Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang
Pada saat ini ada kecenderungan penderita dengan gangguan jiwa jumlahnya mengalami

peningkatan. Data hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga (SK-RT) yang dilakukan Badan
Litbang Departemen Kesehatan Republik Indonesia pada tahun 1995 menunjukkan, diperkirakan
terdapat 264 dari 1000 anggota Rumah Tangga menderita gangguan kesehatan jiwa. Dalam
kurun waktu enam tahun terakhir ini, data tersebut dapat dipastikan meningkat karena krisis
ekonomi dan gejolak-gejolak lainnya diseluruh daerah. Bahkan masalah dunia internasionalpun
akan ikut memicu terjadinya peningkatan tersebut.
Studi Bank Dunia (World Bank) pada tahun 1995 di beberapa negara menunjukkan bahwa
hari-hari produktif yang hilang atau Dissabiliiy Adjusted Life Years (DALY's) sebesar 8,1% dari
Global Burden of Disease, disebabkan oleh masalah kesehatan jiwa. Angka ini lebih tinggi dari
pada dampak yang disebabkan penyakit Tuberculosis (7,2%), Kanker (5,8%), Penyakit Jantung
(4,4%) maupun Malaria (2,6%).
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia nomor 18 tahun 2014 kesehatan jiwa adalah
kondisi dimana seorang individu dapat berkembang secara fisik mental spiritual dan sosial
sehingga individu tersebut menyadari kemampuan sendiri dapat mengatasi tekanan dapat bekerja
secara produktif dan mampu memberikan kontribusi bagi komunitas.
Orang dengan masalah kejiwaan (ODMK) adalah orang yang mempunyai masalah fisik,
mental, sosial, pertumbuhan, dan perkembangan, dan / kualitas hidup sehingga memiliki resiko
mengalami gangguan jiwa.
Orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) adalah orang yang mengalami gangguan dalam
pikiran, perilaku, dan perasaan yang termanifestasi dalam bentuk sekumpulan gejala dan atau
perubahan perilaku yang bermakna serta dapat menimbulkan penderitaan dan hambatan dalam
menjalankan fungsi orang sebagai manusia.
Tingginya masalah tersebut menunjukkan bahwa masalah kesehatan jiwa merupakan salah
satu masalah kesehatan masyarakat yang besar dibandingkan dengan masalah kesehatan lainnya
yang ada di masyarakat. Kesehatan Jiwa masyarakat (community mental health) telah menjadi
bagian masalah kesehatan masyarakat (public health) yang dihadapi semua negara.
Salah satu pemicu terjadinya berbagai masalah dalam kesehatan jiwa adalah dampak
modernisasi dimana tidak semua orang siap untuk menghadapi cepatnya perubahan dan
kemajuan teknologi baru. Gangguan jiwa tidak menyebabkan kematian secara langsung namun
akan menyebabkan penderitanya menjadi tidak produktif dan menimbulkan beban bagi keluarga
penderita dan lingkungan masyarakat sekitarnya. Dari data tersebut diatas, kami tertarik untuk
membahas masalah kesehatan jiwa masyarakat sebagai judul makalah kami.

Gambaran Umum
Puskesmas I Denpasar Timur mulai beroperasi tanggal 10 Oktober 1957, berlokasi di Kelurahan
Sumerta tepatnya di jalan Pucuk No. 1 Denpasar Timur. Luas wilayah kerja Puskesmas I Denpasar Timur
adalah 7,509 km2. Luas tanah Puskesmas 1.500 m2 dengan luas bangunan 436 m2 . Tidak terdapat desa
tertinggal maupun desa rawan gondok endemis. Jalan yang ditempuh dapat dilalui oleh segala jenis
kendaraan dan tidak terdapat kendala untuk menjangkau puskesmas. Adapun batas batas wilayah kerja :
a.
b.
c.
d.

Sebelah Utara
Sebelah Timur
Sebelah Selatan
Sebelah Barat

: Kelurahan Tonja
: Kelurahan Kesiman
: Kelurahan Renon dan Panjer
: Desa Dauh Puri Kangin dan Desa Dangri Kangin

Data khusus (data Kesehatan Jiwa 2016)


n
o

nama
desa/kelurahan

Dangin Puri
Dangin Puri
Kelod
Sumerta
Sumerta Kaja
Sumerta Kauh
Sumerta Kelod
Luar Wilayah
Total

2
3
4
5
6
7

Terlayani/
Dikunjungi

Tidak
Ketem
u

Jumla
h

Sudah
0

Belum
0

4
3
4
2
5
0
18

4
6
0
3
2
15
30

2
5
2
1
0
0
10

10
14
6
6
7
15
58

6
5
4
3
2
1
0

41.86 % (18 orang) < 100% dari target penemuan program kesehatan jiwa 43 orang.

Indikator Kesehatan Jiwa


Berbagai kondisi psikososial yang menjadi indikator taraf kesehatan jiwa masyarakat, khususnya
yang berkaitan dengan karakteristik kehidupan di perkotaan (urban mental health) meliputi:
kekerasan dalam rumah tangga ( KDRT ), kasus perceraian, anak remaja putus sekolah, kasus
kriminalitas anak remaja, masalah anak jalanan, promiskuitas, penyalahgunaan Napza dan
dampak nya (hepatitis C,HIV/AIDS dll), gelandangan psikotik serta kasus bunuh diri.
Identifikasi Masalah
1. Jumlah kasus kesehatan jiwa masyarakat terus meningkat
2. Pelayanan kesehatan jiwa di wilayah kerja puskesmas belum optimal.
3. Pelaksanaan program sendiri masih belum sesuai standar.

Prioritas Masalah

Masalah
Kriteria
Tingkat Urgensi (U)

Penemuan Gangguan Jiwa Baru

Penanganan Kasus Gangguan Jiwa

30

125

Tingkat Keseriusan (S)

Tingkat Perkembangan (G)

UxSxG

Secara Penemuan kasus gangguan kesehatan jiwa baru oleh puskesmas sudah melampui target program yaitu 43 kasus.
Penanganan kasus gangguan kesehatan jiwa oleh puskesmas masih dibawah target yaitu 41.86 % (18 orang) < 100% dari target penemuan program kesehatan jiwa
43 orang.
Urgensi prioritas masalah dengan menggunakan kriteria matriks, kami dapatkan nilai 125 untuk Penanganan Kasus Gangguan Jiwa.

Point 5d. Kerangka Konsep

Identifikasi Penyebab Masalah


Kegiatan Pengembangan : Penemuan Gangguan Jiwa Baru & Penanganan Kasus Gangguan Jiwa oleh Puskesmas
No

Variabel Penilaian

Kekuatan

Kelemahan

Sumber daya:
Tenaga

Pelatihan Kader Kesehatan Jiwa

Keterbatasan SDM
Puskesmas masih kurang
baik dari segi kualitas
maupun kuantitas
Dana operasional
puskesmas masih kurang

Biaya
Obat :
Alat sarana dan
prasarana

Lingkungan
fisik
geografi

Non Fisik
Pendidikan masyarakat
Adat Istiadat
Persepsi masyarakat

Peluang

Penyuluhan Informasi
tetang kesehatan jiwa
belum berjalan optimal.

Jumlah Alat, Obat, Sarana dan


Prasarana pelayanan kesehatan
yang memadai.

Adanya Alat, Obat,


Sarana Prasarana yang
mendukung
terlaksananya usaha
kesehatan masyarakat/
Posyandu.

Tempat pelayanan kesehatan yang


mudah dijangkau oleh masyarakat

Masyarakat mampu
datang ke puskesmas
karena lokasi puskesmas
strategis dan mudah
dijangkau.
Masih ada masyarakat yang
belum paham akan
bahayanya kesehatan jiwa

Ancaman

Peningkatan kejadian
kasus kesehatan jiwa
meningkat

No
3

Variabel Penilaian
Perencanaan

Kekuatan

Pelaksanaan

Evaluasi

Kelemahan

Peluang
Kegiatan Puskesmas dan
Posyandu berjalan sesuai
dengan jadwal yang
ditetapkan.

Sudah terjadwalnya pelayanan


Puskesmas dan Posyandu
setiap bulan.
Penyuluhan tentang kesehatan
jiwa tingkatkan untuk kader.
Jumlah tenaga Puskesmas
belum optimal serta
kegiatan lain yang tidak
terjadwal.

Pencapaian target penemuan dan


penanganan kasus kesehatan jiwa
oleh Puskesmas dan Kader

Manusia

Pengetahuan
Sarana Masyarakat

DIAGRAM SEBAB AKIBAT


(Ishikawa/ Fishbone)

Ancaman

Kegiatan penyuluhan
Puskesmas dan di luar
gedung tidak berjalan
sesuai dengan jadwal
yang ditetapkan.
Upaya pencapaian target
penemuan penanganan
kasus kesehatan jiwa
oleh Puskesmas dan
Kader pada tahun
berikutnya.

Metode

Penduduk
Wilayah
Pendatang
Puskesmas Luas
LINGKUNGA

Tingkat Pengetahuan Petugas


Posyandu tentang Kes. Jiwa
Kurang

Pelatihan untuk kader


kesehatan
Pencatatan & Pelaporan Petugas Rendah

Penyuluhan Kesehatan Pd Masy


Tentang Kesehatan Jiwa

Penemuan Kasus Kes. Jiwa o/


Puskesmas dan Kader
Kesehatan
Leaflet untuk Penyuluhan Kesehatan

Brosur

Dana Untuk Penyuluhan


Dana Pelatihan Kader Kesehatan JIwa

Dana Kunjungan Petugas


ke Pasien

DANA

Alternatif Pemecahan Masalah


Beberapa kepustakaan menyebutkan sekitar 50% kasus gangguan jiwa yang lazim,
luput dari perhatian petugas kesehatan di layanan primer (Steven et al., 2001; Hickie and
Davenport, 2001; Kessler et al., 2002). Rendahnya kasus gangguan jiwa yang terdeteksi,
diduga karena adanya hambatan dalam proses deteksi tersebut. Beberapa hambatan dalam
deteksi dini gangguan jiwa pada pusat pelayanan primer dapat dikelompokkan menjadi:
Hambatan yang berasal dari pihak tenaga dokter/kesehatan.
Sebagian besar dokter hanya mendapatkan sedikit pelatihan psikiatrik formal.
Pendidikan kedokteran umum hanya memberikan sedikit kurikulum psikiatri, kurang dari
5% dari total pendidikan kedokteran. Selain itu, pada masa pendidikan tersebut para
mahasiswa lebih banyak berhadapan dengan pasien psikotik yang dirawat inap dibanding
pasien-pasien rawat jalan. Hal ini menyebabkan kurangnya kemampuan untuk
mendiagnosis gangguan jiwa yang ada di masyarakat (Patel, 2003).
Survei yang menilai kebutuhan (Needs assesment survey) menunjukkan bahwa
sebagian besar orang dengan masalah emosional yang serius tidak mencari bantuan
profesional. Tetapi hal tersebut berubah saat orang semakin menerima pandangan bahwa
masalah profesional harus diobati oleh profesional kesehatan mental. Namun demikian,
penolong internal masih paling sering dicari pada saat terjadinya kekacauan emosional.
Selain itu, seseorang yang mencari bantuan profesional lebih mungkin ke dokter pelayanan
primer dibanding ke dokter psikiatrik di beberapa daerah dan juga keterlibatan variabel
yang lain (Kaplan and Sadock, 1996).
Determinan-determinan yang mempengaruhi seseorang mencari bantuan psikiatrik
adalah kelas sosial, pendidikan, budaya, dan jenis kelamin. Kelas sosial dan tingkat
pendidikan yang tinggi cenderung lebih mudah mencari bantuan psikiatrik pada saat
mengalami kekacauan emosional. Faktor budaya, sikap dan perilaku yang terbuka
mempermudah seseorang mencari bantuan psikiatrik. Demikian juga, wanita lebih mungkin
mencari bantuan psikiatrik dibandingkan dengan laki-laki. Penelitian sosiobiologi telah
menemukan bahwa wanita lebih mungkin mengenali masalahnya dibanding laki-laki dan
pengenalan adalah hal utama dalam proses pengambilan keputusan yang membedakan lakilaki dan wanita (Kaplan and Sadock, 1996).
Penelitian awal menunjukkan, ketika pasien datang dengan keluhan psikiatrik,
dokter pada pelayanan primer dengan mudah mengenali gejala psikiatriknya serta
menanggapi dengan baik. Tetapi, keluhan psikiatrik sedikit sekali, hanya sekitar 17 % dari
pasien. Berlawanan dengan keluhan somatik yang sering muncul, kira-kira 83 %, namun
mereka jarang mengetahui dan sering kali mendapat obat yang tidak sesuai dari dokter pada
pelayanan primer (Culpepper, 2003). Para dokter di pelayanan primer lebih terpaku pada
gejala fisik yang ditampilkan oleh pasien saat berobat, sehingga sering terjadi salah

diagnosis dan pemberian terapi yang tidak adekuat (Steven et al, 2001; Maramis dkk,
2003).
Penyebab yang lain adalah adanya persepsi negatif mengenai gangguan jiwa, di
mana dokter khawatir pasien akan merasa dirinya aneh dan akan dikucilkan oleh
masyarakat sekitar apabila ia didiagnosis menderita gangguan jiwa. Persepsi negatif yang
salah tentang terapi juga dapat mengarah pada pesimisme dalam mendiagnosis gangguan
jiwa, karena menganggap bahwa pasien-pasien dengan gangguan jiwa tidak dapat sembuh
dan tidak responsive terhadap terapi.
Di samping itu, masalah pribadi dari dokter itu sendiri yang menghambat proses
pengenalan gangguan, yaitu adanya perasaan tidak nyaman ketika harus menghadapi
masalah yang berhubungan dengan emosi dan adanya masalah interpersonal dari diri dokter
tersebut yang berhubungan dengan kecemasan atau depresi (Maramis dkk, 2003).
Hambatan yang berasal dari pihak pasien.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pasien-pasien dengan gangguan depresi
atau kecemasan pada awalnya menunjukkan keluhan somatik, dan hal itu yang membawa
mereka berobat. Kebanyakan dari mereka tidak menyadari dasar emosional dari
gejalagejala yang mereka alami. Mereka umumnya takut akan stigmatisasi atau takut
menjadi gila sehingga cenderung menolak apabila diberi label menderita gangguan jiwa,
apalagi bila harus dirujuk ke psikiater. Pasien seperti ini sering menolak atau tidak
kooperatif dengan terapi yang diberikan (Eisenberg, 1992; Steven et al, 2001).
Banyak pasien yang tidak memahami konsekuensi negatif dari penyakitnya apabila
tidak ditangani secara tuntas, dan hal ini ikut mempengaruhi kepatuhan berobat (Maramis
dkk, 2003).
Hambatan pada proses konsultasi
Salah satu alat paling penting yang dimiliki oleh dokter adalah kemampuan untuk
melakukan wawancara secara efektif. Wawancara yang dilakukan secara terampil mampu
untuk menggali data yang diperlukan untuk mengerti dan mengobati pasien dan dalam
proses untuk meningkatkan pengertian dan kepatuhan pasien terhadap saran dokter (Kaplan
and Sadock, 1996).
Faktor-faktor yang mempengaruhi isi maupun proses wawancara di antaranya
kepribadian dan gaya karakter dokter sangat mempengaruhi reaksi dan kontak emosional di
mana wawancara dikembangkan; berbagai situasi klinis (ruang gawat darurat, pasien rawat
jalan, bangsal umum, atau bangsal psikiatrik) jenis pertanyaan yang ditanyakan dan
anjuran-anjuran yang ditawarkan; faktor teknis, seperti interupsi telepon, membuat catatan,
fisik ruang, dan kenyamanan ruang; pemilihan waktu melakukan wawancara terhadap
penyakit pasien, isi dan proses wawancara; dan gaya, orientasi, serta pengalamam
pewawancara. Bahkan pemilihan waktu kata seru dapat mempengaruhi apa yang dikatakan
atau yang tidak dikatakan oleh pasien (Kaplan and Sadock, 1996).

Di Puskesmas, banyak pasien yang perlu dilayani pada satu waktu, sehingga
menyebabkan sempitnya waktu untuk pemeriksaan setiap pasien. Di samping itu, tempat
pemeriksaan tidak memungkinkan untuk melakukan pemeriksaan yang lebih pribadi,
sehingga hubungan petugas kesehatan (tenaga dokter /perawat) dengan pasien kurang
terbina dengan baik (Achmad Haryadi, 2001).
Lama konsultasi pada sebagian besar dokter umum berkisar antara 330 menit
dengan rata-rata sekitar 6-7 menit. Para dokter dipelayanan primer menganggap bahwa
untuk dapat mengevaluasi seseorang dengan masalah psikiatri membutuhkan waktu yang
lama. Hal ini membuat dokter cenderung untuk mernggunakan pertanyaan tertutup dalam
mewawancarai pasien untuk mencegah agar pasien tersebut tidak bercerita panjang lebar
dan menghabiskan waktu yang lama (Steven et al, 2001; Patel, 2003).
Mendengarkan dengan penuh perhatian merupakan kunci untuk menegakkan
diagnosis dan memberi terapi, pasien perlu diberi penjelasan mengenai penyakitnya dan
pilihan terapi yang tersedia, efek apa yang diharapkan terjadi dan efek samping apa saja
yang mungkin terjadi. Selain terapi medikamentosa, dalam menangani pasien dengan
masalah psikiatrik juga dibutuhkan konseling psikologis sederhana untuk membantu pasien
dalam mengatasi masalah yang dihadapinya (Bower and Rowland, 2003). Dengan berbagai
hambatan tersebut, maka pasien dengan gangguan jiwa yang berobat di puskesmas manjadi
kurang / tidak terdeteksi oleh petugas pelayanan kesehatan.

DAFTAR PUSTAKA

Achmad Haryadi, 2001. Buku Penuntun Praktis Pelayanan Kesehatan Jiwa. Dirjen. pelayanan
Medik RSJ Pusat Jakarta.
Budi Anna Keliat. (2011). Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas CMHN. EGC :Jakarta.
Culpeper L, 2003 Use of Algoritme to treat Anxiety in Primary care J ClinPsychiatory.
Dadds MR et al. (1997). Prevention and early intervention for anxiety disorders: A controlled
trial. Journal of Consulting and Clinical Psychology, 65(4):627-635.
Detels R et al., eds (2002). Oxford textbook of public health. 3rd ed. Oxford, Oxford University
Press.
Djatmiko, P. (2007). Jurnal Intelijen & Kontra Intelijen Volume III , 16.
Eisenberg L, 1992. Treating Depression and Anxiety in Primary care setting, in Health Afairs.
Kaplan and Sadock, 1996. Synopsis of Psychiatry. Williams & Wilkin, Philadelphia
Kemenkes RI. (2014). Stop stigma dan diskriminasi terhadap Orang Dengan Gangguan Jiwa
(ODGJ). Dipublikasikan pada: Jumat, 10 Oktober 2014 07:40:00. Diunduh Pada :
http://www.depkes.go.id.
Kessler D., Bennewith O., Lewis G, et al, 2002, Detection of Depression and Anxiety in Primary
Care Follow Up Study, in: BMJ, vol.325.
Maramis A, Dharmono, dan Maramis M, 2003, Penanganan Depresi dan Ansietasdi Pelayanan
Primer, Indopsy, Surabaya.
Power, P., Iacoponi, E., Reynolds, N., Fisher, H., Russell, M., Garety, P. A., et al. (2007). The
lambeth early onset crisis assessment team study: General practitioner education and
access to an early detection teamin first-episode psychosis. British Journal Of P
Sychiatry. DOI: 10.1192/bjp.191.51.s133.
Saxena, S. (2005). Prevention of Mental Disorders: Effective Interventions and Policy Options.
Oxford, Oxford University Press.
Steven RE, Trevor R, Norman and Graham D. Burrows, Assesing Anxiety and Depression In
Primary Healt Care, In xajA Practice Essensials, http: //www.com.au. / public / Mental
Healt / articles / ellen. Html.

Stuart, Gail Wiscarz. 1998. Buku Saku Keperawatan Jiwa Edisi 3. Jakarta; EGC Videback,
Sheila.L. 2008. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta; EGC
Townsend, M. C. (2009). Nursing diagnoses in psychiatric nursing: Care plans and psychotropic
medications (7th ed.). Philadelphia: F.A. Davis Company.
Varcarolis M. E., & Halter J. M. (2006). Foundation of psychiatric mental health nursing: a
clinical approach (5th ed.). Canada: Saunders Elsevier & E Volve Learning Sistem.

World Health Organization, & International Council of Nurses. (2007). Atlas: nurses in mental
health 2007. World Health Organization.

Anda mungkin juga menyukai