Anda di halaman 1dari 7

REFERAT

EPISTAKSIS

Oleh :
Januardi Rahman
201910330311072

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG


FAKULTAS KEDOKTERAN
2023
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hidung merupakan organ penting yang seharusnya mendapat perhatian


lebih dari biasanya. Hidung merupakan salah satu organ pelindung tubuh
terpenting terhadap lingkungan yang tidak menguntungkan. Epistaksis merupakan
kegawatdaruratan di bidang THT-KL. Kejadian epistaksis ini merupakan kejadian
dimanasering disebut mimisan. Diperkirakan, sekitar 60% penduduk pernah
mengalami epistaksis dan 6% diantaranya mencari bantuan medis. Data mengenai
prevalensi epistaksis di Indonesia masih sangat terbatas. Prevalensi
epistaksis pada jenis kelamin laki-laki sama dengan perempuan dimmana
sebanyak 36,355 pada kelompok usia 25-44 tahun. Prevalensi epistaksis
meningkat pada anak-anak usia dibawah 10 tahun dan meningkat kembali di usia
35 tahun ke atas.
Walaupun kebanyakan kasus yang terjadi ringan dan bersifat self-limiting,
ada beberapa kasus yang berat dan mengakibatkan morbiditas dan mortalitas yang
serius. Penting sekali mencari asal perdarahan dan menghentikannya, disamping
perlu juga menemukan dan mengobati penyebab yang mendasarinya.

1.2 Tujuan
Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk mengetahui lebih jauh tentang
epistaksis dengan secara terperinci membahas terkait definisi, etiologi,
patogenesis, manifestasi klinis, diagnosis, dan penatalaksanaannya.
1.3 Manfaat
Penulisan referat ini diharapkan mampu menambah pengetahuan dan
pemahaman mengenai epistaksis secara terperinci.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Epistaksis berasal dari bahasa Yunani epistazo yang berarti hidung
berdarah. Definisi epistaksis adalah perdarahan yang berasal dari rongga hidung.
Perdarahan dapat berasal dari pembuluh darah anterior atau posterior. Ada lima
pembuluh bernama yang cabang terminalnya memasok rongga hidung yaitu, arteri
etmoidalis anterior, arteri etmoid posterior. arteri sphenopalatina, arteri palatina
yang lebih besar, arteri labial superior. Arteri arteri tersebutlah yang menyebabkan
aliran deras darah pada septum hidung anterior, termasuk pleksus Kiesselbach.

2.2 Etiologi
Epistaksis dapat ditimbulkan oleh sebab-sebab lokal dan umum atau kelainan
sistemik. Penyebab lokal :

- Trauma
- Infeksi
- Neoplasma
- Kelainan kongenital
- Deviasi septum
- Pengaruh lingkungan
Penyebab sistemik :
- Kelainan darah
- Penyakit kardiovaskuler
- Sirosis hepatis
- Diabetes melitus
- Infeksi akut
- Gangguan hormonal
- Alkoholisme
2.3 Patofisiologi
Mimisan disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah di dalam mukosa
hidung. Ruptur dapat terjadi secara spontan, diawali oleh trauma, penggunaan
obat-obatan tertentu, dan/atau sekunder akibat komorbiditas atau keganasan
lainnya. Bagian posterior dinding lateral hidung dikenal sebagai Plexus
woodruf yang terletak dibagian posterior konka inferior dimana arteri
sfenopalatina, nasalis posterior dan arteri faringeal posterior berada,
epistaksis posterior terjadi bila daerah ini mengalami perdarahan.
Kebanyakan mimisan terjadi di bagian anterior hidung (pleksus
Kiesselbach), dan pembuluh darah etiologi biasanya dapat ditemukan pada
pemeriksaan hidung yang cermat. Epistaksis anterior paling sering terjadi
daerah septum anterior bagian kartilagenus, pada bagian ini terdapat
anastomosis dari arteri sfenopalatina, palatina mayor, etmoidalis anterior, dan
labialis superior (cabang dari arteri fasialis), membentuk plexus Kiesselbach
atau Little’s area.
2.4 Diagnosis
1. Anamnesis
Penting mendapatkan riwayat trauma terperinci. Riwayat pengobatan
atau penyalahgunaan alkohol terperinci harus dicari. Banyak pasien
minum aspirin secara teratur untuk banyak alasan. Aspirin merupakan
penghambat fungsi trombosit dan dapat menyebabkan pemanjangan atau
perdarahan. Penting mengenal bahwa efek ini berlangsung beberapa
waktu dan bahwa aspirin ditemukan sebagai komponen dalam sangat
banyak produk. Alkohol merupakan senyawa lain yang banyak
digunakan, yang mengubah fungsi pembekuan secara bermakna.
2. Pemeriksaan fisik
Alat-alat yang diperlukan adalah lampu kepala, spekulum hidung, dan
alat penghisap (bila ada) dan pinset bayonet, kapas, kain kasa.
Pemeriksaan yang diperlukan berupa :
- Rhinoskopi anterior
- Rhinoskopi posterior
- Pengukuran tekanan darah
3. Pemeriksaan penunjang
- Nasoendoskopi
- Foto kepala (posisi waters, lateral, caldwell)
- CT Scan
- MRI
2.5 Tatalaksana
2.6 Menghentikan Perdarahan
1. Penekanan langsung pada ala nasi
Penanganan pertama dimulai dengan penekanan langsung ala nasi
kiri dan kanan bersamaan selama 5 – 30 menit. Setiap 5 – 10 menit
sekali dievaluasi apakah perdarahan telah terkontrol atau belum.
Penderita sebaiknya tetap tegak namun tidak hiperekstensi untuk
menghindari darah mengalir ke faring yang dapat mengakibatkan
aspirasi
2. Tampon kapas
Diberikan tampon kapas yang telah dibasahi dengan adrenalin
1:10.000 dan lidokain atau pantokain 2 %. Kapas ini dimasukkan
ke dalam rongga hidung untuk menghentikan perdarahan dan
mengurangi rasa sakit pada saat tindakan selanjutnya. Tampon ini
dibiarkan selama 3 – 5 menit.
3. Kauterisasi
Perdarahan yang berasal dari plexus Kiesselbach dapat ditangani
dengan kauteriasi kimia Perak Nitrat 30%, Asam Triklorasetat
30%, atau Polikresulen pada pembuluh darah yang mengalami
perdarahan selama 2 – 3 detik. Kauterisasi tidak dilakukan pada
kedua septum karena dapat menimbulkan perforasi.
BAB III
KESIMPULAN

Epistaksis dikenal juga dengan mimisan adalah salah satu keadaan darurat
telinga, hidung, dan tenggorokan (THT) yang paling sering dijumpai di bagian
gawat darurat atau klinik perawatan primer. Epistaksis bukan merupakan suatu
penyakit, melainkan gejala dari suatu penyakit. Epistaksis anterior bersumber dari
pleksus kiesselbach (Little’s area) sedangkan epistaksis posterior bersumber dari
pleksus woodruf. Hampir 90 % merupakan epistaksis anterior, dimana perdarahan
terjadi di daerah Pleksus Kiesselbach. Penanganan epistaksis dimulai dengan
melakukan anamnesis yang ringkas dan tepat, serta pemeriksaan fisik, bersamaan
dengan persiapan untuk menghentikan epistaksis.
DAFTAR PUSTAKA

Budiman, B. J., & Hafiz, A. (2012). Epistaksis dan Hipertensi: Adakah


Hubungannya?. Jurnal Kesehatan Andalas, 1(2).

Fishman J, Fisher E, Hussain M. Epistaxis audit revisited. J Laryngol Otol. 2018


Dec;132(12):1045

Marbun, E. M. (2017). Etiologi, Gejala dan Penatalaksanaan Epistaksis. Jurnal


Kedokteran Meditek.

Naela Hi.mayati Afifah, Endang Mangunkusumo. Kapita selekta ed.IV. Jakarta:


Gadjah Mada University Press; 2009.

TR, T. H., & Hadi, Z. (2019). Pendekatan Diagnosis dan Tatalaksana


Epistaksis. Jurnal Kedokteran Nanggroe Medika, 2(2), 26-32.

Zulfiani, V., Imanto, M., & Atina, R. (2017). Pria Usia 66 Tahun Dengan
Epistaksis Posterior Et causa Hipertensi Derajat II. Jurnal Medula, 7(4),
55-57.

Anda mungkin juga menyukai