Anda di halaman 1dari 8

1.

Reseptor Antagonis H1
Reseptor antagonis H1 umum digunakan untuk meringankan reaksi alergi

seperti rhinitis dan urtikaria. Senyawa ini juga digunakan untuk mencegah
Sifat Kimia dan Klasifikasi
Kebanyakan antihistamin dengan kemampuan untuk memblok reseptor H1
mengandung rantai samping, gugus ethylamino, dengan formula :

Gambar. Struktur kimia histamin, aryl merupakan gugus aromatik heterosiklik. X


adalah atom karbon, oksigen atau nitrogen yang menghubungkan rantai samping
dengan gugus aryl. R1 dan R2 biasanya gugus metil walau tidak selalu.
Antihistamin H1 dikelompokkan berdasarkan substitusi posisi X. Terdapat
6 kelompok antihistamin H1 yaitu (1) alkilamin, X adalah karbon; (2)
ethanolamine, X adalah oksigen; (3) ethylenediamines, X adalah nitrogen; (4)
piperazines, X adalah karbon yang dihubungkan dengan cincinpiperazine;(5)
phenothiazines, X adalah nitrogen sebagai bagian inti phenothiazine; dan (6)
piperidines, X adalah

karbon yang dihubungkan dengan cincin piperidine.

Levocabastine merupakan golongan

piperidine tetapi struktur kimianya tidak

cocok dengan kategori di atas. Azelastine, hanya digunakan secara topikal pada
mukosa hidung, adalah phthalazinone dan strukturnya tidak berkaitan dengan
kategori di atas.

Tabel. Klasifikasi antihistamin H1


Walaupun strukturnya heterogen, antihistamin tertua hanya memiliki
perbedaan kecil sifat farmakologiny, dan terutama potensi, durasi kerja, dan
intensitas terhadap efek sistem lainnya. Pada dua dekade terakhir, beberapa
antihistmain H1 telah dikembangkan yang berbeda dari anhistamin tertua, yang
tidak memiliki efek terhadap sistem saraf pusat. Perbedaan inilah, derivat
piperidine dan meliptui fexofenadine, levocabastine, dan loratadine dikenal
sebagai second-generation antihistamines. Antihistamin H1 generasi kedua
lainnya meliputi

acrivastine (an alkylamine), cetirizine (a piperazine), and

azelastine ( phthalazinone).

Farmakologi
Kerja antihistamin H1 menghambat kontraksi otot halus gastrointestinal
dan bronchial, meningkatkan permeabilitas kapiler, dan respon tripel pada
komponen flare dan itching (gatal). Walaupun antihistamin H1 tidak memblok
histamin yang menginduksi sekresi lambung, tetapi bekerja antagonis dalam
meningkatkan sekresi kelenjar saliva dan lakrimal dan meningkatkan pelepasan
epineprin dari medula adrenal. Kerja dari antihistamin H1 dikenal dengan istilah
blokade kompetitif reseptor, antihistamin berinteraksi dengan reseptor H1 pada sel
target sehingga terjadi penurunan reseptor histamin. Interaksi ini bersifat
reversibel atau kompetitif karena penghambatan dihasilkan oleh konsentrasi
antihistamin yang mengatasi peningkatan konsentrasi histamin.
Tidak ada bukti yang menyatakan bahwa antihistamin mengganggu
sintesis,

pelepasan

atau

biotransformasi

histamin.

Cetirizin

merupakan

antihistamin yang unik karena memiliki aktivitas antineosinophilikyang


menghambat fase akhir inflamasi.
Kerja antihistamin H1 berlawanan dengan histamin, tetapi tidak memiliki
aksi berlawanan secara langsung. Epineprin merupakan histamin antagonis yang
tidak spesifik memilkik kerja vasokonstriksi, bronchodilatasi dan penurunan
motilitas gastrointestinal, tipe ini merupakan suatau fungsi fisiologi. Perbedaan
penting untuk dipahami karena antagonis fisiologi seperti epineprin, agen yang
lebih efektif dalam merawat toksisitas histamin sistemik.
Pada penelitian yang dilakukan terhadap marmot, pemberian antihistamin seperti
piralamin dapat melindungi otot halus respiratori, meskipun dari dosis histamin
lebih dari 100 kali dosis letal. Pada manusia, antihistamin H 1 bisa menimbulkan
histmamin neginduksi kontraksi otot respiratorti secara in vitro, agen ini tedak
efektif untuk meringankan brochospasm pada penderita asma, anafilaksis dan
reaksi alergi lainnya. Hal ini disebabkan karena sebagian aoyochoid lainnya yang
memediasi alergi brochospasm. Senyawa tersebut meliputi leukotrien dan kinin
yang melawan antihistamin klasik dengan kerja antagonisnyang sedikit.
Antihistamin meningkatkan permeabillitas kapiler dan menimbulkan
edema, tetapi efek vasodilatasi adalah kompleks. Antihistamin H1 bisa mencegah

timbulnya vasodilatasi pada dosis kecil histamin, meskipun kombinasi antagonis


H1 dan H2 diperlukan dosis besar untuk memblok. Efek terhadap vaskuler ini
memiliki afinitas yang tingggi untuk reseptor H1 .
Sedasi merupakan gambaran umum pada dosis teraputik untuk semua
antihistamin H1 kecuali agen generasi kedua. Sedasi bermanifestasi mengantuk,
lemah, lelah, pusing dan tak koorodinasi. Sedasi dimediasi oleh inhibisi reseptor
H1 di otak. Kemampuan sedasi bergantung pada tersedianya antihistamin generasi
pertama. Senyawa yang paling aktif adalah ethanolamin dan phenothiazin,
mengingat alkylamin memiliki insidensi rendah mengantuk. Efek klinis lainnya
pada sisten saraf pusat adalah menghambat nause dan muntah terutama berkaitan
dengan motion sickness. Agen ini juga memiliki aktivotas sedikit antiparkinson.
Dosis besar antihistamin generasi pertama dapat menimbulkan kejang.
Mekanisme efek sistem saraf pusat pada antihistamin H1 tidak diketahui dengan
pasti, walaupun histmain ada di otak dan perhatian tarhadap peran sebagai
neurotransmiter. Reseptor antagonis H1 memblok histmain yang menginduksi
depolarisasi pada kortikal otak. Walaupun terdapat toleransi pada pemakaian
jangka panjang, tidak ada konkomitan penuruan efek antihistamin periperal. Anti
motion sickness dan antiparkinson disebabkan karena kerja memblok reseptor
cholinergik sentral.
Aktivitas antimuscarinic gambaran pada antihistamin generasi pertama.
Penurunan sekresi kelenjar saliva berkaitan dengan aktivitas ini. Antihistamin
memiliki sedikit atau tidak ada aktivitas antimuscarinic. Kebanyakan antihistamin
memiliki

aktivitas

anestesi

lokal,

khususnya

pada

diphenhydramine,

promethazine, pyrilamine, dan tripelennamin dan digunakan dalam bidang


kedokteran gigi.
Absorpsi, Metabolisme dan Ekskresi
Antihistamin H1 diabsorpi setelah pemeberian peroral atau parenteral.
Onset of action terjadi 15-60 menit setelah pemberian. Efek maksimal dalam 1-2
jam dengan durasinya 4-6 jam bahkan ada yang lebih panjang. Berbeda dengan
antihistamin generasi kedua memiliki kerja dengan durasi yang panjang.

Loratadin ditransformasi menjadi metabolit aktif dengan rata-rata eliminasi halftime lebih besar dari 24 jam. Setelah diabsoprsi, antihistamin generasi pertama
didistribusikan ke cairan tubuh. Loratadin dan agen generasi kedua lainnya
melintasi blood-brain barrier dengan kurang baik, biarpun terdeteksi sedikit
dalam jaringan otak. Kegagalan untuk memperoleh akses ke sistem saraf pusat
menjelaskan ketidakhadiran efek sedasi obat tersebut. Levocabastin adalah
antihistamin generasi kedua yang hanya diberikan secara topikal. Biotranformasi
antihistamin H1 generasi pertama melalui hidoksilasi metabolit inaktif di hati.
Antihistamin generasi kedua dimetabolisme di hati oleh enzim microsomal
CYP3A4. Pada beberapa kasus, loratadin menghasilkan metabolit aktif.
Pemberian bersama-sama agen lain akan dimetabolisme oleh enzim yang sama
yang bisa mengurangi biotransformasi partikel antihistamin. Antihistamin H1
generasi kedua lainnya (seperti acrivastin dan cetirizin ) tidak dimetabolisme
menjadi bentuk aktif dan diekskresikan sebagian besar tidak berubah dalam urin.
Penggunaan Terapeutik General
Penggunaan antihistamin H1 dalam bidang medis diantaranya adalah
sebagai berikut :
1. Secara umum digunakan untuk perawatan alergi nasal musimam (hay
fever) atau alergi nasal tidak musimam karena dapat meringankan
rhinorhea, bersin, lakrimasi dan gatal pada mata dan mukosa hidung.
Azelastin efektif selama 12 jam, pemberian secara topikal pada mukosa
hidung. Pemberian topikal untuk meminimalisir efek sistemik yang tidak
diinginkan seperti kantuk. Pemberian antihistamin H1 pada rhinitis kronis
atau

vasomotor

(nonalergi)

kurnag

efektif.

dikombinasikan dengan decongestan seperti

Antihistamin

sering

pseudoephedrine untuk

mengontrol simptom alergi pada traktur respiratori.


2. Perawatan untuk alergi dermatosis. Respon urtikaria akut dan kronis
terhadap agen ini baik. Angioedema juga merespon terhadap terapi
antihistamin, walaupun dapat menimbulkan komplikasi yang berat pada
laring, sehingga diperlukan epineprin untuk manejemen komplikasi

tersebut. Antihistamin H1 berguna untuk mengontrol rasa gatal karena


eczematous pruritus, atopic atau contact dermatitis, dan gigitan serangga.
Pada dermatitis atopik pemberian kortokosteroid topikal juga efektif.
Pemberian antihistamin secara topikal efektif dalam merawat pruritus dan
urtikaria, pemberian topikal bisa menyebabkan dermatitis alergi.
3. Dalam anafilaksis sistemik, antihistamin H1 tidak memiliki peran
terapeutik utama karena tidak dapat mengontrol hipotensi atau
brochospasm yang berkaitan dengan reaksi anafilaksis. Agen pillihan yang
digunakan adalah epineprin sebagai antagonis fisiologi. Antihistamin dan
kortikosteroid diberikan secara parental sebagai tambahan terhadap
antagonid fisiologi, tetapi digunakan hanya setelah masalah yang
mengancam nyawa telah terkontrol. Antihistamin juga bermanifestasi pada
arthratgia.
4. Antihistamin H1 memiliki efek sedikit pada asma bronchial akut.
Patogenesis asma bronchial kompleks. Reseptor agonis alfa adrenergik dan
krotikosteroid merupakan obat pertama yang digunakan untuk mengurangi
asma akut episodik. Antihistamin telah digunakan untuk menurunkan batu
preasmatik pada anak-anak, walaupun efikasinya kurang.
5. Antihistamin H1,

terutama chlorpheniramin,

dikombinasikan dengan

decongestan nasal dan analgesik dapat mengurangi demam.


6. Kerja antihistamin generasi pertama pada sistem saraf pusat digunakan
untuk mencagah nausea dan vomiting. Pada umumnya agen ini kurang anti
motion

sickness

Kefektifan

dibandingkan

masing-masing

anticholinergik

antihistamin

seperti

bervariasi,

scopolamin.
promethazine,

diphenhydramine, dimenhydrinate, dan cyclizine lebih efektif dari semua


antihistamin. Juga memiliki efek sedatif yang besar. Antihistamin H1 juga
bermanfaat untuk meniadakan nause dan vomiting pada gangguan
vestibular seperti penyakit Mnires dan benttuk lain vertigo. Agen
tersebut kurang efektif dibandingkan prochlorperazine atau ondansetron
untuk mengontrol nausea dan vomiting setelah anestesi general atau
berkaitan dengan kehamilan, malignansi, radiation sickness dan obat.

7. Berbagai preparasi over-the-conuter (OTC) dijual sebagai hipoptik


meliptui antihistamin H1 keran memiliki efek sedatif. Tetapi efek kantuk
renadah karena penggunaan dalam jumlah sedikit. Dosis yang besar tidak
efektif memberikan efek sedatif. Promethazine

digunakan bersama

anestesi umum untuk menghasilkan kantuk dan mencegah nausea dan


voiting yang diinduksi oleh agen anestesi dan anlgesik opioid.
8. Antihistamin H1 juga digunakan untuk mengurangi tremor dan rigiditas
otot pada penyakit Parkinson, sakit kepala yang tidak diketahui
penyebabnya, dan mengontrol reaksi nonhemolisis, nonpirigenik pada
tarnsfusi darah. Jua berguna unutk meringankan distonias akut karena
phenothiazines dan neuroleptik lainnya.
Penggunaan di Kedokteran Gigi
Penggunaan di kedokteran gigi terutama untuk kerja sistem saraf pusat.
Promethazine, hydroxyzine, dan diphenhydramine digunakan sebagai sedasi
minimal-moderat dan sebagai premedikasi untuk sedasi dalam dan anestesi
umum. Efek sedatif ditingkatkan dengan pemberian konkomitan pada anlgesik
opioid; meperidine dan fentanyl biasanya digunakan unutk tujuan ini. Pemberian
preoperatif bisa menyebabkan inhibisi sekresi saliva dan bronchial, walaupun
lebih efektif obat anticholinergik untuk mengontrol sekresi. Antihistamin mampu
mengurangi nuasea dan vomiting pascaoperatif.
Walaupun antihistamin H1 memilki efek anestesi lokal, tetapi tidak
digunakan dalam prosedur dental karena terdapat agen yang lebih efektif terhadap
kerja ini yakni lidokain. Penggunaan antihistamin sebagai anestesi lokal jika
pasien alergi terhadap anestesi lokal.
Antihistamin H1 dapat digunakan sebagai agen sekunder dalam
manajemen reaksi anafilaksis sistemik. Anthistamin juga dapat digunakan untuk
merawat lesu alergi pada mukosa oral dan sebagai tambahan dalam merawat
edema angioneurotic edema pada orofasial.
Efek Samping

Sedasi merupakan reaksi samping yang sering untuk antihistamin generasi


pertama. Efek aditif pada kesiagaan dan motor skill terjadi jika menggunakan
alkohol atau depresan bersamaan dengan obat ini. Efek antimuscarinic meliputi
passage mulut dan respiratoti kering, retensi urinari dan dysuria. Nausea,
vomiting, konstipasi atau diare, pusing, insomnia, gelisah dan lelah juga
dilaporkan. Alergi obat terutama setelah aplikasi topikal. Toleransi terjadi pada
pemberian antihistamin jangka panjang. Efek teratogenik pada piperazin terlihat
pada penelitian binatang, tetapi epidemiologi tidak menunjukkan hal itu pada
manusia. Efek toksis antihistamin generasi pertama meliputi gembira, halusinasi,
mulut kering, pupil dilatasi, flushing, kejang, retensi urinari, takikardi sinus, koma
dan kematian. Gangguan ritme jantung dapat ditemukan pada pasien yang
menerima astemizole atau terfenadine (antihistamin H1 generasi kedua), karena
masalah ini astemizole atau terfenadine ditarik dari pasaran.
Preparasi dan Dosis Obat yang Digunakan dalam Kedokteran Gigi
Penggunaan terapeutik antihistamin H1 relatif sedikit. Sejumlah preparasi
tersedia, dalam pengobatan klinik perlu penyeleksian obat yang lebih efektif
dengan sedikir efek samping.

DAFTAR PUSTAKA
Yagiela, J.A., Dowd, F.J., Neidle, E.A. 2005. Pharmacology and Therapeutics for
Dentistry. 5th ed.
Craig, C.R., Stitzel, R.E. Modern Pharmacology with Clinical Applications. 5th
Ed.

Anda mungkin juga menyukai