Anda di halaman 1dari 2

Antihistamin (antagonis histamin) adalah zat yang mampu mencegah penglepasan

atau kerja histamin. Istilah antihistamin dapat digunakan untuk menjelaskan antagonis
histamin yang mana pun, namun seringkali istilah ini digunakan untuk merujuk kepada
antihistamin klasik yang bekerja pada reseptor histamin H1. Antihistamin ini biasanya
digunakan untuk mengobati reaksi alergi, yang disebabkan oleh tanggapan berlebihan tubuh
terhadap alergen (penyebab alergi), seperti serbuk sari tanaman. Reaksi alergi ini
menunjukkan penglepasan histamin dalam jumlah signifikan di tubuh.

Antihistamin H1 yang lebih spesifik memperbaiki modalitas terapi.


Antihistamin H1 merupakan salah satu obat terbanyak dan terluas digunakan di
seluruh dunia. Fakta ini membuat perkembangan sekecil apapun yang berkenaan dengan obat
ini menjadi suatu hal yang sangat penting. Semisal perubahan dalam penggolongan
antihistamin H1. Dulu, antihistamin-H1dikenal sebagai antagonis reseptor histamin H1. Namun
baru-baru ini, seiring perkembangan ilmu farmakologi molekular, antihistamin H 1 lebih
digolongkan sebagai inverse agonist ketimbang antagonis reseptor histamin H1.
Suatu obat disebut sebagai inverse agonist bila terikat dengan sisi reseptor yang sama
dengan agonis, namun memberikan efek berlawanan. Jadi, obat ini memiliki aktivitas
intrinsik (efikasi negatif) tanpa bertindak sebagai suatu ligan. Sedangkan suatu antagonis
bekerja dengan bertindak sebagai ligan yang mengikat reseptor atau menghentikan kaskade
pada sisi yang ditempati agonis. Beda dengan inverse agonist, suatu antagonis sama sekali
tidak berefek atau tidak mempunyai aktivitas intrinsik.
Penemuan modus operandi antihistamin H1 yang lebih spesifik tersebut, bisa menjadi
pertimbangan untuk pemberian obat secara tepat. Demikian juga dengan perkembangan
identifikasi serta pengelompokkan antihistamin. Sebelumnya antihistamin dikelompokkan
menjadi 6 grup berdasarkan struktur kimia, yakni etanolamin, etilendiamin, alkilamin,
piperazin, piperidin, dan fenotiazin. Penemuan antihistamin baru yang ternyata kurang
bersifat sedatif, akhirnya menggeser popularitas penggolongan ini. Antihistamin kemudian
lebih dikenal dengan penggolongan baru atas dasar efek sedatif yang ditimbulkan, yakni
generasi pertama, kedua, dan ketiga.
Generasi pertama dan kedua berbeda dalam dua hal yang signifikan. Generasi pertama
lebih menyebabkan sedasi dan menimbulkan efek antikolinergik yang lebih nyata. Hal ini
dikarenakan generasi pertama kurang selektif dan mampu berpenetrasi pada sistem saraf
pusat (SSP) lebih besar dibanding generasi kedua. Sementara itu, generasi kedua lebih
banyak dan lebih kuat terikat dengan protein plasma, sehingga mengurangi kemampuannya
melintasi otak.
Sedangkan generasi ketiga merupakan derivat dari generasi kedua, berupa metabolit
(desloratadine dan fexofenadine) dan enansiomer (levocetirizine). Pencarian generasi ketiga
ini dimaksudkan untuk memperoleh profil antihistamin yang lebih baik dengan efikasi tinggi
serta efek samping lebih minimal. Faktanya, fexofenadine memang memiliki risiko aritmia
jantung yang lebih rendah dibandingkan obat induknya, terfenadine. Demikian juga dengan
levocetirizine atau desloratadine, tampak juga lebih baik dibandingkan dengan cetrizine atau
loratadine.

Anti alergi Plus Anti inflamasi


Sebagai inverse agonist, antihistamin H1 beraksi dengan bergabung bersama dan
menstabilkan reseptor H1 yang belum aktif, sehingga berada pada status yang tidak aktif.
Penghambatan reseptor histamine H1 ini bisa mengurangi permiabilitas vaskular,
pengurangan pruritus, dan relaksasi otot polos saluran cerna serta napas. Tak ayal secara
klinis, antihistamin H1generasi pertama ditemukan sangat efektif berbagai gejala rhinitis
alergi reaksi fase awal, sepertirhinorrhea, pruritus, dan sneezing. Tapi, obat ini kurang efektif
untuk mengontrol nasal congestion yang terkait dengan reaksi fase akhir.
Sementara itu antihistamin generasi kedua dan ketiga memiliki profil farmakologi
yang lebih baik. Keduanya lebih selektif pada reseptor perifer dan juga bisa menurunkan
lipofilisitas, sehingga efek samping pada SSP lebih minimal. Di samping itu, obat ini juga
memiliki kemampuan antilergi tambahan, yakni sebagai antagonis histamin. Antihistamin
generasi baru ini mempengaruhi pelepasan mediator dari sel mast dengan menghambat
influks ion kalsium melintasi sel mast/membaran basofil plasma, atau menghambat pelepasan
ion kalsium intraseluler dalam sel. Obat ini menghambat reaksi alergi dengan bekerja pada
leukotriene dan prostaglandin, atau dengan menghasilkan efek anti-platelet activating factor.
Selain berefek sebagai anti alergi, antihistamin H1 diduga juga memiliki efek anti
inflamasi. Hal ini terlihat dari studi in vitro desloratadine, suatu antihistamin H1 generasi
ketiga. Studi menunjukkan, desloratadine memiliki efek langsung pada mediator inflamatori,
seperti menghambatpelepasan intracellular adhesion molecule-1 (ICAM-1) oleh sel epitel
nasal, sehingga memperlihatkan aktivitas anti-inflamatori dan imunomodulatori. Kemampuan
tambahan inilah yang mungkin menjelaskan kenapa desloratadine secara signifikan bisa
memperbaiki nasal congestion pada beberapa double-blind, placebo-controlled studies. Efek
ini tak ditemukan pada generasi sebelumnya, generasi pertama dan kedua. Sehingga perlu
dilakukan studi lebih lanjut untuk menguak misteri dari efek tambahan ini.
Nasib Antihistamin H1 dalam Tubuh
Pemberian antihistamin H1 secara oral bisa diabsorpsi dengan baik dan mencapai
konsentrasi puncak plasma rata-rata dalam 2 jam. Ikatan dengan protein plasma berkisar
antara 78-99%. Sebagian besar antihistamin H1 dimetabolisme melalui hepatic microsomal
mixed-function oxygenase system. Konsentrasi plasma yang relatif rendah setelah pemberian
dosis tunggal menunjukkan kemungkinan terjadi efek lintas pertama oleh hati.
Waktu paruh antihistamin H1 sangat bervariasi. Klorfeniramin memiliki waktu paruh
cukup panjang sekitar 24 jam, sedang akrivastin hanya 2 jam. Waktu paruh metabolit aktif
juga sangat berbeda jauh dengan obat induknya, seperti astemizole 1,1 hari sementara
metabolit aktifnya, N-desmethylastemizole, memiliki waktu paruh 9,5 hari. Hal inilah yang
mungkin menjelaskan kenapa efek antihistamin H1 rata-rata masih eksis meski kadarnya
dalam darah sudah tidak terdeteksi lagi. Waktu paruh beberapa antihistamin H1 menjadi lebih
pendek pada anak dan jadi lebih panjang pada orang tua, pasien disfungsi hati, danm pasien
yang menerima ketokonazol, eritromisin, atau penghambat microsomal oxygenase lainnya.
Indikasi
Antihistamin generasi pertama di-approve untuk mengatasi hipersensitifitas, reaksi tipe I
yang mencakup rhinitis alergi musiman atau tahunan, rhinitis vasomotor, alergi
konjunktivitas, dan urtikaria. Agen ini juga bisa digunakan sebagai terapi anafilaksis adjuvan.
Difenhidramin, hidroksizin, dan prometazin memiliki indikasi lain disamping untuk reaksi
alergi. Difenhidramin digunakan sebagai antitusif, sleep aid, anti-parkinsonism atau motion
sickness. Hidroksizin bisa digunakan sebagai pre-medikasi atau sesudah anestesi umum,
analgesik adjuvan pada pre-operasi atau prepartum, dan sebagai anti-emetik. Prometazin
digunakan untuk motion sickness, pre- dan postoperative atau obstetric sedation

Anda mungkin juga menyukai