Sejak diberlakukannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 Tahun 2013 yang mengatur tentang PPh atas
penghasilan dari usaha Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu, banyak sekali pro dan kontra terkait
aturan ini. Banyak kalangan menilai bahwa kebijakan ini kurang menguntungkan bagi pertumbuhan ekonomi
Indonesia yang cukup bergantung pada sektor informal di tengah kelesuan ekonomi dunia. Benarkah demikian?
Pokok pengaturan dalam PP Nomor 46 Tahun 2013 adalah pengenaan PPh dengan tarif sebesar 1% dari peredaran
bruto setiap bulan atas penghasilan dari usaha Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tidak melebihi Rp4,8 Miliar
dalam satu tahun. Banyak pakar yang menyatakan bahwa kebijakan untuk memajaki Wajib Pajak dengan peredaran
bruto tertentu tersebut akan berimbas langsung pada penurunan pertumbuhan ekonomi, apalagi saatnya dinilai tidak
pas karena bersamaan dengan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Beberapa pengusaha bahkan
berencana melakukan uji materi atas ketentuan terbaru ini ke Mahkamah Agung. Suatu hal yang patut disayangkan
apabila kita semua tidak berkepala dingin dalam menyikapi hal ini, sekaligus menyadari bahwa arah dari kebijakan ini
adalah untuk keadilan.
Dalam berbagai kesempatan, Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak A. Fuad Rahmany menyatakan, Buruh-buruh pabrik
yang berpendapatan jauh lebih rendah saja sudah membayar pajak. Lalu, apakah adil bila UKM tidak mau bayar
pajak, padahal omset mereka miliaran dalam setahun?. Satu hal yang sering dilupakan, berdasarkan ketentuan
perpajakan, PPh tidak mengenal pengecualian dalam pemungutannya, kecuali jika jumlah penghasilan Wajib Pajak
dibawah Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).
Lebih lanjut, Dirjen Pajak menjelaskan, UKM harusnya dikenakan pajak 25% dari laba, tapi kami hanya patok 1%
(dari omset). Karena sasaran kami bukan di pinggir-pinggir jalan tapi yang ada di Tanah Abang ataupun Mangga
Dua. Pernyataan ini semakin memperjelas arah kebijakan yang memang ditujukan untuk memberikan kemudahan
dan insentif bagi Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya.
Dalam ketentuan perpajakan, seluruh Wajib Pajak, Badan maupun Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha
atau pekerjaan bebas diwajibkan untuk menyelenggarakan pembukuan, kecuali bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang
melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dengan peredaran bruto dalam satu tahun kurang dari Rp4,8 Miliar
wajib menyelenggarakan pencatatan. Hal ini sesuai dengan prinsip self assessment yang saat ini digunakan dalam
ketentuan perpajakan di Indonesia. Tanpa pembukuan atau pencatatan, mustahil Wajib Pajak dapat mengetahui laba
usahanya, apalagi melaporkan pajaknya dengan benar. Oleh karena itu pemberlakuan PP Nomor 46 Tahun 2013
seharusnya dipandang sebagai fasilitas bagi Wajib Pajak karena memudahkan dalam penghitungan pajaknya.
Dengan hanya melaporkan omset, kemudian membayarkan 1% dari omset tersebut sebagai PPh, Wajib Pajak akan
dipermudah dalam melaporkan pajaknya melalui Surat Pemberitahuan (SPT). Khusus untuk pembayaran dan
pelaporan pajak, Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak telah mengembangkan berbagai kemudahan melalui pembayaran
berbasis elektronik yakni dan e-Filling. Melalui situs Pajak (www.pajak.go.id) atau menghubungi Kring Pajak 500200,
informasi mengenai kemudahan pembayaran dan pelaporan ini dapat diketahui dengan cepat dan jelas.
Penting untuk dipahami bahwa aturan ini merupakan suatu insentif. Pengenaan tarif 1% terhadap omset jauh lebih
kecil jika dibandingkan dengan tarif 25% terhadap laba. Jika diasumsikan bahwa suatu usaha memiliki marjin laba
sekitar 7% dalam setahun, maka pajak yang harus dibayar dengan ketentuan ini adalah 1% dari 7% atau hanya
14,3% dari laba. Bandingkan dengan tarif normal sebesar 25% dari laba.
Selain itu, penting untuk dicermati berbagai pengecualian dalam aturan ini antara lain pengenaan ketentuan PP
Nomor 46 Tahun 2013 tidak ditujukan bagi Wajib Pajak yang menggunakan sarana atau prasarana yang dapat
dibongkar pasang serta menggunakan sebagian atau seluruh tempat untuk kepentingan umum yang tidak
diperuntukkan bagi tempat usaha atau berjualan. Hal ini diperjelas dengan pernyataan Dirjen Pajak bahwa aturan ini
tidak menyasar pelaku usaha seperti para pedagang kaki lima. Oleh karena itu, hilangkan semua keraguan Anda
terhadap aturan perpajakan terbaru ini, dan mulailah menghitung pajak Anda, tentunya demi pembangunan
Indonesia. Bangga Bayar Pajak!
Sektor tekstil dan sepatu menyerap 106.103 tenaga kerja efektif atau 6,2 kali dari daya
serap sektor lainnya setara dengan penyerapan 17.124 tenaga kerja Indonesia per Rp 1
triliun investasi yang dilakukan di sektor tersebut.
Ada pun nilai ekspor industri tekstil pada 2014 mencapai US$ 5,56 miliar dan industri
sepatu US$ 2,99 miliar.
Sumber: http://industri.kontan.co.id/news/tekstil-dan-sepatu-diusulkan-dapat-insentifpajak