Anda di halaman 1dari 11

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1. ANATOMI
2.1.1. Tonsil Secara Umum8,9
Tonsil mulai berkembang pada awal bulan ketiga dari fetus.
Ukuran tonsil bervariasi tergantung pada usia, secara individual, dan status
patologisnya. Pada usia 5-6 tahun, tonsil membesar dengan cepat dan
mencapai ukuran maksimumnya saat pubertas. Pada saat pubertas ini,
ukurannya dapat mencapai 20-25 mm secara vertikal dan berdiameter 1015 mm. Di bagian anterior tonsil, berhubungan dengan muskulus
palatoglossus dan bagian posteriornya dengan muskulus palatopharyngeus.
Di bagian atas, tonsil meregang hingga ke ujung soft palatum.
(A)
(B)

Gambar 2.1. (A) Gambaran anatomis regional secara langsung; (B)


Lukisan anatomi tonsil secara umum8
Pada permukaan lateral, tonsil memiliki kapsul yang terbentuk dari
kondensasi fascia pharyngobasilar. Fascia ini meregang membentuk septa,
sehingga menyediakan ruang untuk dilalui pembuluh darah dan saraf.
2.1.2. Vaskularisasi, Persarafan, dan Aliran Limfa8,9
Arteri yang menyuplai tonsil berasal dari arteri-arteri berikut ini :
a. Arteri tonsillaris

b.
c.
d.
e.

Arteri ascending pharyngeal


Cabang tonsillaris dari arteri fasialis
Cabang dorsal lingual dari arteri lingualis
Cabang-cabang palatina ascending dari arteri fasialis

Gambar 2.2. Pendarahan Arteri Rongga Mulut9


Sedangkan aliran vena keluar melalui pleksus peritonsillaris.
Pleksus ini kemudian keluar ke vena lingualis dan pharyngeal, yang
kemudian masuk ke vena jugularis interna.
Persarafan diinervasi via cabang tonsillaris dari nervus maksillaris
dan nervus glossopharyngeal. Untuk suplai limfatik, tonsil tidak
mempunyai limfatik aferen. Limfatik eferen langsung mengarah ke nodus
jugulodigastric dan nodus upper deep cervical serta secara tidak langsung
melalui nodus limfatikus retropharyngeal.
Gambar 2.3. Aliran Vena dan Limfa Palatum9

2.2. TONSILITIS
2.2.1. Definisi
Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina (tonsil faucial) yang
bersama dengan tonsil faringeal (adenoid), tonsil lingual (tonsil pangkal
lidah), dan tonsil tuba Eustachius, membentuk cincin Waldeyer. Cincin
Waldeyer merupakan susunan kelenjar limfa dalam rongga mulut yang
menyediakan pertahanan terhadap patogen, dan berperan dalam produksi
immunoglobulin serta perkembangan baik sel T maupun sel B.1,2
2.2.2. Epidemiologi
Data internasional menyatakan bahwa tonsillitis paling sering
terjadi pada anak-anak. Tonsillitis yang disebabkan oleh Streptococcus
biasanya menyerang anak berumur 5-15 tahun, sementara tonsillitis akibat
virus lebih sering pada anak berusia lebih muda. 5 Namun, hal ini bukan
berarti bahwa tonsillitis tidak dapat diderita oleh orang dewasa, karena
rata-rata 5-10% kasus ini dapat ditemukan pada orang dewasa.2
Di Indonesia sendiri, berdasarkan data epidemiologi penyakit THT
di 7 provinsi, tonsillitis kronik menempati urutan kedua setelah faringitis
dengan persentase sebesar 3,8%.7
2.2.3. Klasifikasi

Secara garis besar klasifikasi tonsillitis dibagi atas keadaan akut


dan kronik, walaupun ada juga yang literatur yang menambahkan
klasifikasi lain seperti tonsillitis membranosa dan tonsillitis rekuren.
Tonsillitis akut terbagi atas agen yang berperan yaitu bakteri dan virus.3
2.2.4. Etiologi dan Patofisiologi1,6
Faktor seperti virus, bakteri, dan sistem imun dapat menyebabkan
tonsillitis dan komplikasinya. Beberapa virus yang didapatkan dapat
menyebabkan tonsillitis diantaranya HSV, EBV, CMV, Adenovirus, dan
measles. Virus Epstein-Barr ditemukan pada 19% kasus tonsillitis dengan
eksudat pada anak-anak.
Sedangkan, 15-30% kasus disebabkan oleh bakteri, terutama grup
A Streptococcus beta hemolitikus sehingga biasanya penyakit ini juga
dikenal dengan istilah strep throat. Bakteri ini akan menempel pada
reseptor adhesion yang terdapat pada lapisan epitel jaringan tonsil, yang
kemudian akan memicu reaksi radang berupa pengeluaran PMN sehingga
seringkali ditemukan detritus (kumpulan leukosit, bakteri yang mati, dan
epitel yang terlepas) yang tampak sebagai bercak kuning pada tonsil yang
terinfeksi. Bentuk tonsillitis akut dengan detritus yang jelas disebut
tonsillitis folikularis, namun jika bercak-bercak ini bergabung dan
memberntuk alur-alur, maka disebut tonsillitis lakunaris. Selain itu,
detritus juga dapat melebar membentuk semacam membrane semu yang
menutupi tonsil (pseudomembrane).
Pada tonsillitis kronik, faktor predisposisi timbulnya keadaan ini
adalah rangsangan menahun dari rokok, beberapa jenis makanan,
kebersihan mulut, pengaruh cuaca, kelelahan fisik, dan pengobatan
tonsillitis akut yang tidak adekuat. Kadang kuman penyebab berubah
menjadi kuman golongan Gram negatif.
Proses radang yang berulang pada keadaan kronis menyebabkan
tidak hanya epitel mukosa yang rusak, namun diikuti dengan terkikisnya
jaringan limfoid. Sehingga pada proses penyembuhan, jaringan limfoid
digantikan oleh jaringan parut yang mengalami pengerutan sehingga
kriptus melebar. Proses ini berjalan terus-menerus hingga menembus

kapsul tonsil dan mengalami perlekatan dengan jaringan di sekitar fossa


tonsillaris.
2.2.5. Manifestasi Klinis1,4
Masa inkubasi berlangsung 2-4 hari dan dimana gejala yang sering
ditemukan diantaranya nyeri tenggorok, nyeri waktu menelan, demam,
lesu, nyeri di persendian, berkurangnya nafsu makan, hingga otalgia (nyeri
di telinga) yang biasanya merupakan bentuk nyeri alih akibat perantara
saraf nervus glosofaringeus (IX). Pada pemeriksaan didapatkan tonsil
tampak bengkak dan hiperemis, bercak putih atau kuning pada tonsil,
pembesaran KGB di bagian leher, nafas tidak sedap, sakit perut terutama
pada anak kecil, kaku leher, dan pusing. Yang perlu diperhatikan adalah
manifestasi penyakit ini pada anak yang lebih muda dan belum bisa bicara.
Biasanya anak akan berliur karena kesulitan menelan dan tidak mau
makan.
2.2.6. Pemeriksaan dan Diagnosis
a. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan yang ideal harus memperhatikan secara keseluruhan
bagian dari rongga mulut. Pada pemeriksaan rongga mulut pada
tonsillitis, perlu diperhatikan ada tidaknya massa, posisi uvula yang
tepat di tengah atau tidak, warna dan ukuran tonsil palatina apakah
keadaannya darurat hingga menutup jalan pernafasan. Keadaan yang
dapat ditemukan pada pemeriksaan fisik rongga mulut adalah tonsil
yang membengkak dan kemerahan, dapat disertai bercak putih atau
kuning yang jelas, mulut kering tanda dehidrasi, serta adanya
pembesaran KGB saat meraba nodus limfatikus di bagian leher.3,6
(A)

(B)

Gambar 2.4. (A) Pemeriksaan Tonsil dan Faring; (B) Pemeriksaan


Mukosa Oral10
Penilaian ukuran tonsil biasanya dilaporkan dalam bentuk skala yang
terbagi atas 5 poin penilaian standar, yaitu11 :
- T0, tonsil seluruhnya berada di dalam fossa tonsillaris
- T1, tonsil membesar <25% yang diukur dari diameter pilar
-

tonsillaris
T2, tonsil membesar <50%
T3, tonsil menempati ruang <75%
T4, tonsil menempati hingga 75% atau lebih
Gambar 2.5. Skala Ukuran Pembesaran Tonsil11

b. Diagnosis
Diagnosa dapat ditegakkan secara klinis sesuai dengan manifestasi
klinis yang sering ditemukan. Dikarenakan etiologi tersering adalah

GAS (Group A -haemolytic streptococcus), ada yang dinamakan


skoring Mclsaac untuk membantu penegakkan diagnosa tonsillitis akut
oleh GAS.5,6
(A)
(B)
Gambar 2.6. (A) Skoring Mclsaac; (B) Algoritma Diagnosis Strep

throat berdasarkan skoring5


Gambar 2.7. Tonsillitis Akut12

10

2.2.7. Tatalaksana
a. Tonsilitis Viral1,5
Tonsillitis viral biasanya dapat sembuh spontan dengan istirahat dan
minum yang cukup, sehingga pengobatan hanya bersifat symptomatik.
Analgesik dan antipiretik seperti parasetamol dan NSAID masih
dilaporkan adekuat, namun karena efek samping NSAID yang masih
sering muncul, NSAID merupakan lini kedua setelah parasetamol.
Pada tonsillitis viral yang menampakkan gejala berat, dapat diberikan
antiviral, yang efektif hingga hari ketiga gejala.
b. Tonsilitis Bakterial1,3,5
Antibiotik spektrum luas seperti penisilin dapat dijadikan lini utama
karena efisien dan aman terutama pada kasus strep throat akut oleh
GAS baik pada anak maupun dewasa. Amoxicilin juga dapat diberikan
kepada anak yang lebih muda jika dikhawatirkan adanya rasa yang
kurang menyenangkan dari konsumsi penicillin. Jika terjadi episode
rekuren, peningkatan ke sefalosporin dan clindamycin dapat dilakukan
karena berdasarkan penelitian anak dengan keadaan ini merespon
dengan baik dan berkurangnya episode rekurensi.
2.2.8. Tatalaksana Tonsilektomi6,13-14
Tonsilektomi adalah eksisi

bedah

tonsil

palatina.

Tonsil

memproduksi limfosit tambahan yang sifatnya aktif, karena tonsil

11

merupakan agregat pertama pada traktus aerodigestif. Tonsil yang sehat


dan normal menyediakan tambahan sistem imun, namun pada tonsil yang
terinfeksi, fungsinya menjadi sangat tidak efektif. Tonsil yang terinfeksi
berhubungan dengan menurunnya transport antigen, penurunan produksi
antibody, hingga infeksi bakteri kronis.
a. Indikasi
American Academy of Otolaryngology Head and Neck Surgery
(AAO-HNS), menetapkan indikasi yang terbagi atas indikasi absolut
dan relatif, yaitu :
- Indikasi absolute :
1) pembesaran dan hipertrofi tonsil yang dapat menyebabkan
sumbatan jalan napas, gangguan menelan, gangguan tidur, dan kor
pulmonal
2) Rinitis dan sinusitis yang kronis, peritonsilitis, dan abses
peritonsilar yang tidak respon dengan pengobatan,
3) hipertrofi tonsil yang menimbulkan maloklusi gigi dan gangguan

pertumbuhan orofasial
4) hipertrofi tonsil yang dicurigai adanya keganasan.
Indikasi relatif :
1) Serangan tonsillitis lebih dari 3 kali per tahun walaupun telah
mendapatkan terapi yang adekuat
2) Napas berbau yang tidak berhasil dengan pengobatan
3) tonsillitis kronik maupun rekuren dengan bakteri yang resisten

antibiotic beta laktam


4) otitis media efusa / otitis media supuratif.
b. Kontraindikasi
- Adanya riwayat penyakit perdarahan
- Anemia
- Riwayat anestesi yang buruk atau riwayat penyakit yang tidak
terkontrol
- Infeksi akut
c. Tehnik Operasi
Pemilihan jenis operasi difokuskan pada morbiditas seperti nyeri,
perdarahan perioperatif dan pasca operatif serta durasi operasi. Di
Indonesia teknik tonsilektomi yang terbanyak digunakan saat ini
adalah teknik guillotine dan diseksi.

12

Guillotine, pengangkatan tonsil secara cepat dan praktis dimana


tonsil dijepit lalu digunakan pisau untuk melepas tonsil dari fosa.

Namun sering terdapat sisa tonsil atau perdarahan yang hebat.


Diseksi, pengangkatan menggunakan skapel dan dalam anestesi
dimana tonsil digenggam oleh klem dan ditarik ke medial yang

kemudian dilakukan pemotongan mukosa dari pilar.


Elektrokauter, membakar seluruh jaringan tonsil disertai kauterisasi

untuk mengontrol perdarahan.


Radiofrekuensi, penyisipan langsung electrode ke jaringan dimana
densitas ujung electrode cukup tinggi untuk membuka kerusakan
bagian jaringan sehingga periode 4-6 minggu, daerah yang rusak

mengecil dan total volume berkurang.


Skapel harmonik, teknologi ultrasonic untuk memotong dan

mengkoagulasi jaringan dengan kerusakan jaringan minimal.


Coblation, memanfaatkan plasma atau molekul sodium yang
terionisasi

untuk

radiofrekuensi

mengikis

bipolar

jaringan

dimana

yang membentuk

digunakan

kelompok plasma

berpartikel terionisasi sebagai pemecah ikatan molekul jaringan


-

tonsil.
Intracapsular

menggunakan alat microdebrider endoskopi.


LTA, laser tonsil ablation menggunakan CO2 atau KTP (Potassium

partial

tonsillectomy,

tonsilektomi

parsial

Titanyl Phosphat) untuk menguapkan dan mengankat jaringan


tonsil sehingga volume tonsil berkurang.
d. Komplikasi
- Komplikasi anestesi yang dapat berupa laringospasme, gelisah
pasca operasi, mual muntah, kematian saat induksi pada pasien
hipovolemik, induksi intravena bisa hipotensi dan henti jantung,
-

serta hipersensitif terhadap obat anestesi.


Komplikasi bedah dapat berupa perdarahan maupun nyeri. Nyeri
muncul karena kerusakan mukosa dan serabut saraf glossofaringeal
atau

vagus,

inflamasi

dan

spasme

otot

faringeus

menyebabkan iskemia dan siklus nyeri berlanjut sampai otot.

yang

13

Komplikasi lain daapt berupa dehidrasi, demam, kesulitan


bernapas,

gangguan

terhadap

suara,

aspirasi,

otalgia,

pembengkakan uvula, stenosis faring, dan lesi di bibir, lidah, gigi.


e. Pasca Operasi dan Follow-up
- Mengontrol rasa nyeri pada pasien. Pada literature dikatakan dapat
menggunakan acetaminophen seperti Tylenol namun tanpa kodein
-

untuk mencegah sindrom Reye.


Hidrasi yang cukup, karena biasanya pasien menolak untuk makan

dan minum akibat nyeri yang dirasakan.


Makan-makanan yang cukup dengan struktur yang lunak agar

mempermudah pasien untuk menelan makananannya.


Antibiotik selama seminggu sambil melihat respon pasien.
Hindari rokok
Hindari melakukan aktivitas berat selama 10-14 hari.
Peringatkan bahwa nyeri mereda pada hari 3-5 setelah operasi dan
kemudian intensitas nyeri meningkat kembali 1-2 hari sebelum

akhirnya benar-benar menghilang.


Waktu ideal untuk follow-up adalah ketika pasien mengalami
peningkatan intensitas nyeri (pada hari 5-8 pasca operasi) untuk
meyakinkan pasien dan dalam kurun waktu 4-6 minggu setelah

operasi untuk menilai resolusi gejala.


2.2.9. Komplikasi1
Terutama pada anak komplikasi dapat berupa otitis media akut,
sinusitis, abses peritonsil, abses parafaring, bronkitis, glomerulonefritis
akut, miokarditis, arthritis serta septicemia akibat infeksi vena jugularis
interna (sindrom Lemierre). Seringkali infeksi diikuti dengan pembesaran
tonsil yang dapat menyebabkan tidur mendengkur, gangguan tidur akibat
OSAS (Obstructive Sleep Apnea Syndrome).

Anda mungkin juga menyukai