Disusun Oleh :
Ferji Rhenald
0661050010
0661050012
Zega Agustian
1061050013
Reymond Hendrikson
1061050014
1061050015
I.
HISTAMIN
Pelepasan Secara Imunologik Mekanisme patofisiologi pelepasan histamin mast cells
dan basofil yang utama adalah secara imunologik. Sel-sel ini jika disensitisasikan oleh
antibodi IgE yang melekat pada membran permnukaan akan mengalami degranulasi setelah
berhubungan dengan antigen yang sesuai.
Pelepasan tersebut memerlukan energi dan kalsium. Dalam peristiwa degranulasi ini
histamin, ATP, dan perantara lain yang terdapat bersama-sama dalam granul sekretori,
dilepaskan secara simultan. Beberapa senyawa terutama ATP akan meningkatkan degranulasi
mast cells selanjutnya melalui mekanisme parakrin atau autokrin. Mast cells yang sudah
mengalami degranulasi itu akan kembali menumpuk histamin setelah beberapa hari atau
minggu.
Histamin yang dilepaskan merupakan perantara dalam reaksi alergi yang cepat (Tipe
1). Zat yang dilepaskan dalam reaksi imun dengan perantara IgG atau IgM akan
mengakibatkan komplemen dan juga melepaskan histamin dari mast cells dan basofil.
Dengan mekanisme kontrol umpan balik negatif yang diperantarai oleh reseptor H2,
histamin dapat mengatur pelepasannya dan perantara-perantara lainnya dari mast cells yang
telah tersensitasi pada beberapa jaringan. Pada manusia mast cells yang terdapat pada kulit
basofil memperlihatkan mekanisme umpan balik negatif ini, mast cells paru tidak demikian.
Jadi histamin dapat bekerja membatasi reaksi alergi dalam kulit dan darah.
Histamin menghambat lepasnya kandungan lisosom serta beberapa fungsi limfosit T
dan B. Umumnya fungsi ini dikerjakan melalui perantara reseptor H2, dengan meningkatkan
cAMP intraselular. Pelepasan peptide dari saraf sebagai respons terhadap peradangan
barangkali juga dimodulasi oleh histamin, yang dalam kasus ini melalui reseptor presinaptik
reseptor H3.
II.
Tipe
JENIS HISTAMIN
Lokasi
Fungsi
H1
SSP
Diproduksi
tuberomamillary, terutama
dalam
pembentukan
ganglia
nafsu
hippocampus, suasana
basal,
hati,
makan,
belajar,
dan
thalamus, memori
PNS:
Menyebabkan
bronkokonstriksi,
kontraksi
otot
bronkial,
polos
akibat
sengatan
terlibat
dalam
H3
pelepasan
sistem
norepinefrin,
asetilkolin,
histamin,
serotonin
H4
Antihistamin tipe H1 non sedatif merupakan antagonis dari histamin pada reseptor H 1,
Antihistamin tipe H1 adalah inhibitor yang kompetitif - reversibel terhadap histamin pada
reseptor jaringan, sehingga mencegah histamin berikatan serta mengaktivasi reseptornya dan
tidak mudah diganti oleh histamin, dilepaskan secara perlahan, masa kerjanya lebih lama.
Antihistamin H1 non sedatif ini kurang bersifat lipofilik, sangat sedikit menembus sawar
darah otak, dan lebih mengikat reseptor H 1 di perifer secara lebih spesifik. Walaupun
golongan ini sering dikatakan nonsedasi, obat-obat ini tetap dapat menyebabkan efek sedasi,
namun dalam banyak penelitian dikatakan insidensi sedasi jauh lebih sedikit dibandingkan
antihistamin H1 klasik, demikian pula efek antikolinergiknya lebih jarang terjadi dibanding
antihistamin H1 klasik. Salah satu penelitian yang membandingkan efek sedasi dari 4 macam
antihistamin nonsedatif yang berbeda, yaitu loratadin, akrivastin, setirisin dan feksofenadin,
didapatkan hasil loratadin paling tidak menyebabkan sedasi, kemudian secara berurutan
diikuti oleh feksofenadin, akrivastin dan setirisin.
III.
ANTIHISTAMIN 1
Struktur dasar AH1 adalah sebagai berikut :
Ar1
H
X CH2 CH2 N
Ar2
Dengan Ar aril dan X dapat diganti dengan N, C atau C-O-. Pada struktur AH1 ini terdapat
gugus etilamin yang juga ditemukan pada rumus bangun histamin.
FARMAKODINAMIK
Antagonis terhadap histamin.
AH1 menghambat efek histamin pada pembuluh darah, bronkus dan bermacam macam
otot polos; selain itu AH1 bermanfaat untuk mengobati reaksi hipersensitivitas atau
keadaan lain yang disertai penglepasan histamin endogen berlebihan.
Otot Polos.
AH1 efektif menghambat kerja histamin pada otot polos usus dan bronkus.
Permeabilitas kapiler.
Kelenjar eksokrin.
AH1 menghambat sekresi saliva dan sekresi kelenjar eksokrin lain akibat histamin.
AH 1 dapat menghambat dan merangsang SSP. Efek perangsangan yang terlihat pada
pemakaian AH1 ialah insomnia, gelisah, dan eksitasi. Dosis terapi AH1 umumnya
menyebabkan penghambatan SSP dengan gejala misalnya kantuk, berkurangnya
kewaspadaan dan waktu reaksi yang lambat. AH1 juga efektif untuk mengobati mual dan
muntah akibat peradangan labirin atau sebab lain.
Anestesik lokal.
Beberapa AH1 bersifat anestesik lokal dengan intensitas berbeda. Akan tetapi untuk
menimbulkan efek tersebut dibutuhkan kadar yang beberapa kali lebih tinggi daripada
sebagai antihistamin.
Antikolinergik.
Efek ini tidak memadai untuk terapi, tetapi efek antikolinergik ini dapat timbul pada
beberapa pasien berupa mulut kering, kesukaran miksi dan impotensi.
Sistem kardiovaskular.
Dalam dosis terapi AH1 tidak menunjukkan efek yang berarti pada sistem kardiovaskular.
FARMAKOKINETIK.
Setelah pemberian oral atau parenteral. AH1 diabsorbsi dengan baik. Efeknya timbul
15-30 menit setelah pemberian oral dan maksimal setelah 1-2 jam. Lama kerja AH1 generasi
I setelah pemberian dosis tunggal umumnya 4-6 jam, sedangkan beberapa derivat seperti
meklizin dan hidroksizin memiliki masa kerja yang lebih panjang, seperti juga antihistamin
generasi II. Difenhidramin yang diberikan secara oral akan mencapai kadar maksimal dalam
darah setelah kira-kira 2 jam, dan menetap pada kadar tersebut untuk 2 jam berikutnya,
kemudian dieliminasi dengan masa paruh kira kira 4 jam. Kadar tertinggi terdapat pada
paru paru sedangkan pada limfa, ginjal, otak, otot dan kulit kadarnya lebih rendah. Tempat
utama biotransformasi AH1 ialah hati, tetapi dapat juga pada paru paru dan gijal.
Tripelenamin mengalami hidroksilasi dan konjugasi, sedangkan klorsiklizin dan siklizin
terutama mengalami demetilasi. Hidroksizin merupakan prodrug, dan metabolit aktif hasil
karboksilasi adalah setirizin, sedangkan feksofenadin merupakan metabolit aktif hasil
karboksilasi terfenadin. AH 1 diekskresi melalui urin setelah 24 jam, terutama dalam bentuk
metabolitnya.
INDIKASI.
AH1 berguna untuk pengobatan simtomatik berbagai penyakit alergi dan mencegah
atau mengobati mabuk perjalanan.
Penyakit Alergi.
AH1 berguna untuk mengobati alergi tipe eksudatif akut misalnya pada polinosis dan
urtikaria. Efeknya bersifat paliatif, membatasi dan menghambat efek histamin yang
dilepaskan sewaktu reaksi antigen-antibodi terajadi. AH1 tidak berpengaruh terhadap
intensitas reaksi antigen antibodi yang merupakan penyebab berbagai gangguan alergik.
Keadaan ini dapat diatasi hanya dengan menghindari alergen, desensitisasi atau menekan
reaksi tersebut dengan kortikosteroid.
Mabuk perjalanan dan keadaan lain.
AH1 tertentu misalnya difenhidramin, dimenhidrinat, derivat piperazin dan
prometazin dapat digunakan untuk mencegah dan mengobati mabuk perjalanan udara, laut
dan darat. AH1 sebaiknya diberikan setengah jam sebelum berangkat. AH1 efektif sebagai
antimuntah pasca bedah, mual dan muntah waktu hamil dan setelah radiasi.
EFEK SAMPING.
Pada dosis terapi, semua AH1 menimbulkan efek samping walaupun jarang bersifat
serius dan kadang kadang hilang bila pengobatan diteruskan. Efek samping yang paling
sering ialah sedasi. Astemizol, terfenadin, loratadin tidak atau kurang menimbulkan sedasi.
Efek samping yang berhubungan dengan efek sentral AH1 ialah vertigo, tinitus, lelah, penat,
inkoordinasi, penglihatan kabur, diplopia, euforia, gelisah, insomnia dan tremor. Efek
samping yang termasuk sering ditemukan ialah nafsu makan yang berkurang, mual, muntah,
keluhan pada epigastrium , konstipasi atau diare; efek samping ini akan berkurang jika
diberikan sewaktu makan. Efek samping lain yang ditimbul adalah mulut kering, disuria,
palpiltasi, hipotensi, sakit kepala, rasa berat dan lemah pada tangan.
PENGOBATAN.
Diberikan secara simtomatik dan suportif karena tidak ada antidotum spesifik.
Depresi SSP oleh AH1 tidak sedalam yang ditimbulkan oleh barbiturat. Pernapasan biasanya
tidak mengalami gangguan yang berat dari tekanan darah dapat dipertahankan secara baik.
Bila terjadi gagal napas, maka dilakukan napas buata, tindakan ini lebih baik daripada
memberikan antileptik yang justru akan mempermudah timbulnya konvulsi.
IV.
ANTIHISTAMIN 2
Digunakan untuk mengurangi sekresi asam lambung pada pengobatan penderita pada
tukak lambung serta dapat pula dimanfaatkan untuk menangani peptic ulcer dan penyakit
refluks gastroesofagus.
SIMETIDIN
FARMAKOKINETIK
Menghambat reseptor H2 secara selektif dan reversibel.
FARMAKODINAMIK
Biovailabilitas oral simetidin sekitar 70%. Ikatan protein plasmanya hanya 20%. Absorpsi
simetidin diberikan bersama atau segera setelah makan dengan maksud untuk
memperpanjang efek pada periode pasca makan. Absorpsi simetidin terutama terjadi pada
menit ke 60-90. Simetidin masuk kedalam SSP dan kadarnya dalam cairan spinal 10-20%
dari kadar serum. Sekitar 50-80% dari dosis IV dan 40% dari dosis oral simetidin diekskresi
dalam bentuk asal dalam urin. Masa paruh eliminasi sekitar 2jam.
EFEK SAMPING
Nyeri kepala, pusing, malaise, mialgia, mula, diare, konstipasi, ruam kulit, pruritus,
kehilangan libido dan impoten. Simetidin mengikat reseptor androgen dengan akibat
disfungsi seksual dan ginekomastia.
Simetidin IV akan merangsang sekresi prolaktin, tetapi hal ini pernah pula dilaporkan setelah
pemberian simetidin kronik secara oral.
INTERAKSI OBAT
Antasid dan metoklopramid mengurangi biovailabilitas oral simetidin sebanyak 20-30%.
Ketakonazol harus diberikan 2jam sebelum pemberian simetidin karena absorpsi ketakonazol
berkurang sekitar 50% bila diberikan bersama simetidin. Demensia dapat timbul pada
penggunaan simetidin bersama obat psikotropik atau sebagai efek samping simetidin.
DOSIS OBAT
Dewasa : biasanya 1 tablet 3 kali sehari & 2 tablet pada malam hari sebelum tidur.
Anak-anak : 20-40 mg/kg berat badan/hari.
RANITIDIN
FARMAKOKINETIK
FARMAKODINAMIK
Biovailabilitas ranitidin yang diberikan secara oral sekitar 50% dan meningkat pada pasien
penyakit hati.Masa paruhnya kira-kira 1,7-3 jam pada orang dewasa dan memanjang pada
orang tua dan pada pasien gagal ginjal. Pada pasien penyakit hati masa paruh ranitidin juga
memanjang meskipun tidak sebesar pada gagal ginjal. Kadar puncak plasma dicapai dalam 13 jam setelah penggunaan 150 mg ranitidin secara oral dan yang terikat protein plasma hanya
15%. Ranitidin dan metabolitnya diekskresi terutama melalui ginjal sisanya melalui tinja.
Sekitar 70% dari ranitidin yang diberikan IV dan 30% dari yang diberikan secara oral
diekskresi dalam urin dalam bentuk asal.
EFEK SAMPING
Ranitidin tidak berefek antiandrogenik sehingga penggantian terapi dengan ranitidin mungkin
akan menghilangkan impotensi dan ginekomastia akibat simetidin.
INTERAKSI OBAT
Ranitidin dapat menghambat absorbsi diazepam dan dapat mengurangi kadar plasmanya
sejumlah 25%.
DOSIS OBAT
Ranitidine injeksi
Injeksi i.m. : 50 mg (tanpa pengenceran) tiap 6 8 jam
Ranitidine oral
150 mg 2 kali sehari (pagi dan malam) atau 300 mg sekali sehari sesudah makan malam atau
sebelum tidur, selama 4 8 minggu.
FAMOTIDIN
FARMAKOKINETIK
Famotidin merupakan AH2 sehingga dapat menghambat sekresi asam lambungpada keadaan
basal, malam dan akiabt distimulasi oleh pentagastrin. Famotidin tiga kali lebih poten
daripada ranitidin dan 20 kali lebih poten daripada simetidin.
FARMAKODINAMIK
Famotidin mencapai kadar puncak diplasma kira-kira dalam 2jam setelah penggunaan secara
oral. masa paruh eliminasi 3-8jam dan biovaibilitas 40-50%, Metabolit utama adalah
famotidin-S-oksida. Setelah dosis oral tunggal sekitar 25% dari dosis ditemukan dalam
bentuk asal di urin. Pada pasien gagal ginjal berat masa paruh eliminasi dapat melebihi 20
jam.
EFEK SAMPING
sakit kepala, pusing, konstipasi, dan diare. Thrombocytopenia dan arthralgia.
INTERAKSI OBAT
Pada dosis terapeutik tidak mengganggu eliminasi obat-obat yang dimetabolime di hati
seperti warfarin, fenitoin, propranolol, diazepam, klordiazepoksida.
DOSIS OBAT
V.
ANTIHISTAMIN H3
Antagonis H3 memiliki khasiat sebagai stimulan dan memperkuat kemampuan
ANTIHISTAMIN H4
kini
digunakan
sebagai
antihistamin.
Masih merupakan target baru obat anti inflamasi alergi karena dengan penghambatan reseptor
H4 maka dapat mengobati alergi dan asma (sama dengan reseptor H1)
Obat: Thioperamide, JNJ 7777120
KEPUSTAKAAN
1. Goodman & Gilman Manual Farmakologi dan Terapi. Dermatologi. Brunton L, Parker K,
Blumenthal D, Buxton L. ECG. 2007.h.1023-42
2. Katzung GB, Julius DJ. Histamine, serotonin, and the ergot alkaloids. Dalam: Katzung
BG, penyunting. Basic and clinical pharmacology. Edisi ke-11. San Fransisco: PrenticeHall International Incorporation; 2009.ch.16.
3. Soter NA. Antihistamines. Dalam: Freedberg IM, Eisen AZ, Wolff K, Austen KF,
Goldsmith LA, Katz SI, penyunting. Fitzpatricks dermatology in general medicine. Edisi
ke-6. New York: McGraw-Hill Incorporation; 2003.h.2420-6.
4. Greaves MW. Antihistamines. Dalam: Wolverthon SE, penyunting. Comprehensive
dermatologic drug therapy. Edisi ke-1. New York: W.B. Saunders Company; 2001.h.36074.
5. Del Rosso JQ. Antihistamines. Dalam: Wolverthon SE, Wilkin JK, penyunting. Systemic
drugs for skin diseases. Edisi ke-1. Philadelphia: WB Saunders Company; 1991.h.285321.
6. Arndt KA, Bowers KE. Manual of dermatologic therapeutics with essentials of diagnosis.
Edisi ke-6. Philadelphia: WB Saunders Company; 2002.h.294-303.
7. Brown JN, Roberts LJ. Histamines, bradykinin, and their antagonists. Dalam:
Wonsiewicz MJ, Morris JM, penyunting. Goodman & Gillmans the pharmacological
basis of therapeutics. Edisi ke-6. New York: Mc Graw-Hill Publisher; 2001.h.645-67.
8. Greaves MW. Antihistamines in dermatology (diakses tanggal 24 Maret 2006). National
Skin Centre, Singapore. Tersedia dari: URL:http://www.karger.com.spp.
9. Simons FER, Simons KJ. The pharmacology and use of H-1 receptor antagonist drugs.
The new England journal of medicine 1994;330:1-17.
10. Maulida
R.
HISTAMIN
DAN
ANTIHISTAMIN.
Diunduh
http://www.academia.edu/6301263/HISTAMIN_DAN_ANTIHISTAMIN
dari