aspek sosial, politik, legal dan sebagainya, maupun secara moral). Dasar obyektif dilakukannya suatu
tindakan hendaknya mempertimbangkan tiga kriteria sebagai berikut:
a. Kriteria manfaat. Tindakan tertentu dinilai baik bila mendatangkan manfaat, sebaliknya bila tidak
mendatangkan manfaat apalagi bila hanya mendatangkan kerugian akan dinilai buruk;
a. Kriteria manfaat terbesar. Tindakan atau kebijakan yang mendatangkan manfaat terbesar akan dinilai
lebih baik dari alternatif lain yang manfaatnya lebih kecil. Dalam situasi di mana sebuah alternatif kebijakan
atau tindakan hanya mendatangkan kerugian maka yang terbaik adalah memilih tindakan yang tingkat
kerugiannya paling kecil;
b. Kriteria manfaat terbesar bagi sebanyak mungkin orang. Suatu tindakan atau kebijakan
dinilai baik bila mendatangkan manfaat terbesar yang berguna bagi banyak orang (the greatest good for the
the greatest number)
3. Etika Keutamaan
Etika
keutamaan
menekankan
pada
pengembangan
karakter
moral
pada
diri
seseorang,
yaitu
tidak mempermasalahkan kewajiban secara moral maupun tujuan dan secara moral akibat dari
suatu tindakan atau kebijakan. Aristoteles mengatakan bahwa nilai moral diperoleh dan tumbuh
dari pengalaman hidup dalam masyarakat, keteladanan moral tokoh-tokoh besar masyarakat menyikapi suatu
permasalahan dalam suatu kehidupan. Dari tokoh-tokoh tersebut orang belajar tentang nilai-nilai keutamaan
moral seperti kejujuran, kesetiaan, kesediaan berkorban, ketulusan dan sebagainya.
Etika
keutamaan
ini,
tidak
mengutamakan
tindakan
bermoral
tetapi
pribadi
bermoral,
yaitu
bagaimana seseorang hidup dengan baik sepanjang kehidupannya (berprinsip dan mempunyai integritas
moral). Pada
etika
keutamaan
wayang) merupakan
hal
aspek
penting
di
sejarah,
mana
sastra,
cerita
tokoh-tokohnya
(termasuk
adalah
legenda,
merupakan
dongeng
dan
model keteladanan
dan keutamaan moral. Dalam situasi nyata yang dilematis etika keutamaan menekankan untuk
meneladani sikap
dan
perilaku
tokoh-tokoh
dalam
menghadapi
situasi
serupa.
Rasionalitas
dan
kebebasan merupakan hal penting, artinya terbuka kemungkinan setiap orang dapat menafsirkan pesan
moral yang khas dari sejarah, cerita dan keteladanan para tokoh. Pada perkembangan selanjutnya dua
atau tiga teori tentang etika tersebut (deontologi, teleologi dan keutamaan) dapat dIgabungkan
secara bersama-sama.
lingkungan
merupakan
bagian
filsafat
lingkungan
dan
berupa
filsafat
terapan,
di
mana
persoalan filsafati direfleksikan sebagai persoalan substantif berdasar pengalamanpengalaman manusia. Ciri
filsafati berkembang setelah mendapatkan perlakuan reflektif. Konsepsi etika lingkungan merupakan
perpaduan dari konsepsi etika yang berangkat dari lingkup filsafat umum dan konsep lingkungan yang
berawal dari filsafat khusus ( Azhari, 1997 dalam Keraf, 2002).
Menurut
Skolimowski
karakteristik
filsafat
lingkungan
adalah:
(a)
berorientasi
pada
kehidupan;
(b) mempunyai komitmen terhadap nilai-nilai manusia, alam, dan kehidupan; (c) hidup secara spiritual; (d)
bersifat
komprehensif;
(e).
berkaitan
dengan
kebijaksanaan/wisdom
(yang
dapat
diartikan
sebagai penggunaan nilai-nilai berdasarkan kriteria kualitatif ); (f ) sadar ekologis dan lingkungan; (g)
Bersekutu dengan ekonomi kualitas kehidupan; (h) sadar politis; (i) memperhatikan kesejahteraan
masyarakat; (j) menekankan tanggung-jawab individual; (k) toleran dengan fenomena transfisik; (l) sadar
akan kesehatan (berada pada kesehatan yang positif berarti berada dalam hubungan-hubungan yang baik
dengan dengan kosmos).
Menyikapi terjadinya krisis lingkungan, maka pemikiran mendasar dan korektif diperlukan dalam pengelolaan
lingkungan dengan segenap unsurnya (termasuk SDA) yang sudah krisis ini, sehingga pelestarian fungsi, daya
dukung dan manfaatnya bagi kehidupan dapat dicapai. Moralitas seperti apa yang perlu dikembangkan dalam
menghadapi permasalahan lingkungan yang semakin komplek dan sarat dengan konflik kepentingan? Refleksi
kritis yang bagaimana perlu ditumbuhkan serta yang sesuai dengan norma dan nilai yang bersumber dari
etika lingkungan bila menghadapi situasi kongkret permasalahan lingkungan dengan segala kompleksitas dan
kekhususannya? Demikian juga halnya dengan refleksi kritis yang berhubungan dengan berbagai paham (baik
tentang alam lingkungan, sistem sosial politik, sistem ekonomi, dan sebagainya). Hal ini penting direnungkan
dan dikaji oleh orang per orang atau kelompok masyarakat dalam menentukan pilihan dan prioritas moral
dalam menjalankan kehidupan sehari-hari maupun dalam keadaan khusus yang dilematis.
Perkembangan teori etika lingkungan yang mengkaji tentang manusia, alam lingkungan dan hubungan antara
manusia dengan alam lingkungan, utamanya meliputi (Keraf, 2004):
1. Anthroposentrisme
Antroposentrime bersumber dari Kitab Kejadian Dunia, serta pemikiran ahli-ahli filsafat seperti Aristoteles,
Thomas Aquinas, Rene Descartes, dan Immanuel Kant. Etika lingkungan berdasarkan anthroposentrisme
berpandangan bahwa manusia adalah pusat sistem alam semesta. Dalam pandangan ini manusia dengan
segenap keinginannya adalah yang terpenting dan sangat menentukan dalam penetapan kebijakan dan
pengambilan keputusan berkaitan dengan alam lingkungannya. Manusialah yang mempunyai nilai tertinggi
dan elemen lain dalam tatanan ekosistem yang hanya atau bernilai bila menunjang dan bermanfaat demi
kepentingan manusia saja. Falsafah yang mendasari antroposentrisme berpangkal tolak dari pandangan
bahwa nilai dan prinsip moral hanya berlaku bagi manusia. Kepentingan serta kebutuhan manusia adalah
paling penting dan mempunyai nilai tertinggi. Semua yang ada di alam hanya mempunyai nilai bila dapat
memenuhi kebutuhan dan menunjang kepentingan manusia. Etika hanya berlaku untuk manusia.
Kewajiban dan tanggung jawab moral manusia terhadap lingkungan dianggap tidak relevan kalaupun
ada, maka tanggung jawab moral tersebut adalah demi kepentingan manusia. Demikian pula, alam
hanya merupakan instrumen bagi manusia.
Antroposentrisme dianggap sebagai teori etika lingkungan yang dangkal serta sempit (shallow environmental
ethics) karena mempunyai ciri instrumentalistik dan egoistik (hanya untuk kepentingan manusia), juga
dianggap sebagai penyebab terjadinya krisis lingkungan. Cara pandang antroposentris ini mempengaruhi
perilaku manusia yang cenderung mengeksploitasi atau menguras alam serta memperlakukan alam secara
berlebihan tanpa atau kurang memperhatikan kelestarian fungsinya. Dalam perkembangannya beberapa ahli
filsafat antara lain W.H. Murdy dan F. F. Darling, lebih memperhalus argumen antroposentrisme ini sehingga
walaupun manusia dinilai sebagai makhluk tertinggi di alam semesta tetapi kelangsungan hidupnya tidak
dapat bertahan bila lingkungannya hancur. Oleh karena itu demi eksitensinya sendiri, maka manusia harus
mau dan mampu memelihara lingkungannya termasuk makhluk lainnya yang biasanya selalu dinilai lebih
rendah. Manusia sebagai makhluk tertinggi wajib bertanggungjawab dan melindungi makluk lain beserta
lingkungannya.
Antroposentrisme merupakan etika lingkungan yang kontroversial dan dianggap sebagai biang keladi krisis
lingkungan.
Namun
ternyata
pembela
etika
antroposentrisme
ini
juga
banyak
karena validitas
argumentasinya, yang mengatakan bahwa yang salah bukan antroposentrisme sebagai etika, tetapi
penerapan antroposentrismenya lah yang berlebihan. Antroposentrisme juga dikatakan mempunyai daya tarik
untuk mendorong manusia agar menjaga lingkungan demi keberlanjutan kehidupan, termasuk bisnisnya.
Namun motivasinya menjaga lingkungan adalah demi kepentingan manusia itu sendiri.
2. Biosentrisme
Etika lingkungan biosentrisme menyatakan bahwa bukan hanya manusia yang mempunyai nilai, tetapi alam
juga mempunyai nilai dan berharga, terlepas dari kepentingan manusia. Pertimbangan moralitas dan
penghargaan perlu ditegakkan bagi semua kehidupan dan makhluk hidup, baik yang berguna untuk memenuhi
kebutuhan manusia ataupun tidak. Pusat perhatian biosentrisme adalah kehidupan yang juga bernilai bagi
dirinya sendiri oleh karena itu perlu dilindungi. Alam semesta membentuk komunitas moral dan suatu
pengambilan keputusan atau tindakan apapun perlu pertimbangan moralitas yang terlepas dari pertimbangan
kepentingan manusia. Etika ini berlaku untuk seluruh komunitas biotis:
a. Teori Lingkungan yang Berpusat pada Kehidupan:
Salah satu versinya adalah teori lingkungan yang berpusat pada kehidupan dengan tokoh Albert Schweitzer
yang mengatakan bahwa kehidupan adalah sakral. Manusia menjalani, mempertahankan kehidupannya serta
memperlakukan kehidupan dengan sikap hormat yang dalam. Suatu yang baik secara moral adalah bila kita
mempertahankan dan mengembangkan kehidupan, dan buruk adalah bila kita merusak kehidupan. Paul
Taylor mendasarkan biosentrisme pada empat keyakinan yaitu bahwa: (a) manusia adalah anggota
komunitas kehidupan di bumi dalam arti dan kerangka yang sama dengan anggota lainnya; (b)
spesies manusia bersama spesies lainnya merupakan bagian dari sistem yang saling tergantung di mana
kelangsungan hidupnya dan peluangnya untuk berkembang biak ditentukan oleh relasinya; (c) semua
organisme adalah pusat kehidupan yang mempunyai tujuannya sendiri; (d) manusia tidak lebih unggul dari
makhluk hidup yang lain.
Keempat keyakinan tersebut menimbulkan pemahaman baru bahwa manusia hanya makhluk biologis yang
sederajad, mendiami bumi yang sama dan sebagai bagian dari keseluruhan alam semesta. Manusia
mempunyai akal budi, kebebasan dan kemampuan yang dapat digunakan untuk bertindak secara moral, oleh
karena itu manusia adalah pelaku moral. Semua makhluk hidup merupakan subjek moral. Benda abiotik
bukan subjek moral tetapi harus diperlakukan dengan etis dan baik karena eksistensinya menentukan
kehidupan makhluk hidup yang ada. Sebagai contoh kualitas udara harus dijaga karena udara yang sehat
menunjang semua makhluk hidup bergantung padanya. Hutan harus kita lestarikan karena menyangga
kehidupan banyak sekali makhluk hidup.
b. Etika Bumi
Terjadinya krisis lingkungan telah memacu Adolf Leopold (seorang ahli dan manager konservasi
hutan/hidupan liar) mencetuskan teori lingkungan yang disebut sebagai the land ethic atau etika bumi.
Kepedulian terhadap lingkungan yang benar adalah: perwujudan pandangan yang melihat bumi atau alam
semesta sebagai subjek moral, sebagai suatu komunitas moral. Manusia adalah anggota suatu komunitas
biotis yang saling tergantung dan terkait satu dengan yang lain. Inti etika bumi adalah, bahwa: sesuatu
adalah benar bila hal itu melestarikan integritas, stabilitas dan keindahan komunitas biotik, tidak benar bila
tidak demikian adanya. Segala sesuatu di alam semesta adalah subyek moral dan mempunyai nilai pada
dirinya sendiri terlepas dari apakah menunjang kepentingan manusia atau tidak. Etika bumi merupakan
perluasan batas komunitas dari moral yang baik yang mencakup seluruh manusia tanpa kecuali, serta
mencakup pula: tanah, air, tumbuhan, binatang atau bumi secara kolektif.
c. Anti Spesiesisme
Teori ini dicetuskan Peter Singer dan James Rachels, yang hakekatnya menuntut perlakuan sama bagi semua
makhluk hidup dengan alasan bahwa semuanya memiliki kehidupan dan pantas mendapatkan perhatian dan
perlindungan yang sama seperti halnya spesies manusia. Teori ini merupakan penolakan terhadap
antroposentrisme yang dianggap sebagai spesiesisme. Spesiesisme menganggap manusia merupakan spesies
unggul dibanding spesies lain (binatang dan manusia). Dasar dari teori anti spesiesisme merupakan versi
biosentrisme ini adalah pada prinsip kepentingan semua maklhuk hidup yang harus diberikan nilai yang sama
dengan kepentingan manusia.
d. Ekosentrisme
Etika lingkungan ekosentrisme mencakup komunitas ekologis secara keseluruhan, biotik maupun abiotik.
Cara pandang ekosentrisme adalah bahwa: secara ekologis, semua makhluk hidup dengan unsur-unsur
abiotiknya mempunyai keterkaitan satu dengan yang lainnya, karena itu kewajiban dan tanggung jawab
moral tidak terbatas pada manusia dan makhluk hidup lainnya tetapi mencakup pula keseluruhan realitas
ekologis. Agar cara pandang dan pembahasan tentang etika lingkungan ini lebih komprehensif, dikemukakan
juga tentang: Ekofeminisme dan Prinsip-prinsip Etika Lingkungan.
1. Ekofeminisme
Ekofeminisme dikembangkan oleh Francoise d Eaubonne, seorang feminis berkebangsaan Perancis, tahun
1974, menggugat cara pandang dominan patriarkis, maskulin dan hierarkis. Ekofeminisme bukan saja
mengkritik antroposentrisme (human-center environmental ethics) tetapi melawan juga androsentrisme
yaitu etika lingkungan yang berpusat pada laki-laki (male centered environmental ethics) dan dominasi lakilaki atas alam sebagai penyebab terjadinya krisis lingkungan. Etika ini juga menganut pandangan integral,
holistik, dan intersubyektif. Hal yang menarik untuk digarisbawahi dari etika ini adalah bahwa ekofeminisme
berangkat dari asumsi bahwa manusia berada dan menjadi dirinya dalam relasi intersubyektif di mana ada
kesetaraan pada semua makhluk ekologis yang mendorong manusia untuk mencintai, memelihara dan
merawat makhluk lain sesama anggota komunitas ekologis. Ekofeminisme menawarkan etika yang didasarkan
pada nilai-nilai kasih sayang/kepedulian (care), hubungan harmonis, cinta, tanggung jawab dan saling
percaya. Etika kepedulian ini juga berlaku dalam kaitan hubungan manusia dengan alam lingkungannya
2. Prinsip-prinsip Etika Lingkungan
Bertolak dari teori etika lingkungan biosentrisme, ekosentrisme, ekofeminisme, dapat ditarik benang merah
prinsip-prinsip etika lingkungan sebagai berikut: (a) Sikap hormat kepada alam, (b) Sikap tanggungjawab
terhadap alam, (c) Solidaritas kosmis, (d) Prinsip kepedulian dan kasih sayang terhadap alam, (e) Prinsip
tidak merusak/merugikan alam, (f ) Prinsip hidup sederhana dan selaras dengan alam, (g) Prinsip keadilan,
(h) Prinsip demokrasi, (i) Prinsip integritas moral
Politik ekologi mengkaji perubahan lingkungan yang sangat komplek di mana beragam kelompok
yang mempunyai persepsi dan kepentingan yang berbeda terhadap lingkungan dilibatkan. Bagaimana
proses dan sebab akibat terjadinya perubahan lingkungan dan, mengapa terjadi ketimpangan dalam
pemanfaatan sumberdaya, dan seterusnya. Penerapan etika lingkungan perlu dikaitkan dengan aspek politik
dan ekonomi. Dalam hal ini diperlukan komitmen moral pemerintah dan pihak terkait bagi perlindungan
lingkungan hidup. Pemerintahan yang bersih dan baik (good governance) akan berimplikasi pada keseriusan
terhadap perlindungan lingkungan.
Etika menjadi lebih makro dan terkait dengan implementasi etika politik dalam pembangunan
nasional dengan
adanya
kebijakan
sentral
yang
memadukan
kepentingan
pembangunan
dengan
perlindungan lingkungan. Paradigma pembangunan berkelanjutan merupakan puncak dari proses politik dan
merupakan sebuah agenda politik yang diterima oleh semua negara. Paradigma ini mempertemukan dua kubu
yang berseberangan
yaitu
antroposentrisme
yaitu pembangunan
ekonomi,
aspek
dengan
lingkungan
ekosentrisme
dan
aspek
dengan
sosial
memadukan
secara
tiga
berimbang
pilar
dengan
contoh negatif segelintir orang/perusahaan yang menerapkan pola pemanfaatan SDA secara membabibuta, maka masyarakat lokal pun secara perlahan, mulai meninggalkan kearifan budaya PLH-lokal tsb.,
sehingga kualitas LH menjadi semakin menurun kualitas maupun kuantitasnya.
Berdasar bentuk mata pencaharian, maka secara umum masyarakat Indonesia ini pun sangat beragam, masih
ada kelompok yang hidup di antara hutan alam, dan hanya hidup dari hasil kegiatan meramu
berburu, berladang
berotasi/petani
tak
menetap/nomaden,
sampai
ke
masyarakat
modern
di
perkotaan, yang sudah menetap biasa hidup di antara hutan beton dengan pola kehidupan modern,
berbasis pada kegiatan produktivitas industri, jasa dan rekreasi (jalan-jalan dari satu ke lain super mall),
dan seterusnya Seharusnya pemerintah (nasional dan daerah), harus memperhatikan kondisi LH setempat
secara khusus, mulai dari pengamatan tingkat kehidupan sosialnya di dalam konstelasi lingkungan yang ada.
Masyarakat tepian perairan saja: sudah dapat dibedakan, apakah mereka tinggal di tepian sungai atau danau
atau lingkungan pesisir dan pulau-pulau kecil, sebab kondisi fisik-sosial dan ekonominya pasti berbeda
dengan yang hidup di kota-kota besar dan di pulau-pulau yang luas. Belum lagi bila dipertimbangkan pula
kondisi iklim, sifat dinamis alam setempat, serta daerah-daerah yang secara fisik berbahaya (rentan), misal:
daerah sekitar letusan gunung berapi, wilayah gempa dan kemungkinan bahaya gelombang pasang
(tsunami), daerah-daerah rendah atau kemiringan lahan > 45%, dan lain lain.
3.6 DARI ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI (IPTEK) "KEMBALI" KE KEARIFAN TRADISIONAL
Deep ecology/DE (ekologi dalam) dilontarkan oleh Arne Naess (ahli fi lsafat Finlandia, 1973), merupakan
salah satu versi etika lingkungan ekosentrisme yang memusatkan perhatian pada biosfi r secara
keseluruhan, bukan hanya untuk jangka pendek melainkan agar memperhatikan pula kemungkinan
perkembangan biosfer jangka panjang. Hubungan antar manusia tidak berobah, tetapi manusia dan
kepentingannya bukan ukuran bagi segala sesuatu, bukan pula pusat dari dunia moral. Prinsip moral yang
dikembangkan DE meliputi seluruh komunitas ekologis. DE mengembangkan prinsip-prinsip moral yang
merupakan etika lingkungan praktis, menekankan pada gerakan atau aksi nyata yang kongkrit, mendukung
gaya hidup baru yang selaras dan serasi dengan alam, memperjuangkan isu lingkungan dan politik, perobahan
paradigma, nilai dan perilaku/gaya hidup.
Filsafat DE yang dinamakan ecosophy ini merupakan suatu kearifan hidup yang selaras dengan alam dalam
keterkaitan dan ketergantungan antara yang satu dengan yang lain dan dengan seluruh alam semesta sebagai
sebuah rumah tangga yang utuh menyeluruh. DE dimaksudkan sebagai implementasi etika yang baru, yaitu
diperlukannya komitmen bersama yang bersinergi untuk menjadi sebuah gerakan bersama secara global,
yang melibatkan seluruh kelompok masyarakat (ecosophy), yaitu gerakan merawat bumi sebagai sebuah
rumah tangga yang memerlukan tempat (ruang kehidupan) yang nyaman. Dengan membangun gerakan
seperti ini, melalui sosialisasi kepada semua orang dan antar atau lintas generasi, menjadi suatu etika baru
yang sama dengan: gerakan moral untuk menyelamatkan sistem ekologi. Dengan demikian maka krisis
ekologi dapat diatasi dan kehidupan dapat diselamatkan.
Krisis ekologi sama dengan krisis kehidupan, maka untuk dapat menyelamatkan kehidupan diperlukan
perubahan pola hidup dan perilaku yang bisa merusak dan mencemari lingkungan hidup, baik secara sendirisendiri selaku individu, maupun secara bersama dengan kelompok masyarakat lain, secara utuh memelihara
fungsi lingkungan
sebagaimana
seharusnya
seperti
yang
dikenal
dalam
sistem
pembangunan
berkelanjutan (sustainable development) dalam etika lingkungan dari masyarakat yang berbudaya dan
bermoral.
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dikenal sejak dulu dengan kelimpahan keanekaragaman sumber
daya hayati dan keanekaragaman serta kemajemukan budayanya. Diperkirakan terdapat lebih dari 555 suku
bangsa atau sub-suku bangsa yang berbeda bahasa maupun budaya lokalnya yang tersebar di seluruh
nusantara. Kearifan lingkungan yang masih berlangsung sampai sekarang, meski diketahui sudah mulai
terkikis oleh kehidupan modern.
Kearifan
budaya
suku-suku
bangsa
ini
merupakan
hasil
abstraksi
dari
pengalaman
dalam
mengelola lingkungan yang sudah ratusan, bahkan mungkin ribuan tahun lalu, meski kebanyakan diturunkan
hanya melalui bahasa atau budaya tutur saja, atau melalui mantra-mantra khusus sebagai penjabaran dari
sistem budaya, namun dapat dihayati dan dianut oleh seluruh anggota masyarakat pendukungnya,
menjadi pedoman atau kerangka acuan dalam melihat, memahami dan memilah-milah gejala yang
dihadapi sehari-hari, kemudian memilih dan menetapkan strategi dalam bersikap atau bertindak dalam
pengelolaan lingkungan dan SDA-nya. (Intellectual property right, local knowledege, folk knowledge). Karena
itu kearifan pengelolaan sumber daya dan lingkungan sebagai akar budaya masyarakat Indonesia ini perlu
mendapat perlindungan, penghargaan dan penghormatan yang sesuai dan memadai. Misalnya melindunginya
dengan perangkat hukum lokal atau hukum nasional yang terkait dan masih berlaku dan sesuai dengan
kebutuhan kemanusiaan.
Diperlukan pula tindakan berupa: Inventarisasi dan revitalisasi masing-masing komunitas, yang telah nyata
memiliki SD (modal) sosial yang bermanfaat bagi pembangunan, yaitu berupa: pengetahuan tradisional, etika
lingkungan dan pranata sosial yang diwarisi secara turun temurun dan yang telah terbukti sangat efektif
dalam menjaga kelestarian fungsi lingkungan dan menjamin keserasian lingkungan sosial dan binaannya.
Efektivitas teknologi yang arif lingkungan tersebut, dikemukakan sebagai contoh, antara lain (KLH,
2001) : Sistem rotasi perladangan yang dikembangkan masyarakat lokal Kalimantan sebetulnya masih
bisa bermanfaat dalam memulihkan kesuburan tanah, bila memenuhi persyaratan tertentu, yaitu apabila
jumlah penduduk sesuai dengan rasio luasnya ruang hidup yang masih mampu mendukung atau
menampung kehidupan sekelompok masyarakat itu sendiri, seperti misalnya; Pranata masyarakat SASI di
Maluku sebagai norma perlindungan perairan serta menunjukkan budaya gotong-royong serta saling
kepedulian di antara anggota masyarakat; Rempong Damar, sebagai sebuah model konservasi, dikembangkan
oleh masyarakat Krui, di Lampung Barat; Teknologi Hompongan pada masyarakat Kubu, sebagai upaya
membentengi hutan dari eksploitasi SD-hutan; Awig-awig di Bali, yang sampai sekarang telah terbukti sebagai
sistem yang sangat efektif, dan masih banyak lagi.
SD-sosial yang arif lingkungan telah tergeser oleh persebaran nilai-nilai baru yang terbawa oleh
kegiatan pembangunan, ditandai oleh penerapan IPTEK maju yang berpedoman pada nilai-nilai industri.
Nilai-nilai baru telah menitikberatkan pada pertumbuhan ekonomi jangka pendek tanpa memperhatikan
kelestarian fungsi dan kebiasaan dan keserasian lingkungan sosial dan binaan. Hal ini akan merugikan
pengelolaan lingkungan hidup itu sendiri. Orang Dayak berkata: Hancurnya hutan alam akan menghancurkan
kita juga, karena rasa menyatunya dengan alam begitu berarti.