Anda di halaman 1dari 9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Abses peritonsillar ( PTA ) adalah yang paling umum dalam infeksi ruang
leher dan merupakan komplikasi umum dari tonsilitis dengan gejala sisa yang berpotensi
kematian (Leigh J Sowerby, 2013).

A. ANATOMI
Cincin Waldeyer merupakan jaringan limfoid yang mengelilingi faring. Cincin
Waldeyer terdiri atas susunan kelenjar limfa yang terdapat di dalam rongga mulut yaitu
tonsil palatina (tonsil faucial), tonsil faring (adenoid), tonsil lingual (tonsil pangkal
lidah), tonsil tuba Eustachius (lateral band dinding faring/Gerlachs tonsil). Tonsil
palatina adalah suatu masa jaringan limfoid yang terletak di dalam fosa tonsil pada
kedua sudut orofaring dan dibatasi oleh pilar anterior (otot palatoglosus) dan pilar
posterior (otot palatofaringeus). Tonsil berbentuk oval dengan panjang 2-5 cm,
masingmasing tonsil mempunyai 10-30 kriptus yang meluas ke dalam jaringan tonsil.
Permukaan sebelah dalam tonsil atau permukaan yang bebas, tertutup oleh membran
epitel skuamosa berlapis yang sangat melekat. Epitel ini meluas ke dalam kantung atau
kripta yang membuka ke permukaan tonsil. Tonsil tidak selalu mengisi seluruh fosa
tonsil, daerah yang kosong di atasnya dikenal sebagai fosa supratonsil. Bagian luar
tonsil terikat longgar pada m.konstriktor faring superior, sehingga tertekan setiap kali
3

menelan. Muskulus palatoglosus dan m.palatofaringeus juga menekan tonsil. Tonsil


terletak di lateral orofaring, dibatasi oleh:

Lateral : m.konstriktor faring superior


Anterior : m.palatoglosus
Posterior : m.palatofaringeus
Superior : palatum mole
Inferior : tonsil lingual
Fosa Tonsil
Fosa tonsil atau sinus tonsil yang di dalamnya terletak tonsil palatina, dibatasi

oleh otot-otot orofaring, yaitu batas anterior adalah muskulus palatoglosus atau disebut
pilar posterior, batas lateral atau dinding luarnya adalah muskulus konstriktor faring
superior. Pilar anterior mempunyai bentuk seperti kipas pada rongga mulut, mulai dari
palatum mole dan berakhir di sisi lateral lidah. Pilar posterior adalah otot vertical yang
ke atas mencapai palatum mole, tuba eustachius dan dasar tengkorak dan ke arah bawah
meluas hingga dinding lateral esofagus, sehingga pada tonsilektomi harus hati-hati agar
pilar posterior tidak terluka. Pilar anterior dan pilar posterior bersatu di bagian atas pada
palatum mole, ke arah bawah terpisah dan masuk ke jaringan di pangkal lidah dan
dinding lateral faring (Jon prijadi).
Kapsul Tonsil
Bagian permukaan lateral tonsil ditutupi oleh suatu membran jaringan ikat, yang
disebut kapsul. Walaupun para pakar anatomi menyangkal adanya kapsul ini, tetapi para
klinisi menyatakan bahwa kapsul adalah jaringan ikat putih yang menutupi 4/5 bagian

tonsil. Kapsul tonsil mempunyai trabekula yang berjalan ke dalam parenkim. Trabekula
ini mengandung pembuluh darah, saraf-saraf dan pembuluh eferen (Jon prijadi).
Kriptus Tonsil
Kriptus tonsil berbentuk saluran yang tidak sama panjang dan masuk ke bagian
dalam jaringan tonsil. Umumnya terdiri dari 8-20 buah dan kebanyakan terjadi
penyatuan beberapa kriptus. Permukaan kriptus ditutupi oleh epitel yang sama dengan
epitel permukaan medial tonsil. Saluran kriptus ke arah luar, biasanya bertambah
luas. Pada fosa supratonsil, kriptus meluas kearah bawah dan luar, maka fosa ini
dianggap pula sebagai kriptus yang besar. Hal ini membuktikan adanya sisa
perkembangan berasal dari kantong brakial ke II. Secara klinik terlihat bahwa kriptus
merupakan sumber infeksi, baik lokal maupun sistemik karena dapat terisi sisa
makanan, epitel yang terlepas dan kuman (Jon prijadi).
Plika Triangularis
Di antara pangkal lidah dan bagian anterior kutub bawah tonsil terdapat plika
triangularis yang merupakan suatu struktur normal yang telah ada sejak masa embrio.
Serabut ini dapat menjadi penyebab kesukaran saat pengangkatan tonsil dengan jerat.
Komplikasi yang sering terjadi adalah terdapatnya sisa tonsil atau terpotongnya pangkal
lidah. Kadang-kadang plika triangularis membentuk suatu kantong atau saluran buntu.
Keadaan ini dapat merupakan sumber infeksi lokal maupun umum karena kantong
tersebut terisi sisa makanan atau kumpulan debris (Jon prijadi).

B. EPIDEMIOLOGI
5

Studi epidemiologis dari seluruh dunia memiliki melaporkan kejadian 10


sampai 37 per 100.000 orang. Sebuah peritonsillar tidak diobati atau tidak benar
diperlakukan Infeksi dapat berkembang menjadi abses ruang parapharyngeal, atau
menyebabkan sepsis, obstruksi jalan napas, karotis pseudoaneurysm dan bahkan
kematian (Leigh J Sowerby, 2013).
Abses peritonsil sering mengenai orang dewasa pada usia 20 sampai 40 tahun.
Pada anak jarang terjadi, kecuali yang mengalami gangguan penyakit kekebalan tubuh,
tetapi pada anak infeksi dapat menyebabkan gangguan obstruksi jalan nafas. Persentase
efek gangguan jalan nafas sama pada anak laki-laki dan perempuan. Pada umumnya
infeksi di bagian kepala leher terjadi pada orang dewasa. Insiden abses peritonsil di A.S
terjadi 30 per 100.000 orang/ tahun.3 Dikutip dari Hanna BC3, Herzon melaporkan data
insiden terjadinya abses peritonsil; 1/6500 populasi atau 30.1/40.000 orang pertahun di
Amerika Serikat. Di Irlandia Utara dilaporkan 1 per 10.000 pasien per tahun, dengan
rata-rata usia 26 tahun (Novialdi)

C. ETIOLOGI
Abses peritonsillar secara tradisional dianggap sebagai titik akhir dari sebuah
kontinum yang dimulai tonsillitis eksudatif akut, berlangsung untuk selulitis, dan
akhirnya membentuk abses. Sebuah tinjauan baru-baru ini berimplikasi Weber kelenjar
sebagai memainkan peran kunci dalam formasi dari peritonsillar abscesses. Kelompok
20 sampai 25 kelenjar ludah lendir terletak dalam ruang hanya unggul dari tonsil di
langit-langit lunak dan terhubung ke permukaan dari tonsil oleh duct. sebuah Kelenjar
6

menghapus daerah tonsil puing dan membantu dengan pencernaan partikel makanan
yang terjebak di kriptus tonsil. Jika kelenjar ini menjadi Weber meradang, selulitis lokal
dapat berkembang(Galioto, Md, 2008)
Sebagai infeksi berlangsung, saluran ke permukaan amandel menjadi semakin
lebih terhambat dari sekitar peradangan. Nekrosis jaringan yang dihasilkan dan
pembentukan nanah menghasilkan tanda dan gejala klasik dari peritonsillar abscess.
Abses ini umumnya terbentuk di daerah langit-langit lunak, tepat di atas tiang unggul
amandel, di lokasi Weber glands. Terjadinya abses peritonsillar pada pasien yang
memiliki menjalani tonsilektomi lebih mendukung teori bahwa kelenjar Weber memiliki
peran dalam patogenesis. Variabel klinis lainnya termasuk penyakit periodontal
signifikan dan merokok(Galioto, Md, 2008)
D. GEJALA KLINIS
Pasien dengan abses peritonsillar muncul sakit dan sekarang dengan demam,
malaise, sakit tenggorokan, disfagia, atau otalgia. Rasa sakit tenggorokan adalah nyata
lebih parah pada sisi yang terkena dan sering disebut telinga pada sisi yang sama. Fisik
Pemeriksaan biasanya mengungkapkan trismus, dengan pasien mengalami kesulitan
membuka nya mulut karena sakit dari peradangan dan spasme masticator muscles.9
Menelan juga sangat menyakitkan, sehingga penyatuan air liur atau drooling. Pasien
sering berbicara dalam suara teredam (juga disebut "suara kentang panas"). Limfadenitis
serviks nyata lembut mungkin teraba pada sisi yang terkena. Inspeksi dari orofaring
mengungkapkan pembengkakan tegang dan eritema dari pilar tonsil anterior dan langit-

langit lunak yang melapisi tonsil yang terinfeksi. Tonsil umumnya pengungsi inferior
dan medial dengan deviasi kontralateral dari uvula (Gambar 1). Gejala yang paling
umum dan temuan fisik dirangkum dalam Tabel 1. Potensi komplikasi peritonsillar
abses diuraikan pada Tabel 2. Kematian bisa terjadi dari obstruksi jalan napas, aspirasi,
atau perdarahan dari erosi atau nekrosis septic ke dalam selubung karotis (Nicholas J,
2008).

E. DIAGNOSIS
Menegakkan diagnosis penderita dengan abses peritonsil dapat dilakukan
berdasarkan anamnesis tentang riwayat penyakit, gejala klinis dan pemeriksaan fisik
penderita. Aspirasi dengan jarum pada daerah yang paling fluktuatif, atau punksi
merupakan tindakan diagnosis yang akurat untuk memastikan abses peritonsil. Seperti
dikutip dari Hanna3, Similarly Snow dkk berpendapat untuk mengetahui jenis kuman
pada abses peritonsil tidak dapat dilakukan dengan cara usap tenggorok. Pemeriksaan
penunjang akan sangat membantu selain untuk diagnosis juga untuk perencanaan
penatalaksanaan (Novialdi)
Pemeriksaan secara klinis seringkali sukar dilakukan karena adanya trismus.
Palatum mole tampak menonjol ke depan, dapat teraba fluktuasi. Tonsil bengkak,
hiperemis, mungkin banyak detritus, terdorong ke arah tengah, depan dan bawah. Uvula
terdorong ke arah kontra lateral. Gejala lain untuk diagnosis sesuai dengan gejala
klinisnya. Pemeriksaan laboratorium darah berupa faal hemostasis, terutama adanya

leukositosis sangat membantu diagnosis. Pemeriksaan radiologi berupa foto rontgen


polos, ultrasonografi dan tomografi computer (Novialdi)
Saat ini ultrasonografi telah dikenal dapat mendiagnosis abses peritonsil secara
spesifik dan mungkin dapat digunakan sebagai alternative pemeriksaan. Mayoritas kasus
yang diperiksa menampakkan gambaran cincin isoechoic dengan gambaran sentral
hypoechoic (Novialdi).

F. PENATALAKSANAAN
Drainase abses, antibiotik, dan terapi suportif untuk mempertahankan hidrasi
dan kontrol nyeri adalah pengobatan untuk abses peritonsillar. Karena selulitis
peritonsillar

merupakan

tahap

transisi

di

pengembangan

abses

peritonsillar,

pengobatannya adalah mirip dengan abses peritonsillar, tidak termasuk perlu untuk
drainase bedah.
Prosedur utama untuk drainase peritonsillar Abses adalah aspirasi jarum , insisi
dan drainase, dan tonsilektomi segera. Drainase menggunakan salah satu dari metode
dikombinasikan dengan terapi antibiotik akan menghasilkan di resolusi abses
peritonsillar di lebih dari 90 persen dari cases. Manajemen bedah akut abses peritonsillar
telah berkembang dari waktu ke waktu dari rutinitas tonsilektomi segera untuk
peningkatan penggunaan sayatan dan drainase atau aspirasi jarum. Segera tonsilektomi
abses belum terbukti lebih efektif daripada aspirasi jarum atau sayatan dan drainase, dan
dianggap kurang efektif. Beberapa studi membandingkan aspirasi jarum dengan insisi
dan drainase telah menemukan perbedaan statistik yang signifikan dalam hasil tidak ada
9

meskipun tidak rutin dilakukan untuk pengobatan abses peritonsillar, tonsilektomi


segera harus dipertimbangkan untuk pasien yang memiliki indikasi kuat untuk
tonsilektomi, termasuk mereka yang memiliki gejala sleep apnea, riwayat tonsilitis
berulang (empat atau lebih infeksi per tahun meskipun memadai terapi medis), atau
berulang atau peritonsillar nonresolving terapi antibiotik empiris awal abscess. harus
mencakup antimikroba efektif terhadap Grup Streptokokus dan anaerobes. Meskipun
abses peritonsillar yang infeksi polymicrobial, beberapa penelitian telah menunjukkan
penisilin intravena sendiri untuk menjadi seperti klinis efektif antibiotik spectrum yang
lebih luas, disediakan abses telah drained. memadai Dalam studi ini, tidak memadai
Tanggapan klinis berikut 24 jam dari antibiotik Terapi memainkan peran penting dalam
keputusan untuk menggunakan antibiotik spektrum luas. Beberapa penelitian lain
memiliki melaporkan bahwa lebih dari 50 persen dari hasil kultur menunjukkan adanya
beta-laktamase

anaerob,

menyebabkan

banyak

dokter

untuk

menggunakan

broaderspectrum antibiotik sebagai terapi lini pertama. (Nicholas J. 2008)

G. KOMPLIKASI
Komplikasi segera yang dapat terjadi berupa dehidrasi karena masukan makanan
yang kurang. Pecahnya abses secara spontan dengan aspirasi darah atau pus dapat
menyebabkan pneumonitis atau abses paru. Pecahnya abses juga dapat menyebabkan
penyebaran infeksi ke ruang leher dalam, dengan kemungkinan sampai ke mediastinum
dan dasar tengkorak (Novialdi).

10

Komplikasi abses peritonsil yang sangat serius pernah dilaporkan sekitar tahun
1930, sebelum masa penggunaan antibiotika. Infeksi abses peritonsil menyebar ke arah
parafaring menyusuri selubung karotis kemudian membentuk ruang infeksi yang luas.
Perluasan Infeksi ke daerah parafaring dapat menyebabkan terjadinya abses parafaring,
penjalaran selanjutnya dapat masuk ke mediastinum sehingga dapat terjadi mediastinitis.
Pembengkakan yang timbul di daerah supraglotis dapat menyebabkan obstruksi jalan
nafas

yang

memerlukan

tindakan

trakeostomi.

Keterlibatan

ruangruang

faringomaksilaris dalam komplikasi abses peritonsil mungkin memerlukan drainase dari


luar melalui segitiga submandibular (Novialdi).

11

Anda mungkin juga menyukai