Anda di halaman 1dari 29

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1.

ANESTESI UMUM
Anestesi umum (general anesthesia) merupakan keadaan yang didapatkan
ketika agen obat-obatan anestetik mencapai konsentrasi tertentu untuk
memberikan efeknya secara reversibel pada sistem saraf pusat, dimana keadaan
tidak sadar (unconsciousness), amnesia, analgesik, immobilisasi, dan melemahnya
respon autonom pada stimulasi berbahaya telah dicapai. (Crowder, 2014)
Tujuan anestesi dilakukan secara umum adalah untuk menciptakan
ketidaksadaran yang aman dan reversibel, mengoptimalisasi respon fisiologis, dan
menciptakan keadaan operasi yang kondusif. Anestesi umum memiliki tiga
komponen penting, yaitu hilangnya kesadaran, analgesik, dan relaksasi otot.
(Davidson, 2012)
Gambar 2.1. Trias Anestesi

2.1.1. Stadium Anestesi


Gambaran klasik tentang tanda dan tingkat anestesi (tanda Guedel) berasal
dari pengamatan atas efek pembiusan dengan eter yang berlangsung lambat,
walaupun tak lagi banyak digunakan karena anestesi modern cenderung
memperlihatkan masa induksi yang singkat, dimana stadium II merupakan
stadium yang dihindari secepat mungkin tahapan prosesnya.
Guedel (1920) membagi anestesia umum dalam 4 stadium, yaitu (Zunilda
dan Elysabeth, 2011) :
2

1)

Stadium I
Stadium I (Analgesia/Disorientasi) dimulai dari saat pemberian zat
anestetik sampai hilangnya kesadaran. Pada stadium ini pasien masih
dapat mengikuti perintah dan terdapat analgesi. Tindakan pembedahan
ringan, seperti pencabutan gigi dan biopsi kelenjar, dapat dilakukan pada

2)

stadium ini. Stadium iberakhir ditandai oleh hilangnya refleks bulu mata.
Stadium II
Stadium II (Eksitasi/Delirium) dimulai dari akhir stadium I dan
ditandai pernapasan yang irreguler, pupil melebar dengan reflekss cahaya
(+), pergerakan bola mata tidak teratur, lakrimasi (+), tonus otot meninggi
dan diakhiri dengan hilangnya reflekss menelan dan kelopak mata.

3)

Stadium III
Stadium III yaitu stadium sejak mulai teraturnya lagi pernapasan
hingga hilangnya pernapasan spontan. Stadium ini ditandai oleh hilangnya
pernapasan spontan, hilangnya reflekss kelopak mata dan dapat
digerakkannya kepala ke kiri dan kekanan dengan mudah. Stadium ini
dibagi menjadi 4 tingkat, yaitu :
a. Tingkat I : Dari napas teratur sampai berhentinya gerakan bola mata.
Ditandai dengan napas teratur, napas torakal sama dengan abdominal.
Gerakan bola mata berhenti, pupil mengecil, refleks cahaya (+),
lakrimasi meningkat, refleks faring dan muntah menghilang, tonus
otot menurun.
b. Tingkat II : Dari berhentinya gerakan bola mata sampai permulaan
paralisis otot interkostal. Ditandai dengan pernapasan teratur, volume
tidak menurun dan frekuensi napas meningkat, mulai terjadi depresi
napas torakal, bola mata berhenti, pupil mulai melebar dan refleks
cahaya menurun, refleks kornea menghilang dan tonus otot makin
menurun.
c. Tingkat III : Dari permulaan paralisis otot interkostal sampai paralisis
seluruh otot interkostal. Ditandai dengan pernapasan abdominal lebih
dorninan dari torakal, pupil makin melebar dan refleks cahaya

menghilang,

lakrimasi

negafif,

refleks

laring

dan

peritoneal

menghilang, tonus otot makin menurun.


d. Tingkat IV : Dari paralisis semua otot interkostal sampai paralisis
diafragma. Ditandai dengan paralisis otot interkostal, pernapasan
lambat, iregular dan tidak adekuat, terjadi jerky karena terjadi paralisis
diafragma. Tonus otot makin menurun sehingga terjadi flaccid, pupil
4)

melebar, refleks cahaya negatif, refleks spincter ani negatif.


Stadium IV
Ditandai dengan kegagalan pernapasan (apnea) yang kemudian akan
segera diikuti kegagalan sirkulasi/ henti jantung dan akhirnya pasien
meninggal. Pasien sebaiknya tidak mencapai stadium ini karena itu berarti
terjadi kedalaman anestesi yang berlebihan.

2.1.2. Indikasi dan Kontraindikasi


Indikasi anestesi umum diantaranya:
a)
b)
c)
d)
e)
f)
g)

Operasi di sekitar kepala, leher, intra-torakal atau intra-abdomen


Pada bayi atau anak-anak
Pasien gelisah, tidak kooperatif atau disorientasi gangguan jiwa
Pembedahan lama
Pembedahannya luas atau ekstensif
Memiliki riwayat alergi terhadap anestesi lokal
Pasien yang memilih anestesi umum (ASA, 2009)
Kontraindikasi relative anestesi umum dilakukannya anestesi umum

yaitu gangguan kardivaskular yang berat, hipertensi berat atau tak terkontrol
(diastolik >110 mmHg), diabetes tak terkontrol, infeksi akut, sepsis (Latief
et al., 2010).

2.1.3. Obat-obatan Anestesi Umum


1) Premedikasi
a. Antimuskarinik (Atropine)
Hipersekresi kelenjar ludah dan bronkus yang ditimbulkan oleh
anestetik inhalasi dapat mengganggu pernapasan selama anesthesia.
Atropine 0,4-0,6 mg IM mencegah hipersekresi ini 10-15 menit
setelah penyuntikan. Efek ini berlangsung selama 90 menit. Namun,

dosis obat ini tidak cukup untuk mencegah perubahan kardiovaskular


akibat rangsangan parasimpatis, yaitu hipotensi dan bradikardia,
yang disebabkan oleh manipulasi sinus karotikus atau pemberian
berulang suksinilkolin IV. Untuk keadaan ini diperlukan dosis IV
1,5-2 mg pada dewasa dan 0,02 mg/kgBB pada anak (Zunilda dan
Elysabeth, 2011; Mahadevan dan Shannon, 2005).
b. Obat golongan analgetik narkotik (Fentanil)
Morfin dapat digunakan untuk mengurangi cemas dan
ketegangan pasien, mengurangi nyeri. Morfin 8-10 mg yang
diberikan IM biasanya cukup untuk tujuan tersebut, sedangkan dosis
0,01-0,2 mg/kg IV cukup untuk menimbulkan analgesia. Dalam
dosis berimbang dengan N2O diperlukan morfin sampai 3 mg/kgBB,
sedangkan bila digunakan anestetik inhalasi lainnya dianjurkan dosis
tidak lebih dari 1-2 mg/kgBB.
Opioid lain yang digunakan, sesuai dengan urutan kekuatannya
ialah sulfentanil (1000 kali), remifentanil (300 kali), fentanil (100
kali), alfentanil (15 kali), morfin (1 kali) dan meperidin (0,1 kali).
Pemilihan penggunaan analgesic opioid didasarkan pada lama kerja
karena semuanya memberikan efek yang sama. Opioid dengan lama
kerja singkat misalnya remifentanil (10 menit), dan opioid lama kerja
sedang misalnya sulfentanil (15 menit), alfentanil (20 menit) dan
fentanil (30 menit). Dosis fentanil pada dewasa 3-6 mcg/kgBB atau
1-3 mcg/kgBB pada anak (Zunilda dan Elysabeth, 2011; Mahadevan
dan Shannon, 2005).
c. Barbiturat
Barbiturat (Pentobarbital dan Sekobarbital) biasanya diberikan
untuk sedasi dan mengurangi kekhawatiran sebelum operasi. Obat ini
dapat diberikan secara oral atau IM. Dosis dewasa 100-150 mg dan 1
mg/kgBB pada anak di atas 6 bulan. Keuntungannya adalah masa
pemulihan tidak diperpanjang dan efek depresannya yang lemah
terhadap pernapasan dan sirkulasi serta jarang menyebabkan mual
dan muntah (Zunilda dan Elysabeth, 2011).
d. Benzodiazepine (Midazolam)

Golongan ini lebih dianjurkan daripada opioid dan berbiturat.


Pada dosis biasa, obat ini tidak menambah depresi napas akibat
opioid. Opioid menyebabkan tidur, amnesia retrograde dan dapat
mengurangi

rasa

cemas.

Penggunaan

benzodiazepine

untuk

premedikasi berbeda dosis dengan induksi, diazepam oral 0,2-0,5


mg/kgBB, midazolam intramuscular 0,07-0,15 mg/kgBB serta
lorazepam oral 0,05 mg/kgBB.
e. Neuroleptik
Kelompok obat ini digunakan untuk mengurangi mual dan
muntah akibat anestetik pada masa induksi maupun pemulihan.
Golongan fenotiazin seperti klorpromazin atau prometazin juga dapat
mengurangi muntah (Zunilda dan Elysabeth, 2011).
2) Induksi
a. Induksi Intravena
Induksi intravena paling banyak dikerjakan. Induksi intravena
langsung masuk ke dalam darah dan eliminasinya harus menunggu
proses metabolism maka dosisnya harus diperhitungkan secara teliti.
Untuk mempertahankan anestesi atau sedasi pada tingkat yang
diinginkan, kadarnya dalam darah harus dipertahankan dengan
suntikan berkala atau pemberian infus kontinu. Beberapa obat yang
sering digunakan antara lain:
- Barbiturat
Barbiturat bekerja dengan mendepresi Reticular Activating
System pada batang otak yang mengatur kesadaran. Mekanisme
aksi barbiturat dengan cara memfasilitasi pengikatan GABA pada
reseptor GABAA di membrane neuron system saraf pusat yang
menyebabkan peningkatan durasi pembukaan kanal ion klorida.
Yang termasuk ke dalam anestesi golongan ini antara lain
thiopental, thiamylal, dan methohexital. Agen ini merupakan
sedative hipnotik kerja cepat tanpa adanya efek analgesia yang
onset aksinya cepat. Agen ini dapat menyebabkan menurunnya
tekanan darah dan meningkatkan denyut jantung. Efek lain dari
thiopental meliputi depresi pusat pernapasan dan melepaskan

histamine (sehingga dihindari pada pasien asma). Dosis thiopental


dan thiamylal adalah 3-6 mg/kgBB, sementara methohexital 1-3
mg/kgBB. Ketiga agen anestesi tersebut memiliki onset aksi <30
detik dan durasi aksi 5-10 menit (Zunilda dan Elysabeth, 2011;
-

Butterworth et al., 2013).


Benzodiazepine (Midazolam)
Gologan ini bekerja pada sisi yang berbeda pada reseptor
GABAA dengan meningkatkan frekuensi pembukaan kanal ion
klorida. Benzodiazepine yang digunakan adalah diazepam,
lorazepam dan midazolam. Dengan dosis untuk induksi anestesi,
kelompok obat ini menyebabkan tidur, mengurangi cemas, dan
menimbulkan

amnesia

anterograd

tanpa

efek

analgesia.

Penggunaan benzodiazepine menyebabkan pemulihan lebih lama,


namun amnesia retrograde yang ditimbulkannya bermanfaat
mengurangi kecemasan paska bedah. Waktu paruh benzodiazepine
sekitar 3-10 menit dan mudah untuk kembali sadar seperti
barbiturate (Zunilda dan ELysabeth, 2011; Butterworth et al.,
2013).
Sedasi timbul lebih cepat oleh midazolam dibandingkan
lorazepam. Mula kerja midazolam lebih cepat dan potensinya lebih
besar dnegan metabolit yang aktif, sehingga midazolam lebih
disukai untuk induksi dan mempertahankan anestesi. Dosis
midazolam yang biasa digunakan untuk induksi anestesi adalah
0,2-0,3 mg/kgBB dengan onset aksi 30-60 detik dan durasi aksi 15-

30 menit (Mahadevan dan Shannon, 2005).


Propofol
Propofol bekerja dengan menghambat neurotransmisi yang
dimediasi ikatan reseptor GABAA yang berhubungan dengan kanal
klorida. Propofol tidak larut dalam air dan tersedia dalam bentuk
larutan 1% sebagai emulsi minyak dalam air mengandung minyak
kedelai, gliserol dan lesitin telur. Efek umum propofol pada
kardiovaskular adalah menurunkan tekanan darah arteri karena

turunnya resistensi vascular sistemik akibat penghambatan


aktivitas vasokonstriktor simpatik.
Dosis propofol 1,5-3 mg/kgBB dengan onset aksi 15-45 detik
dan durasi aksi 5-10 menit (Zunilda dan Elysabeth, 2011;
-

Mahadevan dan Shannon, 2005).


Etomidate
Golongan obat ini merupakan sedative non barbiturate kerja
singkat yang bekerja dengan mendepresi reticular activating
system dan menyerupai efek inhibitori pada GABAA Selama
induksi dengan etomidate tanpa premedikasi dapat terjadi gerakan
otot spontan pada 60% pasien. Efek ini dapat dihilangkan dengan
pemberian obat golongan narkotika saat premedikasi. Obat ini
memiliki efek minimal pada kardiovaskular berupa penurunan
ringan resistensi vascular perifer. Dosis obat ini yaitu 0,3 mg/kgBB
dengan onset aksi 15-45 detik dan durasi aksi 3-12 menit
(Mahadevan dan Shannon, 2005; Butterworth et al., 2013).

Ketamin
Ketamin mempunyai efek analgetik dan anestestik dengan
kerja singkat. Anestesinya timbul karena adanya penghambatan
efek membrane dan neurotransmitter eksitasi asam glutamate pada
reseptor N-metil-D-aspartat. Sifat analgesiknya lebih kuat pada
system somatic, tetapi lemah untuk system visceral.
Ketamin merupakan satu-satunya anestetik intravena yang
merangsang kardiovaskular karena efek perangsangnya pada
system saraf simpatis. Dosis pemakaian ketamin untuk bolus 1- 2
mg/kgBB dengan onset aksi 45-60 detik dan durasi aksi 10-20

menit (Mahadevan dan Shannon, 2005).


Neuromuskular Blok (Atrakurium)
Agen blok neuromuskular tidak menimbulkan efek analgetik,
sedasi atau amnesia. Obat golongan ini sering digunakan pada
teknik anestesi umum yang menggunakan intubasi endotrakeal.
Agen ini bekerja dengan cara memblok neurotransmitter

asetilkolin, baik secara antagonis kompetitif maupun dengan


merubah konformasi reseptornya.
Terdapat perbedaan prinsip cara kerja pada kedua obat yang
umum digunakan, yaitu suksinilkolin dan atrakurium. Suksinilkolin
bekerja

dengan

memicu

depolarisasi

sel

sehingga

terjadi

perpindahan kalsium dan sel terus tereksitasi hingga tiba keadaan


lemas atau relaksasi. Sedangkan atrakurium merupakan contoh
agen tanpa depolarisasi sehingga langsung memblokir reseptor dan
menciptakan relaksasi otot tanpa melewati eksitasi sebelumnya.
Suksinilkolin dengan dosis 1,5mg/kgBB pada dewasa dan 2
mg/kgBB pada anak, onset aksi 45-60 menit dan durasi aksi 6-12
menit. Sementara itu agen yang tidak mendepolarisasi contohnya
atrakurium 0,4-0,5 mg/kgBB, rocuronium 1 mg/kgBB, vecuronium
0,15 mg/kgBB atau pancuronium 0,1 mg/kgBB (Mahadevan dan
Shannon, 2005; Butterworth et al., 2013).
Tabel 2.1. Obat yang Lazim Pada Anestesi Umum
Nama Obat

Sediaan

Duras

T 1/2

Fentanil

Propofol

2 ml
3-6 mcg / Segera
(0.05mg /
kg (D)
pada
ml)
1-3mcg /
rute IV
kg (A)
1 ml
0.23-5
(5mg/ml)
0.3mg /kg menit
20
ml 1-3 mg /kg 15-45

i
0.5-1

2-4

jam

jam

20-40

2-6

menit
5-10

jam
40

(10mg/ml)
detik
10
ml 1-2 mg /kg 30

menit
5-10

menit
-

Ketamin

(50mg/ml)
detik
Atrakurium 2.5
ml 0.4-0.5 mg 2-2.5

menit
20-35

20

(10mg/ml) /kg

menit

menit

Midazolam

Dosis

Onset

menit

b. Induksi Inhalasi
Faktor yang menentukan kecepatan transfer anestetik di jaringan
otak ditentukan oleh (1) kelarutan zat anestetik, (2) kadar anestetik

10

dalam udara yang dihirup pasien atau disebut tekanan parsial anestetik,
(3) ventilasi paru; (4) aliran darah paru, dan (5) perbedaan antara
tekanan parsial anestetik di darah arteri dan di darah vena.
Beberapa

jenis

induksi

inhalasi

yang

biasa

digunakan

diantaranya:
1) N2O
Nitrogen monoksida merupakan gas yang tidak berwarna,
tidak berbau, tidak berasa dan lebih berat daripada udara. N2O
biasanya tersimpan dalam bentuk cairan bertekanan tinggi dalam
baja, tekanan penguapan pada suhu kamar 51 atmosfir. N2O
mempunyai sifat 15 kali lebih mudah larut dalam plasma
dibandingkan oksigen. 1 ml cairan N2O dapat menghasilkan uap
440 ml pada 20oC dan tekanan 51 atm.
Mula-mula N2O diabsorbsi dalam tubuh dengan cepat 1000
ml/menit selama menit pertama. Dalam 5 menit absorbs berkurang
sebagian menjadi 500-700 ml/menit dan dalam 10 menit turun
sampai 350 ml/menit, kemudian 30 menit menjadi 200 ml/menit
dan dalam 100 menit turun sampai 100 ml/menit kemudian secara
lambat menurun sampai absorbs mencapai nol (jenuh). Ada 3 fase
pengambilan N2O berdasarkan saturasi arteri:
a. Dalam 5 menit mencapai 50% saturasi
b. Dalam 30-90 menit mencapai 90% saturasi
c. Dalam 5 jam mencapai saturasi penuh
N2O dalam penggunaannya pada anestesi umumnya dipakai
dalam kombinasi N2O : O2 = 60% : 40%, 70% : 30%, 50% : 50%,
2:1 (Latief et al., 2010).
N2O kurang larut dalam darah, dan merupakan alagetik
kurang kuat sehingga kini hanya digunakan sebagai adjuvant atau
sebagai pembawa anestesik inhalasi lainnya. N2O mempunyai efek
analgesik yang baik, sehingga kadang dalam tehnik disosiatif
dengan induksi intravena fentanil, fentanil tidak perlu diberikan
single dose. Dengan inhalasi 20% N2O dalam oksigen efeknya
seperti efek 15 mg morfin. Kadar optimum untuk mendapatkan

11

efek analgesic maksimum 35%. Nilai MAC untuk N 2O adalah


105% (Butterworth et al., 2013).
2) Halotan
Efek analgesic halotan lemah jika dibandingkan efek anestesi
kuat. Pengaruh anestesi secara langsung dengan menghambat otot
jantung dan otot polos pembuluh darah serta menurunkan aktivitas
saraf simpatis. Halotan tidak mengiritasi membrane mukosa dan
tidak merangsang kelenjar ludah. Pengaruh halotan terhadap
kasrdiovaskular adalah vasodilatasi yang menimbulkan hipotensi
dan bradikardi. Pada system pernapasan, uap halotan tidak
menimbulkan iritasi saluran napas sehingga induksi mudah dicapai
tanpa batuk-batuk dan eksitasi. Halotan mendepresi system
pernapasan pada tingkat permulaan menyebabkan pernapasan lebih
cepat (takipnu) dan dangkal, dan pada stadium lebih dalam dapat
timbul gagal napas. Halotan menghambat sekresi kelenjar ludah
bronchial, menekan refleks faring dan laring serta memberikan
efek bronkodilatasi sehingga bermanfaat pada penyakit paru kronik
seperti asma, bronchitis kronik, emfisema. Nilai MAC untuk
halotan adalah 0,75% (Zunilda dan ELysabeth, 2011; Butterworth
et al., 2013).
3) Isofluran
Setelah pemberian medikasi preanestetik stadium induksi
dapat dilalui dengan lancar dan sedikit eksitasi bila diberikan
bersama N2O dan O2. Isofluran merelaksasi otot rangka dan
meningkatkan

efek

pelumpuh

otot

depolarisasi

dan

non

depolarisasi sehingga dosis isofluran dan pelumpuh otot dapat


dikurangi. Tekanan darah turun cepat dengan makin dalamnya
anestesi tapi curah jantung tetap dipertahankan. Isofluran
menyebabkan depresi napas dan menekan respon ventilasi terhadap
hipoksia. Isofluran dapat memicu refleks saluran napas yang
menyebabkan hipersekresi, batuk, dan spasme laring. Isofluran

12

juga memiliki efek bronkodilator seperti anestesi inhalasi lainnya


(Zunilda dan ELysabeth, 2011; Butterworth et al., 2013).
Obat ini dapat meningkatkan aliran darah otak sementara
metabolism otak hanya menurun sedikit. Sirkulasi otak tetap
responsive terhadap CO2 maka hiperventilasi bisa menurunkan
aliran darah, metabolism otak dan tekanan intracranial. Itu
sebabnya isofluran merupakan anestetik pilihan dalam bedah saraf.
Nilai MAC untuk isofluran adalah 1,2%.
4) Sevofluran
Sevofluran sedikit mendepresi kontraktilitas otot jantung.
Efek depresi pernapasannya sama dengan isofluran. Obat ini juga
dapat meningkatkan aliran darah ke otak. Nilai MAC untuk
sevofluran adalah 2% (Butterworth et al., 2013).
5) Desfluran
Obat ini relative lebih sukar menguap sehingga dibutuhkan
vaporizer khusus dalam penggunaannya. Desfluran menurunkan
volume tidal dan meningkatkan frekuensi pernapasan. Desfluran
juga dapat secara langsung memberikan efek vasodilatasi,
meningkatkan volume darah otal dan tekanan intracranial. Nilai
MAC untuk desfluran adalah 6% (Butterworth et al., 2013).
6) Enfluran
Enfluran menyebabkan fase induksi anestesi yang relative
lambat. Sekresi kelenjar saliva dan bronkus hanya sedikit
meningkat sehingga tidak perlu menggunakan atropine sebagai
premedikasi.

Kadar

yang

tinggi

menyebabkan

depresi

kardiovaskular dan perangsangan SSP; untuk menghindari hal ini


enfluran diberikan diberikan dengan kadar rendah bersama N2O
(Zunilda dan Elysabeth, 2011).
2.1.5 Prosedur Anestesi Umum
A.
Manajemen Preanestesi
1. Mempersiapkan mental dan fisik pasien secara optimal dengan
melakukan

anamnesis,

pemeriksaan lain

pemeriksaan

fisik,

laboratorium,

dan

13

2. Merencanakan dan memilih teknik serta obat-obat anestesi yang sesuai


keadaan fisik dan kehendak pasien. Dengan demikian, komplikasi yang
mungkin terjadi dapat ditekan seminimal mungkin
3. Menentukan klasifikasi yang sesuai dengan hasil pemeriksaan fisik,
dalam hal ini dipakai klasifikasi ASA (American Society of
Anesthesiology) sebagai gambaran prognosis pasien secara umum,
dimana hal ini dapat dilakukan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik,
dan penunjang yang teliti: (Euliano et al, 2011)
a. Alergi
Pertanyaan ini harus diajukan dengan ragam pendekatan, karena tidak
semua pasien mengerti dengan alergi. Alergi tidak hanya terhadap
makanan, tetapi juga obat-obatan, dan harus ditanyakan juga apa yang
terjadi jika alergi, apakah dalam bentuk sesak nafas atau lainnya, selain
itu sebesar apa biasanya konsentrasi dari pencetus untuk menghasilkan
manifestasi alergi.
b. Penggunaan Obat-obatan
Banyak jenis obat-obatan yang dapat mempengaruhi anestesi, terutama
yang berkaitan dengan kardiovaskular atau efek koagulasi. Obatobatan tertentu perlu dihentikan sementara penggunaannya menjelang
operasi dan yang harus tetap diberikan dapat berubah jalur
pemberiannya, misalnya dari pemberian oral menjadi sediaan
intravena.
c. Riwayat Penyakit Sebelumnya
Penilaian ini mencakup riwayat medis dan operasi sebelumnya, baik
pada pasien itu sendiri maupun anggota keluarganya yang lain. Pasien
dengan rencana operasi elektif seharusnya tiba di kamar operasi
dengan kondisi terbaiknya, seperti tidak pada masa eksaserbasi
bronkitis kronis atau angina unstable.
d. Jam Terakhir Konsumsi Makan dan Minum
Informasi ini sangat diperlukan karena aspirasi bisa terjadi saat operasi,
dimana yang ditakutkan adalah adanya isi lambung yang masuk ke
paru-paru dan dapat menyebabkan pneumonitis ataupun sufokasi akut
akibat adanya benda asing berukuran besar yang menyumbat

14

bronkiolus. Sehingga untuk meminimalisasikannya, pasien diminta


untuk nothing per oral (NPO) 6-8 jam sebelum operasi elektif.
e. Lingkungan dan Kebiasaan Hidup
Pasien dengan konsumsi obat-obatan yang mendepresi sistem saraf
pusat , dimana kebanyakan dari mereka tidak mengakuinya dapat
mempengaruhi anestesi, karena dosis obat anestesi yang diberikan
perlu ditingkatkan untuk dapat menginduksi pasien tersebut.
f. Klasifikasi Physical Status ASA
Walaupun tidak sepenuhnya sensitive dan spesifik, American Society
of Anesthesiologists (ASA) memiliki klasifikasi yang sangat membantu
para anestesiologi untuk mendiskusikan seorang pasien secara umum.
Tabel 2.2. Klasifikasi PS ASA
I
II

pasien penyakit bedah tanpa disertai penyakit sistemik


pasien penyakit bedah disertai penyakit sistemik ringan sampai

III

sedang
pasien panyakit bedah disertai penyakit sistemik berat yang

IV
V

disebabkan karena berbagai penyebab tetapi tidak mengancam nyawa


pasien penyakit bedah disertai penyakit sistemik berat
pasien penyakit bedah yang disertai dengan penyakit sistemik berat
yang sudah tidak mungkin ditolong lagi, dioperasi ataupun tidak

VI

dalam 24 jam pasien akan meninggal


pasien penyakit bedah yang telah dinyatakan mati otaknya yang mana
organnya akan diangkat untuk kemudian diberikan sebagai organ

donor bagi yang membutuhkan


Tindakan pembedahan dilakukan secara darurat, dicantumkan tanda E
(emergency) di belakang angka, misalnya ASA 1 E.

g. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik dilakukan pemeriksaan keadaan gigi-geligi,
tindakan buka mulut, lidah relative besar akan menyulitkan tindakan
laringoskopi intubasi. Leher pendek dan kaku juga akan menyulitkan
laringoskopi intubasi. Berbagai sistem penilaian telah dibuat
menggunakan pengukuran orofacial untuk memprediksi intubasi sulit.
Skor Mallampati, yang mengidentifikasi pasien dengan faring yang

15

kurang jelas divisualisasikan melalui mulut terbuka. Penilaian


Mallampati idealnya dilakukan saat pasien duduk dengan mulut
terbuka dan lidah yang menonjol tanpa phonating. Skor Mallampati
yang tinggi telah terbukti menjadi prediksi intubasi sulit. Pemeriksaan
rutin lain secara sistematik tentang keadaan umum tentu tidak boleh
dilewatkan seperti inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi semua
sistem organ tubuh pasien.
h. Uji Laboratorium
Uji laboratorium hendaknya atas indikasi yang tepat sesuai dengan
dugaan penyakit yang sedang dicurigai. Banyak fasilitas kesehatan
yang mengharuskan uji laboratorium secara rutin walaupun pada
pasien sehat untuk bedah minor, misalnya pemeriksaan darah kecil
(Hb, lekosit, masa perdarahan dan masa pembekuan) dan urinalisis.
Pada usia pasien di atas 50 tahun ada anjuran pemeriksaan EKG dan
foto toraks.
i. Kebugaran Untuk Anestesi
Pembedahan elektif boleh ditunda tanpa batas waktu untuk
menyiapkan agar pasien dalam keadaan bugar, sebaliknya pada operasi
B.

cito penundaan yang tidak perlu harus dihindari.


Premedikasi
Memasuki kamar operasi, anestesi harus memastikan bahwa semua
keperluan alat-alat yang diperlukan bekerja dengan sebagaimana mestinya.
DAMMIS (drugs, airway equipment, machine, monitors, suction)
membantu mendata keperluan tersebut.
Premedikasi adalah tindakan pemberian obat-obatan pendahuluan
dalam rangka pelaksanaan anestesi, dengan tujuan:
a. Menimbulkan suasana nyaman bagi pasien, yaitu menghilangkan rasa
khawatir,
b.
c.
d.
e.

memberi

ketenangan,

bebas

nyeri,

mual/muntah
Memudahkan dan memperlancar induksi
Mengurangi dosis anesthesia
Menekan refleks-refleks yang tidak diinginkan
Menekan dan mengurangi sekresi kelenjar
Pemberian premedikasi dapat diberikan secara:

dan

mencegah

16

a. Suntikan intramuskuler, diberikan 30 45 menit sebelum induksi

C.

anestesi
b. Suntikan intravena, diberikan 5 10 menit sebelum induksi anesthesia
Induksi Anestesi
Sebelum memulai induksi anestesi disiapkan peralatan dan obatobatan yang diperlukan, sehingga seandainya terjadi keadaan gawat
dapat diatasi dengan lebih cepat dan lebih baik. Obat-obat yang
disiapkan untuk keadaan gawat diantaranya adrenalin, atropine, epinefrin
dan aminofilin. Pasien yang telah diberikan obat-obatan premedikasi
kemudian diinduksi baik secara intravena maupun inhalasi, atau yang
jarang secara intramuscular dan rectal. Dosis yang diberikan disesuaikan
dengan berat badan pasien agar efek yang diharapkan adekuat. Obatobatan induksi anestesi disesuaikan dengan teknik anestesi yang akan
dijalankan, misalnya menggunakan sungkup muka saja atau perlu
pemasangan intubasi. Obat induksi bolus disuntikkan dalam kecepatan
antara 30-60 detik. Selama induksi anestesi, pernapasan pasien, nadi, dan

D.

tekanan darah harus diawasi dan selalu diberikan oksigen.


Pemasangan ETT
Jika operasi berlangsung di perut atau dada, obat relaksan otot
dengan lama kerja menengah atau panjang dapat diberikan selain agen
induksi dan opioid. Golongan obat ini dapat melumpuhkan otot skelet
termasuk otot-otot pernapasan. Oleh karena itu, paru-paru pasien harus
berventilasi di bawah tekanan, yang memerlukan tabung endotrakeal,
dengan langkah-langkah sebagai berikut
a. Persiapan pada pre operatif visite untuk menilai AMPLE dan B6,
untuk memastikan LEMON (Look, Evaluate, Malampati, Obstruction,
Neck disability). Lihat penyulit seperti janggut (sulit fiksasi ETT),
obesitas (sulit mengangkat rahang), gigi palsu ataupun kelengkapan
gigi (membantu fiksasi lidah), dan pasien-pasien tua. Kemudian
menilai jarak bukaan mulut, besar rahang, dan panjang leher.
Dilanjutkan dengan menentukan skor Malampati dengan interpretasi,
skor I dan II dikatakan mudah dilakukan intubasi, sedangkan skor III

17

dan IV dianggap sulit untuk dilakukan intubasi. Pengamatan dilakukan


dengan posisi pasien duduk tegak.
Gambar 2.2. Klasifikasi Malampati
Obstruksi dinilai baik secara langsung maupun rekam medis dari
riwayat penyakit saluran pernafasan pasien, dan pasien yang dicurigai

dengan cedera servikal akan lebih sulit untuk dipasang ETT.


b. Persiapan alat, STATICS (Scope, Tube, Airway, Tape, Introducer,
Connector, Suction). Laringoskop harus dalam keadaan lampu yang
adekuat dan pemilihan blade sesuai dengan pasien (Macintosh atau
Miller), dan stetoskop. Pipa ETT dengan sebelumnya telah
menentukan

ukurannya,

lalu

diperiksa

apakah

balon

dapat

mengembang sempurna dengan memasukkan udara dari spuit 5cc.


Perlengkapan pre oksigenasi OPA, masker, dan oksigennya. Plester
untuk fiksasi ETT, kawat untuk pemandu pemasangan, penghubung
ETT ke oksigen, dan suction untuk membersihkan secret di saluran
pernafasan agar mengurangi risiko aspirasi.
c. Pemasangan dilakukan dengan posisi pasien sniffing
d. Preoksigenasi dengan OPA dan masker selama 2-3 menit
e. Lepaskan OPA dan masukkan laringoskop dengan membuka mulut
pasien menggunakan scissor-like maneuver
f. Masukkan laringoskop dari arah kanan ke kiri untuk menyingkirkan
lidah, masukkan lebih dalam hingga dagu dan scope membentuk sudut
45 derajat.
g. Dorong scope ke depan atas hingga dapat melihat lubang vocal chord
yang tampak pucat warnanya dibandingkan dengan struktur sekitarnya

18

Gambar 2.3. (a) Posisi Laringoskop ; (b) Sudut Pandang Operator


h. Kembangkan balon, sambungkan dengan oksigen, lalu periksa apakah
sudah benar masuk ke saluran pernafasan
i. Periksa dengan stetoskop bagian apex paru kiri dan kanan, basal paru
kiri dan kanan, hingga epigastrium. Jika suara udara di seluruh lapang
paru sama, ETT dapat diintubasi.
j. Jika suara udara dominan paru kanan, kempiskan balon dan tarik naik
ETT 1-2 cm, lalu periksa lagi apakah suara sama di kiri kanan paru
k. Lakukan hal yang sama jika terdengar suara udara di epigastrium,
E.

karena seharusnya tidak terdengar suara udara masuk kesana.


Rumatan Anestesi
Dosis obat pada induksi dapat diberikan kembali sebagai rumatan
tergantung dengan kondisi dan situasi yang terjadi saat operasi
berlangsung. Obat induksi memiliki durasi yang singkat, sehingga perlu
penambahan dosis obat dengan tidak lebih banyak dari dosis induksi dapat
mempertahankan kondisi operasi yang kondusif.

F.

Monitoring Anestesi
Monitoring yang dapat dilakukan antara lain:
1. Monitoring kardiovaskular non invasive
1) Nadi
2) Tekanan darah
3) Banyaknya perdarahan
Monitoring terhadap perdarahan

dilakukan

dengan

menimbang kain kasa ketika sebelum kena darah dan

19

sesudahnya, mengukur jumlah darah di botol pengukur darah


ditambah 10-20% untuk yang tidak dapat diukur.
2. Monitoring respirasi
3. Monitoring Suhu Badan
Dilakukan pada bedah lama atau pada bayi dan anak kecil.
Tempat yang lazim digunakan ialah:
a. Aksila, untuk membacanya perlu waktu 15 menit.
b. Oral-sublingual, pada pasien sebelum anestesi.
c. Rektal, seperti termometer aksila tapi lebih panjang.
d. Nasofaring, esofageal, termometer berbentuk kateter.
e. Lain-lain jarang digunakan, misalnya kulit, buli-buli, liang telinga.
4. Monitoring Ginjal
Untuk mengetahui keadaan sikulasi ginjal. Produksi air kemih
normal minimal 0,5-1,0 ml/kgBB/jam dimonitor pada bedah lama dan
sangat bermanfaat untuk menghindari retensi urin atau distenti bulibuli. Jika >1 ml/kgBB/jam dan reduksi urin positif 2, dicurigai adanya
hiperglikemia.
5. Monitoring Sistem Saraf
Pada pasien sehat sadar, orientasi terhadap personal, waktu dan
tempat baik. Pada pasien tidak sadar, monitoring dengan memeriksa
respon pupil pada cahaya, respon pada pembedahan, respon pada otot,
apakah sudah relaksasi ataupun belum.
G.

Pemulihan Paska Anestesi


Adapun setelah prosedur diatas selesai, pasien dipindahkan ke
ruang pemulihan dan terus diobservasi dengan cara menilai
Aldrettes score untuk pasien dewasa, nilai 9-10 pasien dapatt
dipindahkan ke ruangan, penilaian meliputi:
Tabel 2.3. Penilaian Adrette Score
Kriteria Asli
Warna
Merah muda
Pucat

Kriteria yang Dimodifikasi


Oksigenasi
SpO2 >92% pada ruang
SpO2 >90% dengan bantuan
oksigen
SpO2 >90% dengan bantuan

Skor
2
1
0

20

oksigen
Sianosis
Respirasi
Respirasi
2
Dapat bernapas dalam dan Bernapas dalam dan batuk dengan
batuk
bebas
1
Dangkal tapi pertukaran udara Dyspnea,
tersedak
atau
adekuat
keterbatasan bernapas
0
Apnea
Apnea
Sirkulasi
Sirkulasi
2
Tekanan darah 20% dari nilai Tekanan darah 20 mmHg dari
normal
nilai normal
1
Tekanan darah 20%-50% dari Tekanan darah 20-50 mmHg dari
nilai normal
nilai normal
0
Tekanan darah >50% dari nilai Tekanan darah lebih dari 50
normal
mmHg dari nilai normal
Kesadaran
Kesadaran
2
Sadar, bangun dan orientasi Sadar penuh
baik
1
Bangun tapi cepat kembali Bangun dengan panggilan
tidur
0
Tidak ada respon
Tidak responsif
Aktivitas
Aktivitas
2
Dapat menggerakkan empat Dapat
menggerakkan
empat
ekstremitas
ekstremitas
1
Dapat
menggerakkan
dua Dapat
menggerakkan
dua
ekstremitas
ekstremitas
0
Tidak dapat bergerak
Tidak dapat bergerak
Nilai 9-10, pasien dapat dipindahkan ke ruangan
Sumber : Butterworth John F et al. 2013. Morgan and Mikhails Clinical
Anesthesiology. Edisi 5. Mc. Graw Hill. USA. Hlm 1265.

Sementara

untuk

anak,

penilaian

dilakukan

dengan

menggunakan Steward score seperti pada tabel berikut.


Tabel 2.4. Penilaian Steward Score
Penilaian
Kesadaran

Airway

Kriteria
Bangun

Skor
2

Merespon terhadap rangsangan

Tidak respon terhadap rangsangan


Menangis aktif atau batuk saat diperintah

0
2

Dapat mempertahankan patensi jalan napas

Membutuhkan asisten untuk mempertahankan

jalan napas

21

Pergerakan

Menggerakkan ekstremitas dengan tujuan

Menggerakkan ekstremitas tanpa tujuan

Tidak bergerak
0
Nilai >5, pasien dapat dipindahkan ke ruangan
Sumber : Ronald S. Litman. 2013. Basics of Pediatric Anesthesia. Philadelphia.
USA. Hlm 231.

2.2.

ABSES HATI AMEBIK


Abses hati adalah suatu bentuk infeksi pada hati yang disebabkan oleh
bakteri, parasit, jamur maupun nekrosis steril yang bersumber dari sistem
gastrointestinal

yang

ditandai

dengan

adanya

proses

supurasi

dengan

pembentukan pus yang terdiri dari jaringan hati nekrotik, sel inflamasi atau sel
darah didalam parenkim hati. Secara umum abses hati terbagi 2 yaitu abses hati
piogenik (AHP) dan abses hati amebik (AHA). (Tendean et al, 2007)
2.2.1. Epidemiologi
Abses hati amubik dijumpai dengan insiden tertinggi di daerah tropis dan
subtropis seperti Meksiko, Afrika Selatan, Amerika Tengah dan Selatan, India, dan
Asia Tenggara, dimana kemiskinan tinggi dan kondisi sanitasi jelek.
AHA merupakan tampilan amubik ekstra intestinal yang paling sering
ditemukan. Tidak seperti AHP, AHA mempunyai pola geografi dan distribusi
tertentu. Sering terjadi pada usia muda dimana pada laki dapat mencapai 3
sampai 10 kali lebih sering dibandingkan pada wanita. Alasan perbedaan insiden
pada jenis kelamin ini tidak jelas, pengaruh alkohol pada laki-laki, efek hormonal
dan efek defisiensi anemia pada wanita masa subur perlu dipertimbangkan.
2.2.2. Etiologi dan Patogenesis
Infeksi amuba pada manusia dimulai dengan tertelannya kista amuba.
Bentuk kista ini tahan terhadap asam lambung. Pada kondisi pH yang netral di
usus halus, kista berubah menjadi trofozoid. Trofozoid di kolon berinteraksi
dengan lectin-carbohydrate yang menyebabkan trofozoid ini melekat ke mukosa
dinding kolon. Trofozoid melakukan invasi dinding kolon dan penetrasi kedalam

22

mukosa kolon, sedangkan sebagian tidak melakukan invasi dan tetap pada mukosa
kolon. Predileksi amuba tersering pada sekum dan kolon asenden.
Invasi tersebut terjadi karena terjadi interaksi langsung dari sel amuba
yang dapat menyebabkan kematian sel host. Amuba mensekresi protein yang
dapat menyebabkan lysis sel host sehingga amuba dapat invasi kedalam jaringan
kolon. Amuba melakukan invasi ke submukosa kolon selanjutnya menyebabkan
ulkus yang berbentuk botol. Pada kondisi ini sulit membedakan infeksi akibat
invasi

amuba

dengan

inflamatory

bowel

disease,

sehingga

pemberian

kortikosteroid dapat memperberat kondisi infeksi amuba dan dapat meningkatkan


insiden perforasi kolon dan AHA.
Infeksi pada hati dimulai dengan penyebaran trofozoid melalui vena porta.
Penyebaran langsung kehati dapat juga terjadi meskipun jarang. Hati merupakan
penyebaran amuba ekstra intestinal yang paling terjadi meskipun dapat juga
penyebaran ke organ yang lain. Terjadi embolisasi dari trofozoid pada sirkulasi
portal dan sinusoid yang terdiri dari amuba yang dikelilingi netrofil. Keadaan ini
menyebabkan infark

pada jaringan hati yang selanjutnya dapat terjadi lysis

netrofil yang mengakibatkan nekrosis hati. Netrofil yang lysis akan mengeluarkan
bahan kimiawi yang bersifat sitotoksik yang dapat mengakibatkan makin luasnya
nekrosis hati. Abses yang terbentuk berbatas jelas dengan jaringan hati dimana
bagian sentralnya menjadi jaringan yang nekrosis. Abses terdiri dari cairan yang
aseluler, berwarna merah kecoklatan yang disebut anchovy paste. Trofozoid
tidak didapatkan pada cairan abses tersebut tetapi didapatkan pada jaringan
nekrosis sekeliling abses yang merupakan jaringan ikat yang mengalami
inflamasi.
2.2.3. Manifestasi Klinik
Riwayat tinggal didaerah endemis atau riwayat pernah bepergian dari
daerah endemis dalam 3 - 5 bulan terakhir. Adanya tanda kolitis yang dimulai
dengan keluarnya mukus, diare dan feses yang mengandung darah, disertai kejang
usus, sampai terjadinya megakolon yang septik. Pada penderita abses hepar tidak
selalu ditemukan riwayat diare sebelumnya.

23

Tanda nyeri abdomen dan panas badan sampai menggigil merupakan


gejala pada lebih dari 90% kasus. Nyeri timbulnya tiba-tiba dengan lokasi nyeri
pada hypochondrium kanan. Nyeri menjalar ke pundak kanan atau scapula kanan
yang bertambah nyeri dengan batuk atau bernafas dalam. Bila abses terjadi pada
lobus kiri nyeri dapat timbul pada epigastrium, precardial atau retrosternal. Abses
pada daerah inferior hati akan memberikan tanda peritonitis akibat dari proses
infeksi intra abdominal.
Panas badan terjadi pada semua penderita, namun suhu tidak lebih dari
38.50C.6 Tanda lain yang menyertai termasuk anoreksia, mual, muntah dan tanda
kolesistis akut. Biasanya gejalanya dimulai sekitar 2 minggu sebelum gejala
utama abses timbul.
Nyeri dan hepatomegali ringan disertai ketegangan otot abdomen kanan
atas. Ikterus terjadi pada 5% sampai 8% kasus AHA. Lokasi AHA paling sering
pada bagian posterio-superior hati kanan dan sering disertai kelainan basal paru
kanan. Suara perikard sering menyertai abses hati sebelah kiri.
Secara klinis perlu dibedakan dengan kolesistis akut, hepatitis viral atau
hepatitis oleh karena sebab lain dan AHP. Pada AHP jarang disertai gagal hati,
asites dan splenomegali.
2.2.4. Diagnosis
Hal yang paling penting dalam penegakan diagnosis AHA adalah
kesadaran akan kemungkinan penyakit ini. Jika ada nyeri di daerah epigastrium
kanan dan hepatomegali serta demam yang tidak begitu tinggi, dugaan abses
hepar harus dipertimbangkan. Riwayat diare dan ditemukannya amuba dalam
feses membantu diagnosis. Diagnosis dapat ditegakkan dengan pemeriksaan USG
dan serologi.
Pemeriksaan laboratorium tidak spesifik dan sering didapatkan gambaran
lekositosis tanpa eosinofilia. Sedikit ada peningkatan transaminase hati. Ikterus
jarang terjadi, bila timbul, maka menunjukkan derajat abses hati yang berat.
Pemeriksaan mikrobiologi amuba pada feses masih dipertanyakan
efektivitasnya. Secara mikroskopis sulit membedakan E. histolytica dengan E.
dispar didalam feses. Tes enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) cukup
sensitif dan banyak digunakan untuk mengidentifikasi antigen E.histolytica pada

24

feses dan sekaligus membedakan dengan E.dispar yang secara morfologi sulit
dibedakan. Deteksi antibodi terhadap E. histolytica dapat dilakukan dengan tes
indirect hemagglutination assay (IHA) . Pemeriksaan berbasis biologi molekuler
atau DNA based

antara lain polymerase chain reaction (PCR) juga dapat

membantu tetapi hal ini sulit diintrepretasikan sebagai diagnosa pada daerah
endemis. Tes serologi untuk amuba mempunyai sensitivitas dan spesifitas yang
tinggi terhadap terjadinya infeksi amuba, sehingga penting untuk membedakan
antara abses pyogenik atau abses amuba.
Pemeriksaan foto thoraks pada AHA terjadi peningkatan diafragma kanan.
Peningkatan diafragma biasanya disertai efusi pleura dan pneumonitis atau
atelektase. Foto polos abdomen dapat membantu bila didapatkan tanda gas dalam
rongga abses dan bila terjadi ruptur abses kedalam organ berongga atau paru.

25

Ultrasonografi merupakan cara diagnosa yang sederhana, tidak mahal,


dapat dengan cepat dilakukan dan dapat diulang untuk evaluasi dengan angka
ketepatan diagnosa mencapai 90%. Pemeriksaan ultrasonografi didukung riwayat
penyakit, pemeriksaan klinis dan bila perlu konfirmasi test serologi akan
memperkecil kesalahan diagnosis. Gambaran abses tergantung stadium lesi. Pada
fase awal terjadi peningkatan ekogenisitas dibandingkan jaringan sekitarnya. Pade
fase nekrosis maka sentral abses menjadi echoluscent. Abses biasanya terletak
perifer dengan tepi abses bulat, oval atau berlobus dan ultrasonografi dapat
menunjukkan jumlah dan ukuran abses. Isi rongga abses biasanya hypoechoic dan
tidak homogen. Pada 78% sampai 80% berupa abses tunggal dan terletak pada

lobus kanan dan 10% pada lobus kiri, sedangkan sisanya berupa abses yang
multipel. Abses hati amubik bentuk cenderung bulat dengan batas jelas dan
letaknya sering sub kapsuler. Perlu dipikirkan kelainan yang lain seperti
karsinoma hepatoseluler, proses metastase karsinoma yang pada keadaan tertentu
secara ultrasonografi sulit dibedakan dengan AHA.

26

Gambar 2.4. USG pada Abses Hati Amebik


Copyright Dr. T.S.A. Geertsma, Ziekenhuis Gelderse Vallei, Ede, The Netherlands.
All rights reserved.

Keunggulan CT scan dibandingkan ultrasonografi adalah dalam hal


deteksi lesi yang lebih kecil, mendeteksi ruptur hati iminen, sensitif menentukan
kelainan kronis dan atypik hati, karena kontras menunjukkan penebalan tepi abses
hati piogenik dan peningkatan densitas dari tumor hati yang mengalami nekrosis.
MRI tidak lebih unggul dalam melakukan diagnosis abses hati amuba dan
membedakan dengan kelainan neoplasma hati yang lain, tetapi tidak dapat
digunakan sarana terapi. Pada abses hati yang belum mendapat terapi, MRI akan
menunjukkan rongga abses yang heterogen yang hypointense pada T1 dan
hyperintense pada T2. Sedangkan cincin hyperintense pada T2 menunjukkan batas
abses.
2.2.5. Tatalaksana
Tindakan aspirasi dilakukan bila dengan terapi konservatif gagal,
didapatkan tanda ekstensi keparu, peritoneal atau pericardia.
Tindakan laparotomi
dilakukan bila terdapat ruptur abses yang ditandai dengan peritonitis, terjadi
fistulasi keorgan berongga dan terjadi infeksi sekunder dengan septikemia.

27

Kecurigaan klinis AHA (nyeri di RUQ, demam, hepatomegali pada pasien pria

Terapi empirik amebisidal


CT Scan
Indirek Hemaglutination Assay

Serologi -

Serologi +
=+

Ulang tes serologi bila kecurigaan klinis kuat, pertimbangkan aspirasi diagnostik dengan pand

Teruskan terapi amebisid samp

Abses
besar,
resiko tin
Rupturtidak
ke
perikardial,
pleura
Absen tanpa komplikasi
perlu
terapisuperinfeksi,
lebih atau
lanjutperitoneum

Gambar 2.6. Algoritma Pengelolaan Abses Hati Amubik


A.

Terapi aspirasi
Sampai saat ini ada kontroversi tentang aspirasi yang dilakukan
pada abses hati yang tidak mengalami komplikasi dimana diagnosa dapat
dikonfirmasi dengan riwayat dan tampilan klinik yang khas, pemeriksaan
USG, pemeriksaan serologi amuba yang positif. Tidak ada bukti penelitian
bahwa aspirasi memperbaiki survival, lama rawat inap dan mempercepat
hilangnya panas badan dibandingkan dengan pemberian obat anti amuba
saja. Aspirasi mempunyai manfaat untuk menegakkan diagnosa yang
belum pasti dengan memeriksa kultur pus atau darah. Sedangkan bila
diagnosa adalah keganasan maka aspirasi merupakan kontraindikasi.
Terapi aspirasi pada pengelolaan abses hati amubik pada masa kini
merupakan tindakan yang dapat dilakukan dengan cepat, aman dan efektif.

28

Tindakan aspirasi sebagai prosedur rutin pada AHA tidak dianjurkan.


Aspirasi dilakukan pada abses dengan volume lebih dari 300 ml, resiko
ruptur dan tidak ada respon dengan terapi anti amuba.
Aspirasi AHA hanya dilakukan pada keadaan berikut ini:
1. Dari pemeriksaan serologi tidak dapat ditentukan diagnosa, diagnosa
perlu waktu yang lama atau tidak dapat dilakukan, sedangkan
diagnosa bandingnya adalah abses hati pyogenik.
2. Obat anti amubik perlu dipertimbangkan misal pada kehamilan.
3. Ada kecurigaan timbulnya infeksi sekunder pada abses hati
4. Bila panas tetap terjadi pada 3 sampai 5 hari setelah terapi yang tepat
5. Dikhawatirkan terjadi ruptur pada abses yang besar, khususnya ruptur
perikardial pada abses hati lobus kiri.
Untuk diagnosis cukup dilakukan sekali aspirasi. Namun bila
ternyata

memerlukan

aspirasi

berulang,

perlu

dipertimbangkan

pemasangan drain untuk menghindari resiko kekambuhan. Aspirasi untuk


tujuan diagnosis saat ini dianggap tidak akurat karena karakteristik
anchovy

souce

mungkin

tidak

didapatkan.

Sehingga

untuk

menghilangkan subyektivitas tersebut maka cairan aspirasi dapat diperiksa


dengan tes PCR atau dengan tes indirect hemaglution assay (IHA).
B.

Terapi Bedah
Indikasi tindakan laparotomi secara absolut bila ada keraguan
diagnosis, terjadi perforasi organ berongga dengan fistula, terjadi
perdarahan atau sepsis yang

mengancam jiwa

dan gagal dengan

pengelolaan konservatif.
Terapi pembedahan dimulai dengan identifikasi rongga abses dan
selanjutnya rongga abses dibuka secara tumpul , abses dievakuasi dan
debri dilepas dari dinding abses , septa dipecah. Didalam septa sering
berisi pembuluh darah dan saluran empedu sehingga dapat terjadi
perdarahan yang

sulit dikontrol terutama bila terjadi gangguan

pembekuan darah dan juga dapat terjadi kebocoran empedu. Dilakukan


irigasi rongga abses dengan menggunakan larutan saline dan disusul

29

instalasi larutan emetine hydrochloride 65 mg dalam 100 mL normal saline


selama 3 5 menit. Bila perlu dipasang dren yang besar. Perforasi organ
berongga diatasi dengan eksteriorisasi, diversi proksimal lesi, atau
menutup lubang perforasi.
Pasca bedah diberikan obat anti amuba intravena dikombinasi
dengan

dengan antibiotika yang berspektrum luas. Efusi pleura tidak

memerlukan tindakan sebab bila abses hati amebik dapat diatasi maka
efusi pleura akan mereda sendiri.
Abses hati dapat ruptur kedalam rongga pleura dan bila terjadi
dapat cepat meluas sehingga

abses akan mengisi rongga pleura dan

terjadi kolaps paru. Keadaan ini memerlukan tindakan thoracocentesis dan


disusul dengan pemasangan dren rongga thoraks dan dilakukan aspirasi.
Drainase yang tidak efektif akan menyebabkan infeksi sekunder yang
dikemudian hari memerlukan tindakan pembedahan yang lebih agresif
seperti dekortikasi paru.
Ruptur abses hati ke bronkus akan menyebabkan batuk dengan
sputum yang banyak dan berwarna coklat. Meskipun hal tersebut
disebabkan oleh abses hati tetapi dapat terdrainase. Abses biasanya disertai
pendindingan terhadap pleura dan rongga thoraks, sehingga tidak
memerlukan tindakan pembedahan dan perlu dijaga kelangsungan drainase
secara postural , disertai pemberian bronkodilator dan terapi anti amubik.
Abses hati pada lobus kiri cenderung menyebabkan komplikasi
pada perikard yang dimulai dengan efusi intra perikard sampai terjadinya
tamponade jantung akibat ruptur abses hati lobus kiri. Abses hati lobus kiri
dapat mengalami resolusi dengan pemberian anti amuba, tetapi bila
diagnosa menunjukkan adanya efusi perikard maka harus dilakukan
aspirasi abses hati lobus kiri tersebut. Bila ada tanda tamponade perlu
dilakukan aspirasi perikardium melalui pungsi sub xyphoid dan sekaligus
drainase abses hati yang menjadi penyebabnya.
2.2.6. Prognosis

30

Ketahanan hidup abses hati amubik lebih baik dibanding abses hati
pyogenik. Kematian abses hati amuba tanpa komplikasi mencapai 5,9%.
Study cohort secara prospektif, di India pada tahun 1996, bila didapatkan
bilirubin >3.5 mg/L, encephalopathy, volume abses >500 ml, albumin<2
g/dl dan jumlah abses akan berpengaruh pada peningkatan mortalitas.

Anda mungkin juga menyukai