Anda di halaman 1dari 22

ASMA BRONKIALE

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

NAMA:IB ALIT RADITYA


NIM:15710372
PEMBIMBING: dr.Widiati Rahayu .Sp.P

BAB I
PENDAHULUAN
Asma adalah penyakit inflamasi (peradangan ) kronk salura napas
yang ditandai dengan adanya mengi, batuk, dan rasa sesak di dada yang
berulang dan timbul terutama pada malam atau menjelang pagi akibat
penyumbatan saluran pernapasan. Penyakit ini masih menjadi masalah
kesehatan masyarakat di hampir semua negara di dunia, di derita oleh anak
anak sampai dewasa dengan derajat penyakit dari ringan sampai berat,
bahkan beberapa kasus dapat menyebabkan mematikan. Asma merupakan
penyakit kronis yang sering muncul pada masa kanak kanak dan usia muda
sehingga menyebabkan kehilangan hari-hari sekolah atau hari kerja produktif
yang berarti, juga menyebabkan gangguan aktivitas sosial, bahkan
berpotensi mengganggu pertumbuhan dan perkembangan anak
(KemenkesRI)

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Penyakit asma merupakan proses inflamasi kronik saluran pernapasan
yang melibatkan banyak sel dan elemennya. Proses inflamasi kronik inii
menyebabkan saluran pernapasan menjadi hiperesponsif, sehingga
memudahkan terjadinya bronkokonstriksi, edema dan hipersekresi kelenjar,
yang menghasilkan pembatasan aliran udara di saluran pernapasan dengan
manifestasi klinik yang bersifat periodik berupa mengi, sesak napas,dada
terasa berat, batuk-batuk terutama pada malam hari atau dini hari/subuh.
Gejala ini berhubungan dengan luasnya inflamasi, yang derajatnya bervariasi
dan bersifat reversible secara spontan maupun dengan atau tanpa
pengobatan (GINA 2011).
2.2 Epidemiology
Angka kejadian Asma bervariasi di berbagai negara, tetapi terlihat
kecenderungan bahawa penderita penakit ini meningkat jumlahnya,
meskipun belakangan ini Obat-obatan Asma banyak dikembangakan.
Nationa health interview survey di Amerika serikat memperkirakan bahwa
setidaknya 7,5 juta orang penduduk negeri itu mengidap bronhtis kronik, lebih
dari 2 juta orang menderita emfisema dan setidaknya 6,5 juta orang
menderita salah satu bentuk Asma. Laporan Organisasi Kesehatan Dunia
(WHO) dalam World Health Report 2000 menyebutkan, lima penyakit, lima
penyakit paru utama merupakan 17,4% dari seluruh kematian di dunia
masing masing terdiri dari infeksi paru 7,2%, PPOK (penyakit paru
obstruktif kronik) 4,8%, Tuberkulosis 3,0%, kanker paru/trakea/bronkus 2,1%
dan Asma 0,3%.

Saat ini penyakit asma masih menunjukan prevelensi paling tinggi.


Berdasarkan data dari WHO(2002) dan GINA (2011), diseluruh dunia di
perkirakan terdapat 300 juta orang menderita Asma dan tahun 2025
diperkirakan jumlah pasien Asma mencapai 400 juta. Jumlah ini dapat saja
lebih besar mengingat Asma merupakan penyakit yang underdiagnosed.
Buruknya kualitas udara dan berubahnya pola hidup masyarakat di
perkirakan menjadi penyebab meningkatnya penderita Asma. Data dari
berbagai negara menunjukan bahwa prevalensi penyakit Asma berkisar
antara 1-18% (GINA, 2011). Sedangkan untuk nasional prevalensi penyakit
asma terlihat pada grafik berikut ini.

Grafik di atas terlihat bahwa pada tahun 2007 ada (18) delapan belas provinsi
yang mempunyai prevalensi penyakit Asma melebihi angka nasional yaitu
Gorontalo, Sulawesi tengah , Papua Barat, Kalimantan Selatan,tengah,
Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara, Jawa Barat, Bangka Belitung, Kalimantan
Tengah , Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Bali, Kalimantan barat, Sumatera
Barat, Papua dan DI Yogyakarta. Sedangkan provinsi yang mempunyai
prevalensi di bawah angka nasional yaitu Banten, Riau, Jambi, kalimantan
Timur, Maluku, Jawa Tengah, DKI Jakarta, Bengkulu Kepulauan Riau,
Sulawesi Utara, Maluku Utara, Jawa Timur, Sumatera Selatan, Sumatera
Utara, dan Lampung.

Grafik diatas terlihat bahwa pada taun 2013 terdapat (18) delapan belas
provinsi yang mempunyai prevalensi penyakit Asma melebihi angka nasional,
dari 18 provinsi tersebut 5 provinsi teratas adalah Sulawesi Tengah, Nusa
Tenggara Timur, DI Yogyakarta, Sulawesi Selatan, dan Kalimantan Selatan.
Sedangkan Provinsi yang mempunyai prevalensi penyakit Asma di bawah
angka nasional, dimana 5 provinsi yang mempunya prevalensi Asma
terendah yaitu; Sumatera Utara, Jambi, Riau, Bengkulu dan Lampung.
Jika grafik di tahun 2007 dibandingkan dengan 2013 didapatkan kenaikan
prevalensi penyakit Asma secara nasional sebesar 1% Akan tetapi terdapat
perbedaan dalam mendiagnosis penyakit Asma di Riskesdas 2007 melalui
wawancara berdasarkan diagnosa olh tenaga kesehatan atau dengan gejala
sedangkan Riskesdas 2007 melalui wawancara berdasarkan diagnosa oleh
tenaga kesehatan atau dengan gejala sedangkan Riskesdas 2013 melalui
wawancara semua umur berdasarkan gejala.

Grafik di atas terlihat bahwa berdasarkan riskesdas 2007 terdapat


peningkatan prevalensi Asma seiring bertambahnya usia, di mana umur <1
tahun prevalensinya sebesar 1,1% dan umur 75+ prevalensinya sebesar
12,4% akan tetapi peningkatan prevalensi Asma pada umur 75+ sebesar
12,4% ini bisa saja bukan murni penyakit Asma, untuk
mengidentifikasi/mendiagnosa Asma pada orang tua itu bisa saja menjadi
sulit, karena gejala asma hampir sama dengan gejala penyempitan saluran
nafas pada PPOK, berupa sesak dan batuk. Sementara berdasarkan
riskesda (2013) terlihat bahwa umur 25 - 34 tahun mempunyai prevalensi
Asma tertinggi yaitu sebesar 5,7% dan umur <1tahun memiliki prevalensi
Asma terendah sebesar 1,5%.
Untuk diketahui bahwa kelompok kerja International Global Initiative for
COPD (GOLD) menekan definisi PPOK sebagai reaksi radang kronik saluran
napas akibat terpajan zat kimia, biasanya berupa gas, sehingga terjadi
gangguan pernapasa yang besifat tidak sepenuhnya reversible. Berdasarkan
Latar belakang demografis, pada umumnya Asma diderita usia muda
sementara PPOK terutama diderita usia tua .Diagnosis Asma tidak tertutup
kemungkinan bisa terjadi pada kelompok usia tua. Kedua penyakit ini
menyebabkan keluhan yang hampir sama yaitu sesak dan kadang disertai

dengan suara mengi(wheezing) pada saat benapas atau awanya disebut


bengek. Adapun sifat sesak ini bila di telusuri dengan teliti pada penyakit
Asma berbeda dengan PPOK. Seorang usia tua dengan keluhan sesak dapat
didiagnosis sebagai Asma atau PPOK dan menentukan kepastian antara
kedua diagnosis ini dengan melakukan pemeriksaan menggunakan peakflow
dan spirometri.
2.2 Patognesis Asma
Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor,
antara lain alergen, virus, dan iritan yang dapat menginduksi respons
inflamasi akut. Asma dapat terjadi melali 2 jalur, yaitu jalur imunologis dan
sarah otonom. Jalur imunologis didominasi oleh antibodi igE, merupakan
reaksi hipersensitivitas tipe 1 (tipe alergi), terdiri dari fase cepat dan fase
lambat. Reaksi alergi timbul pada orang dengan kecenderungan untuk
membentuk jumlah antibodi IgE abnormal dalam jumlah besar, golongan ini
disebut atopi. Pada asma alergi, antibodi IgE terutama melekat pada
permukaan sel mast pada Interstisial paru yang berhubungan erat dengan
bronkolius dan bronkus kecill.
Bila seseorang menghirup alergen, terjadi fase sensitisasi antibodi Ige
orang tersebut meningkat. Alergen kemudian berkaitan dengan antibodi IgE
yang melekat pada sel mast dan menyebabkan sel ini berdegranuasi
mengeluarkan berbagai macam mediator. Beberapa mediator yg di keluarkan
adalah histamin, leukotrien, faktor kemotaktik eosinofil dan bradikardinin. Hal
itu akan menimbulkan efek edema lokal pada dinding bronkiolus kecil, sekresi mukus
yang kental dalam lumen bronkiolus, dan spasme otot polos bronkiolus, sehingga
menyebabkan inflamasi saluran napas.
Pada reaksi alergi fase cepat, obstruksi saluran napas terjadi segera yaitu 1015 menit setelah pajanan alergen. Spasme bronkus yang terjadi merupakan respons
terhadap mediator sel mast terutama histamin yang bekerja langsung pada otot polos
bronkus. Pada fase lambat, reaksi terjadi setelah 6-8 jam pajanan alergen dan bertahan

selama 16--24 jam, bahkan kadang-kadang sampai beberapa minggu. Sel-sel


inflamasi seperti eosinofil, sel T, sel mast dan Antigen Presenting Cell (APC)
merupakan sel-sel kunci dalam patogenesis asma.
Pada jalur saraf otonom, inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast
intralumen, makrofag alveolar, nervus vagus dan mungkin juga epitel saluran napas.
Peregangan vagal menyebabkan refleks bronkus, sedangkan mediator inflamasi yang
dilepaskan oleh sel mast dan makrofag akan membuat epitel jalan napas lebih
permeabel dan memudahkan alergen masuk ke dalam submukosa, sehingga
meningkatkan reaksi yang terjadi. Kerusakan epitel bronkus oleh mediator yang
dilepaskan pada beberapa keadaan reaksi asma dapat terjadi tanpa melibatkan sel
mast misalnya pada hiperventilasi, inhalasi udara dingin, asap, kabut dan SO2. Pada
keadaan tersebut reaksi asma terjadi melalui refleks saraf. Ujung saraf eferen vagal
mukosa yang terangsang menyebabkan dilepasnya neuropeptid sensorik senyawa P,
neurokinin A dan Calcitonin Gene-Related Peptide ( CGRP). Neuropeptida itulah
yang menyebabkan terjadinya bronkokonstriksi, edema bronkus, eksudasi plasma,
hipersekresi lendir, dan aktivasi sel-sel inflamasi.
Hipereaktivitas bronkus merupakan ciri khas asma, besarnya hipereaktivitas
bronkus tersebut dapat diukur secara tidak langsung, yang merupakan parameter
objektif beratnya hipereaktivitas bronkus. Berbagai cara digunakan untuk mengukur
hipereaktivitas bronkus tersebut, antara lain dengan uji provokasi beban kerja,
inhalasi udara dingin, inhalasi antigen, maupun inhalasi zat nonspesifik.

2.3 Faktor resiko


Adapun faktor resiko terjadinya Asma merupakan interaksi antara
faktor penjamu (host factor) dan faktor lingkungan.

2.4 Klasifikasi Asma


Asma dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologi, berat penyakit dan
pola keterbatasan aliran udara. Klasifikasi asma berdasarkan berat penyakit
penting bagi pengobatan dan perencanaan penatalaksanaan jangka
panjang , semakin berat asma semakin tinggi tingkat pengobatan. Berat
penyakit asma diklasifikasikan berdasarkan gambaran klinis sebelum
pengobatan dimulai (Tabel 2) (PDPI, 2003).
Pada umumnya penderita sudah dalam pengobatan yang telah
berlangsung seringkali tidak adekuat. Dipahami pengobatan akan menguba
gambaran klinis bahkan faal paru, oleh karena itu peniaian berat asma pada
penderita dalam pengobatan juga harus mempertimbangkan pngobatan itu
sendiri, Tabel 3 menunjukan bagaimana melakukan penilaian berat asma
pada penderita yang sudah dalam pengobata. Bila pengobatan yang sedang
dijalani sesuai dengan gambaran klinis yang ada, maka derajat berat asma
naik satu tingkat. Contoh seorang penderita dalam pengobatan asma

persisten sedang dan gambaran klinis sesuai asma persisten sedang, maka
sebenarnya nerat asma penderita tersebut adalah asma persisten berat.
Demikan pula dengan asma persisten ringan. Akan tetapi berbeda dengan
Asma persisten berat dan asma intermiten (lihat tabel 3). Penderita yang
gambaran klinis menunjuka asma persisten berat maka jenis pengobatan
apapun yang sedang dijalani tidak mempengaruhi penilaian berat asma,
dengan kata lain penderita tersebut tetap asma persisten berat. Demikian
pula penderita dengan gambaran klinis asma intermiten yang mendapat
pengobatan sesuai dengan asma intermiten, maka derajat asma adalah
intermiten (PDPI, 2003)
Tabel 2. Klaifikasi derajat berat asma berdasarkan gambaran Klinis (sebelum
pengobatan).

Tabel 3 Klasifikasi derajat berat Asma berdasarkan gambaran klinis dalam


pengobatan.

2.5
Diagnosa Asma
Anamnesis
Studi epidemiologi menunjukkan asma underdiagnosed di seluruh dunia,
disebabkan berbagai hal antara lain gambaran klinis yang tidak khas dan beratnya
penyakit yang sangat bervariasi, serta gejala yang bersifat episodik sehingga
penderita tidak merasa perlu ke dokter. Diagnosis asma didasari oleh gejala yang
bersifat episodik, gejala berupa batuk, sesak napas, mengi, rasa berat di dada dan
variabiliti yang berkaitan dengan cuaca. Anamnesis yang baik cukup untuk
menegakkan diagnosis, ditambah dengan pemeriksaan jasmani dan pengukuran faal
paru terutama reversibiliti kelainan faal paru, akan lebih meningkatkan nilai
diagnostik.(PDPI 2003).
Riwayat penyakit / gejala :

Bersifat episodik, seringkali reversibel dengan atau tanpa pengobatan

Gejala berupa batuk , sesak napas, rasa berat di dada dan berdahak

Gejala timbul/ memburuk terutama malam/ dini hari

Diawali oleh faktor pencetus yang bersifat individu

Respons terhadap pemberian bronkodilator

Hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam riwayat penyakit :

Riwayat keluarga (atopi)

Riwayat alergi / atopi

Penyakit lain yang memberatkan

Perkembangan penyakit dan pengobatan

Pemeriksaan Klinis
Gejala asma bervariasi sepanjang hari sehingga pemeriksaan jasmani
dapat normal. Pada sebagian penderita, auskultasi dapat terdengar normal
walaupun pada pengukuran objektif (faal paru) telah terdapat penyempitan jalan
napas. Pada inspeksi dapat ditemukan; napas cepat, kesulitan bernapas,
menggunakan otot napas tambahan di leher, perut dan dada. Pada auskultasi
dapat ditemukan; mengi, ekspirasi memanjang.
Pada keadaan serangan, kontraksi otot polos saluran napas, edema dan
hipersekresi dapat menyumbat saluran napas; maka sebagai kompensasi
penderita bernapas pada volume paru yang lebih besar untuk mengatasi
menutupnya saluran napas. Hal itu meningkatkan kerja pernapasan dan
menimbulkan tanda klinis berupa sesak napas, mengi dan hiperinflasi. Pada
serangan ringan, mengi hanya terdengar pada waktu ekspirasi paksa. Walaupun
demikian mengi dapat tidak terdengar (silent chest) pada serangan yang sangat

berat, tetapi biasanya disertai gejala lain misalnya sianosis, gelisah, sukar
bicara, takikardi, hiperinflasi dan penggunaan otot bantu napas.
Pemeriksaan Penunjang
1. Spirometer
Alat pengukur faal paru, selain penting untuk menegakkan diagnosis juga
untuk menilai beratnya obstruksi dan efek pengobatan. Pengukuran volume
ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) dan kapasiti vital paksa (KVP) dilakukan
dengan manuver ekspirasi paksa melalui prosedur yang standar. Pemeriksaan itu
sangat bergantung kepada kemampuan penderita sehingga dibutuhkan instruksi
operator yang jelas dan kooperasi penderita. Untuk mendapatkan nilai yang
akurat, diambil nilai tertinggi dari 2-3 nilai yang reproducible dan acceptable.
Obstruksi jalan napas diketahui dari nilai rasio VEP1/ KVP < 75% atau VEP1 <
80% nilai prediksi.
Manfaat pemeriksaan spirometri dalam diagnosis asma :

Obstruksi jalan napas diketahui dari nilai rasio VEP1/ KVP < 75% atau
VEP1 < 80% nilai prediksi.

Reversibiliti, yaitu perbaikan VEP1 15% secara spontan, atau setelah


inhalasi bronkodilator (uji bronkodilator), atau setelah pemberian
bronkodilator oral 10-14 hari, atau setelah pemberian kortikosteroid
(inhalasi/ oral) 2 minggu. Reversibiliti ini dapat membantu diagnosis asma

2.

Peak Flow Meter/PFM


Peak flow meter merupakan alat pengukur faal paru sederhana, alat tersebut
digunakan untuk mengukur jumlah udara yang berasal dari paru. Oleh karena
pemeriksaan jasmani dapat normal, dalam menegakkan diagnosis asma diperlukan
pemeriksaan obyektif (spirometer/FEV1 atau PFM). Spirometer lebih diutamakan
dibanding PFM oleh karena; PFM tidak begitu sensitif dibanding FEV. untuk diagnosis
obstruksi saluran napas, PFM mengukur terutama saluran napas besar, PFM dibuat untuk
pemantauan dan bukan alat diagnostik, APE dapat digunakan dalam diagnosis untuk
penderita yang tidak dapat melakukan pemeriksaan FEV1.

3.

X-ray dada/thorax
Dilakukan untuk menyingkirkan penyakit yang tidak menyebabkan asma

4.

Pemeriksaan IgE
Uji tusuk kulit (skin prick test) untuk menunjukkan adanya antibodi IgE spesifik pada
kulit. Uji tersebut untuk menyokong anamnesis dan mencari faktor pencetus. Uji alergen
yang positif tidak selalu merupakan penyebab asma. Pemeriksaan darah IgE Atopi
dilakukan dengan cara radioallergosorbent test (RAST) bila hasil uji tusuk kulit tidak
dapat dilakukan (pada dermographism).

5.

Petanda inflamasi
Derajat berat asma dan pengobatannya dalam klinik sebenarnya tidak berdasarkan
atas penilaian obyektif inflamasi saluran napas. Gejala klinis dan spirometri bukan
merupakan petanda ideal inflamasi. Penilaian semi-kuantitatif inflamasi saluran napas
dapat dilakukan melalui biopsi paru, pemeriksaan sel eosinofil dalam sputum, dan kadar
oksida nitrit udara yang dikeluarkan dengan napas. Analisis sputum yang diinduksi
menunjukkan hubungan antara jumlah eosinofil dan Eosinophyl Cationic Protein (ECP)
dengan inflamasi dan derajat berat asma. Biopsi endobronkial dan transbronkial dapat
menunjukkan gambaran inflamasi, tetapi jarang atau sulit dilakukan di luar riset.

6. Uji Hipereaktivitas Bronkus/HRB

Uji provokasi bronkus membantu menegakkan diagnosis asma. Pada


penderita dengan gejala asma dan faal paru normal sebaiknya dilakukan uji
provokasi bronkus . Pemeriksaan uji provokasi bronkus mempunyai sensitiviti
yang tinggi tetapi spesifisiti rendah, artinya hasil negatif dapat menyingkirkan
diagnosis asma persisten, tetapi hasil positif tidak selalu berarti bahwa penderita
tersebut asma. Hasil positif dapat terjadi pada penyakit lain seperti rinitis alergik,
berbagai gangguan dengan penyempitan jalan napas seperti PPOK, bronkiektasis
dan fibrosis kistik.
Pada penderita yang menunjukkan FEV1 >90%, HRB dapat dibuktikan
dengan berbagai tes provokasi. Provokasi bronkial dengan menggunakan nebulasi
droplet ekstrak alergen spesifik dapat menimbulkan obstruksi saluran napas pada

penderita yang sensitif. Tes provokasi sebenarnya kurang memberikan informasi


klinis dibanding dengan tes kulit. Tes provokasi nonspesifik untuk mengetahui
HRB dapat dilakukan dengan latihan jasmani, inhalasi udara dingin atau kering,
histamin, dan metakolin.
2.6. Diagnosis Banding Asma
Diagnosis banding asma antara lain sbb :

Penyakit Paru Obstruksi Kronik

Bronkitis kronik

Gagal Jantung Kongestif

Batuk kronik akibat lain-lain

Disfungsi larings

Obstruksi mekanis (misal tumor)

Emboli Paru

2.7. Eksaserbasi Asma


Eksaserbasi asma adalah episode akut atau subakut dengan sesak yang
memburuk secara progresif disertasi batuk, mengi, dan dada sakit, atau beberapa
kombinasi gejala- gejala tersebut. Eksaserbasi ditandai dengan menurunnya arus
napas yang dapat diukur secara obyektif (spirometri atau PFM) dan merupakan
indikator yang lebih dapat dipercaya dibanding gejala. Penderita asma terkontrol
dengan steroid inhaler, memiliki risiko yang lebih kecil untuk eksaserbasi. Namun,
penderita tersebut masih dapat mengalami eksaserbasi, misalnya bila menderita
infeksi virus saluran napas. Penanganan eksaserbasi yang efektif juga melibatkan
keempat komponen penanganan asma jangka panjang, yaitu pemantaan, penyuluhan,
kontrol lingkungan dan pemberian obat. Tidak ada keuntungan dari dosis steroid lebih
tinggi pada eksaserbasi asma, atau juga keuntungan pemberian intravena dibanding
oral. Jumlah pemberian steroid sistemik untuk eksaserbasi asma yang memerlukan
kunjungan gawat darurat dapat berlangsung 3-10 hari. Untuk kortikosteroid, tidak

perlu tapering off, bila diberikan dalam waktu kurang dari satu minggu. Untuk waktu
sedikit lebih lama (10 hari) juga mungkin tidak perlu tapering off bila penderita juga
mendapat kortikosteroid inhaler.
2.8. Pencegahan
A. Mencegah Sensititasi
Cara-cara mencegah asma berupa pencegahan sensitisasi alergi (terjadinya atopi,
diduga paling relevan pada masa prenatal dan perinatal) atau pencegahan terjadinya
asma pada individu yang disensitisasi. Selain menghindari pajanan dengan asap
rokok, baik in utero atau setelah lahir, tidak ada bukti intervensi yang dapat mencegah
perkembangan asma.
B. Mencegah Eksaserbasi
Eksaserbasi asma dapat ditimbulkan berbagai faktor (trigger) seperti
alergen (indoor seperti tungau debu rumah, hewan berbulu, kecoa, dan jamur,
alergen outdoor seperti polen, jamur, infeksi virus, polutan dan obat.
Mengurangi pajanan penderita dengan beberapa faktor seperti menghentikan
merokok, menghindari asap rokok, lingkungan kerja, makanan, aditif, obat
yang menimbulkan gejala dapat memperbaiki kontrol asma serta keperluan
obat. Tetapi biasanya penderita bereaksi terhadap banyak faktor lingkungan
sehingga usaha menghindari alergen sulit untuk dilakukan. Hal-hal lain yang
harus pula dihindari adalah polutan indoor dan outdoor, makanan dan aditif,
obesitas, emosi-stres dan berbagai faktor lainnya
Pengendalian asma bertujuan:
1.
2.
3.
4.

Meningkatkan kemandirian pasien dalam upaya pencegahan asma


Menurunkan jumlah kelompok masyarakat yang terpajan faktor risiko asma
Terlaksananya deteksi dini pada kelompok masyarakat berisiko asma
Terlaksananya penegakan diagnosis dan tatalaksana pasien asma sesuai
standar/kriteria
5. Menurunnya angka kesakitan akibat asma
6. Menurunnya angka kematian akibat asma

Untuk melaksanakan tujuan tersebut, salah satu cara dapat dilakukan dengan
Komunikasi, Informasi dan Edukasi yang meliputi:
1. Penyuluhan bagi pasien dan keluarga tentang pencegahan dan penanggulangan
asma.
2. Meningkatkan pengetahuan, motivasi dan partisipasi pasien dalam pengendalian
asma.
3. Untuk merubah sikap dan perilaku pasien dalam pengendalian asma.
4. Meningkatkan dalam obat/ inhalasi.
1.10. Penatalaksanaan Asma
Tujuan utama penatalaksanaan asma adalah meningkatkan dan
mempertahankan kualiti hidup agar penderita asma dapat hidup normal tanpa
hambatan dalam melakukan aktiviti sehari-hari.
Tujuan penatalaksanaan asma:
1. Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma
2. Mencegah eksaserbasi akut
3. Meningkatkan dan mempertahankan faal paru seoptimal mungkin
4. Mengupayakan aktiviti normal termasuk exercise
5. Menghindari efek samping obat
6. Mencegah terjadi keterbatasan aliran udara (airflow limitation) ireversibel
7. Mencegah kematian karena asma
Penatalaksanaan asma berguna untuk mengontrol penyakit. Asma dikatakan
terkontrol bila :
1. Gejala minimal (sebaiknya tidak ada), termasuk gejala malam
2. Tidak ada keterbatasan aktiviti termasuk exercise
3. Kebutuhan bronkodilator (agonis 2 kerja singkat) minimal (idealnya tidak
diperlukan)
3. Variasi harian APE kurang dari 20%
4. Nilai APE normal atau mendekati normal

5. Efek samping obat minimal (tidak ada)


6. Tidak ada kunjungan ke unit darurat gawat
Program penatalaksanaan asma, yang meliputi 7 komponen :
1. Edukasi
2. Menilai dan monitor berat asma secara berkala
3. Identifikasi dan mengendalikan faktor pencetus
4. Merencanakan dan memberikan pengobatan jangka panjang
5. Menetapkan pengobatan pada serangan akut
6. Kontrol secara teratur
7. Pola hidup sehat
Ketujuh hal tersebut di atas, juga disampaikan kepada penderita dengan bahasa yang
mudah dan dikenal (dalam edukasi) dengan 7 langkah mengatasi asma, yaitu
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Mengenal seluk beluk asma


Menentukan klasifikasi
Mengenali dan menghindari pencetus
Merencanakan pengobatan jangka panjang
Mengatasi serangan asma dengan tepat
Memeriksakan diri dengan teratur
Menjaga kebugaran dan olahraga

Pada prinsipnya penatalaksanaan asma diklasifikasikan menjadi 2 golongan yaitu:


1

Penatalaksanaan Asma Akut

Serangan akut adalah keadaan darurat dan membutuhkan bantuan medis segera,
penanganan harus cepat dan sebaiknya dilakukan di rumah sakit/ gawat darurat. Kemampuan
pasien untuk mendeteksi dini perburukan asmanya adalah penting, agar pasien dapat
mengobati dirinya sendiri saat serangan di rumah sebelum ke dokter. Dilakukan penilaian
berat serangan berdasarkan riwayat serangan, gejala, pemeriksaan fisik dan bila
memungkinkan pemeriksaan faal paru, agar dapat diberikan pengobatan yang tepat. Pada
prinsipnya tidak diperkenankan pemeriksaan faal paru dan laboratorium yang dapat
menyebabkan keterlambatan dalam pengobatan/ tindakan.

Penatalaksanaan Asma Kronik

Pasien asma kronik diupayakan untuk dapat memahami sistem penanganan asma secara
mandiri, sehingga dapat mengetahui kondisi kronik dan variasi keadaan asma. Anti inflamasi
merupakan pengobatan rutin yang yang bertujuan mengontrol penyakit serta mencegah
serangan dikenal sebagai pengontrol. Bronkodilator merupakan pengobatan saat serangan
untuk mengatasi eksaserbasi/serangan, dikenal sebagai pelega.
Pelaksanaan KIE tentang asma dan faktor risikonya dapat dilakukan melalui berbagai
media penyuluhan, seperti penyuluhan tatap muka, radio, televisi dan media elektronik
lainnya, poster, leaflet, pamflet, surat kabar, majalah dan media cetak lainnya.

DAFTAR PUSTAKA
Global strategy for asthma management and prevention. National Institutes of
Health, 2011.
Holgate ST, The bronchial epithelial origins of asthma in immunological
mechanisms in asthma and allergic disease. Robinson DS (ed), S.
Karger AG, Basel, Switzerland, 2000.62-71.

Infodatin, Kementrian Kesehatan RI,You can control your Asthma ISSN 24427659
Bernstein JA. Asthma in handbook of allergic disorders. Philadelphia:
Lipincott Williams & Wilkins, USA, 2003,73-102.
GINA (Global Iniciative for Asthma). Global strategy for asthma management
and

prevention. 2016. Available from:

http://www.ginasthma.org
GINA (Global Iniciative for Asthma). Global strategy for asthma management
and

prevention. 2011. Available from:

http://www.ginasthma.org
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). 2003. Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan Asma Bronkial di Indonesia. Jakarta: Indonesia.
Broide D. New perspectives on mechanisms underlying chronic allergic
inflammation and asthma in 2007. JACI.2008.122 (3): 475-80.

Anda mungkin juga menyukai