebagai pembantunya.
Abdullah bin Masud menerima pelatihan kerumahtanggaan yang istimewa dari Rasul. Dia
senantiasa berada di bawah pengawasan Rasul, karenanya ia meniru semua kebiasaan dan
mengikuti setiap apa yang dikerjakan Rasulullah.
Kepribadian beliau :
Beliau adalah sahabat Rasulullah yang sangat lembut, sabar dan cerdik. Abdullah termasuk
ulama pandai, sehingga dikatakan sebagai al-Imam al-Hibr (pemimpin yang alim, yang saleh).
Faqihu al-Ummah (Fakihnya umat). Ia termasuk bangsawan mulia, termasuk sebaik-baik
manusia dalam berpakaian putih.
Beliau adalah sahabat yang senang dengan ilmu, baik menimba ilmu atau mengamalkannya.
Sehingga dinyatakan, bahwa di awal keislamannya, yang dinginkan adalah diajari Al-Quran.
Sehingga dalam suatu pertemuan dengan Rasulullah berkat kecemerlangan akalnya lansung bisa
menimba ilmu dari lisan Rasulullah sebanyak 70 ayat. Karena senangnya terhadap ilmu, bahwa
orang yang pertama kali men-jahr-kan Al-Quran di Makkah setelah Rasulullah adalah Ibnu
Masud. Dan orang yang pertama kali membaca dari lubuk hatinya adalah Abdullah bin Masud.
Sesungguhnya Rasulullah pernah berjalan dengan Ibnu Masud, sedang Ibnu Masud membaca
ayat satu huruf-satu huruf. Maka beliau bersabda, Barang siapa senang membaca Al-Quran
dengan cara yang baik (merendahkan diri) sebagaimana diturunkan, maka dengarkanlah
bacaan Ibnu Masud.

Dan masih banyak riwayat yang lain tentang pujian Rasulullah terhadap Ibnu Masud. antara lain
:
-

Hudzaifah berkata, Sungguh orang-orang pilihan (yang terjaga) dari para sahabat,

mereka mengetahui bahwa Abdullah bin Masud adalah termasuk sahabat yang lebih dekat
dengan Nabi di sisi Allah. (HR.Hakim)
-

Kedua kaki Ibnu Masud lebih berat dari gunung Uhud dalam timbangan hari kiamat.

Dari Ali, ia berkata, Rasulullah menyuruh Ibnu Masud memanjat pohon untuk mengambil
sesuatu. Maka tatkala para sahabat melihat dua betisnya yang kecil, mereka tertawa. Kemudian
Rasulullah bersabda, Apa yang kamu tertawakan ? Sungguh kaki Abdullah lebih berat dari
pada Gunung Uhud pada hari kiamat. (HR.Ahmad)
-

Beliau adalah pembawa siwak dan kedua sandal Rasulullah. Ia adalah sahabat yang

membangunkan Rasulullah tatkala tidur dan mengambilkan wudhunya. Semua ini ia lakukan
waktu safar.
-

Abdullah bin Masud mendengar tasbihnya makanan.

Beliau adalah sahabat yang menyerupai Nabi dalam hal ketenangan dan wibawanya.

Ia adalah orang yang pertama kali mengumandangkan Al-Quran dengan suara merdu.
Di kemudian hari setelah masuk Islam, ia tampil di depan majelis para bangsawan di sisi Kabah,
sementara semua pemimpin dan pemuka Quraisy duduk berkumpul, lalu berdiri di hadapan
mereka dan mengumandangkan suaranya yang merdu dan membangkitkan minat, berisikan
wahyu Ilahi Al-Quranul Karim:
Bismillahirrahmaanirrahiim
Allah
Yang

yang

Maha

telah

Rahman

mengajarkan

Menciptakan
Dan
Matahari

Al-Quran
insan

menyampaikan
dan

padanya
bulan

beredar

penjelasan
menurut

Perhitungan
Sedang

bintang

dan

kayu-kayuan

sama

Sujud kepada Tuhan


Lalu di lanjutkannya bacaanya, sementara pemuka-pemuka Quraisy sama terpesona, tidak
percaya akan pandangan mata dan pendengaran telinga mereka dan tak tergambar dalam
fikiran mereka bahwa orang yang menantang kekuasaan dan kesombongan mereka, tidak lebih
dari seorang upahan di antara mereka, dan pengembala kambing dari salah seorang bangsawan
Quraisy yaitu Abdullah bin Masud, seorang yang miskin yang hina dina!
Marilah kita dengan keterangan dari saksi mata melukiskan peristiwa yang amat menarik dan
menakjubkan itu! Orang itu tiada lain dari Zubair ra katanya:
Yang mula-mula mendaras Al-Quran di Mekah setelah Rasulullah SAW adalah Abdullah bin
Masud ra, pada suatu hari para sahabat Rasulullah SAW berkumpul, kata mereka, Demi Allah
orang-orang Quraisy belum lagi mendengar sedikitpun Al-Quran ini dibaca dengan suara keras
di hadapan mereka. Nah, siapa diantara kita yang bersedia mendengarkannya kepada
mereka?
Maka kata Abdullah bin Masud, Saya. Kata mereka, Kami khawatir akan keselamatan
dirimu! Yang kami inginkan adalah seorang laki-laki yang mempunyai kerabat yang akan
mempertahankan dari orang-orang itu jika mereka bermaksud jahat Biarkanlah saya!kata
Abdullah bin Masud pula, Allah pasti membela.
Maka datanglah Abdullah bin Masud kepada kaum Quraisy di waktu Dhuha, yakni ketika
mereka

berada

di

balai

pertemuannya

Ia

berdiri

di

panggung

lalu

membaca

Bismillahirrahmaanirrahiimi dan dengan mengeraskannya suaranya; Arrahmanallamal


Quran
Lalu sambil menghadap kepada mereka diteruskanlah bacaannya. Mereka memperhatikannya
sambil bertanya sesamanya, Apa yang di baca oleh anak si UmmuAbdin itu? Sungguh, yang
dibacanya itu ialah yang dibaca oleh Muhammad!

Mereka bangkit mendatanginya dan memukulinya, sedang Abdullah bin Masud membacanya
sampai batas yang dikehendaki Allah Setelah itu dengan muka dan tubuh yang babak belur ia
kembali kapada para sahabat. Kata mereka, Inilah yang kami khawatirkan tentang dirimu!
Ujar Abdullah bin Masud, Sekarang ini tak ada yang lebih mudah bagiku dari menghadapi
musuh-musuh Allah itu! Dan seandainya tuan-tuan menghendaki, saya akan mendatangi mereka
lagi dan berbuat yang sama esok hari! Ujar mereka, Cukuplah demikian! Kamu telah
membacakan kepada mereka barang yang menjadi tabu bagi mereka!
Keberanian Beliau
Abdullah bin Masud masuk Islam sebelum masuknya Rasulullah ke Darul Arqam. Ia ikut
perang Badar, Uhud, Khandaq dan perang lainnya. Semuanya dilakukan bersama Rasulullah.
Pada perang Badar Rasulullah bersabda, siapa yang mau datang kepadaku dengan membawa
kabar Abu Jahal? Maka Abdullah bin Masud menjawab, Saya ya Rasulullah. : lantas ia
pergi. tiba-tiba dijumpai dua anak Afra telah memukul abu Jahal sehingga pingsan. Kemudian
Abdullah menginjak leher Abu Jahal dengan kakinya dan ditebasnya kepala Abu Jahal. Kepala
Abu Jahal kemudian dibawa ke hadapan Rasulullah dan Abdullah bin Masud berkata, Ya
Rasulullah inilah kepala Abu Jahal.
Maka Rasulullah bersabda,
Allah yang tiada ilah kecuali Dia (3x). kemudian beliau melanjutkan, Allah Maha Besar,
segala puji bagi Allah yang telah benar janji-Nya dan telah menolong Hamba-Nya, serta
mengalahkan golongan-golongan. (Fathul Bari dan Zadul Maad)
Wafatnya
Abdullah bin Masud masih hidup hingga masa khilafah Utsman bin Affan ra. Saat ia mendekati
ajalnya, Utsman menjenguknya lalu bertanya, Apa yang kau keluhkan? Ia menjawab: Dosadosaku. Utsman bertanya: Apa yang kau inginkan? Ia menjawab: Rahmat Tuhanku.
Utsman bertanya: Apakah engkau menginginkan jatahmu yang selalu kau tolak sejak bertahuntahun lalu?Aku tidak memerlukannya. Utsman berkata: Itu akan bermanfaat bagi putriputrimu sepeninggalmu nanti Ia berkata, Apakah engkau khawatir anak-anakku menjadi

faqir? Aku telah memerintahkan mereka untuk membaca surat Al-Waqiah setiap malam. Aku
pernah mendengar sabda Rasul SAW: Siapa yang membaca surat Al-Waqiah setiap malam,
maka ia tidak akan terkena kefakiran untuk selamanya. Ia menjawab:
Beliau Wafat di Madinah pada tahun 32 H , dalam usia 60 tahun lebih. Jenazahnya dishalatkan
oleh ribuan kaum muslimin; termasuk didalamnya Zubair bin Awwam, Ammar bin Yasir. Beliau
kembali kepangkuan Ilahi. Lisannya basah dengan zikir kepada Allah. Pada malam wafatnya, ia
langsung dimakamkan di Baqi sebuah pekuburan di Madinah Al-Munawwarah. Semoga Allah
meridhainya dan merahmatinya.

Abu Dzar Al Ghifari


Minggu, 16 Mei 2010 22:02
Nama aslinya adalah Jundub bin Junadah bin Sakan, tetapi dia dikenal dengan sebutan Abu Dzar
al-Ghiffari. Dia adalah sahabat Rasulullah yang berasal dari suku ghiffar dan termasuk golongan
orang yang pertama masuk Islam. Sebelum menjadi seorang muslim, Abu Dzar dikenal sebagai
seorang perampok yang suka merampok para kabilah yang pedagang yang melewati padang
pasir. Suku Ghiffar memang sudah dikenal sebagai binatang buas malam dan hantu kegelapan.
Jika bertemu dengan mereka, jarang sekali orang yang selamat dari perampokan.
Abu Dzar Al-Ghifari adalah salah seorang sahabat Rasulullah Saw yang paling tidak disukai
oleh oknum-oknum Bani Umayyah yang mendominasi pemerintahan Khalifah Utsman, seperti
Marwan bin Al-Hakam, Muawiyyah bin Abu Sufyan dan lain-lain.
Ia mempunyai sifat-sifat pemberani, terus terang dan jujur. Ia tidak menyembunyikan sesuatu
yang menjadi pemikiran dan pendiriannya.
Ia mendapat hidayat Allah Swt dan memeluk Islam di kala Rasulullah Saw menyebarkan
dakwah risalahnya secara rahasia dan diam-diam. Ketika itu Islam baru dipeluk kurang lebih

oleh 10 orang. Akan tetapi Abu Dzar tanpa menghitung-hitung resiko mengumumkan secara
terang-terangan keislamannya di hadapan orang-orang kafir Quraisy. Sekembalinya ke daerah
pemukimannya dari Mekah, Abu Dzar berhasil mengajak semua anggota qabilahnya memeluk
agama Islam. Bahkan qabilah lain yang berdekatan, yaitu qabilah Aslam, berhasil pula di
Islamkan.
Demikian gigih, berani dan cepatnya Abu Dzar bergerak menyebarkan Islam, sehingga
Rasulullah Saw sendiri merasa kagum dan menyatakan pujiannya. Terhadap Bani Ghifar dan
Bani Aslam, Nabi Muhammad Saw dengan bangga mengucapkan: "Ghifar, Allah telah
mengampuni dosa mereka! Aslam, Allah menyelamatkan kehidupan mereka!"
Sejak menjadi orang muslim, Abu Dzar benar-benar telah menghias sejarah hidupnya dengan
bintang kehormatan tertinggi. Dengan berani ia selalu siap berkorban untuk menegakkan
kebenaran Allah dan Rasul-Nya.Tanpa tedeng aling-aling ia bangkit memberontak terhadap
penyembahan berhala dan kebatilan dalam segala bentuk dan manifestasinya. Kejujuran dan
kesetiaan Abu Dzar dinilai oleh Rasulullah Saw sebagai "cahaya terang benderang."
Pada pribadi Abu Dzar tidak terdapat perbedaan antara lahir dan batin. Ia satu dalam ucapan dan
perbuatan. Satu dalam fikiran dan pendirian. Ia tidak pernah menyesali diri sendiri atau orang
lain, namun ia pun tidak mau disesali orang lain. Kesetiaan pada kebenaran Allah dan Rasul-Nya
terpadu erat degan keberaniannya dan ketinggian daya-juangnya. Dalam berjuang melaksanakan
perintah Allah Swt dan Rasul-Nya, Abu Dzar benar-benar serius, keras dan tulus. Namun
demikian ia tidak meninggalkan prinsip sabar dan hati-hati.
Pada suatu hari ia pernah ditanya oleh Rasulullah Saw tentang tindakan apa kira-kira yang akan
diambil olehnya jika di kemudian hari ia melihat ada para penguasa yang mengangkangi harta
ghanimah milik kaum muslimin. Dengan tandas Abu Dzar menjawab: "Demi Allah, yang
mengutusmu membawa kebenaran, mereka akan kuhantam dengan pedangku!"
Menanggapi sikap yang tandas dari Abu Dzar ini, Nabi Muhammad Saw sebagai pemimpin yang
bijaksana memberi pengarahan yang tepat. Beliau berkata: "Kutunjukkan cara yang lebih baik
dari itu. Sabarlah sampai engkau berjumpa dengan aku di hari kiamat kelak!" Rasulullah Saw

mencegah Abu Dzar menghunus pedang. Ia dinasehati berjuang dengan senjata lisan.
Sampai pada masa sepeninggal Rasulullah Saw, Abu Dzar tetap berpegang teguh pada nasehat
beliau. Di masa Khalifah Abu Bakar gejala-gejala sosial ekonomi yang dicanangkan oleh
Rasulullah Saw belum muncul. Pada masa Khalifah Umar bin Khattab, berkat ketegasan dan
keketatannya dalam bertindak mengawasi para pejabat pemerintahan dan kaum muslimin,
penyakit berlomba mengejar kekayaan tidak sempat berkembang dikalangan masyarakat. Tetapi
pada masa-masa terakhir pemerintahan Khalifah Utsman bin Affan, penyakit yang
membahayakan kesentosaan umat itu bermunculan laksana cendawan dimusim hujan. Khalifah
Utsman bin Affan sendiri tidak berdaya menanggulanginya. Nampaknya karena usia Khalifah
Utsman. sudah lanjut, serta pemerintahannya didominasi sepenuhnya oleh para pembantunya
sendiri yang terdiri dari golongan Bani Umayyah.
Pada waktu itu tidak sedikit sahabat Rasulullah Saw yang hidup serba kekurangan, hanya karena
mereka jujur dan setia kepada ajaran Allah dan tauladan Rasul-Nya. Sampai ada salah seorang di
antara mereka yang menggadai, hanya sekedar untuk dapat membeli beberapa potong roti.
Padahal para penguasa dan orang-orang yang dekat dengan pemerintahan makin bertambah kaya
dan hidup bermewah-mewah. Harta ghanimah dan Baitul Mal milik kaum muslimin banyak
disalah-gunakan untuk kepentingan pribadi, keluarga dan golongan. Di tengah-tengah keadaan
seperti itu, para sahabat Nabi Muhammad Saw dan kaum muslimin pada umumnya dapat
diibaratkan seperti ayam mati kelaparan di dalam lumbung padi.
Melihat gejala sosial dan ekonomi yang bertentangan dengan ajaran Islam, Abu Dzar Al-Ghifari
sangat resah. Ia tidak dapat berpangku tangan membiarkan kebatilan merajalela. Ia tidak betah
lagi diam di rumah, walaupun usia sudah menua. Dengan pedang terhunus ia berangkat menuju
Damsyik. Di tengah jalan ia teringat kepada nasihat Rasulullah Saw, jangan menghunus pedang.
Berjuang sajalah dengan lisan! Bisikan suara seperti itu terngiang-ngiang terus di telinganya.
Cepat-cepat pedang dikembalikan kesarungnya.
Mulai saat itu Abu Dzar dengan senjata lidah berjuang memperingatkan para penguasa dan
orang-orang yang sudah tenggelam dalam perebutan harta kekayaan. Ia berseru supaya mereka
kembali kepada kebenaran Allah dan tauladan Rasul-Nya. Pada waktu Abu Dzar bermukim di

Syam, ia selalu memperingatkan orang: "Barang siapa yang menimbun emas dan perak dan tidak
menginfaqkannya di jalan Allah maka beritahukanlah kepada mereka bahwa mereka akan
mendapat siksa yang pedih pada hari kiamat.
Di Syam Abu Dzar memperoleh banyak pendukung. Umumnya terdiri dari fakir miskin dan
orang-orang yang hidup sengsara. Makin hari pengaruh kampanyenya makin meluas. Kampanye
Abu Dzar ini merupakan suatu gerakan sosial yang menuntut ditegakkannya kembali prinsipprinsip kebenaran dan keadilan, sesuai dengan perintah Allah dan ajaran Rasul-Nya.
Muawiyah

bin

Abi

Sufyan,

yang

menjabat

kedudukan

sebagai

penguasa

daerah

Syam, memandang kegiatan Abu Dzar sebagai bahaya yang dapat mengancam kedudukannya.
Untuk membendung kegiatan Abu Dzar, Muawiyyah menempuh berbagai cara guna mengurangi
pengaruh kampanyenya. Tindakan Muawiyyah itu tidak mengendorkan atau mengecilkan hati
Abu Dzar. Ia tetap berkeliling kemana-mana, sambil berseru kepada setiap orang: "Aku sungguh
heran melihat orang yang di rumahnya tidak mempunyai makanan, tetapi ia tidak mau keluar
menghunus pedang!"
Seruan Abu Dzar yang mengancam itu menyebabkan makin banyak lagi jumlah kaum muslimin
yang menjadi pendukungnya. Bersama dengan itu para penguasa dan kaum hartawan yang telah
memperkaya diri dengan cara yang tidak jujur, sangat cemas.
Keberanian Abu Dzar dalam berjuang tidak hanya dapat dibuktikan dengan pedang, tetapi
lidahnya pun dipergunakan untuk membela kebenaran. Di mana-mana ia menyerukan ajaranajaran kemasyarakatan yang pernah didengarnya sendiri dari Rasulullah saw,"Semua manusia
adalah sama hak dan sama derajat laksana gigi sisir," "Tak ada manusia yang lebih afdhal
selain yang lebih besar taqwanya", "Penguasa adalah abdi masyarakat," dan lain sebagainya.
Para penguasa Bani Umayyah dan orang-orang yang bergelimang dalam kehidupan mewah
sangat kecut menyaksikan kegiatan Abu Dzar. Hati nuraninya mengakui kebenaran Abu Dzar,
tetapi lidah dan tangan mereka bergerak diluar bisikan hati nurani. Abu Dzar dimusuhi dan
kepadanya dilancarkan berbagai tuduhan. Tuduhan-tuduhan mereka itu tidak dihiraukan oleh

Abu Dzar. Ia makin bertambah berani.


Pada suatu hari dengan sengaja ia menghadap Muawiyah, penguasa daerah Syam. Dengan
tandas ia menanyakan tentang kekayaan dan rumah milik Muawiyyah yang ditinggalkan di
Mekah sejak ia menjadi penguasa Syam. Kemudian dengan tanpa rasa takut sedikit pun
ditanyakan pula asal-usul kekayaan Muawiyyah yang sekarang! Sambil menuding Abu Dzar
berkata: "Bukankah kalian itu yang oleh Al-Quran disebut sebagai penumpuk emas dan perak,
dan yang akan dibakar tubuh dan mukanya pada hari kiamat dengan api neraka?!"
Betapa pengapnya Muawiyah mendengar kata-kata Abu Dzar yang terus terang itu! Muawiyah
bin Abu Sufyan memang bukan orang biasa. Ia penguasa. Dengan kekuasaan ditangan ia dapat
berbuat apa saja. Abu Dzar dianggap sangat berbahaya. Ia harus disingkirkan. Segera ditulis
sepucuk surat kepada Khalifah Utsman di Madinah. Dalam surat itu Muawiyah melaporkan
tentang Abu Dzar menghasut orang banyak di Syam. Disarankan supaya Khalifah mengambil
salah satu tindakan. Berikan kekayaan atau kedudukan kepada Abu Dzar. Jika Abu Dzar
menolak dan tetap hendak meneruskan kampanyenya, kucilkan saja di pembuangan.
Khalifah Utsman melaksanakan surat Muawiyah itu. Abu Dzar dipanggil menghadap. Kepada
Abu Dzar diajukan dua pilihan: kekayaan atau kedudukan. Menanggapi tawaran Khalifah itu,
Abu Dzar dengan singkat dan jelas berkata: "Aku tidak membutuhkan duniamu!"
Khalifah Utsman masih terus menghimbau Abu Dzar. Dikemukakannya: "Tinggal sajalah
disampingku!"
Sekali lagi Abu Dzar mengulangi kata-katanya: "Aku tidak membutuhkan duniamu!"
Sebagai orang yang hidup zuhud dan taqwa, Abu Dzar berjuang semata-mata untuk menegakkan
kebenaran dan keadilan yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya. Abu Dzar hanya menghendaki
supaya kebenaran dan keadilan Allah ditegakkan, seperti yang dulu telah dilaksanakan oleh
Rasulullah Saw, Khalifah Abu Bakar dan Khalifah Umar.
Memang justru itulah yang sangat sukar dilaksanakan oleh Khalifah Utsman, sebab ia harus

memotong urat nadi para pembantu dan para penguasa bawahannya.


Abu Dzar tidak bergeser sedikit pun dari pendiriannya. Akhirnya, atas desakan dan tekanan para
pembantu dan para penguasa Bani Umayyah, Khalifah Utsman mengambil keputusan:
Abu Dzar harus dikucilkan dalam pembuangan di Rabadzah. Tak boleh ada seorang
pun mengajaknya berbicara dan tak boleh ada seorang pun yang mengucapkan selamat jalan atau
mengantarkannya dalam perjalanan.
Bagi Abu Dzar pembuangan bukan apa-apa. Sedikitpun ia tidak ragu, bahwa Allah Swt selalu
bersama dia. Kapan saja dan dimana saja. Menanggapi keputusan Khalifah Utsman ia berkata:
"Demi Allah, seandainya Utsman hendak menyalibku di kayu salib yang tinggi atau diatas bukit,
aku akan taat, sabar dan berserah diri kepada Allah. Aku pandang hal itu lebih baik bagiku.
Seandainya Utsman memerintahkan aku harus berjalan dari kutub ke kutub lain, aku akan taat,
sabar dan berserah diri kepada Allah. Kupandang, hal itu lebih baik bagiku. Dan seandainya
besok ia akan mengembalikan diriku ke rumah pun akan kutaati, aku akan sabar dan berserah
diri kepada Allah. Kupandang hal itu lebih baik bagiku."
Itulah Abu Dzar Ghifari, pejuang muslim tanpa pamrih duniawi, yang semata-mata berjuang
untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, demi keridhaan Al Khalik. Ia seorang pahlawan
yang dengan gigih dan setia mengikuti tauladan Nabi Muhammad Saw. Ia seorang zahid yang
penuh taqwa kepada Allah dan Rasul-Nya, tidak berpangku tangan membiarkan kebatilan
melanda umat.
Peristiwa dibuangnya Abu Dzar Al Ghifari ke Rabadzah sangat mengejutkan kaum muslimin,
khususnya para sahabat Nabi Muhammad Saw. Imam Ali sangat tertusuk perasaannya. Bersama
segenap anggota keluarga ia menyatakan rasa sedih dan simpatinya yang mendalam kepada Abu
Dzar.

Kisah Dibuangnya Abu Dzar

Padang Pasir
Abu Bakar Ahmad bin Abdul Aziz Al Jauhariy dalam bukunya
As Saqifah, berdasarkan riwayat yang bersumber pada Ibnu
Abbas, menuturkan antara lain tentang pelaksanaan keputusan
Khalifah Utsman di atas:
Khalifah Utsman memerintahkan Marwan bin Al Hakam membawa Abu Dzar berangkat dan
mengantarnya sampai ditengah perjalanan. Tak ada seorang pun dari penduduk yang berani
mendekati Abu Dzar, kecuali Imam Ali, Aqil bin Abi Thalib dan dua orang putera Imam Ali,
yaitu Sayyidina Hasan dan Sayyidina Husein. Beserta mereka ikut pula Ammar bin Yasir.
Menjelang saat keberangkatannya, Sayyidina Hasan mengajak Abu Dzar bercakap-cakap.
Mendengar itu Marwan bin Al-Hakam dengan bengis menegor: "Hai Hasan, apakah engkau
tidak mengerti bahwa Amirul Mukminin melarang bercakap-cakap dengan orang ini? Kalau
belum mengerti, ketahuilah sekarang!"
Melihat sikap Marwan yang kasar itu, Imam Ali tak dapat menahan letupan emosinya. Sambil
membentak ia mencambuk kepala unta yang dikendarai oleh Marwan: "Pergilah engkau dari
sini! Allah akan menggiringmu ke neraka."
Sudah tentu unta yang dicambuk kepalanya itu meronta-ronta kesakitan. Marwan sangat marah,
tetapi ia tidak punya keberanian melawan Imam Ali. Cepat-cepat Marwan kembali menghadap
Khalifah untuk mengadukan perbuatan Imam Ali. Khalifah Utsman meluap karena merasa
perintahnya tidak dihiraukan oleh Imam Ali dan anggota-anggota keluarganya.
Tindakan Imam Ali terhadap Marwan itu ternyata mendorong orang lain berani mendekati Abu
Dzar guna mengucapkan selamat jalan. Diantara mereka itu terdapat seorang bernama Dzakwan
maula Ummi Hani binti Abu Thalib. Dzakwan dikemudian hari Menceritakan pengalamannya
sebagai berikut:
Aku ingat benar apa yang dikatakan oleh mereka. Kepada Abu Dzar, Ali bin Abi Thalib
mengatakan: "Hai Abu Dzar engkau marah demi karena Allah! Orang-orang itu, yakni para

penguasa Bani Umayyah, takut kepadamu, sebab mereka takut kehilangan dunianya. Oleh
karena itu mereka mengusir dan membuangmu. Demi Allah, seandainya langit dan bumi tertutup
rapat bagi hamba Allah, tetapi hamba itu kemudian penuh takwa kepada Allah, pasti ia akan
dibukakan jalan keluar. Hai Abu Dzar, tidak ada yang menggembirakan hatimu selain kebenaran,
dan tidak ada yang menjengkelkan hatimu selain kebatilan!"
Atas dorongan Imam Ali, Aqil berkata kepada Abu Dzar: "Hai Abu Dzar, apa lagi yang hendak
kukatakan kepadamu! Engkau tahu bahwa kami ini semua mencintaimu, dan kami pun tahu
bahwa engkau sangat mencintai kami juga. Bertakwa sajalah sepenuhnya kepada Allah, sebab
takwa berarti selamat. Dan bersabarlah, karena sabar sama dengan berbesar hati. Ketahuilah,
tidak sabar sama artinya dengan takut, dan mengharapkan maaf dari orang lain sama artinya
dengan putus asa. Oleh karena itu buanglah rasa takut dan putus asa."
Kemudian Sayyidina Hasan berkata kepada Abu Dzar: "Jika seorang yang hendak mengucapkan
selamat jalan diharuskan diam, dan orang yang mengantarkan saudara yang berpergian harus
segera pulang, tentu percakapan akan menjadi sangat sedikit, sedangkan sesal dan iba akan terus
berkepanjangan. Engkau menyaksikan sendiri, banyak orang sudah datang menjumpaimu.
Buang sajalah ingatan tentang kepahitan dunia, dan ingat saja kenangan manisnya. Buanglah
perasaan sedih mengingat kesukaran dimasa silam, dan gantikan saja dengan harapan masa
mendatang. Sabarkan hati sampai kelak berjumpa dengan Nabi-mu, dan beliau itu benar-benar
ridha kepadamu."
Kemudian kini berkatalah Sayyidina Husein: "Hai paman, sesungguhnya Allah Swt berkuasa
mengubah semua yang paman alami. Tidak ada sesuatu yang lepas dari pengawasan dan
kekuasaan-Nya. Mereka berusaha agar paman tidak mengganggu dunia mereka. Betapa
butuhnya mereka itu kepada sesuatu yang hendak paman cegah! Berlindunglah kepada Allah
Swt dari keserakahan dan kecemasan. Sabar merupakan bagian dari ajaran agama dan sama
artinya dengan sifat pemurah. Keserakahan tidak akan mempercepat datangnya rizki dan
kebatilan tidak akan menunda datangnya ajal!"
Dengan nada marah Ammar bin Yasir menyambung: "Allah tidak akan membuat senang orang
yang telah membuatmu sedih, dan tidak akan menyelamatkan orang yang menakut-nakutimu.

Seandainya engkau puas melihat perbuatan mereka, tentu mereka akan menyukaimu. Yang
mencegah orang supaya tidak mengatakan seperti yang kau katakan, hanyalah orang-orang yang
merasa puas dengan dunia. Orang-orang seperti itu takut menghadapi maut dan condong kepada
kelompok yang berkuasa. Kekuasaan hanyalah ada pada orang-orang yang menang. Oleh karena
itu banyak orang "menghadiahkan" agamanya masing-masing kepada mereka, dan sebagai
imbalan, mereka memberi kesenangan duniawi kepada orang-orang itu. Dengan berbuat seperti
itu, sebenarnya mereka menderita kerugian dunia dan akhirat. Bukankah itu suatu kerugian yang
senyata-nyatanya?!"
Sambil berlinangan air mata Abu Dzar berkata: "Semoga Allah merahmati kalian, wahai Ahlu
Baitur Rahman! Bila melihat kalian aku teringat kepada Rasulullah Saw. Suka-dukaku di
Madinah selalu bersama kalian. Di Hijaz aku merasa berat karena Utsman, dan di Syam aku
merasa berat karena Muawiyah. Mereka tidak suka melihatku berada di tengah-tengah saudarasaudaraku di kedua tempat itu. Mereka memburuk-burukkan diriku, lalu aku diusir dan dibuang
ke satu daerah, di mana aku tidak akan mempunyai penolong dan pelindung selain Allah Swt
Demi Allah, aku tidak menginginkan teman selain Allah Swt dan bersama-Nya aku tidak takut
menghadapi kesulitan."
Tutur Dzakwan lebih lanjut. Setelah semua orang yang mengantarkan pulang, Imam Ali segera
datang menghadap Khalifah Utsman bin Affan. Kepada Imam Ali, Khalifah bertanya dengan hati
gusar: "Mengapa engkau berani mengusir pulang petugasku --yakni Marwan-- dan meremehkan
perintahku?"
"Tentang petugasmu," jawab Imam Ali dengan tenang "ia mencoba menghalang-halangi niatku.
Oleh karena itu ia kubalas. Adapun tentang perintahmu, aku tidak meremehhannya."
"Apakah engkau tidak mendengar perintahku yang melarang orang bercakap-cakap dengan Abu
Dzar?" ujar Khalifah dengan marah.
"Apakah setiap engkau mengeluarkan larangan yang bersifat kedurhakaan harus kuturut?"
tanggap Imam Ali terhadap kata-kata Khalifah tadi dalam bentuk pertanyaan.

"Kendalikan dirimu terhadap Marwan!" ujar Khalifah memperingatkan Imam Ali.


"Mengapa?" tanya Imam Ali.
"Engkau telah memaki dia dan mencambuk unta yang dikendarainya" jawab Khalifah.
"Mengenai untanya yang kucambuk," Imam Ali menjelaskan sebagai tanggapan atas keterangan
Khalifah Utsman, "bolehlah ia membalas mencambuk untaku. Tetapi kalau dia sampai memaki
diriku, tiap satu kali dia memaki, engkau sendiri akan kumaki dengan makian yang sama.
Sungguh aku tidak berkata bohong kepadamu!"
"Mengapa dia tidak boleh memakimu?" tanya Khalifah Utsman dengan mencemooh. "Apakah
engkau lebih baik dari dia?!"
"Demi Allah, bahkan aku lebih baik daripada engkau!" sahut Imam Ali dengan tandas. Habis
mengucapkan kata-kata itu Imam Ali cepat-cepat keluar meninggalkan tempat.
Beberapa waktu setelah terjadi insiden itu, Khalifah Utsman memanggil tokoh-tokoh kaum
Muhajirin dan Anshar termasuk tokoh-tokoh Bani Umayyah. Di hadapan mereka itu ia
menyatakan keluhannya terhadap sikap Imam Ali. Menanggapi keluhan Khalifah Utsman bin
Affan, para pemuka yang beliau ajak berbicara menasehatkan: "Anda adalah pemimpin dia. Jika
anda mengajak berdamai, itu lebih baik."
"Aku memang menghendaki itu," jawab Khalifah Utsman. Sesudah ini beberapa orang dari
pemuka muslimin itu mengambil prakarsa untuk menghapuskan ketegangan antara Imam Ali
dan Khalifah Utsman. Mereka menghubungi Imam Ali di rumahnya. Kepada Imam Ali mereka
bertanya: "Bagaimana kalau anda datang kepada Khalifah dan Marwan untuk meminta maaf?"
"Tidak," jawab Imam Ali dengan cepat. "Aku tidak akan datang kepada Marwan dan tidak akan
meminta maaf kepadanya. Aku hanya mau minta maaf kepada Utsman dan aku mau datang
kepadanya."
Tak lama kemudian datanglah panggilan dari Khalifah Utsman. Imam Ali datang bersama

beberapa orang Bani Hasyim. Sehabis memanjatkan puji syukur kehadirat Allah Swt, Imam Ali
berkata: "Yang kauketahui tentang percakapanku dengan Abu Dzar, waktu aku mengantar
keberangkatannya, demi Allah, tidak bermaksud mempersulit atau menentang keputusanmu.
Yang kumaksud semata-mata hanyalah memenuhi hak Abu Dzar. Ketika itu Marwan
menghalang-halangi dan hendak mencegah supaya aku tidak dapat memenuhi hak yang telah
diberikan Allah 'Azza wa Jalla kepada Abu Dzar. Karena itu aku terpaksa menghalang-halangi
Marwan, sama seperti dia menghalang-halangi maksudku. Adapun tentang ucapanku kepadamu,
itu dikarenakan engkau sangat menjengkelkan aku, sehingga keluarlah marahku, yang
sebenarnya aku sendiri tidak menyukainya."
Sebagai tanggapan atas keterangan Imam Ali tersebut, Khalifah Utsman berkata dengan nada
lemah lembut,"Apa yang telah kau ucapkan kepadaku, sudah kuikhlaskan. Dan apa yang telah
kaulakukan terhadap Marwan, Allah sudah memaafkan perbuatanmu. Adapun mengenai apa
yang tadi engkau sampai bersumpah, jelas bahwa engkau memang bersungguh-sungguh dan
tidak berdusta. Oleh karena itu ulurkanlah tanganmu!" Imam Ali segera mengulurkan tangan,
kemudian ditarik oleh Khalifah Utsman dan dilekatkan pada dadanya.

Di Pembuangan
Bagaimana keadaan Abu Dzar Al Ghifari di tempat pembuangannya? Ia mati kelaparan bersama
isteri dan anak-anaknya. Ia wafat dalam keadaan sangat menyedihkan, sehingga batu pun bisa
turut menangis sedih!
Menurut

riwayat

tentang

penderitaannya

dan

kesengsaraannya

di

tempat

pembuangan, dituturkan sebagai berikut:


Setelah ditinggal mati oleh anak-anaknya, ia bersama isteri hidup sangat sengsara. Berhari-hari
sebelum akhir hayatnya, ia bersama isteri tidak menemukan makanan sama sekali. Ia mengajak
isterinya pergi kesebuah bukit pasir untuk mencari tetumbuhan. Keberangkatan mereka berdua
diiringi tiupan angin kencang menderu-deru. Setibanya di tempat tujuan mereka tidak

menemukan apa pun juga. Abu Dzar sangat pilu. Ia menyeka cucuran keringat, padahal udara
sangat dingin. Ketika isterinya melihat kepadanya, mata Abu Dzar kelihatan sudah membalik.
Isterinya menangis, kemudian ditanya oleh Abu Dzar: "Mengapa engkau menangis?"
"Bagaimana aku tidak menangis," jawab isterinya yang setia itu, "kalau menyaksikan engkau
mati di tengah padang pasir seluas ini? Sedangkan aku tidak mempunyai baju yang cukup untuk
dijadikan kain kafan bagimu dan bagiku! Bagaimana pun juga akulah yang akan mengurus
pemakamanmu!''
Betapa hancurnya hati Abu Dzar melihat keadaan isterinya. Dengan perasaan amat sedih ia
berkata: "Cobalah lihat ke jalan di gurun pasir itu, barangkali ada seorang dari kaum muslimin
yang lewat!"
"Bagaimana mungkin?" jawab isterinya. "Rombongan haji sudah lewat dan jalan itu sekarang
sudah lenyap!"
"Pergilah kesana, nanti engkau akan melihat," kata Abu Dzar menirukan beberapa perkataan
yang dahulu pernah diucapkan oleh Rasulullah Saw, "Jika engkau melihat ada orang lewat,
berarti Allah telah menenteramkan hatimu dari perasaan tersiksa. Tetapi jika engkau tidak
melihat seorang pun, tutup sajalah mukaku dengan baju dan letakkan aku di tengah jalan. Bila
kaulihat ada seorang lewat, katakan kepadanya: Inilah Abu Dzar, sahabat Rasulullah. Ia sudah
hampir menemui ajal untuk menghadap Allah, Tuhannya. Bantulah aku mengurusnya!"
Dengan tergopoh-gopoh isterinya berangkat sekali lagi ke bukit pasir. Setelah melihat kesanakemari dan tidak menemukan apa pun juga, ia kembali menjenguk suaminya. Di saat ia sedang
mengarahkan pandangan mata ke ufuk timur nan jauh di sana, tiba-tiba melihat bayang-bayang
kafilah lewat, tampak benda-benda muatan bergerak-gerak di punggung unta. Cepat-cepat isteri
Abu Dzar melambai-lambaikan baju memberi tanda. Dari kejauhan rombongan kafilah itu
melihat, lalu menuju ke arah isteri Abu Dzar berdiri. Akhirnya mereka tiba di dekatnya,
kemudian bertanya: "Hai wanita hamba Allah, mengapa engkau di sini?"
"Apakah kalian orang muslimin?" isteri Abu Dzar balik bertanya. "Bisakah kalian menolong

kami dengan kain kafan?"


"Siapa dia?" mereka bertanya sambil menoleh kepada Abu Dzar.
"Abu Dzar Al-Ghifari!" jawab wanita tua itu.
Mereka saling bertanya diantara sesama teman. Pada mulanya mereka tidak percaya, bahwa
seorang sahabat Nabi yang mulia itu mati di gurun sahara seorang diri. "Sahabat Rasulullah?"
tanya mereka untuk memperoleh kepastian.
"Ya, benar!" sahut isteri Abu Dzar.
Dengan serentak mereka berkata: "Ya Allah...! Dengan ini Allah memberi kehormatan kepada
kita!"
Mereka meletakkan cambuk untanya masing-masing, lalu segera menghampiri Abu
Dzar. Orangtua yang sudah dalam keadaan payah itu menatapkan pendangannya yang kabur
kepada orang-orang yang mengerumuninya. Dengan suara lirih ia berkata,"Demi Allah, aku
tidak berdusta, seandainya aku mempunyai baju bakal kain kafan untuk membungkus
jenazahku dan jenazah isteriku, aku tidak akan minta dibungkus selain dengan bajuku sendiri
atau baju isteriku.....Aku minta kepada kalian, jangan ada
seorang pun dari kalian yang memberi kain kafan kepadaku,
jika ia seorang penguasa atau pegawai."
Mendengar pesan Abu Dzar itu mereka kebingungan dan saling
pandang-memandang. Di antara mereka ternyata ada seorang
muslim dari kaum Anshar. Ia menjawab: "Hai paman, akulah yang akan membungkus
jenazahmu dengan bajuku sendiri yang kubeli dengan uang hasil jerih-payahku. Aku mempunyai
dua lembar kain yang telah ditenun oleh ibuku sendiri untuk kupergunakan sebagai pakaian
ihram"
"Engkaukah yang akan membungkus jenazahku? Kainmu itu sungguh suci dan halal.!" Sahut
Abu Dzar.

Makam Abu Dzar


Sambil mengucapkan kata-kata itu Abu Dzar kelihatan lega dan
tentram. Tak lama kemudian ia memejamkan mata, lalu secara
perlahan-lahan menghembuskan nafas terakhir dalam keadaan
tenang berserah diri kehadirat Allah Swt Awan di langit berarakarak tebal teriring tiupan angin gurun sahara yang amat kencang menghempaskan pasir dan debu
ke semua penjuru. Saat itu Rabadzah seolah-olah berubah menjadi samudera luas yang sedang
dilanda taufan.
Selesai dimakamkan, orang dari Anshar itu berdiri di atas kuburan Abu Dzar sambil berdoa: "Ya
Allah, inilah Abu Dzar sahabat Rasulullah Saw, hamba-Mu yang selalu bersembah sujud kepadaMu, berjuang demi keagungan-Mu melawan kaum musyrikin, tidak pernah merusak atau
mengubah agama-Mu. Ia melihat kemungkaran lalu berusaha memperbaiki keadaan dengan
lidah dan hatinya, sampai akhirnya ia dibuang, disengsarakan dan di hinakan sekarang ia mati
dalam keadaan terpencil. Ya Allah, hancurkanlah orang yang menyengsarakan dan yang
membuangnya jauh dari tempat kediamannya dan dari tempat suci Rasulullah!"
Mereka mengangkat tangan bersama-sama sambil mengucapkan "Aamiin" dengan khusyu'.
Orang mulia yang bernama Abu Dzar Al-Ghifari telah wafat, semasa hidupnya ia pernah berkata:
"Kebenaran tidak meninggalkan pembela bagiku..."

Anda mungkin juga menyukai