Epistaksis (Abrar)
Epistaksis (Abrar)
EPISTAKSIS
Disusun Oleh :
MOHAMMAD ABRAR
PEMBIMBING :
2016
EPISTAKSIS
Pembuluh darah utama di hidung berasal dari arteri karotis interna (AKI) dan karotis
eksterna (AKE).
Pada bagian anterior septum, anastomosis dari arteri sfenopalatina, palatina mayor,
ethmoidalis anterior dan labialis superior (cabang dari arteri fasialis), membentuk plexus
Kiesselbach atau Littles area.
Pada posterior dinding lateral hidung, bagian akhir dari konka media terdapat plexus
Woodruff yang merupakan anastomosis dari arteri sfenopalatina, nasalis posterior dan faringeal
asendens.
Epistaksis anterior sering mengenai daerah plexus Kiesselbach. Epistaksis anterior lebih
mudah terlihat sumber perdarahannya sehingga mudah diatasi dibandingkan epistaksis posterior.
Batas yang membagi antara epistaksis anterior dan epistaksis posterior adalah ostium sinus
maksilaris.
Defenisi
Epistaksis adalah perdarahan akut yang berasal dari lubang hidung, rongga hidung atau
nasofaring dan mencemaskan penderita serta para klinisi. Epistaksis bukan suatu penyakit,
melainkan gejala dari suatu kelainan yang mana hampir 90 % dapat berhenti sendiri.
Epistaksis terbanyak dijumpai pada usia 210 tahun dan 50-80 tahun, sering dijumpai pada
musim dingin dan kering. Di Amerika Serikat angka kejadian epistaksis dijumpai 1 dari 7
penduduk. Tidak ada perbedaan yang bermakna antara laki-laki dan wanita. Epistaksis bagian
anterior sangat umum dijumpai pada anak dan dewasa muda, sementara epistaksis posterior
sering pada orang tua dengan riwayat penyakit hipertensi atau arteriosklerosis.
Patofisiologi
Pemeriksaan arteri kecil dan sedang pada orang yang berusia menengah dan lanjut,
terlihat perubahan progresif dari otot pembuluh darah tunika media menjadi jaringan kolagen.
Perubahan tersebut bervariasi dari fibrosis interstitial sampai perubahan yang komplet menjadi
jaringan parut. Perubahan tersebut memperlihatkan gagalnya kontraksi pembuluh darah karena
hilangnya otot tunika media sehingga mengakibatkan perdarahan yang banyak dan lama. Pada
orang yang lebih muda, pemeriksaan di lokasi perdarahan setelah terjadinya epistaksis
memperlihatkan area yang tipis dan lemah. Kelemahan dinding pembuluh darah ini disebabkan
oleh iskemia lokal atau trauma.
1. Epistaksis anterior
Merupakan jenis epistaksis yang paling sering dijumpai terutama pada anak-anak dan
biasanya dapat berhenti sendiri.2 Perdarahan pada lokasi ini bersumber dari pleksus
Kiesselbach (little area), yaitu anastomosis dari beberapa pembuluh darah di septum
bagian anterior tepat di ujung postero superior vestibulum nasi.1,4 Perdarahan juga dapat
berasal dari bagian depan konkha inferior.1 Mukosa pada daerah ini sangat rapuh dan
melekat erat pada tulang rawan dibawahnya.5 Daerah ini terbuka terhadap efek
pengeringan udara inspirasi dan trauma. Akibatnya terjadi ulkus, ruptur atau kondisi
patologik lainnya dan selanjutnya akan menimbulkan perdarahan.
2. Epistaksis posterior
Epistaksis posterior dapat berasal dari arteri sfenopalatina dan arteri etmoid posterior.
Pendarahan biasanya hebat dan jarang berhenti dengan sendirinya. Sering ditemukan
pada pasien dengan hipertensi, arteriosklerosis atau pasien dengan penyakit
kardiovaskuler. 2 Thornton (2005) melaporkan 81% epistaksis posterior berasal dari
dinding nasal lateral.
Etiologi
Epistaksis dapat terjadi setelah trauma ringan misalnya mengeluarkan ingus dengan kuat,
bersin, mengorek hidung atau akibat trauma yang hebat seperti kecelakaan lalulintas. Disamping
itu juga dapat desebabkan oleh iritasi gas yang merangsang, benda asing dan trauma pada
pembedahan. Infeksi hidung dan sinus paranasal seperti rinitis, sinusitis serta granuloma spesifik
seperti lupus, sifilis dan lepra dapat juga menimbulkan epistaksis. Epistaksis berat dapat terjadi
pada tumor seperti hemangioma, karsinoma dan angiofibroma.2,3,7 Tiwari (2005) melaporkan
melanoma pada hidung sebagai penyebab pistaksis yang tidak biasa.8 Hipertensi dan kelainan
pembuluh darah seperti yang dijumpai pada arterioskelerosis sering menyebabkan epistaksis
hebat, sering kambuh dan prognosisnya tidak baik. Gangguan endokrin pada wanita hamil dan
menopause, kelainan darah pada hemofilia dan leukemia serta infeksi sistemik pada demam
berdarah, tifoid dan morbili sering juga menyebabkan epistaksis. Kelainan kongenital yang
sering menyebabkan epistaksis adalah Rendu-OslerWeber disease. Disamping itu epistaksis
dapat terjadi pada penyelam yang merupakan akibat perubahan tekanan atmosfer.
Diagnosis
Penatalaksanaan
Tiga prinsip utama dalam menanggulangi epistaksis yaitu menghentikan perdarahan,
mencegah komplikasi dan mencegah berulangnya epistaksis.
Pasien yang datang dengan epistaksis diperiksa dalam posisi duduk, sedangkan kalau
sudah terlalu lemah dibaringkan dengan meletakkan bantal di belakang punggung, kecuali bila
sudah dalam keadaan syok. Sumber perdarahan dicari dengan bantuan alat penghisap untuk
menyingkirkan bekuan darah. Kemudian diberikan tampon kapas yang telah dibasahi dengan
adrenalin 1: 10.000 dan lidokain atau pantokain 2 %. Kapas ini dimasukkan ke dalam rongga
hidung untuk menghentikan perdarahan dan mengurangi rasa sakit pada saat tindakan
selanjutnya. Tampon ini dibiarkan selama 3 - 5 menit. Dengan cara ini dapat ditentukan
apakah sumber perdarahan letaknya di bagian anterior atau posterior.
Pada penanganan epistaksis, yang terutama diperhatikan adalah perkiraan jumlah dan
kecepatan perdarahan. Pemeriksaan hematokrit, hemoglobin dan tekanan darah harus cepat
dilakukan. Pada pasien dalam keadaan syok, kondisi ini harus segera diatasi. Jika ada kecurigaan
defisiensi faktor koagulasi harus dilakukan pemeriksaan hitung trombosit, masa protrombin dan
masa tromboplastin (APTT), sedangkan prosedur diagnosis selanjutnya dilaksanakan sesuai
dengan kebutuhan. Bila terjadi kehilangan darah yang banyak dan cepat, harus difikirkan
pemberian transfusi sel-sel darah merah (packed red cell) disamping penggantian cairan.
A. Epistaksis Anterior
1. Kauterisasi
2. Tampon Anterior
Apabila kauter tidak dapat mengontrol epistaksis atau bila sumber perdarahan tidak dapat
diidentifikasi, maka diperlukan pemasangan tampon anterior dengan menggunakan kapas atau
kain kassa yang diberi vaselin atau salap antibiotik.2,10 Tampon ini dipertahankan selama 3 4
hari dan kepada pasien diberikan antibiotik spektrum luas.12 Vaghela (2005) menggunakan
swimmers nose clip untuk penanggulangan epistaksis anterior.
B. Epistaksis Posterior
Perdarahan dari bagian posterior lebih sulit diatasi, sebab biasanya perdarahan hebat dan
sulit dicari sumber perdarahan dengan rinoskopi anterior.2 Epistaksis posterior dapat diatasi
dengan menggunakan tampon posterior, bolloon tamponade , ligasi arteri dan embolisasi.
1. Tampon Posterior
Prosedur ini menimbulkan rasa nyeri dan memerlukan anestesi umum atau setidaknya
dengan anestesi lokal yang adekuat. Prinsipnya tampon dapat menutup koana dan terfiksasi di
nasofaring untuk menghindari mengalirnya darah ke nasofaring. Kemudian dilakukan
pemasangan tampon anterior. Tekhnik ini pertama sekali diperkenalkan oleh Bellocq, dengan
menggunakan tampon yang diikat dengan tiga pita (band). Masukkan kateter karet kecil melalui
hidung kedalam faring, kemudian ujungnya dipegang dengan cunam dan dikeluarkan dari mulut
agar dapat diikat pada kedua ujung pita yang telah disediakan. Kateter ditarik kembali melalui
rongga hidung sehingga tampon tertarik ke dalam koana melalui nasofaring. Bantuan jari untuk
memasukkan tampon kedalam nasofaring akan mempermudah tindakan ini.4,5 Apabila masih
tampak perdarahan keluar dari rongga hidung, maka dapat pula dimasukkan tampon anterior ke
dalam kavum nasi. Kedua pita yang keluar dari nares anterior kemudian diikat pada sebuah
gulungan kain kasa didepan lubang hidung, supaya tampon yang terletak di nasofaring tidak.
bergerak. Pita yang terdapat di rongga mulut dilekatkan pada pipi pasien. Gunanya untuk
menarik tampon keluar melalui mulut setelah 2 3 hari.
2. Tampon Balon
3. Ligasi Arteri
Penanganan yang paling efektif untuk setiap jenis perdarahan adalah dengan meligasi
pembuluh darah yang ruptur pada bagian proksimal sumber perdarahan dengan segera. Tetapi
kenyataannya sulit untuk mengidentifikasi sumber perdarahan yang tepat pada epistaksis yang
berat atau persisten. Ada beberapa pendekatan ligasi arteri yang mensuplai darah ke mukosa
hidung.
Ligasi biasanya dilakukan tepat dibagian distal a. tiroid superior untuk melindungi suplai
darah ke tiroid dan memastikan ligasi arteri karotis eksterna.12 Tindakan ini dapat dilakukan
dibawah anestesi lokal. Dibuat insisi horizontal sekitar dua jari dibawah batas mandibula yang
menyilang pinggir anterior m. sternokleidomastoideus. Setelah flap subplatisma dielevasi,
m. sternokleidomastoideus di retraksi ke posterior dan diseksi diteruskan ke arah bawah menuju
selubung karotis. Lakukan identifikasi bifurkasio karotis kemudian a. karotis eksterna
dipisahkan. Dianjurkan untuk melakukan ligasi dibawah a. faringeal asendens, terutama apabila
epistaksis berasal dari bagian posterior hidung atau nasofaring.10 Arteri karotis eksterna diligasi
dengan benang 3/0 silk atau linen.
Maceri (1984) menjelaskan pendekatan transoral untuk ligasi a. maksilaris interna. Plane
of buccinator dimasuki melalui insisi gingivobukal. Jaringan lemak bukal dibuang, dan
identifikasi perlekatan m. temporalis ke prosessus koronoid mandibula. Lakukan diseksi tumpul
pada daerah ini dan identifikasi a. maksila interna. Selanjutnya arteri dipisahkan, dijepit atau
diligasi. Prosedur ini berguna apabila pendekatan transantral tidak dapat dilakukan oleh karena
trauma sinus atau malignansi. Kelemahan dari prosedur ini adalah lokasi ligasi terletak lebih ke
proksimal dibandingkan dengan pendekatan transantral sehingga lebih memungkinkan untuk
terjadinya kegagalan. Komplikasi utama pendekatan ini adalah pembengkakan pipi dan trismus
yang dapat berlangsung selama tiga bulan.10 Shah (2005) menggunakan clip titanium pada
arteri sphenopalatine untuk mengatasi epistaksis posterior.
Perdarahan yang berasal dari bagian superior konka media paling baik diterapi dengan
ligasi a. etmoidalis anterior atau posterior, atau keduanya. Ligasi dilakukan pada tempat arteri
keluar melalui foramen etmoidalis anterior dan posterior yang berada pada sutura frontoetmoid.
Foramen etmoidalis anterior berada kira-kira 1,5 cm posterior dari krista lakrimalis posterior.
Foramen etmoidalis posterior berada hanya 4 - 7 mm. sebelah anterior n. optikus.
Insisi etmoid eksterna dilakukan untuk mencapai daerah ini. Retraktor orbita digunakan
untuk meretraksi periostium orbita dan sakus lakrimalis. Diseksi dilakukan disebelah posterior
disepanjang garis sutura pada lamina subperiosteal. Dua klem arteri diletakkan pada a. etmoidalis
anterior, dan rongga hidung dievaluasi kembali. Jika perdarahan berhenti, a. etmoidalis posterior
tidak diganggu untuk menghindari trauma n. optikus. Tetapi bila perdarahan persisten, a.
etmoidalis posterior diidentifikasi dan diklem. Hidarkan pemakaian kauter untuk menghindari
trauma.
LAPORAN KASUS
IDENTITAS PENDERITA
Nama :
No. RM :
Jenis Kelamin :
Umur :
Status :
Pekerjaan :
Alamat :
Agama :
Suku :
Dokter Muda :
Dokter :
ANAMNESA
Keluhan Utama :
Keluhan Tambahan :
RPS :
RPD :
RPK :
RPO :
STATUS PRESENT
Keadaan Umum/kesadaran :baik/compos mentis
Meatus Nasi
Inferior :
Media :
Septum Nasi
Deviasi :
Krista :
Spina/tajam :
Hematoma/abses/perforasi :
Nanah :
Darah :
Krusta :
Polip :
Corpus Alienum :
Massa/Tumor :
DAFTAR PUSTAKA
1. Abelson TI. Epistaksis dalam: Scaefer, SD. Rhinology and Sinus Disease
AproblemOriented Aproach. St. Louis, Mosby Inc, 1998: 43 9.
2. 2. Nuty WN, Endang M. Perdarahan hidung dan gangguan penghidu,
Epistaksis. Dalam: Buku ajar ilmu penyakit telinga hidung tenggorok. Edisi 3.
Jakarta, Balai Penerbit FK UI, 1998: 127 31.
3. Watkinson JC. Epistaxis. Dalam: Mackay IS, Bull TR. Scott Browns
Otolaryngology. Volume 4 (Rhinonology). Ed. 6 th. Oxford: Butterwort -
Heinemann, 1997: 119.
4. Ballenger JJ. Penyakit telinga, hidung, tenggorok, kepala dan leher. Alih bahasa
staf ahli bagian THT FK UI. Jilid 1. Edisi 13. Jakarta, Binarupa Aksara,1994: 1
27, 112 6
5. Becker W, Naumann HH, Pfaltz CR. Ear, nose, and throat disease, a pocket
reference. Second Edition. New York, Thieme Medical Publiseher, Inc, 1994: 170
80 dan 253 60.