Anda di halaman 1dari 30

Case Report Session

STATUS KONVULSIVUS

Oleh:
Elsa Giatri

1110313060

Preseptor
Prof. dr. Basjiruddin Ahmad, Sp.S (K)
DR. dr. Yuliarni Syafrita, Sp.S (K)

BAGIAN ILMU PENYAKIT SARAF


RSUP DR M DJAMIL PADANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2016

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan Case report session ini
dengan judul Status Konvulsivus. Shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada Nabi
Muhammad SAW.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof. dr. Basjiruddin
Ahmad, Sp.S (K) dan DR. dr. Yuliarni Syafrita, Sp.S (K) sebagai preseptor yang telah
memberiksan bimbingan dan arahan dalam penyusunan Case report session ini.
Case report session ini dibuat untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik Ilmu
Penyakit Saraf dan menambah wawasan mengenai diagnosis dan tatalaksana Status
Konvulsivus. Kritik dan saran sangat diharapkan untuk kesempurnaan dari Case report
session ini.

Padang, September 2016

Penulis

BAB I
TINJAUAN PUSTAKA

I. DEFINISI
Kejang adalah kedaruratan neurologi yang sering dijumpai di ruang gawat darurat.
Hampir 5% anak berumur dibawah 16 tahun setidaknya pernah mengalami kejang selama
hidupnya. Sebanyak 21% kejang pada anak terjadi pada satu tahun pertama kehidupan,
sedangkan 64% dalam lima tahun pertama. Kejang adalah manifestasi klinis yang disebabkan
oleh lepasnya muatan listrik di neuron. Status konvulsivus adalah kejang konvulsif yang
berlangsung lebih dari 30 menit atau kejang berulang selama lebih dari 30 menit. Pada status
konvulsivus, selama kejang pasien tidak sadar.

II. EPIDEMIOLOGI
Penelitian epidemiologi terbaru di Amerika Serikat melaporkan angka kejadian status
konvulsivus pada anak berkisar 17/100.000 hingga 23-58/100.000 anak per tahun. Angka
kejadian tertinggi dijumpai pada anak usia dibawah 1 tahun yakni 135,2 -156 per 100.000
anak/tahun.
III. ETIOLOGI
Penentuan etiologi kejang berperan penting dalam tatalaksana kejang selanjutnya.
Keadaan ini sangat penting terutama pada kejang yang sulit diatasi atau kejang berulang.
Etiologi kejang pada seorang pasien dapat lebih dari satu. Etiologi kejang tersering pada anak
dapat dilihat pada tabel 1.
Kejang sederhana
Infeksi

Infeksi intracranial: meningitis, ensefalitis

Keracunan

Shigellosis
Alkohol, teofilin, kokain

Gangguan metabolic

Hipoglikemia, hiponatremia, hipoksemia,


hipokalsemia, gangguan elektrolit atau
dehidrasi, defisiensi piridoksin, gagal ginjal,
gagal hati, kelainan metabolic bawaan

Penghentian obat antiepilepsi


Trauma kepala
Lain-lain

Ensefalopati hipertensi, tumor otak, perdarahan


intracranial, idiopatik

Tabel 1. Etiologi kejang

IV. KLASIFIKASI
Jenis kejang dapat ditentukan berdasarkan deskripsi yang akurat. Penentuan jenis
kejang ini sangatlah penting untuk menentukan jenis terapi yang akan diberikan. Pemilihan
obat antikejang/ obat antiepilepsi (OAE) jangka panjang sangat dipengaruhi oleh jenis kejang
pasien. Ada obat diindikasikan untuk jenis kejang tertentu, misalnya karbamazepin untuk
jenis kejang fokal atau asam valproat untuk kejang tipe absans.
Klasifikasi yang ditetapkan oleh International League Against Epilepsy (ILAE) terdiri
dari 2 jenis klasifikasi yaitu:
Bangkitan parsial
o Bangkitan parsial sederhana

Motorik

Sensorik

Otonom

Psikis

o Bangkitan parsial kompleks

Bangkitan parsial sederhana yang diikuti dengan gangguan kesadaran

Bangkitan parsial yang disertai gangguan kesadaran saat awal


bangkitan

o Bangkitan parsial yang menjadi umum sekunder

Parsial sederhana yang menjadi umum tonik-klonik

Parsial kompleks yang menjadi umum tonik-klonik

Parsial sederhana menjadi parsial kompleks kemudian menjadi umum


tonik-klonik

Bangkitan umum
Lena (absence)
Mioklonik
Tonik
Tonik-klonik
Atonik
Tak tergolongkan

V. PATOFISIOLOGI
Patofisiologi kejang pada tingkat selular berhubungan dengan terjadinya paroxysmal
depolarization shift (PDS) yaitu depolarisasi potensial pascasinaps yang berlangsung lama
(50 ms). PDS merangsang lepas muatan listrik yang berlebihan pada neuron otak dan
merangsang sel neuron lain untuk melepaskan muatan listrik secara bersama-sama sehingga
timbul hiperkesitabilitas neuron otak.
PDS diduga disebabkan oleh kemampuan membrane sel melepaskan muatan listrik
yang berlebihan, berkurangnya inhibisi oleh neurotransmitter asam gama amino butirat
(GABA) atau meningkatnya eksitasi sinaptik oleh neurotransmitter glutamate dan aspartat
melalui jalur eksitasi yang berulang. Pada pasien dengan epilepsy fokal, terdapat sekelompok

sel neuron yang bertindak sebagai pacemaker lepasnya muatan listrik disebut sebagai focus
epileptikus. Sekelompok sel neuron ini akan merangsang sel di sekitarnya untuk melepaskan
muatan listriknya. Keadaan ini merupakan transisi fokal interiktal atau gelombang paku iktal
pada elektroensefalografi.
Manifestasi klinis bergantung pada luasnya sel neuron yang tereksitasi. Pasien
epilepsy umum pembentukan gelombang paku-ombak terjadi pada struktur korteks. Terdaat
penyebaran cepat proses eksitasi (spike) dan inhibisi (gelombang ombak) pada kedua
hemisfer otak melalui jaras kortikoretikular dan talamokortikal. Status konvulsivus terjadi
akibat proses eksitasi yang berlebihan berlangsung terus menerus yang diikuti oleh proses
inhibisi yang tidak sempurna.

VI. KRITERIA KEJANG


Diagnosis kejang ditegakkan berdasarkan anamnesis dan akan lebih mudah bila
serangan kejang tersebut terjadi di hadapan kita. Pada awal penanganan, sangatlah penting
membedakan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisis apakah serangan yang terjadi
adalah kejang atau serangan yang menyerupai kejang. Perbedaan diantara keduanya dapat
dilihat pada tabel 2. Perlu diingat bahwa pada pasien epilepsy dapat terjadi serangan yang
menyerupai kejang, seperti aritmia, sinkop, atau distonia.
VII. MANIFESTASI KLINIS
Epilepsi fokal dengan manifestasi kejang otot local sampai separuh tubuh, gerakan
adversif mata dan kepala, sering merupakan awal dari status konvulsivus. Keluarga penderita
yang melihat kejadian ini akan dapat menceritakannya kembali dengan jelas. Enam puluh
sampai delapan puluh persen status konvulsivus dimulai dengan gejala-gejala fokal. Kejang
menjadi bilateral dan umum akibat penyebaran lepas muatan listrik yang terus menerus dari
focus pada suatu hemisfer ke hemisfer lain.

Kejang tonik akan diikuti oleh sentakan otot atau kejang klonik. Proses ini
berlangsung terus, sambung menyambung tanpa diselingi oleh fase sadar. Dalam bentuk
klinis seperti ini penderita berada dalam keadaan status konvulsivus.

VIII. DIAGNOSIS
Diagnosis status konvulsivus dapat langsung ditegakkan bila ada yang menyaksikan
bangkitan umum tonik-klonik. Status konvulsivus seringkali tidak dipikirkan pada pasien
koma yang telah memasuki fase nonkonvulsif. Pada semua pasien koma perlu diketahui
adanya minor twitching yang bisa terlihat di wajah, tangan, kaki, atau dalam bentuk
nistagmus.

Anamnesis dan Pemeriksaan Fisis


Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang baik diperlukan untuk memilih pemeriksaan
penunjang yang terarah dan tatalaksana selanjutnya. Aloanamnesis dimulai dari riwayat
perjalanan penyakit sampai terjadinya kejang, dilanjutkan dengan pertanyaan terarah untuk
mencari kemungkinan faktor pencetus atau penyebab kejang. Anamnesis diarahkan pada
riwayat kejang sebelumnya, kondisi medis yang berhubungan, obat-obatan, trauma, gejala
infeksi, gangguan neurologis baik umum maupun fokal, serta nyeri atau cedera akibat kejang.
Pemeriksaan fisis dimulai dengan menilai tanda vital, mencari tanda trauma akut
kepala, dan ada tidaknya kelainan sistemik. Pemeriksaan ditujukan untuk mencari cedera
yang terjadi mendahului atau selama kejang, adanya penyakit sistemik, paparan zat toksik,
infeksi, dan kelainan neurologis fokal. Bila dijumpai kelainan fokal, misalnya paralisis
Todds harus dicurigai adanya lesi intracranial.

Pemeriksaan Penunjang

Untuk menentukan faktor penyebab dan komplikasi kejang pada anak, diperlukan
beberapa pemeriksaan penunjang meliputi pemeriksaan laboratorium, pungsi lumbal,
elektroensefalografi, dan pencitraan neurologis. Pemilihan jenis pemeriksaan penunjang ini
ditentukan sesuai dengan kebutuhan.

Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium pada anak dengan kejang berguna untuk mencari etiologi
dan komplikasi akibat kejang lama. Jenis pemeriksaan yang dilakukan bergantung pada
kondisi klinis pasien. Pemeriksaan yang dianjurkan pada pasien dengan kejang lama adalah
kadar glukosa darah, elektrolit, darah perifer lengkap, dan masa protrombin. Pemeriksaan
laboratorium tersebut bukan pemeriksaan rutin pada kejang demam.

Pungsi lumbal
Pungsi lumbal dapat dipertimbangkan pada pasien kejang disertai penurunan
kesadaran atau gangguan status mental, perdarahan kulit, kaku kuduk, kejang lama, gejala
infeksi, paresis, peningkatan sel darah putih, atau pada kasus yang tidak didapatkan faktor
pencetus yang jelas. Pungsi lumbal ulang dapat dilakukan dalam 48-72 jam setelah pungsi
lumbal yang pertama untuk memastikan adanya infeksi susunan saraf pusat.

Elektroensefalografi
Pemeriksaan EEG digunakan untuk mengetahui adanya gelombang epileptiform.
Pemeriksaan EEG mempunyai keterbatasan, khususnya interiktal EEG. Beberapa anak tanpa
kejang secara klinis ternyata memperlihatkan gambaran EEG epileptiform, sedangkan anak
lain dengan epilepsy berat mempunyai gambaran interiktal EEG yang normal. Sensitivitas
EEG interiktal bervariasi.

Pencitraan neurologis
Foto polis kepala memiliki nilai diagnostic kecil meskipun dapat menunjukkan
adanya fraktur tulang tengkorak. Kelainan jaringan otak pada trauma kepala dideteksi dengan
CT Scan kepala. Kelainan gambaran CT Scan kepala dapat ditemukan pada pasien kejang
dengan riwayat trauma kepala, pemeriksaan neurologis yang abnormal, perubahan pola
kejang, kejang berulang, riwayat menderita penyakit susunan saraf pusat, kejang fokal, dan
riwayat keganasan.
Magnetic resonance imaging (MRI) lebih superior dibandingkan CT scan dalam
mengevaluasi lesi epileptogenik atau tumor kecil di daerah temporal atau daerah yang
tertutup struktur tulang misalnya daerah serebelum atau batang otak. MRI dipertimbangkan
pada anak dengan kejang yang sulit diatasi, epilepsy lobus temporalis, perkembangan
terlambat tanpa adanya kelainan pada CT scan, dan adanya lesi ekuivokal pada CT scan.

IX. PENATALAKSANAAN
Umumnya kejang tonik klonik berhenti spontan dalam 5 menit. Bila kejang tidak
berhenti dalam 5 menit, maka kejang cenderung berlangsung lama. Status konvulsivus adalah
kejang konvulsif yang berlangsung lebih dari 30 menit atau kejang berulang selama lebih dari
30 menit; selama kejang pasien tidak sadar. Status konvulsivus pada anak merupakan
kegawatan yang mengancam jiwa dengan resiko terjadinya gejala sisa neurologis.
Langkah-langkah penanganan kejang terbagi atas tatalaksana fase akut dan fase
meliputi:
Penanganan pada pasien dengan status konvulsivus tidak hanya bertujuan untuk
mengentikan kejang, tetapi juga mencegah terjadinya komplikasi sistemik yang timbul pasca

status konvulsivus. Pengenalan dini, intervensi yang adekuat, dan pencegahan komplikasi
penting untuk prognosis pasien. Pada kejang lama dapat terjadi hipoksia terjadi akibat
gangguan ventilasi, sekresi air liur dan sekret trakeobronkial yang berlebihan, serta

peningkatan kebutuhan oksigen.


Hipoksia mengakibatkan asidosis, yang selanjutnya menyebabkan penurunan fungsi
ventrikel jantung, penurunan curah jantung, hipotensi, dan mengganggu fungsi sel dan
neuron. Edema otak terjadi akibat adanya hipoksia, asidosis, atau hipotensi. Pada kejang yang
tidak dapat teratasi, dapat terjadi hiperpireksia sehingga dapat terjadi mioglobinuria dan
peningkatan keratin fosfokinase akibat rabdomiolisis.
Beberapa macam obat yang sering digunakan untuk mengatasi status konvulsivus
dapat dilihat pada tabel 3.
Keterangan
Dosis insial
Maksimum
dosis awal
Dosis

Diazepam
0,3-0,5
mg/kgBB
10 mg

Lorazepam
0,05-0,1
mg/kgBB
4 mg

Fenitoin
15-20
mg/kgBB
-

Fenobarbital
10-20
mg/kgBB
-

5-10 menit,

5-10 menit,

Bila kejang

10-15 menit

Midazolam
0,05-0,1
mg/kgBB
-

ulangan

dapat diulang
1-2 kali

dapat diulang
1 kali

Lama kerja

15 menit-4
jam
IV perlahan,
rectal

Sampai 24
jam
IV

Dilanjutkan
dengan
fenitoin atau
OAE
Somnolen,
ataksia,
depresi napas

Hindarkan
pengulangan
sebelum 48
jam
Bingung,
depresi napas

Rute
pemberian

Catatan

Efek
samping

tidak
terkontrol,
periksa kadar
dalam serum
setelah 1-2
jam. Dapat
diberikan
setengah
dosis
12 jam
IV perlahan,
kecepatan 50
mg/ menit,
dapat
diencerkan
dengan NaCl
0,9%
Monitor
tanda vital

5-10
mg/kgBB

12-24 jam

1-6 jam

12-24 jam IV
perlahan,
kecepatan 100
mg/menit,
atau IM

IV bolus
perlahan,
kecepatan 0,2
ug/menit atau
drip 0,4-0,6
ug/kgBB/
menit

Monitor tanda
vital

Hipotensi,
Hipotensi,
Hipotensi,
depresi
depresi napas
bradikardi
napas,
aritmia
Tabel 3. Obat-obat yang sering digunakan dalam penghentian kejang

X. KOMPLIKASI

Neurotoksisitas
Kejang menyebabkan kebutuhan metabolic sel neuron meningkat. Bila status
konvulsivus berlangsung lebih dari 60 menit, akan terjadi kerusakan neuron.

Sistemik
o Aritmia jantung dan gagal jantung akibat peningkatan output
o Hipoksia: edema paru dan aspirasi
o Demam
o Hipoglikemia, hiperkalemia

o Rhabdomyolisis, myoglobulinuria

Gambar 2. Bahaya Status Konvulsivus

XI. PROGNOSIS
Prognosis status konvulsivus tergantung pada penyakit yang mendasarinya, kecepatan
penangan kejang, dan komplikasinya.

BAB 3
LAPORAN KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nama

: Ny. Y

Jenis kelamin

: Perempuan

Umur

: 28 tahun

Suku bangsa

: Minang

Agama

: Islam

Alamat

: Jor. Padang Nagari Beruah Gunung, 50 Kota.

Pekerjaan

: Ibu rumah tangga

Tanggal periksa

: 27 Desember 2016

ANAMNESIS
Seorang pasien, Ny. Y, perempuan, usia 28 tahun dirawat di bangsal Neurologi RSUP
Dr. M. Djamil Padang pada tanggal 13 Desember 2016 dengan:
Keluhan Utama : Kejang berulang
Riwayat Penyakit Sekarang :

Kejang berulang sejak 2 hari yang lalu, kejang terjadi tiba-tiba saat pasien sedang
dalam rawatan di RSUD Adnan WD Payakumbuh. Kejang diawali dengan kelonjotan
pada kedua tangan dan tungkai selama 1-2 menit. Saat kejang pasien sadar, mulut
tidak berbuih, lidah tidak tergigit, dan pasien tidak mengompol. Kejang berulang
hingga > 10 kali. Jarak antar kejang 5-15 menit. Saat kejang, sesudah kejang, dan
diantara kejang pasien tetap sadar.

Nyeri kepada sebelum, saat, dan sesudah onset tidak ada

Muntah saat onset tidak ada.

Tidak ada kelemahan anggota gerak

Pandangan kabur tidak ada

Riwayat Penyakit Dahulu:

Riwayat kehamilan ektopik terganggu yang diketahui 6 hari yang lalu. Saat itu pasien
mengeluhkan nyeri pada perut dan didiagnosis dengan kehamilan diluar rahim. Pasien
dioperasi dan sesaat setelah di operasi pasien mengalami cardiac arrest, lamanya tidak
diketahui. Setelah cardiac arrest pasien sadar, kemudian pasien diintubasi dan dirawat
dengan ventilator. Pasien sadar penuh saat satu hari yang lalu, kemudian dilakukan
ekstubasi sekitar 10 jam yang lalu.

Riwayat kejang sebelumnya tidak ada.

Riwayat trauma kepala sebelumnya tidak ada.

Riwayat hipertensi, diabetes mellitus, jantung, dan stroke tidak ada.

Riwayat penurunan berat badan disangkal.

Riwayat infeksi gigi, telinga, dan sinus tidak ada.

Riwayat penyakit keganasan, paru, dan payudara tidak ada.

Riwayat Penyakit Keluarga:

Tidak ada anggota keluarga yang menderita kejang sebelumnya.

Tidak ada anggota keluarga yang menderita hipertensi, diabetes melitus, asma, dan
kelainan jantung lainnya.

Tidak ada anggota keluarga dengan riwayat keganasan.

Riwayat Sosial, Ekonomi, Kejiwaan dan Kebiasaan:

Pasien seorang ibu rumah tangga, aktivitas ringan - sedang

Pasien tidak merokok dan tidak mengonsumsi alkohol

Pasien tidak pernah memakai kontrasepsi hormonal

Lahir normal, berat badan lahir cukup, langsung menangis

PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan umum
Keadaan umum : Sakit sedang
Kesadaran

: Composmentis (E4M6V5)

Kooperatif

: Kooperatif

Nadi/ irama

: 93 x/menit

Pernafasan

: 20 x/menit

Tekanan darah

: 120/70 mmHg

Suhu

: 37,0 oC

Keadaan gizi

: baik

Turgor kulit

: baik

Kulit dan kuku

: pucat (-), sianosis (-)

Kelenjar getah bening


Leher

: tidak teraba pembesaran KGB

Aksila

: tidak teraba pembesaran KGB

Inguinal

: tidak teraba pembesaran KGB

Inspeksi

: normochest simetris kiri dan kanan

Torak
Paru

Palpasi

: sulit dinilai

Perkusi

: sonor

Auskultasi : vesikuler, ronkhi -/-, wheezing -/Jantung


Inspeksi

: ictus cordis tak terlihat

Palpasi

: ictus cordis teraba 1 jari lateral LMCS RIC V

Perkusi

: batas jantung dalam batas normal

Auskultasi : ireguler, bising (-) gallop (-)


Abdomen
Inspeksi

: perut tidak tampak membuncit

Palpasi

: hepar dan lien tak teraba

Perkusi

: timpani

Auskultasi : bising usus (+) N


Korpus vertebrae
Inspeksi

: deformitas (-)

Palpasi

: gibus (-)

Status neurologikus
1. Tanda rangsangan selaput otak

Kaku kuduk

: (-)

Brudzinsky I

: (-)

Brudzinsky II

: (-)

Tanda Kernig

: (-)

2. Tanda peningkatan tekanan intrakranial

Pupil isokor, diameter 3mm/3mm , reflek cahaya +/+

Muntah proyektil tidak ada

3. Pemeriksaan nervus kranialis


N. I (Olfaktorius)
Penciuman
Subjektif
Objektif (dengan bahan)

Kanan
Baik
Baik

Kiri
Baik
Baik

N. II (Optikus) (sulit dinilai)


Penglihatan
Kanan
Tajam penglihatan

Kiri

Lapangan pandang

Baik

Baik

Melihat warna
Funduskopi

Baik
Tidak dilakukan

Baik
Tidak dilakukan

N. III (Okulomotorius)
Bola mata
Ptosis
Gerakan bulbus

Kanan
Bulat
(-)
Bebas kesegala arah

Kiri
Bulat
(-)
Bebas kesegala arah

Strabismus

(-)

(-)

Nistagmus

(-)

(-)

Ekso/endotalmus

(-)

(-)

Pupil
Bentuk
Refleks cahaya
Refleks akomodasi
Refleks konvergensi

Bulat
(+) normal
(+)
(+)

Bulat
(+) normal
(+)
(+)

N. IV (Trochlearis) (sulit dinilai)


Kanan
Gerakan mata ke bawah
Baik
Sikap bulbus
Ortho
Diplopia

Kiri
Baik
Ortho

(-)

(-)

Gerakan mata ke lateral


Sikap bulbus

Kanan
Baik
Ortho

Kiri
Baik
Ortho

Diplopia

(-)

(-)

Kanan

Kiri

Baik
Baik
Baik
Baik

Baik
Baik
Baik
Baik

N. V (Abdusen) (sulit dinilai)

N. VI (Trigeminus)
Motorik
Membuka mulut
Menggerakkan rahang
Menggigit
Mengunyah
Sensorik

Divisi oftalmika
- Refleks kornea
- Sensibilitas
Divisi maksila
- Refleks masetter
- Sensibilitas
Divisi mandibula
- Sensibilitas

Baik
Baik

Baik
Baik

Baik
Baik

Baik
Baik

Baik

Baik

N. VII (Fasialis)
Raut wajah
Sekresi air mata
Fissura palpebra

Kanan
Kiri
Plika nasolabialis
simetris
(+)
(+)

Menggerakkan dahi
Menutup mata

Baik
Baik

Baik
Baik

Mencibir/ bersiul

Baik

Baik

Memperlihatkan gigi

Baik

Baik

Sensasi lidah 2/3 depan

Baik

Baik

Hiperakusis

(-)

(-)

N. VIII (Vestibularis)
Suara berbisik

Kanan
Baik

Kiri
Baik

Detik arloji

Baik

Baik

Rinne tes

Tidak diperiksa

Tidak diperiksa

Weber tes

Tidak diperiksa

Schwabach tes
- Memanjang
- Memendek
Nistagmus
- Pendular
- Vertikal
- Siklikal
Pengaruh posisi kepala

Tidak diperiksa

(-)

(-)

(-)

(-)

Kanan
Baik
(+)

Kiri
Baik
(+)

N. IX (Glossopharyngeus)
Sensasi lidah 1/3 belakang
Refleks muntah (Gag Rx)

N. X (Vagus)
Kanan
Simetris
Simetris
Baik
Baik
Reguler

Arkus faring
Uvula
Menelan
Suara
Nadi

Kiri
Simetris
Simetris
Baik
Baik
Reguler

N. XI (Asesorius)
Kanan
Baik
Baik
ke Baik

Menoleh ke kanan
Menoleh ke kiri
Mengangkat bahu
kanan
Mengangkat bahu ke kiri

Baik

Kiri
Baik
Baik
Baik
Baik

N. XII (Hipoglosus)
Kedudukan lidah dalam
Kedudukan lidah dijulurkan
Tremor
Fasikulasi
Atropi

Kanan
Baik
Baik
(-)
(-)
(-)

4. Pemeriksaan koordinasi
Cara berjalan
Tidak diperiksa
Romberg tes
Tidak diperiksa
Ataksia
Tidak diperiksa
Reboundphenome
n
Test tumit lutut

Kiri
Baik
Baik

Tidak diperiksa
Tidak diperiksa
Tidak diperiksa

Tidak diperiksa

Tidak diperiksa

Tidak diperiksa

Tidak diperiksa

5. Pemeriksaan fungsi motorik


a. Badan

Respirasi
Teratur
Duduk
b. Berdiri
dan Gerakan spontan
Tidak dilakukan
Tremor
Tidak dilakukan
berjalan
Atetosis
Tidak dilakukan
Mioklonik
Tidak dilakukan
Khorea
Tidak dilakukan
c. Ekstremitas
Superior
Inferior
Kanan
Kiri
Kanan
Gerakan
Aktif
Aktif
Aktif
Kekuatan
555
555
555
Tropi
Eutrofi
Eutropi
Euttrofi

Kiri
Aktif
555
Eutropi

Tonus

Eutonus

6. Pemeriksaan sensibilitas
Sensibiltas taktil
Sensibilitas nyeri
Sensiblitas termis
7. Sistem refleks
a. Fisiologis
Kornea
Berbangkis
Laring
Masetter
Dinding perut
Atas
Tengah

Eutonus

Eutonus

Eutonus

Baik
Baik
Tidak dapat dilakukan

Kanan
(+)

Kiri
(+)

Kanan

Kiri

Kanan
++
++
++
++

Kiri
++
++
++
++

Babinski
Chaddocks

Kanan
(-)
(-)

Kiri
(+)
(-)

Oppenheim
Gordon
Schaeffer
Klonus paha
Klonus kaki
Tungkai

(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)

(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)

Biseps
Triseps
KPR
APR
Bulbokvernosus
Cremaster
Sfingter

Bawah

b.Patologis
Lengan
HoffmannTromner

(-)

(-)

8. Fungsi otonom
- Miksi
: baik
- Defekasi
: baik
- Sekresi keringat
: baik
9. Fungsi luhur : Baik
Kesadaran
Reaksi bicara Baik
Fungsi intelek Baik
Reaksi emosi Sulit dinilai

Tanda Dementia
Reflek glabella
Reflek Snout
Reflek menghisap
Reflek memegang
Reflek
palmomental

Pemeriksaan laboratorium
Darah :
Rutin

: Hb

: 11,6 gr/dl

Leukosit

: 12.220/mm3

Kimia Klinik

Trombosit

: 138.000/mm3

Hematokrit

: 34%

: GDS 59 gr/l
Na 135 / K 4,2 / Cl 108
Ur / cr 24 / 0,8

Pemeriksaan tambahan:

EKG : Irama sinus, HR 93x/i, ST change (-) T inverted (-), SV1 + RV5 < 35. Kesan

dalam batas normal.


CT Scan kepala dengan kontras, hasil : udem cerebri

Diagnosis :
Diagnosis Klinis

: Status konvulsivus

Diagnosis Topik

: Intrakranial

Diagnosis Etiologi

: Hipoksemia ec cardiac arrest

Diagnosis Sekunder : Hipoglikemia


Terapi :
-

Umum :

IVFD Dextrose 10% 12jam/kolf


Elevasi kepala 30o

Oksigen 4 L/menit
-

Khusus :

Inj Fenitoin 3 x 100 mg (iv)


Inj Dexametason 4 x 10 mg (iv) tapp off
Asam folat 2 x 5 mg oral
Lansoprazol 2 x 30 mg

Follow up
14 Desember 2016 (07.00)
S/
Pasien sadar (+)
Kejang (+)
O/
KU

Kesadaran

Sedang Composmentis

TD

Nadi

Nafas

120/80

90

20

37oC

SI
: Rh -/- wh -/SN

: GCS E4M6V5
TRM (-) TIK (-)
Pupil isokor diameter 3 mm/ 3 mm
Motorik :

555 555 , eutrofi, eutonus


555 555

Sensorik : Baik
Otonom : Baik
Refleks fisiologis (++), Refleks patologis
A/

Status konvulsivus
Hipoglikemia

P/

Elevasi kepala 30o


IVFD Dextrose 10% 12jam/kolf
Oksigen 4 L/menit
Inj Fenitoin 3 x 100 mg (iv)

Inj Dexametason 4 x 10 mg (iv) tapp off


Asam folat 2 x 5 mg oral
Lansoprazol 2 x 30 mg
Rencana konsul penyakit dalam
14 Desember 2016 (11.00)

Telah dikonsulkan pasien perempuan berumur 28 tahun ke bagian penyakit


dalam dengan diagnosis status konvulsivus dengan hipoglikemia. Hasil konsul berupa
protokol hipoglikemia adalah diberikan :
-

Curcuma 3 x 1 tab
Protokol hipoglikemia : IVFD D 10% 8 jam/kolf dan cek GD setiap 15 menit bila:
GD <60 D 40% 2 flc
GD 60-80 D 40% 1 flc
GD > 100 mg/dl 3x berturut-turut cek GD per jam GD > 100mg/dl 3x berturutturut lagi periksa setiap 4 jam selama 24 jam
GD > 200 mg/dl ganti IVFD dengan NaCl 0,9% 8 jam/kolf
GD 100-200 IVFD D 5% 8 jam/kolf
15 Desember 2016 (07.00)
S/
Kejang (+)
O/
KU

Kesadaran

Sedang Composmentis

TD

Nadi

Nafas

110/70

80

21

37oC

SI
: Rh -/- wh -/SN

: GCS E4M6V5
TRM (-) TIK (-)
Pupil isokor diameter 3 mm/ 3 mm
Motorik :

555 555 , eutrofi, eutonus


555 555

Sensorik : Baik
Otonom : Baik
Refleks fisiologis (++), Refleks patologis
A/

Status konvulsivus
Hipoglikemia

P/

Elevasi kepala 30o


IVFD Dextrose 10% 12jam/kolf
Oksigen 4 L/menit
Inj Fenitoin 3 x 100 mg (iv)
Inj Dexametason 4 x 10 mg (iv) tapp off
Asam folat 2 x 5 mg oral
Lansoprazol 2 x 30 mg
Lanjut protokol hipoglikemia, GDS terakhir = 99 mg/dl

16 Desember 2016 (07.00)


S/
Kejang (+)
O/
KU

Kesadaran

Sedang Composmentis

TD

Nadi

Nafas

110/70

85

20

37oC

TD

Nadi

Nafas

110/80

82

20

37oC

SI
: Rh -/- wh -/SN

: GCS E4M6V5
TRM (-) TIK (-)
Pupil isokor diameter 3 mm/ 3 mm
Motorik :

555 555 , eutrofi, eutonus


555 555

Sensorik : Baik
Otonom : Baik
Refleks fisiologis (++), Refleks patologis
GDS terakhir 140 gr/dl
A/

Status konvulsivus

P/

IVFD Asering 12jam/kolf


Oksigen 4 L/menit
Inj Fenitoin 3 x 100 mg (iv)

Inj Dexametason 4 x 10 mg (iv) tapp off


Asam folat 2 x 5 mg oral
Clobazam 2 x 1 tab
19 Desember 2016 (07.00)
S/
Kejang (+)
O/
KU

Kesadaran

Sedang Composmentis
SI
: Rh -/- wh -/SN

: GCS E4M6V5
TRM (-) TIK (-)
Pupil isokor diameter 3 mm/ 3 mm
Motorik :

555 555 , eutrofi, eutonus


555 555

Sensorik : Baik
Otonom : Baik
Refleks fisiologis (++), Refleks patologis
A/

Status konvulsivus

P/

IVFD Asering 12jam/kolf


Oksigen 4 L/menit
Inj Fenitoin 3 x 100 mg (iv)
Inj Dexametason 4 x 10 mg (iv) tapp off
Asam folat 2 x 5 mg oral
Clobazam 2 x 1 tab

20 Desember 2016 (07.00)


S/
Kejang (-)
O/
KU

Kesadaran

Sedang Composmentis

TD

Nadi

Nafas

110/70

76

21

37oC

SI
: Rh -/- wh -/SN

: GCS E4M6V5
TRM (-) TIK (-)
Pupil isokor diameter 3 mm/ 3 mm
Motorik :

555 555 , eutrofi, eutonus


555 555

Sensorik : Baik
Otonom : Baik
Refleks fisiologis (++), Refleks patologis
Laboratorium : Hb = 11,5 g/dl
Leukosit = 13.730
Trombosit = 425.000/mm3
Hematokrit = 35%
Ca/Na/K/Cl = 8,8/140/3,8/106
SGOT/SGPT = 59/74 u/L
A/

Status konvulsivus

P/

IVFD Asering 12jam/kolf


Oksigen 4 L/menit

Inj Fenitoin 3 x 100 mg (iv)


Inj Dexametason 1 x 5 mg (iv) tapp off
Asam folat 2 x 5 mg oral
Clobazam 2 x 1 tab
21 Desember 2016 (07.00)
S/
Kejang (+) 2 kali
O/
KU

Kesadaran

Sedang Composmentis

TD

Nadi

Nafas

110/70

76

21

37oC

TD

Nadi

Nafas

110/75

81

20

37oC

SI
: Rh -/- wh -/SN

: GCS E4M6V5
TRM (-) TIK (-)
Pupil isokor diameter 3 mm/ 3 mm
Motorik :

555 555 , eutrofi, eutonus


555 555

Sensorik : Baik
Otonom : Baik
Refleks fisiologis (++), Refleks patologis
A/

Status konvulsivus

P/

IVFD Asering 12jam/kolf


Oksigen 4 L/menit
Inj Fenitoin 3 x 100 mg (iv)

Inj Dexametason 1 x 5 mg (iv) tapp off


Asam folat 2 x 5 mg oral
Clobazam 2 x 1 tab
22 Desember 2016 (07.00)
S/
Kejang (+)
O/
KU

Kesadaran

Sedang Composmentis
SI
: Rh -/- wh -/SN

: GCS E4M6V5
TRM (-) TIK (-)
Pupil isokor diameter 3 mm/ 3 mm

Motorik :

555 555 , eutrofi, eutonus


555 555

Sensorik : Baik
Otonom : Baik
Refleks fisiologis (++), Refleks patologis
Laboratorium : Hb = 11,4 g/dl
Leukosit = 10.940
Trombosit = 400.000/mm3
Hematokrit = 35%
Ca/Na/K/Cl = 8,8/140/3,8/106
SGOT/SGPT = 59/74 u/L
A/

Status konvulsivus

P/

IVFD Asering 12jam/kolf


Oksigen 4 L/menit
Inj Fenitoin 3 x 100 mg (iv)

Asam folat 2 x 5 mg oral


Clobazam 2 x 1 tab
26 Desember 2016 (07.00)
S/
Kejang (berkurang)
O/
KU

Kesadaran

Sedang Composmentis

TD

Nadi

Nafas

110/75

81

20

37oC

SI
: Rh -/- wh -/SN

: GCS E4M6V5
TRM (-) TIK (-)
Pupil isokor diameter 3 mm/ 3 mm
Motorik :

555 555 , eutrofi, eutonus


555 555

Sensorik : Baik
Otonom : Baik
Refleks fisiologis (++), Refleks patologis
A/

Status konvulsivus

P/

IVFD Asering 12jam/kolf

Oksigen 4 L/menit
Depakote 2x25 mg
Asam folat 2 x 5 mg oral
Clobazam 2 x 1 tab
28 Desember 2016 (07.00)
S/
Kejang (berkurang)
O/
KU

Kesadaran

Sedang Composmentis

TD

Nadi

Nafas

110/75

81

20

37oC

SI
: Rh -/- wh -/SN

: GCS E4M6V5
TRM (-) TIK (-)
Pupil isokor diameter 3 mm/ 3 mm
Motorik :

555 555 , eutrofi, eutonus


555 555

Sensorik : Baik
Otonom : Baik
Refleks fisiologis (++), Refleks patologis
A/

Status konvulsivus

P/

IVFD Asering 12jam/kolf


Oksigen 4 L/menit
Asam folat 2 x 5 mg oral
Clobazam 2 x 1 tab
Depakote 2x25 mg
Rencana pulang

BAB 3
DISKUSI

Telah dirawat seorang pasien perempuan berumur 28 tahun di Bangsal Neurologi


RSUP Dr. M. Djamil Padang tanggal 13 Desember 2016 dengan diagnosis klinis status
konvulsivus, diagnosis topik intrakranial, diagnosis etiologi hipoksemia, dan diagnosis
sekunder hipoglikemia. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan penunjang.
Dari anamnesis didapatkan keluhan kejang berulang sejak 2 hari yang lalu, kejang
terjadi tiba-tiba saat pasien sedang dalam rawatan di RSUD Adnan WD Payakumbuh. Kejang
diawali dengan kelonjotan pada kedua tangan dan tungkai selama 1-2 menit. Saat kejang
pasien sadar, mulut tidak berbuih, lidah tidak tergigit, dan pasien tidak mengompol. Kejang
berulang hingga > 10 kali. Jarak antar kejang 5-15 menit. Saat kejang, sesudah kejang, dan
diantara kejang pasien tetap sadar. Berdasarkan teori, pasien ini didiagnosis dengan status
konvulsivus karena kejang berulang kali, berlangsung selama lebih dari 30 menit, dan tidak
ada riwayat kejang sebelumnya. Hipoksemia post arrest diduga menjadi penyebab utama
terjadinya kejang.
Pada pemeriksaan fisik keadaan pasien composmentis kooperatif dengan GCS 15
(E4M6V5). Selain itu ditemukan nadi rregular frekuensi 93 kali per menit. Pada kasus ini,
pasien mengalami bangkitan epilepsi yang tidak disertai penurunan kesadaran. Tanda tanda
peningkatan intra kranial ditemukan tidak ditemukan adanya peningkatan TIK. Pada pasien
ini seharusnya telah dilakukan pemeriksaan EEG sebagai pemeriksaan penunjang, tetapi
karena keterbatasan alat pemeriksaan tidak mungkin dilakukan. Oleh karena itu penulis
belum bisa menentukan apakah pasien mengalami epilepsi ataukah kejang yang diakibatkan
proses intra atau ekstrakranial.
Dari hasil kimia darah ditemukan laboratorium rutin dalam batas normal dan
hipoglikemia pada pasien lalu dilakukan protokol hipoglikemia pada pasien. Selain itu, pada

pasien dilakukan pemeriksaan CT Scan dengan ditemukan udem serebri. Terapi umum yang
diberikan pada pasien saat ini adalah IVFD Dextrose 10% 12jam/kolf, Oksigen 4 L/menit, Inj
Fenitoin 3 x 100 mg (iv), Inj Dexametason 4 x 10 mg (iv) tapp off, Asam folat 2 x 5 mg oral
dan Lansoprazol 2 x 30 mg.

DAFTAR PUSTAKA

1. Gunadharma S, Endang K, Machlusil H, Terapi. Dalam: Kusumastuti K, Suryani G,


Endang K. Pedoman Tatalaksana Epilepsi. Edisi ke-5. 2014. Jakarta: PERDOSSI. Hal.
23-46.
2. Hasmi, M Tingkat Pengetahuan dan Sikap Guru SD Terhadap Penyakit Epilepsi di SD
Negeri 064969, SD Percobaan Negeri, dan SD Shafiyyatul Amaliyyah Kota Medan
Tahun 2013. Repository USU. 2014. Hal. 1-19
3. Victor M, editor (penyunting). Epilepsy and disorders of Consciousness. Dalam :
Ropper AH, Robert HB. Adams victors principles of neurology. edisi 8th. United State :
McGraw-Hill Companies. 2005, hal.271-301.
4. Pudjiadi Ah, editor (penyunting). Tatalaksana Kejang Akut dan Status Epilepsi. Dalam :
Pudjiadi AH, Badriul H, Setyo H, Nikmah SI, Ellen PG, dan Eva DH. Pedoman
Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta : IDAI. 2009, hal.310-4
5. Pudjiadi Ah, editor (penyunting). Tatalaksana Kejang Akut dan Status Epilepsi. Dalam :
Pudjiadi AH, Badriul H, Setyo H, Nikmah SI, Ellen PG, dan Eva DH. Pedoman
Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta : IDAI. 2009, hal.310-4
6. Rilianto, Beny. 2015. Evaluasi Manajemen Status Epileptikus. CDK. 42(10): 750-5
7. Rambe AS. 2010. Elektroensefalografi (EEG): Patofisiologi Timbulnya Gelombang dan
Beberapa Jenis Gelombang Normal pada EEG. Repository USU.41(2): 15-30
8. Harsono. 2001. Epilepsi, Edisi 1, Gajah Mada University Press, Yogyakarta
9. Sirven J.I, dan Ozuna J. 2005. Diagnosing epilepsy in older adults and geriatricts.
60(10):30-5
10. Chen JWY, Wasterlain CG. Status epilepticus: Pathophysiology and managemenet in
adults. Lancet Neurqology;6: 246-56

11. Setiaji A. Pengaruh Penyuluhan tentang Penyakit Epilepsi Anak Terhadap Pengetahuan
Masyarakat Umum. Universitas Diponegoro. 2014: 1-30

Anda mungkin juga menyukai