Kelalaian dapat terjadi dalam 3 bentuk, yaitu malfeasance, misfeasance dan nonfeasance:
1. Malfeasance berarti melakukan tindakan yang melanggar hukum
atau
tidak
tepat/layak (unlawful atau improper), misalnya melakukan tindakan medis tanpa
indikasi yang memadai.
2. Misfeasance berarti melakukan pilihan tindakan medis yang tepat tetapi
dilaksanakan dengan tidak tepat (improper performance), yaitu misalnya melakukan
tindakan medis dengan menyalahi prosedur
3. Nonfeasance adalah tidak melakukan tindakan medis yang merupakan kewajiban
baginya.
Bentuk-bentuk
kelalaian
di
atas sejalan dengan
bentukbentuk error (mistakes, slips and lapses), namun pada kelalaian harus memenuhi
keempat unsur kelalaian dalam hukum khususnya adanya kerugian, sedangkan
error tidak selalu mengakibatkan kerugian.
Demikian pula adanya latent error yang tidak secara langsung menimbulkan dampak
buruk. Suatu perbuatan atau sikap dokter atau dokter gigi dianggap lalai apabila
memenuhi empat unsur di bawah ini, yaitu:
1. Duty atau kewajiban dokter dan dokter gigi untuk melakukan sesuatu tindakan atau
untuk tidak melakukan sesuatu tindakan tertentu terhadap pasien tertentu pada situasi
dan kondisi yang tertentu.
2. Dereliction of the duty atau penyimpangan kewajiban tersebut.
3. Damage atau kerugian, yaitu segala sesuatu yang dirasakan oleh pasien sebagai
kerugian akibat dari layanan kesehatan/kedokteran yang diberikan oleh pemberi
layanan.
4. Direct causal relationship atau hubungan sebab akibat yang nyata. Dalam hal ini
harus terdapat hubungan sebab akibat antara penyimpangan kewajiban dengan
kerugian yang setidaknya merupakan proximate cause.
a. Criminal Malpractice
Perbuatan seseorang dapat dimasukkan dalam kategori criminal
malpractice manakala perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik
pidana, yakni:
Perbuatan tersebut (positive/negative act) merupakan perbuatan
tercela
Dilakukan dengan sikap batin yang salah (mens rea) yang berupa
kesengajaan (intensional), kecerobohan (recklessness) atau
kealpaan (negligence)
o Intensional: melakukan euthanasia (pasal 344 KUHP),
membuka rahasia jabatan (pasal 332 KUHP), membuat surat
keterangan palsu (pasal 263 KUHP), melakukan aborsi tanpa
indikasi medis (pasal 299 KUHP)
o Recklessness: melakukan tindakan medis tanpa persetujuan
pasien informed consent
o Negligence: kurang hati-hati mengakibatkan luka, cacat atau
meninggalnya pasien, ketinggalan klem dalam perut pasien saat
melakukan operasi
Pertanggung jawaban didepan hukum pada criminal malpractice adalah bersifat
individual/personal dan oleh sebab itu tidak dapat dialihkan kepada orang lain
atau kepada rumah sakit / sarana kesehatan
b. Civil Malpractice
Seorang tenaga kesehatan akan disebut melakukan civil malpractice apabila
tidak melaksanakan kewajiban atau tidak memberikan prestasinya sebagaimana
yang telah disepakati (ingkar janji). Tindakan tenaga kesehatan yang dapat
dikategorikan civil malpractice antara lain:
Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan
Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi
terlambat melakukannya
Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi tidak
sempurna
Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya dilakukan
tidak
1.4 UNDANG-UNDANG
Investigasi
Seorang dokter atau dokter gigi yang menyimpang dari standar profesi dan
melakukan kesalahan profesi belum tentu melakukan malpraktik medis yang dapat
dipidana, malpraktik medis yang dipidana membutuhkan pembuktian adanya unsur culpa
lata atau kalalaian berat dan pula berakibat fatal atau serius (Ameln, Fred, 1991). Hal ini
sesuai dengan ketentuan pasal 359 KUHP, pasal 360, pasal 361 KUHP yang dibutuhkan
pembuktian culpa lata dari dokter atau dokter gigi. Dengan demikian untuk pembuktian
malpraktik secara hukum pidana meliputi unsur :
.
1.5 Alur Hukum Pasien
MAJELIS KEHORMATAN ETIK KEDOKTERAN (MKEK)
Dalam hal seorang dokter diduga melakukan pelanggaran etika kedokteran (tanpa
melanggar norma hukum), maka ia akan dipanggil dan disidang oleh Majelis Kehormatan
Etik Kedokteran (MKEK) IDI untuk dimintai pertanggung-jawaban (etik dan disiplin
profesi). Persidangan MKEK bertujuan untuk mempertahankan akuntabilitas,
profesionalisme dan keluhuran profesi. Saat ini MKEK menjadi satu-satunya majelis
profesi yang menyidangkan kasus dugaan pelanggaran etik atau disiplin profesi di
kalangan kedokteran. Di kemudian hari Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran
Indonesia (MKDKI), lembaga yang dimandatkan untuk didirikan oleh UU No 29 / 2004,
akan menjadi majelis yang menyidangkan dugaan pelanggaran disiplin profesi
kedokteran. Dalam hal MKDKI dalam sidangnya menemukan adanya pelanggaran etika,
maka MKDKI akan meneruskan kasus tersebut kepada MKEK
Fungsi MKEK
Persidangan MKEK bersifat inkuisitorial khas profesi, yaitu Majelis (ketua dan anggota)
bersikap aktif melakukan pemeriksaan, tanpa adanya badan atau perorangan sebagai
penuntut. Persidangan MKEK secara formil tidak menggunakan sistem pembuktian
sebagaimana lazimnya di dalam hukum acara pidana ataupun perdata, namun demikian
tetap berupaya melakukan pembuktian mendekati ketentuan-ketentuan pembuktian yang
lazim. Dalam melakukan pemeriksaannya, Majelis berwenang memperoleh :
1. Keterangan, baik lisan maupun tertulis (affidavit), langsung dari pihak-pihak terkait
(pengadu, teradu, pihak lain yang terkait) dan peer-group atau para ahli di bidangnya
yang dibutuhkan
2. Dokumen yang terkait, seperti bukti kompetensi dalam bentuk berbagai ijasah/brevet
dan pengalaman, bukti keanggotaan profesi, bukti kewenangan berupa Surat Ijin
Praktek Tenaga Medis, Perijinan rumah sakit tempat kejadian, bukti hubungan dokter
dengan rumah sakit, hospital bylaws, SOP dan SPM setempat, rekam medis, dan
surat-surat lain yang berkaitan dengan kasusnya.
Tugas MKEK
1. Melakukan tugas bimbingan, pengawasan dan penilaian dalam pelaksanaan etik
kedokteran, termasuk perbuatan anggota yang melanggar kehormatan dan tradisi
luhur kedokteran.
2. Memperjuangkan agar etik kedokteran dapat ditegakkan di Indonesia.
3. Memberikan usul dan saran diminta atau tidak diminta kepada pengurus cabang.
4. Membina hubungan baik dengan majelis atau instansi yang berhubungan dengan etik
profesi, baik pemerintah maupun organisasi profesi lain
5. Bertanggung jawab kepada musyawarah cabang.
MAJELIS KEHORMATAN DISIPLIN KEDOKTERAN INDONESIA (MKDKI)
Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia adalah lembaga yang
berwenang untuk menentukan ada tidaknya kesalahan yang dilakukan dokter dan dokter
gigi dalam penerapan disiplin ilmu kedokteran dan kedokteran gigi, dan menetapkan
sanksi. Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia merupakan lembaga otonom
dari Konsil Kedokteran Indonesia, dan dalam menjalankan tugasnya bersifat independen,
serta bertanggung jawab kepada Konsil Kedokteran Indonesia. Berkedudukan di ibu kota
negara Republik Indonesia. Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran di tingkat provinsi
dapat dibentuk oleh Konsil Kedokteran Indonesia atas usul Majelis Kehormatan Disiplin
Kedokteran Indonesia.
Pimpinan MKDKI terdiri atas seorang ketua, seorang wakil ketua, dan seorang
sekretaris. Keanggotaan MKDKI terdiri atas 3 orang dokter gigi dan organisasi profesi
masing-masing, seorang dokter dan seorang dokter gigi mewakili asosiasi rumah sakit,
dan 3 orang sarjana hukum. Anggota MKDKI ditetapkan oleh Menteri atas usul
organisasi profesi. Masa bakti keanggotaan MKDKI sebagaimana dimaksud dalam Pasal
60 adalah 5 tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 kali masa jabatan. Pimpinan
MKDKI dipilih dan ditetapkan oleh rapat pleno anggota. Ketentuan lebih lanjut mengenai
tata cara pemilihan pimpinan MKDKI diatur dengan Peraturan Konsil Kedokteran
Indonesia.
Fungsi MKDKI
Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) adalah lembaga Negara
yang berwenang untuk :
1. Menentukan ada atau tidaknya kesalahan yang dilakukan dokter/dokter gigi dalam
penerapan disiplin ilmu kedokteran/kedokteran gigi
2. Menetapkan sanksi bagi dokter/dokter gigi yang dinyatakan bersalah.
3. Dasar pembentukan dan kewenangan MKDKI adalah Undang-Undang Nomor 29
Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.
Tugas MKDKI
Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia bertugas :
1. Menerima pengaduan, memeriksa, dan memutuskan kasus pelanggaran disiplin
dokter dan dokter gigi yang diajukan
2. Menyusun pedoman dan tata cara penanganan kasus pelanggaran disiplin dokter atau
dokter gigi.
Pelanggaran disiplin adalah pelanggaran terhadap aturan aturan dan/atau
ketentuan penerapan keilmuan dalam pelaksanaan pelayanan yang seharusnya diikuti
oleh dokter dan dokter gigi. Sebagian dari aturan dan ketentuan tersebut terdapat dalam
UU Praktik Kedokteran, dan sebagian lagi tersebar didalam Peraturan Pemerintah,
Permenkes, Peraturan KKI, Pedoman Organisasi Profesi, KODEKI, Pedoman atau
ketentuan lain.
Pelanggaran disiplin pada hakikatnya dibagi menjadi :
1. Melaksanakan praktik kedokteran dengan tidak kompeten.
2. Tugas dan tanggung jawab profesional pada pasien tidak dilaksanakan dengan baik.
3. Berperilaku tercela yang merusak martabat dan kehormatan profesi kedokteran.
Setiap orang yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan atas tindakan
dokter atau gigi dalam menjalankan praktik kedokteran dapat mengadukan secara tertulis
kepada Ketua MKDKI. Pengaduan sekurang-kurangnya harus memuat :
1. Identitas pengadu
2. Nama dan alamat tempat praktik dokter atau dokter gigi dan waktu tindakan
dilakukan dan
3. Alasan pengaduan.
Pengaduan sebagaimana dimaksud diatas, tidak menghilangkan hak setiap orang
untuk melaporkan adanya dugaan tindak pidana kepada pihak yang berwenang dan/atau
menggugat kerugian perdata ke pengadilan. MKDKI memeriksa dan memberikan
keputusan terhadap pengaduan yang berkaitan dengan disiplin dokter dan dokter gigi.
Apabila dalam pemeriksaan ditemukan pelanggaran etika, MKDKI meneruskan
pengaduan pada organisasi profesi. Keputusan MKDKI mengikat dokter, dokter gigi, dan
Konsil Kedokteran Indonesia. Keputusan dapat berupa dinyatakan tidak bersalah atau
pemberian sanksi disiplin. Sanksi disiplin dapat berupa:
1. Pemberian peringatan tertulis;
2. Rekomendasi pencabutan surat tanda registrasi atau surat izin praktik; dan/atau
3. Kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan kedokteran
atau kedokteran gigi.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan fungsi dan tugas Majelis
Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia, tata cara penanganan kasus, tata cara
pengaduan, dan tata cara pemeriksaan serta pemberian keputusan diatur dengan Peraturan
Konsil Kedokteran Indonesia.
1.5. Aspek Hukum dan Sanksi
1. Undang-Undang Republik Indonesia nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan
2. Pasal 359 360 KUHP Pidana
Pasal 359 KUHP
10
Pada perkara perdata dalam tuduhan civil malpractice dimana perawat digugat
membayar ganti rugi sejumlah uang, yang dilakukan adalah mementahkan dalil-dalil
penggugat, karena dalam peradilan perdata, pihak yang mendalilkan harus membuktikan
di pengadilan, dengan perkataan lain pasien atau pengacaranya harus membuktikan dalil
sebagai dasar gugatan bahwa tergugat (perawat) bertanggung jawab atas derita (damage)
yang dialami penggugat.
Untuk membuktikan adanya civil malpractice tidak mudah, utamanya tidak
diketemukan fakta yang dapat berbicara sendiri (res ipsa loquitur), apalagi untuk
membuktikan adanya tindakan menterlantarkan kewajiban (dereliction of duty) dan
adanya hubungan langsung antara menterlantarkan kewajiban dengan adanya rusaknya
kesehatan (damage), sedangkan yang harus membuktikan adalah orang-orang awam
dibidang kesehatan dan hal inilah yang menguntungkan tenaga perawatan.
2.Memahami dan Menjelaskan Informed Consent
2.1. Definisi
Informed Consent adalah persetujuan tindakan kedokteran yang diberikan oleh
pasien atau keluarga terdekatnya setelah mendapatkan penjelasan secara lengkap
mengenai tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut. Persetujuan
yang ditanda tangani oleh pasien atau keluarga terdekatnya tersebut, tidak membebaskan
dokter dari tuntutan jika dokter melakukan kelalaian. Tindakan medis yang dilakukan
tanpa persetujuan pasien atau keluarga terdekatnya, dapat digolongkan sebagai tindakan
melakukan penganiayaan berdasarkan KUHP Pasal 351.
Informasi/keterangan yang wajib diberikan sebelum suatu tindakan kedokteran
dilaksanakan adalah:
1. Diagnosa yang telah ditegakkan.
2. Sifat dan luasnya tindakan yang akan dilakukan.
3. Manfaat dan urgensinya dilakukan tindakan tersebut.
4. Resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi daripada tindakan kedokteran tersebut.
5. Konsekwensi bila tidak dilakukan tindakan tersebut dan adakah alternatif cara
pengobatan yang lain.
6. Kadangkala biaya yang menyangkut tindakan kedokteran tersebut.
BENTUK INFORMED CONSENT
1) Implied Constructive Consent (Keadaan Biasa)
Tindakan yang biasa dilakukan, telah diketahui, telah dimengerti oleh masyarakat
umum, sehingga tidak perlu lagi dibuat tertulis. Misalnya pengambilan darah untuk
laboratorium, suntikan, atau hecting luka terbuka.
2) Implied Emergency Consent (Keadaan Gawat Darurat)
Bila pasien dalam kondisi gawat darurat sedangkan dokter perlu melakukan tindakan
segera untuk menyelematkan nyawa pasien sementara pasien dan keluarganya tidak
bisa membuat persetujuan segera. Seperti kasus sesak nafas, henti nafas, henti
jantung.
3) Expressed Consent (Bisa Lisan/Tertulis Bersifat Khusus)
Persetujuan yang dinyatakan baik lisan ataupun tertulis, bila yang akan dilakukan
melebihi prosedur pemeriksaan atau tindakan biasa. Misalnya pemeriksaan vaginal,
pencabutan kuku, tindakan pembedahan/operasi, ataupun pengobatan/tindakan
invasive.
2
Tujuan
Tujuan dari informed consent adalah agar pasien mendapat informasi yang cukup
untuk dapat mengambil keputusan atas terapi yang akan dilaksanakan. Informed consent
juga berarti mengambil keputusan bersama. Hak pasien untuk menentukan nasibnya
11
dapat terpenuhi dengan sempurna apabila pasien telah menerima semua informasi yang ia
perlukan sehingga ia dapat mengambil keputusan yang tepat. Kekecualian dapat dibuat
apabila informasi yang diberikan dapat menyebabkan guncangan psikis pada pasien.
Dokter harus menyadari bahwa informed consent memiliki dasar moral dan etik
yang kuat. Menurut American College of Physicians Ethics Manual, pasien harus
mendapat informasi dan mengerti tentang kondisinya sebelum mengambil keputusan.
Berbeda dengan teori terdahulu yang memandang tidak adanya informed consent menurut
hukum penganiayaan, kini hal ini dianggap sebagai kelalaian. Informasi yang diberikan
harus lengkap, tidak hanya berupa jawaban atas pertanyaan pasien.
3 Manfaat
Informed Consent bermanfaat untuk :
1 Melindungi pasien terhadap segala tindakan medik yang dilakukan tanpa
sepengetahuan pasien. Misalnya tindakan medik yang tidak perlu atau tanpa
indikasi, penggunaan alat canggih dengan biaya tinggi dsbnya.
2 Memberikan perlindungan hukum bagi dokter terhadap akibat yang tidak terduga
dan bersifat negatif. Misalnya terhadap resiko pengobatan yang tidak dapat
dihindari walaupun dokter telah bertindak seteliti mungkin.
Dengan adanya informed consent maka hak autonomy perorangan di
kembangkan, pasien dan subjek dilindungi, mencegah terjadinya penipuan atau paksaan,
merangsang profesi medis untuk mengadakan introspeksi, mengajukan keputusankeputusan yang rasional dan melibatkan masyarakat dalam memajukan prinsip autonomy
sebagai suatu nilai sosial serta mengadakan pengawasan dalam penelitian biomedik.
2.4Bentuk
1. Implied Constructive Consent (Keadaan Biasa)
Tindakan yang biasa dilakukan, telah diketahui, telah dimengerti oleh masyarakat
umum, sehingga tidak perlu lagi dibuat tertulis. Misalnya pengambilan darah
untuk laboratorium, suntikan, atau hecting luka terbuka.
2. Implied Emergency Consent (Keadaan Gawat Darurat)
Bila pasien dalam kondiri gawat darurat sedangkan dokter perlu melakukan
tindakan segera untuk menyelematkan nyawa pasien sementara pasien dan
keluarganya tidak bisa membuat persetujuan segera. Seperti kasus sesak nafas,
henti nafas, henti jantung.
3. Expressed Consent (Bisa Lisan/Tertulis Bersifat Khusus)
Persetujuan yang dinyatakan baik lisan ataupun tertulis, bila yang akan dilakukan
melebihi prosedur pemeriksaan atau tindakan biasa. Misalnya pemeriksaan
vaginal, pencabutan kuku, tindakan pembedahan/operasi, ataupun
pengobatan/tindakan invasive.
Persetujuan
Bentuk persetujuan atau penolakan
Rumah sakit memiliki tugas untuk menjamin bahwa informed consent sudah
didapat. Istilah untuk kelalaian rumah sakit tersebut yaitu fraudulent concealment.
Pasien yang akan menjalani operasi mendapat penjelasan dari seorang dokter bedah
namun dioperasi oleh dokter lain dapat saja menuntut malpraktik dokter yang tidak
mengoperasi karena kurangnya informed consent dan dapat menuntut dokter yang
mengoperasi untuk kelanjutannya.
Bentuk persetujuan tidaklah penting namun dapat membantu dalam persidangan
bahwa persetujuan diperoleh. Persetujuan tersebut harus berdasarkan semua elemen dari
informed consent yang benar yaitu pengetahuan, sukarela dan kompetensi.
12
Beberapa rumah sakit dan dokter telah mengembangkan bentuk persetujuan yang
merangkum semua informasi dan juga rekaman permanen, biasanya dalam rekam medis
pasien. Format tersebut bervariasi sesuai dengan terapi dan tindakan yang akan diberikan.
Saksi tidak dibutuhkan, namun saksi merupakan bukti bahwa telah dilakukan informed
consent. Informed consent sebaiknya dibuat dengan dokumentasi naratif yang akurat oleh
dokter yang bersangkutan.
Otoritas untuk memberikan persetujuan
Seorang dewasa dianggap kompeten dan oleh karena itu harus mengetahui terapi
yang direncanakan. Orang dewasa yang tidak kompeten karena penyakit fisik atau
kejiwaan dan tidak mampu mengerti tentu saja tidak dapat memberikan informed consent
yang sah. Sebagai akibatnya, persetujuan diperoleh dari orang lain yang memiliki otoritas
atas nama pasien. Ketika pengadilan telah memutuskan bahwa pasien inkompeten, wali
pasien yang ditunjuk pengadilan harus mengambil otoritas terhadap pasien.
Persetujuan pengganti ini menimbulkan beberapa masalah. Otoritas seseorang
terhadap persetujuan pengobatan bagi pasien inkompeten termasuk hak untuk menolak
perawatan tersebut. Pengadilan telah membatasi hak penolakan ini untuk kasus dengan
alasan yang tidak rasional. Pada kasus tersebut, pihak dokter atau rumah sakit dapat
memperlakukan kasus sebagai keadaan gawat darurat dan memohon pada pengadilan
untuk melakukan perawatan yang diperlukan. Jika tidak cukup waktu untuk memohon
pada pengadilan, dokter dapat berkonsultasi dengan satu atau beberapa sejawatnya.
Jika keluarga dekat pasien tidak setuju dengan perawatan yang direncanakan atau
jika pasien, meskipun inkompeten, mengambil posisi berlawanan dengan keinginan
keluarga, maka dokter perlu berhati-hati. Terdapat beberapa indikasi dimana pengadilan
akan mempertimbangkan keinginan pasien, meskipun pasien tidak mampu untuk
memberikan persetujuan yang sah. Pada kebanyakan kasus, terapi sebaiknya segera
dilakukan
(1) jika keluarga dekat setuju,
(2) jika memang secara medis perlu penatalaksanaan segera,
(3) jika tidak ada dilarang undang-undang.
Cara terbaik untuk menghindari risiko hukum dari persetujuan pengganti bagi
pasien dewasa inkompeten adalah dengan membawa masalah ini ke pengadilan.
Kemampuan memberi perijinan
Perijinan harus diberikan oleh pasien yang secara fisik dan psikis mampu
memahami informasi yang diberikan oleh dokter selama komunikasi dan mampu
membuat keputusan terkait dengan terapi yang akan diberikan. Pasien yang menolak
diagnosis atau tatalaksana tidak menggambarkan kemampuan psikis yang kurang.
Paksaan tidak boleh digunakan dalam usaha persuasif. Pasien seperti itu membutuhkan
wali biasanya dari keluarga terdekat atau yang ditunjuk pengadilan untuk memberikan
persetujuan pengganti.
Jika tidak ada wali yang ditunjuk pengadilan, pihak ketiga dapat diberi kuasa
untuk bertindak atas nama pokok-pokok kekuasaan tertulis dari pengacara. Jika tidak ada
wali bagi pasien inkompeten yang sebelumnya telah ditunjuk oleh pengadilan, keputusan
dokter untuk memperoleh informed consent diagnosis dan tatalaksana kasus bukan
kegawatdaruratan dari keluarga atau dari pihak yang ditunjuk pengadilan tergantung
kebijakan rumah sakit. Pada keadaan dimana terdapat perbedaan pendapat diantara
anggota keluarga terhadap perawatan pasien atau keluarga yang tidak dekat secara
emosional atau bertempat tinggal jauh, maka dianjurkan menggunakan laporan legal dan
formal untuk menentukan siapa yang dapat memberikan perijinan bagi pasien
inkompeten.
Pihak Yang Berhak Menyatakan Persetujuan:
1 Pasien sendiri (bila telah berumur 21 tahun atau telah menikah)
13
Bagi pasien di bawah umur 21 tahun diberikan oleh mereka menurut hak sebagai
berikut: (1) Ayah/ibu kandung, (2) Saudara-saudara kandung.
3 Bagi yang di bawah umur 21 tahun dan tidak mempunyai orang tua atau orang
tuanya berhalangan hadir diberikan oleh mereka menurut urutan hak sebagai
berikut: (l) Ayah/ibu adopsi, (2) Saudara-saudara kandung, (3) Induk semang.
4 Bagi pasien dewasa dengan gangguan mental, diberikan oleh mereka menurut
urutan hak sebagai berikut: (1) Ayah/ibu kandung, (2) Wali yang sah, (3)
Saudara-saudara kandung.
5 Bagi pasien dewasa yang berada dibawah pengampuan (curatelle), diberikan
menurut urutan hak sebagai berikut: (1) Wali, (2) Curator.
6 Bagi pasien dewasa yang telah menikah/orang tua, diberikan oleh mereka
menurut urutan hak sebagai berikut: a. Suami/istri, b. Ayah/ibu kandung, c. Anakanak kandung, d. Saudara-saudara kandung.
Wali: yang menurut hukum menggantikan orang lain yang belum dewasa untuk
mewakilinya dalam melakukan perbuatan hukum atau yang menurut hukum
menggantikan kedudukan orang tua. Induk semang : orang yang berkewajiban untuk
mengawasi serta ikut bertanggung jawab terhadap pribadi orang lain seperti pimpinan
asrama dari anak perantauan atau kepala rumah tangga dari seorang pembantu rumah
tangga yang belum dewasa.
Isi
Dalam Permenkes No. 585 tahun 1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik
dinyatakan bahwa dokter harus menyampaikan informasi atau penjelasan kepada
pasien/keluarga diminta atau tidak diminta, jadi informasi harus disampaikan.
Mengenai apa yang disampaikan, tentulah segala sesuatu yang berkaitan dengan
penyakit pasien. Tindakan apa yang dilakukan, tentunya prosedur tindakan yang akan
dijalani pasien baik diagnostic maupun terapi dan lain-lain sehingga pasien atau keluarga
dapat memahaminya. Ini mencangkup bentuk, tujuan, resiko, manfaat dari terapi yang
akan dilaksanakan dan alternative terapi (Hanafiah, 1999).
Secara umum dapat dikatakan bahwa semua tindakan medis yang akan dilakukan
terhadap pasien yang harus diinformasikan sebelumnya, namun izin yang harus diberikan
oleh pasien dapat berbagai macam bentuknya, baik yang dinyatakan ataupun tidak. Yang
paling untuk diketahui adalah bagaimana izin tersebut harus dituangkan dalam bentuk
tertulis, sehingga akan memudahkan pembuktiannya kelak bila timbul perselisihan.
Secara garis besar dalam melakukan tindakan medis pada pasien, dokter harus
menjelaskan beberapa hal, yaitu:
1 Garis besar seluk beluk penyakit yang diderita dan prosedur perawatan / pengobatan
yang akan diberikan / diterapkan.
2 Resiko yang dihadapi, misalnya komplikasi yang diduga akan timbul.
3 Prospek / prognosis keberhasilan ataupun kegagalan.
4 Alternative metode perawatan / pengobatan.
5 Hal-hal yang dapat terjadi bila pasien menolak untuk memberikan persetujuan.
6 Prosedur perawatan / pengobatan yang akan dilakukan merupakan suatu percobaan
atau menyimpang dari kebiasaan, bila hal itu yang akan dilakukan Dokter juga perlu
menyampaikan (meskipun hanya sekilas), mengenai cara kerja dan pengalamannya
dalam melakukan tindakan medis tersebut (Achadiat, 2007).
Informasi/keterangan yang wajib diberikan sebelum suatu tindakan kedokteran
dilaksanakan adalah:
1. Diagnosa yang telah ditegakkan.
2. Sifat dan luasnya tindakan yang akan dilakukan.
3. Manfaat dan urgensinya dilakukan tindakan tersebut.
14
4. Resiko resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi daripada tindakan kedokteran
tersebut.
5. Konsekwensinya bila tidak dilakukan tindakan tersebut dan adakah alternatif cara
pengobatan yang lain.
6. Kadangkala biaya yang menyangkut tindakan kedokteran tersebut.
Resiko resiko yang harus diinformasikan kepada pasien yang dimintakan persetujuan
tindakan kedokteran :
Resiko yang melekat pada tindakan kedokteran tersebut.
Resiko yang tidak bisa diperkirakan sebelumnya.
Dalam hal terdapat indikasi kemungkinan perluasan tindakan kedokteran, dokter
yang akan melakukan tindakan juga harus memberikan penjelasan ( Pasal 11 Ayat 1
Permenkes No 290/Menkes/PER/III/2008 ). Penjelasan kemungkinan perluasan tindakan
kedokteran sebagaimana dimaksud dalam Ayat 1 merupakan dasar daripada persetujuan
(Ayat 2).
Pengecualian terhadap keharusan pemberian informasi sebelum dimintakan
persetujuan tindakan kedokteran adalah:
Dalam keadaan gawat darurat (emergency), dimana dokter harus segera bertindak
untuk menyelamatkan jiwa.
Keadaan emosi pasien yang sangat labil sehingga ia tidak bisa menghadapi situasi
dirinya. Ini tercantum dalam PerMenKes no 290 / Menkes / Per / III / 2008.
KETENTUAN INFORMED CONSENT
Ketentuan persetujuan tidakan medik berdasarkan SK Dirjen Pelayanan Medik
No.HR.00.06.3.5.1866 Tanggal 21 April 1999, diantaranya :
Persetujuan atau penolakan tindakan medik harus dalam kebijakan dan prosedur
(SOP) dan ditetapkan tertulis oleh pimpinan RS.
2 Memperoleh informasi dan pengelolaan, kewajiban dokter
3 Informed Consent dianggap benar :
a Persetujuan atau penolakan tindakan medis diberikan untuk tindakan medis yang
dinyatakan secara spesifik.
b Persetujuan atau penolakan tindakan medis diberikan tanpa paksaan (valuentery)
c Persetujuan dan penolakan tindakan medis diberikan oleh seseorang (pasien) yang
sehat mental dan memang berhak memberikan dari segi hukum
d Setelah diberikan cukup (adekuat) informasi dan penjelasan yang diperlukan
1
15
16
PENGERTIAN MALPRAKTEK
Malpraktek berasal dari kata 'malpractice' dalam bahasa Inggris. Secara harfiah,
'mal' berarti 'salah', dan 'practice' berarti 'pelaksanaan' atau 'tindakan', sehingga
malpraktek berarti 'pelaksanaan atau tindakan yang salah'. Jadi, malpraktek adalah
tindakan yang salah dalam pelaksanaan suatu profesi. Istilah ini bisa dipakai dalam
berbagai bidang, namun lebih sering dipakai dalam dunia kedokteran dan kesehatan.
Artikel ini juga hanya akan menyoroti malpraktek di seputar dunia kedokteran saja.
Perlu diketahui bahwa kesalahan dokter atau profesional lain di dunia kedokteran
dan kesehatan, kadang berhubungan dengan etika/akhlak. Misalnya, mengatakan bahwa
pasien harus dioperasi, padahal tidak demikian. Atau memanipulasi data foto rontgen agar
bisa mengambil keuntungan dari operasi yang dilakukan. Jika kesalahan ini terbukti dan
membahayakan pasien, dokter harus mempertanggung jawabkannya secara etika.
Hukumannya bisa berupa ta'zr, ganti rugi, diyat, hingga qishash.
Malpraktek juga kadang berhubungan dengan disiplin ilmu kedokteran. Jenis
kesalahan ini yang akan mendapat porsi lebih dalam tulisan ini.
BENTUK-BENTUK MALPRAKTEK
Malpraktek yang menjadi penyebab dokter bertanggung-jawab secara profesi bisa
digolongkan sebagai berikut:
1. Tidak Punya Keahlian (Jahil)
Yang dimaksudkan di sini adalah melakukan praktek pelayanan kesehatan tanpa
memiliki keahlian, baik tidak memiliki keahlian sama sekali dalam bidang kedokteran,
atau memiliki sebagian keahlian tapi bertindak di luar keahliannya. Orang yang tidak
17
"Barang siapa yang praktek menjadi dokter dan sebelumnya tidak diketahui memiliki
keahlian, maka ia bertanggung-jawab"
Kesalahan ini sangat berat, karena menganggap remeh kesehatan dan nyawa banyak
orang, sehingga para Ulama sepakat bahwa mutathabbib (pelakunya) harus bertanggungjawab, jika timbul masalah dan harus dihukum agar jera dan menjadi pelajaran bagi orang
lain.
2. Menyalahi Prinsip-Prinsip Ilmiah (Mukhlafatul Ushl Al-'Ilmiyyah)
Yang dimaksud dengan pinsip ilmiah adalah dasar-dasar dan kaidah-kaidah yang
telah baku dan biasa dipakai oleh para dokter, baik secara teori maupun praktek, dan
harus dikuasai oleh dokter saat menjalani profesi kedokteran.
Para ulama telah menjelaskan kewajiban para dokter untuk mengikuti prinsipprinsip ini dan tidak boleh menyalahinya. Imam Syfi'i rahimahullah misalnya
mengatakan: "Jika menyuruh seseorang untuk membekam, mengkhitan anak, atau
mengobati hewan piaraan, kemudian semua meninggal karena praktek itu, jika orang
tersebut telah melakukan apa yang seharusnya dan biasa dilakukan untuk maslahat pasien
menurut para pakar dalam profesi tersebut, maka ia tidak bertanggung-jawab. Sebaliknya,
jika ia tahu dan menyalahinya, maka ia bertanggung-jawab. "Bahkan hal ini adalah
kesepakatan seluruh Ulama, sebagaimana disebutkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah.
Hanya saja, hakim harus lebih jeli dalam menentukan apakah benar-benar terjadi
pelanggaran prinsip-prinsip ilmiah dalam kasus yang diangkat, karena ini termasuk
permasalahan yang pelik.
18
3. Ketidaksengajaan (Khatha')
Ketidaksengajaan adalah suatu kejadian (tindakan) yang orang tidak memiliki
maksud di dalamnya. Misalnya, tangan dokter bedah terpeleset sehingga ada anggota
tubuh pasien yang terluka. Bentuk malpraktek ini tidak membuat pelakunya berdosa, tapi
ia harus bertanggungjawab terhadap akibat yang ditimbulkan sesuai dengan yang telah
digariskan Islam dalam bab jinayat, karena ini termasuk jinayat khatha' (tidak sengaja).
4. Sengaja Menimbulkan Bahaya (I'tid')
Maksudnya adalah membahayakan pasien dengan sengaja. Ini adalah bentuk
malpraktek yang paling buruk. Tentu saja sulit diterima bila ada dokter atau paramedis
yang melakukan hal ini, sementara mereka telah menghabiskan umur mereka untuk
mengabdi dengan profesi ini. Kasus seperti ini terhitung jarang dan sulit dibuktikan
karena berhubungan dengan isi hati orang. Biasanya pembuktiannya dilakukan dengan
pengakuan pelaku, meskipun mungkin juga factor kesengajaan ini dapat diketahui
melalui indikasi-indikasi kuat yang menyertai terjadinya malpraktek yang sangat jelas.
Misalnya, adanya perselisihan antara pelaku malpraktek dengan pasien atau keluarganya.
PEMBUKTIAN MALPRAKTEK
Agama Islam mengajarkan bahwa tuduhan harus dibuktikan. Demikian pula,
tuduhan malparaktek harus diiringi dengan bukti, dan jika terbukti harus ada pertanggung
jawaban dari pelakunya. Ini adalah salah satu wujud keadilan dan kemuliaan ajaran Islam.
Jika tuduhan langsung diterima tanpa bukti, dokter dan paramedis terzhalimi, dan itu bisa
membuat mereka meninggalkan profesi mereka, sehingga akhirnya membahayakan
kehidupan umat manusia. Sebaliknya, jika tidak ada pertanggung jawaban atas tindakan
malpraktek yang terbukti, pasien terzhalimi, dan para dokter bisa jadi berbuat seenak
mereka.
Dalam dugaan malpraktek, seorang hakim bisa memakai bukti-bukti yang diakui
oleh syariat sebagai berikut:
1. Pengakuan Pelaku Malpraktek (Iqrr).
Iqrar adalah bukti yang paling kuat, karena merupakan persaksian atas diri sendiri,
dan ia lebih mengetahuinya. Apalagi dalam hal yang membahayakan diri sendiri,
biasanya pengakuan ini menunjukkan kejujuran.
2. Kesaksian (Syahdah).
Untuk pertanggungjawaban berupa qishash dan ta'zr, dibutuhkan kesaksian dua pria
yang adil. Jika kesaksian akan mengakibatkan tanggung jawab materiil, seperti ganti
rugi, dibolehkan kesaksian satu pria ditambah dua wanita. Adapun kesaksian dalam
hal-hal yang tidak bisa disaksikan selain oleh wanita, seperti persalinan, dibolehkan
persaksian empat wanita tanpa pria. Di samping memperhatikan jumlah dan
kelayakan saksi, hendaknya hakim juga memperhatikan tidak memiliki tuhmah
(kemungkinan mengalihkan tuduhan malpraktek dari dirinya).
3. Catatan Medis.
Yaitu catatan yang dibuat oleh dokter dan paramedis, karena catatan tersebut dibuat
agar bisa menjadi referensi saat dibutuhkan. Jika catatan ini valid, ia bisa menjadi
bukti yang sah.
BENTUK TANGGUNG JAWAB MALPRAKTEK
Jika tuduhan malpraktek telah dibuktikan, ada beberapa bentuk tanggung jawab
yang dipikul pelakunya. Bentuk-bentuk tanggung-jawab tersebut adalah sebagai berikut:
1. Qishash
Qishash ditegakkan jika terbukti bahwa dokter melakukan tindak malpraktek
sengaja untuk menimbulkan bahaya(i'tida'), dengan membunuh pasien atau merusak
anggota tubuhnya, dan memanfaatkan profesinya sebagai pembungkus tindak kriminal
yang dilakukannya. Ketika memberi contoh tindak kriminal yang mengakibatkan qishash,
19
Khalil bin Ishaq al-Maliki mengatakan: "Misalnya dokter yang menambah(luas area
bedah) dengan sengaja."
2. Dhamn (Tanggung Jawab Materiil Berupa Ganti Rugi Atau Diyat)
Bentuk tanggung-jawab ini berlaku untuk bentuk malpraktek berikut:
a. Pelaku malpraktek tidak memiliki keahlian, tapi pasien tidak mengetahuinya, dan
tidak ada kesengajaan dalam menimbulkan bahaya.
b. Pelaku memiliki keahlian, tapi menyalahi prinsip-prinsip ilmiah.
c. Pelaku memiliki keahlian, mengikuti prinsip-prinsip ilmiah, tapi terjadi kesalahan
tidak disengaja.
d. Pelaku memiliki keahlian, mengikuti prinsip-prinsip ilmiah, tapi tidak mendapat ijin
dari pasien, wali pasien atau pemerintah, kecuali dalam keadaan darurat.
3. Ta'zr berupa hukuman penjara, cambuk, atau yang lain.
Ta'zr berlaku untuk dua bentuk malpraktek:
a. Pelaku malpraktek tidak memiliki keahlian, tapi pasien tidak mengetahuinya, dan
tidak ada kesengajaan dalam menimbulkan bahaya.
b. Pelaku memiliki keahlian, tapi menyalahi prinsip-prinsip ilmiah.
PIHAK YANG BERTANGGUNG-JAWAB
Tanggung-jawab dalam malpraktek bisa timbul karena seorang dokter melakukan
kesalahan langsung, dan bisa juga karena menjadi penyebab terjadinya malpraktek
secara tidak langsung. Misalnya, seorang dokter yang bertugas melakukan pemeriksaan
awal sengaja merekomendasikan pasien untuk merujuk kepada dokter bedah yang tidak
ahli, kemudian terjadi malpraktek. Dalam kasus ini, dokter bedah adalah pelaku langsung
malpraktek, sedangkan dokter pemeriksa ikut menyebabkan malpraktek secara tidak
langsung.
Jadi, dalam satu kasus malpraktek kadang hanya ada satu pihak yang
bertanggung-jawab. Kadang juga ada pihak lain yang ikut bertanggung-jawab
bersamanya. Karenanya, rumah sakit atau klinik juga bisa ikut bertanggung-jawab jika
terbukti tidak tanggung-jawab yang diemban, sehingga secara tidak langsung
menyebabkan terjadinya malpraktek, misalnya mengetahui dokter yang dipekerjakan
tidak ahli.
20