TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
ANESTESI UMUM
Anestesi umum (general anesthesia) merupakan keadaan yang didapatkan
ketika agen obat-obatan anestetik mencapai konsentrasi tertentu untuk
memberikan efeknya secara reversibel pada sistem saraf pusat, dimana keadaan
tidak sadar (unconsciousness), amnesia, analgesik, immobilisasi, dan melemahnya
respon autonom pada stimulasi berbahaya telah dicapai. (Crowder, 2014)
Tujuan anestesi dilakukan secara umum adalah untuk menciptakan
ketidaksadaran yang aman dan reversibel, mengoptimalisasi respon fisiologis, dan
menciptakan keadaan operasi yang kondusif. Anestesi umum memiliki tiga
komponen penting, yaitu hilangnya kesadaran, analgesik, dan relaksasi otot.
(Davidson, 2012)
Gambar 2.1. Trias Anestesi
1)
Stadium I
Stadium I (Analgesia/Disorientasi) dimulai dari saat pemberian zat
anestetik sampai hilangnya kesadaran. Pada stadium ini pasien masih
dapat mengikuti perintah dan terdapat analgesi. Tindakan pembedahan
ringan, seperti pencabutan gigi dan biopsi kelenjar, dapat dilakukan pada
2)
stadium ini. Stadium iberakhir ditandai oleh hilangnya refleks bulu mata.
Stadium II
Stadium II (Eksitasi/Delirium) dimulai dari akhir stadium I dan
ditandai pernapasan yang irreguler, pupil melebar dengan reflekss cahaya
(+), pergerakan bola mata tidak teratur, lakrimasi (+), tonus otot meninggi
dan diakhiri dengan hilangnya reflekss menelan dan kelopak mata.
3)
Stadium III
Stadium III yaitu stadium sejak mulai teraturnya lagi pernapasan
hingga hilangnya pernapasan spontan. Stadium ini ditandai oleh hilangnya
pernapasan spontan, hilangnya reflekss kelopak mata dan dapat
digerakkannya kepala ke kiri dan kekanan dengan mudah. Stadium ini
dibagi menjadi 4 tingkat, yaitu :
a. Tingkat I : Dari napas teratur sampai berhentinya gerakan bola mata.
Ditandai dengan napas teratur, napas torakal sama dengan abdominal.
Gerakan bola mata berhenti, pupil mengecil, refleks cahaya (+),
lakrimasi meningkat, refleks faring dan muntah menghilang, tonus
otot menurun.
b. Tingkat II : Dari berhentinya gerakan bola mata sampai permulaan
paralisis otot interkostal. Ditandai dengan pernapasan teratur, volume
tidak menurun dan frekuensi napas meningkat, mulai terjadi depresi
napas torakal, bola mata berhenti, pupil mulai melebar dan refleks
cahaya menurun, refleks kornea menghilang dan tonus otot makin
menurun.
c. Tingkat III : Dari permulaan paralisis otot interkostal sampai paralisis
seluruh otot interkostal. Ditandai dengan pernapasan abdominal lebih
dorninan dari torakal, pupil makin melebar dan refleks cahaya
menghilang,
lakrimasi
negafif,
refleks
laring
dan
peritoneal
yaitu gangguan kardivaskular yang berat, hipertensi berat atau tak terkontrol
(diastolik >110 mmHg), diabetes tak terkontrol, infeksi akut, sepsis (Latief
et al., 2010).
rasa
cemas.
Penggunaan
benzodiazepine
untuk
amnesia
anterograd
tanpa
efek
analgesia.
Ketamin
Ketamin mempunyai efek analgetik dan anestestik dengan
kerja singkat. Anestesinya timbul karena adanya penghambatan
efek membrane dan neurotransmitter eksitasi asam glutamate pada
reseptor N-metil-D-aspartat. Sifat analgesiknya lebih kuat pada
system somatic, tetapi lemah untuk system visceral.
Ketamin merupakan satu-satunya anestetik intravena yang
merangsang kardiovaskular karena efek perangsangnya pada
system saraf simpatis. Dosis pemakaian ketamin untuk bolus 1- 2
mg/kgBB dengan onset aksi 45-60 detik dan durasi aksi 10-20
dengan
memicu
depolarisasi
sel
sehingga
terjadi
Sediaan
Duras
T 1/2
Fentanil
Propofol
2 ml
3-6 mcg / Segera
(0.05mg /
kg (D)
pada
ml)
1-3mcg /
rute IV
kg (A)
1 ml
0.23-5
(5mg/ml)
0.3mg /kg menit
20
ml 1-3 mg /kg 15-45
i
0.5-1
2-4
jam
jam
20-40
2-6
menit
5-10
jam
40
(10mg/ml)
detik
10
ml 1-2 mg /kg 30
menit
5-10
menit
-
Ketamin
(50mg/ml)
detik
Atrakurium 2.5
ml 0.4-0.5 mg 2-2.5
menit
20-35
20
(10mg/ml) /kg
menit
menit
Midazolam
Dosis
Onset
menit
b. Induksi Inhalasi
Faktor yang menentukan kecepatan transfer anestetik di jaringan
otak ditentukan oleh (1) kelarutan zat anestetik, (2) kadar anestetik
10
dalam udara yang dihirup pasien atau disebut tekanan parsial anestetik,
(3) ventilasi paru; (4) aliran darah paru, dan (5) perbedaan antara
tekanan parsial anestetik di darah arteri dan di darah vena.
Beberapa
jenis
induksi
inhalasi
yang
biasa
digunakan
diantaranya:
1) N2O
Nitrogen monoksida merupakan gas yang tidak berwarna,
tidak berbau, tidak berasa dan lebih berat daripada udara. N2O
biasanya tersimpan dalam bentuk cairan bertekanan tinggi dalam
baja, tekanan penguapan pada suhu kamar 51 atmosfir. N2O
mempunyai sifat 15 kali lebih mudah larut dalam plasma
dibandingkan oksigen. 1 ml cairan N2O dapat menghasilkan uap
440 ml pada 20oC dan tekanan 51 atm.
Mula-mula N2O diabsorbsi dalam tubuh dengan cepat 1000
ml/menit selama menit pertama. Dalam 5 menit absorbs berkurang
sebagian menjadi 500-700 ml/menit dan dalam 10 menit turun
sampai 350 ml/menit, kemudian 30 menit menjadi 200 ml/menit
dan dalam 100 menit turun sampai 100 ml/menit kemudian secara
lambat menurun sampai absorbs mencapai nol (jenuh). Ada 3 fase
pengambilan N2O berdasarkan saturasi arteri:
a. Dalam 5 menit mencapai 50% saturasi
b. Dalam 30-90 menit mencapai 90% saturasi
c. Dalam 5 jam mencapai saturasi penuh
N2O dalam penggunaannya pada anestesi umumnya dipakai
dalam kombinasi N2O : O2 = 60% : 40%, 70% : 30%, 50% : 50%,
2:1 (Latief et al., 2010).
N2O kurang larut dalam darah, dan merupakan alagetik
kurang kuat sehingga kini hanya digunakan sebagai adjuvant atau
sebagai pembawa anestesik inhalasi lainnya. N2O mempunyai efek
analgesik yang baik, sehingga kadang dalam tehnik disosiatif
dengan induksi intravena fentanil, fentanil tidak perlu diberikan
single dose. Dengan inhalasi 20% N2O dalam oksigen efeknya
seperti efek 15 mg morfin. Kadar optimum untuk mendapatkan
11
efek
pelumpuh
otot
depolarisasi
dan
non
12
Kadar
yang
tinggi
menyebabkan
depresi
anamnesis,
pemeriksaan lain
pemeriksaan
fisik,
laboratorium,
dan
13
14
III
sedang
pasien panyakit bedah disertai penyakit sistemik berat yang
IV
V
VI
g. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik dilakukan pemeriksaan keadaan gigi-geligi,
tindakan buka mulut, lidah relative besar akan menyulitkan tindakan
laringoskopi intubasi. Leher pendek dan kaku juga akan menyulitkan
laringoskopi intubasi. Berbagai sistem penilaian telah dibuat
menggunakan pengukuran orofacial untuk memprediksi intubasi sulit.
Skor Mallampati, yang mengidentifikasi pasien dengan faring yang
15
memberi
ketenangan,
bebas
nyeri,
mual/muntah
Memudahkan dan memperlancar induksi
Mengurangi dosis anesthesia
Menekan refleks-refleks yang tidak diinginkan
Menekan dan mengurangi sekresi kelenjar
Pemberian premedikasi dapat diberikan secara:
dan
mencegah
16
C.
anestesi
b. Suntikan intravena, diberikan 5 10 menit sebelum induksi anesthesia
Induksi Anestesi
Sebelum memulai induksi anestesi disiapkan peralatan dan obatobatan yang diperlukan, sehingga seandainya terjadi keadaan gawat
dapat diatasi dengan lebih cepat dan lebih baik. Obat-obat yang
disiapkan untuk keadaan gawat diantaranya adrenalin, atropine, epinefrin
dan aminofilin. Pasien yang telah diberikan obat-obatan premedikasi
kemudian diinduksi baik secara intravena maupun inhalasi, atau yang
jarang secara intramuscular dan rectal. Dosis yang diberikan disesuaikan
dengan berat badan pasien agar efek yang diharapkan adekuat. Obatobatan induksi anestesi disesuaikan dengan teknik anestesi yang akan
dijalankan, misalnya menggunakan sungkup muka saja atau perlu
pemasangan intubasi. Obat induksi bolus disuntikkan dalam kecepatan
antara 30-60 detik. Selama induksi anestesi, pernapasan pasien, nadi, dan
D.
17
ukurannya,
lalu
diperiksa
apakah
balon
dapat
18
F.
Monitoring Anestesi
Monitoring yang dapat dilakukan antara lain:
1. Monitoring kardiovaskular non invasive
1) Nadi
2) Tekanan darah
3) Banyaknya perdarahan
Monitoring terhadap perdarahan
dilakukan
dengan
19
Skor
2
1
0
20
oksigen
Sianosis
Respirasi
Respirasi
2
Dapat bernapas dalam dan Bernapas dalam dan batuk dengan
batuk
bebas
1
Dangkal tapi pertukaran udara Dyspnea,
tersedak
atau
adekuat
keterbatasan bernapas
0
Apnea
Apnea
Sirkulasi
Sirkulasi
2
Tekanan darah 20% dari nilai Tekanan darah 20 mmHg dari
normal
nilai normal
1
Tekanan darah 20%-50% dari Tekanan darah 20-50 mmHg dari
nilai normal
nilai normal
0
Tekanan darah >50% dari nilai Tekanan darah lebih dari 50
normal
mmHg dari nilai normal
Kesadaran
Kesadaran
2
Sadar, bangun dan orientasi Sadar penuh
baik
1
Bangun tapi cepat kembali Bangun dengan panggilan
tidur
0
Tidak ada respon
Tidak responsif
Aktivitas
Aktivitas
2
Dapat menggerakkan empat Dapat
menggerakkan
empat
ekstremitas
ekstremitas
1
Dapat
menggerakkan
dua Dapat
menggerakkan
dua
ekstremitas
ekstremitas
0
Tidak dapat bergerak
Tidak dapat bergerak
Nilai 9-10, pasien dapat dipindahkan ke ruangan
Sumber : Butterworth John F et al. 2013. Morgan and Mikhails Clinical
Anesthesiology. Edisi 5. Mc. Graw Hill. USA. Hlm 1265.
Sementara
untuk
anak,
penilaian
dilakukan
dengan
Airway
Kriteria
Bangun
Skor
2
0
2
jalan napas
21
Pergerakan
Tidak bergerak
0
Nilai >5, pasien dapat dipindahkan ke ruangan
Sumber : Ronald S. Litman. 2013. Basics of Pediatric Anesthesia. Philadelphia.
USA. Hlm 231.
2.2.
yang
ditandai
dengan
adanya
proses
supurasi
dengan
pembentukan pus yang terdiri dari jaringan hati nekrotik, sel inflamasi atau sel
darah didalam parenkim hati. Secara umum abses hati terbagi 2 yaitu abses hati
piogenik (AHP) dan abses hati amebik (AHA). (Tendean et al, 2007)
2.2.1. Epidemiologi
Abses hati amubik dijumpai dengan insiden tertinggi di daerah tropis dan
subtropis seperti Meksiko, Afrika Selatan, Amerika Tengah dan Selatan, India, dan
Asia Tenggara, dimana kemiskinan tinggi dan kondisi sanitasi jelek.
AHA merupakan tampilan amubik ekstra intestinal yang paling sering
ditemukan. Tidak seperti AHP, AHA mempunyai pola geografi dan distribusi
tertentu. Sering terjadi pada usia muda dimana pada laki dapat mencapai 3
sampai 10 kali lebih sering dibandingkan pada wanita. Alasan perbedaan insiden
pada jenis kelamin ini tidak jelas, pengaruh alkohol pada laki-laki, efek hormonal
dan efek defisiensi anemia pada wanita masa subur perlu dipertimbangkan.
2.2.2. Etiologi dan Patogenesis
Infeksi amuba pada manusia dimulai dengan tertelannya kista amuba.
Bentuk kista ini tahan terhadap asam lambung. Pada kondisi pH yang netral di
usus halus, kista berubah menjadi trofozoid. Trofozoid di kolon berinteraksi
dengan lectin-carbohydrate yang menyebabkan trofozoid ini melekat ke mukosa
dinding kolon. Trofozoid melakukan invasi dinding kolon dan penetrasi kedalam
22
mukosa kolon, sedangkan sebagian tidak melakukan invasi dan tetap pada mukosa
kolon. Predileksi amuba tersering pada sekum dan kolon asenden.
Invasi tersebut terjadi karena terjadi interaksi langsung dari sel amuba
yang dapat menyebabkan kematian sel host. Amuba mensekresi protein yang
dapat menyebabkan lysis sel host sehingga amuba dapat invasi kedalam jaringan
kolon. Amuba melakukan invasi ke submukosa kolon selanjutnya menyebabkan
ulkus yang berbentuk botol. Pada kondisi ini sulit membedakan infeksi akibat
invasi
amuba
dengan
inflamatory
bowel
disease,
sehingga
pemberian
netrofil yang mengakibatkan nekrosis hati. Netrofil yang lysis akan mengeluarkan
bahan kimiawi yang bersifat sitotoksik yang dapat mengakibatkan makin luasnya
nekrosis hati. Abses yang terbentuk berbatas jelas dengan jaringan hati dimana
bagian sentralnya menjadi jaringan yang nekrosis. Abses terdiri dari cairan yang
aseluler, berwarna merah kecoklatan yang disebut anchovy paste. Trofozoid
tidak didapatkan pada cairan abses tersebut tetapi didapatkan pada jaringan
nekrosis sekeliling abses yang merupakan jaringan ikat yang mengalami
inflamasi.
2.2.3. Manifestasi Klinik
Riwayat tinggal didaerah endemis atau riwayat pernah bepergian dari
daerah endemis dalam 3 - 5 bulan terakhir. Adanya tanda kolitis yang dimulai
dengan keluarnya mukus, diare dan feses yang mengandung darah, disertai kejang
usus, sampai terjadinya megakolon yang septik. Pada penderita abses hepar tidak
selalu ditemukan riwayat diare sebelumnya.
23
24
feses dan sekaligus membedakan dengan E.dispar yang secara morfologi sulit
dibedakan. Deteksi antibodi terhadap E. histolytica dapat dilakukan dengan tes
indirect hemagglutination assay (IHA) . Pemeriksaan berbasis biologi molekuler
atau DNA based
membantu tetapi hal ini sulit diintrepretasikan sebagai diagnosa pada daerah
endemis. Tes serologi untuk amuba mempunyai sensitivitas dan spesifitas yang
tinggi terhadap terjadinya infeksi amuba, sehingga penting untuk membedakan
antara abses pyogenik atau abses amuba.
Pemeriksaan foto thoraks pada AHA terjadi peningkatan diafragma kanan.
Peningkatan diafragma biasanya disertai efusi pleura dan pneumonitis atau
atelektase. Foto polos abdomen dapat membantu bila didapatkan tanda gas dalam
rongga abses dan bila terjadi ruptur abses kedalam organ berongga atau paru.
25
lobus kanan dan 10% pada lobus kiri, sedangkan sisanya berupa abses yang
multipel. Abses hati amubik bentuk cenderung bulat dengan batas jelas dan
letaknya sering sub kapsuler. Perlu dipikirkan kelainan yang lain seperti
karsinoma hepatoseluler, proses metastase karsinoma yang pada keadaan tertentu
secara ultrasonografi sulit dibedakan dengan AHA.
26
27
Kecurigaan klinis AHA (nyeri di RUQ, demam, hepatomegali pada pasien pria
Serologi -
Serologi +
=+
Ulang tes serologi bila kecurigaan klinis kuat, pertimbangkan aspirasi diagnostik dengan pand
Abses
besar,
resiko tin
Rupturtidak
ke
perikardial,
pleura
Absen tanpa komplikasi
perlu
terapisuperinfeksi,
lebih atau
lanjutperitoneum
Terapi aspirasi
Sampai saat ini ada kontroversi tentang aspirasi yang dilakukan
pada abses hati yang tidak mengalami komplikasi dimana diagnosa dapat
dikonfirmasi dengan riwayat dan tampilan klinik yang khas, pemeriksaan
USG, pemeriksaan serologi amuba yang positif. Tidak ada bukti penelitian
bahwa aspirasi memperbaiki survival, lama rawat inap dan mempercepat
hilangnya panas badan dibandingkan dengan pemberian obat anti amuba
saja. Aspirasi mempunyai manfaat untuk menegakkan diagnosa yang
belum pasti dengan memeriksa kultur pus atau darah. Sedangkan bila
diagnosa adalah keganasan maka aspirasi merupakan kontraindikasi.
Terapi aspirasi pada pengelolaan abses hati amubik pada masa kini
merupakan tindakan yang dapat dilakukan dengan cepat, aman dan efektif.
28
memerlukan
aspirasi
berulang,
perlu
dipertimbangkan
souce
mungkin
tidak
didapatkan.
Sehingga
untuk
Terapi Bedah
Indikasi tindakan laparotomi secara absolut bila ada keraguan
diagnosis, terjadi perforasi organ berongga dengan fistula, terjadi
perdarahan atau sepsis yang
mengancam jiwa
pengelolaan konservatif.
Terapi pembedahan dimulai dengan identifikasi rongga abses dan
selanjutnya rongga abses dibuka secara tumpul , abses dievakuasi dan
debri dilepas dari dinding abses , septa dipecah. Didalam septa sering
berisi pembuluh darah dan saluran empedu sehingga dapat terjadi
perdarahan yang
29
memerlukan tindakan sebab bila abses hati amebik dapat diatasi maka
efusi pleura akan mereda sendiri.
Abses hati dapat ruptur kedalam rongga pleura dan bila terjadi
dapat cepat meluas sehingga
30
Ketahanan hidup abses hati amubik lebih baik dibanding abses hati
pyogenik. Kematian abses hati amuba tanpa komplikasi mencapai 5,9%.
Study cohort secara prospektif, di India pada tahun 1996, bila didapatkan
bilirubin >3.5 mg/L, encephalopathy, volume abses >500 ml, albumin<2
g/dl dan jumlah abses akan berpengaruh pada peningkatan mortalitas.