EPISTAKSIS
Epistaksis merupakan salah satu kegawat daruratan di bidang THT. Epistaksis adalah
perdarahan akut yang berasal dari hidung dan nasofaring. Epistaksis bukan merupakan suatu
penyakit, melainkan gejala dari suatu kelainan yang pada 90% kasus dapat berhenti spontan.
Meskipun kebanyakan kasus dapat diatasi atau dapat berhenti spontan, beberapa kasus
perdarahan cukup massif dan dapat menyebabkan kematian sehingga membutuhkan
intervensi dari ahli THT. Beberapa faktor risiko yang menyebabkan epistaksis dan dapat
mengenai berbagai kelompok usia, akan tetapi biasanya faktor risiko ini terjadi pada populasi
usia lanjut dengan penyakit penyerta dan memerlukan penanganan lebih intensif serta rawat
inap. Strategi penatalaksanaan epistaksis sudah mulai berkembang dalam beberapa dekade
terakhir. Tiga prinsip penatalaksanaan epistaksis yaitu menghentikan perdarahan, mencegah
komplikasi dan mencegah berulangnya epistaksis. Meskipun pemahaman mengenai epistaksis
sudah berkembang , prinsip-prinsip pemasangan dengan tampon hidung masih digunakan
sejak Hippocrates menggunakan kain wol sebagai tampon pada petinju yang mengalami
epistaksis pada era Yunani kuno. Dengan perkembangan teknologi endoskopi, beberapa cara
baru dalam mengatasi epistaksis telah dikembangkan. Kombinasi dari beberapa teknik terbaru
tersebut dapat mencegah komplikasi dan penderita tidak perlu rawat inap. Buku ini akan
membahas bermacam-macam pilihan teknik penatalaksanaan epistaksis baik teknik
konvensional ataupun teknik yang terbaru sehingga diharapkan para dokter umum mampu
menentukan etiologi, membuat diagnosis epistaksis berdasarkan pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang (laboratorium dan radiologi) sehingga dapat memberikan terapi yang
optimal. Dengan demikian pembaca diharapkan dapat lebih menguasai berbagai teknik
penatalaksanaan epistaksis yang sudah dikembangkan dan digunakan saat ini.1-3
Definisi
Epistaksis berasal dari bahasa Yunani yaitu “ epistazein” yang berarti menetes. Secara
terminology epistaksis adalah perdarahan akut yang berasal dari mukosa hidung dan
nasofaring. Epistaksis merupakan salah satu kegawat daruratan di bidang THT yang dapat
berakibat fatal jika terlambat diatasi. Pada anak-anak dan dewasa muda epistaksis biasanya
dapat berhenti spontan dan hanya 1-2% yang memerlukan tindakan invasif atau
pembedahan.1-3
Kekerapan
Epistaksis, baik yang spontan ataupun yang disertai penyebab lain dialami 60% kasus,
dengan 6% di antaranya membutuhkan pengobatan medis. Pada umumnya perdarahan dapat
berhenti spontan, sehingga hanya sebagian kecil penderita yang datang ke Rumah Sakit.
Insidens epistaksis bervariasi dengan rentang usia yang cukup yang cukup besar. Terdapat
distribusi bimodal dengan puncak pada usia anak-anak dan remaja muda dan dewasa tua
(usia 45-65 tahun). Di Inggis, epistaksis merupakan 33% kasus kegawat daruratan di bidang
THT dan rerata usia penderita yang dilaporkan adalah usia 70 tahun. 3-4
Anatomi
Salah satu fungsi primer hidung adalah untuk menghangatkan dan melembabkan udara
pernafasan. Oleh karena itu hidung kaya akan pembuluh darah yang berasal dari arteri karotis
interna dan eksterna.5
Etiologi
Klasifikasi etiologi epistaksis terdiri dari etiologi lokal dan etiologi sistemik (Gbr 1), di mana
di antaranya 80% - 90% bersifat idiopatik. Faktor yang terpenting selain hidung kaya akan
vaskularisasi dan suplai dari dua cabang arteri yang besar, yaitu pembuluh darah di dalam
mukosa hidung berjalan superfisial sehingga tidak terlindungi yang menyebabkan trauma pada
mukosa mudah memicu perdarahan hidung. Kadang-kadang dapat terjadi ruptur spontan
pembuluh darah, misalnya pada saat melakukan perasat valsava atau menghembuskan nafas
terlalu keras. Meskipun jarang, harus dipastikan tidak ada tumor di hidung maupun nasofaring
pada kasus epistaksis unilateral berulang
Tabel 1. Etiologi Epistaksis1
Penatalaksanaan
PENATALAKSANAAN EPISTAKSIS
1. Penatalaksanaan Awal
2. Pemeriksaan Hidung dan Orofaring
3. Menghentikan Perdarahan (Konservatif atau
pembedahan)
Tabel 2.
Penatalaksanaan Epistaksis
1. Penatalaksanaan Awal
Tiga prinsip utama dalam penatalaksanaan epistaksis yaitu menghentikan perdarahan,
mencegah komplikasi dan mencegah berulangnya epistaksis. Persiapan pemeriksa sebagai
tindakan pencegahan adalah menggunakan masker dan pelindung mata sebelum melakukan
tindakan menghentikan perdarahan kepada penderita. 2
Anamnesis dilakukan untuk mengetahui jumlah perdarahan, frekuensi dan lamanya
perdarahan. Penyebab epistaksis dicari dengan menanyakan riwayat trauma dan penyakit
lainnya pada kepala dan leher, riwayat hipertensi, arteriosklerosis, koagulopati, penyakit hepar
dan riwayat pengobatan sebelumnya (warfarin, aspillet), dan kebiasaan meminum alkohol atau
merokok.6
Epistaksis merupakan kasus yang dapat mengancam jika terjadi perdarahan yang massif.
Semua pasien yang datang dengan perdarahan aktif harus dilakukan pemeriksaan menyeluruh
dan resusitasi jika diperlukan. Pada pasien geriatrik keadaan umum dapat menurun dengan
cepat sehingga diperlukan resusitasi yang agresif. Alat pelindung diri seperti masker wajah
dan kacamata pelindung harus digunakan oleh pemeriksa. Tanda- tanda vital harus dimonitor
dengan ketat. Pemeriksaan darah lengkap dan fungsi hemostatis darah juga harus segera
dilakukan. Jika sudah terdapat tanda- tanda syock hipovolemik penderita harus diberikan
resusitasi. Penanganan awal dilakukan penilaian keadaan umum dan tanda vital dengan
pendekatan ABC (airway, breathing and circulation) pada keadaan umum buruk segera
lakukan akses intravena dan resusitasi cairan. Penanganan airway dan breathing dilakukan
pada saat pertama kali pasien datang. Rongga hidung dan orofaring harus segera dibersihkan
dari darah yang mengalir atau bekuan darah untuk mencegah terjadinya sumbatan jalan nafas
atas. Penderita epistaksis yang massif dan usia lanjut sebaiknya segera diberikan resusitasi
cairan. Pemeriksaan laboratorium darah lengkap diperlukan untuk mengetahui kadar
hemoglobin (Hb) dan menilai status koagulasi darah. 6
Penatalaksanaan awal dapat dilakukan dengan menekan cuping hidung dengan jari
selama 15 menit yang sebaiknya dibantu oleh asisten atau perawat. (Gbr. 2) Selain itu dapat
juga dibantu dengan kompres dingin atau pasien diminta untuk mengulum es batu. Pasien
diminta untuk sedikit menunduk untuk mencegah darah mengalir ke nasofaring dan mencegah
tertelannya darah yang dapat menyebabkan pasien mual atau tidak nyaman. 6-8
Gbr 2. Cara menekan cuping hidung untuk menghentikan perdarahan yang berasal dari pleksus
kiesselbach
3. Menghentikan Perdarahan
Tujuan penanganan epistaksis adalah untuk mencari lokasi serta penyebab perdarahan
aktif. Jika perdarahan berhenti dan pasien stabil, pasien dapat dipulangkan dan disarankan
untuk mengoles vaselin atau salep antibiotik pada septum anterior. 3
Penatalaksanaan konservatif epistaksis yaitu identifikasi sumber perdarahan dengan
menggunakan lampu kepala atau sumber cahaya lain. Jika sumber perdarahan sudah dapat di
identifikasi, dilakukan penghentian perdarahan secara kimiawi atau elektrokauter. Jika tidak
berhasil, dilakukan langkah selanjutnya yaitu tampon anterior dengan kapas atau kasa. Jika
masih gagal, teknik yang lebih advanced dengan menggunakan tampon posterior belloque
atau folley catheter yang dikembangkan dengan udara atau air. Cara terakhir jika semua
metode di atas masih gagal yaitu dengan ligasi arteri atau embolisasi.3,4,6
Gbr 4. Cara melakukan kauterisasi kimia dengan aplikator kapas yang sudah dibasahi dengan
silver nitrate dan dioleskan pada sumber perdarahan di mukosa hidung
Gbr 6. Tampon anterior kapas gulung yang dibungkus karet handscoen yang dipotong
berbentuk jari dan diberi benang (tampon kondom)
Gbr 7.Tampon anterior netcell (kiri), balon epistat (tengah), cara pemasangan tampon netcell
(kanan) 1
Rapid Rhino adalah tampon anterior dengan carboxymethylcellulose yang terbuat dari
bahan hydrocolloid, yang bertindk sebagai platelet aggregator dan dapat bersifat lubricant
ketika kontak dengan cairan. Tidak seperti merocel, rapid rhino memiliki balon atau cuff yang
dapat dikembangkan dengan udara dan hydrocolloid atau Gel-knit dapat membantu kerja
bekuan darah pada saat tampon dicabut.4
Gbr 8. Tampon Rapid Rhino yang memiliki balon yang dapat dikembangkan4
1. Jika tampon anterior masih gagal, tampon dapat dilakukan dengan kasa yang
berbentuk pita (tampon roll) yang sudah dioleskan salep antibiotik yang dimasukkan
sampai padat ke dalam kavum nasi. Tampon ini dimasukkan pelan-pelan ke dalam
kavum nasi dengan menggunakan spekulum hidung dan pinset bayonet. Setelah
dilakukan pemasangan tampon, dilakukan pemeriksaan ulang pada kavum nasi sisi
kontralateral dan orofaring dengan mnggunakan spatel lidah untuk melihat perdarahan
apakah sudah berhenti. Jika masih terlihat darah mengalir, sebaiknya memasang
tampon sisi kontralateral terlebih dahulu sebelum memutuskan untuk mengeluarkan
kembali tampon yang sudah dipasang. Dengan memasang tampon di sisi kontralateral
diharapkan dapat menambah tekanan pada septum dan menghentikan perdarahan.
Karena pemasangan tampon hidung memiliki risiko dan komplikasi, sebaiknya pasien
rawat inap di rumah sakit. Apabila pemasangan tampon membutuhkan waktu lebih
dari 24 jam, sebaiknya penderita diberikan antibiotik untuk mencegah sindrom syok
toksik. Tampon sebaiknya dikeluarkan paling lambat 3 hari. 6,9,10
Kateter Folley
Tampon ini menggunakan prinsip penekanan langsung dari balon atau terkumpulnya bekuan
darah (clott) di kavum nasi yang akan berfungsi yang berfungsi sebagai tampon juga. Tampon
yang digunakan adalah kateter folley yang biasa digunakan untuk nelaton kateter urin.
Tampon ini dimasukkan ke dalam kavum nasi kemudian didorong sampai turun ke orofaring.
Setelah ujung balon kateter terlihat di orofaring, balon dikembangkan dengan 3-4 ml air atau
udara, kemudian ditarik kembali kearah anterior (hidung) sampai menekan regio posterior
hidung dan nasofaring (Gbr.10). Pasien harus dirawat di rumah sakit dan harus dilakukan
pengawasan terutama pada pasien anak-anak dan geriatrik. 1,6
Gbr 10. Tampon Posterior Kateter Folley dan Cara pemasangannya 13
Tampon belloque
Gbr 11.Tampon posterior tradisional yang terbuat dari kasa padat (belloque). 2
Tampon Belloque
Tampon belloque dilakukan untuk perdarahan yang tidak berhasil dihentikan dengan tampon
anterior. Tampon Belloque berbentuk kubus dengan diameter 3 cm yang terbuat dari kain kasa
yang dilipat padat. Pada tampon terikat 3 utas benang, dua utas di satu sisi, dan satu buah di
sisi berlawanan (Gbr.11).6
Diatermi
Mencari sumber perdarahan dengan anestesi umum lebih mudah dilakukan. Penggunaan
kauter bipolar lebih dianjurkan daripada monopolar , karena penggunaan kauter bipolar dapat
merusak n.opticus dan okulomotorius apabila sumber perdarahan berdekatan dengan orbita. 6
Koreksi Septum
Koreksi septum kadang diperlukan untuk mempermudah akses instrument ke dalam kavum
nasi. Operasi septum dilakukan untuk mengkoreksi septum deviasi atau membuang spina
yang pada beberapa kasus dapat menyebabkan epistaksis.14-18
Fibrin glue
Fibrin Glue terbuat dari human plasma cryprecipitate dan akan berikatan dengan pembuluh
darah yang cedera. Teknik ini dilakukan dengan cara menyemprotkan lapisan tipis fibrin glue di
atas sisi yang mengalami perdarahan dapat diulangi jika diperlukan. Dilaporkan komplikasi
seperti pembengkakan lokal, atrofi mukosa, sekret berlebihan lebih sedikit dibandingkan
elektrokauter, perak nitrate, dan tampon hidung. Komplikasi perdarahan berulang setara
dengan elektrokauter yaitu sebesar 15%. 3,6
Laser
Laser dimanfaatkan untuk mengatasi epistaksis terutama pada kasus-kasus hereditary
haemorrhagc telangiectasia (Osler-Weber-Rendu disease). Neodymium yttrium-alumunium-
garnet (Nd:YAG) laser sering digunakan (dengan endoskopi), meskipun aplikasi laser jenis lain
seperti argon atau karbon dioksida juga sering digunakan. 3
Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologi tidak rutin dilakukan kecuali jika terdapat kecurigaan rinosinusitis
atau tumor di hidung, sinus paranasal atau nasofaring. Salah satu contoh pada kasus
angiofibroma nasofaring juvenile dengan epistaksis berulang. Pemeriksaan radiologi yang
dilakukan adalah Ct Scan dengan atau tanpa kontras, MRI atau angiografi karotis.6,7,19
Terapi medikamentosa
Beberapa anti-fibrinolitik yang sering digunakan untuk mengatasi perdarahan seperti
aminocrapoic acid, etamsylate (Dycinone), atau asam tranexamat. Obat-obat ini bekerja
dengan menghambat fibrinolitik dan memblock pembentukan plasmin.. Farmakoterapi ini
hanya berperan sebagai supprotif pada penatalaksanaan epistaksis. 6
Prognosis
Prognosis pada umumnya baik dengan tatalaksana yang adekuat keadaan umum dan
penyakit yang mendasarinya. Beberapa kasus mungkin akan terjadi perdarahan berulang yang
akan berhenti sendiri atau hanya memerlukan pengobatan yang minimal. Pasien dengan
Osler-Weber Rendu cenderung untuk mengalami rekurensi. Faktor predisposisi terjadinya
kekambihan antara lain usia, riwayat hipertensi, penggunaan antikoagulan, riwayat epistaksis
posterior sebelumnya. Dengan penatalaksanaan yang adekuat dan mengatasi penyebabnya,
pada umumnya tidak terjadi kekambuhan. 6
Follow Up
Semua penderita dengan riwayat epistaksis massif membutuhkan pemeriksaan hidung
yang menyeluruh agar dapat mengidentifikasi kemungkinan tumor ganas. Pemeriksaan ini
dapat dilakukan sebelum pasien rawat inap dipulangkan atau beberapa hari kemudian. Pasien
harus diberikan edukasi bagaimana penanganan pertama jika terjadi epistaksis dan mencegah
kekambuhan termasuk menghindari aktivitas yang dapat memicu perdarahan berulang
(menghembuskan nafas dengan keras, mengangkat benda-benda berat, atau aktivitas berat
lainnya). Selain itu juga penderita diedukasi untuk menghentikan kebiasaan mengkonsumsi
alkohol atau minuman panas yang dapat menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah hidung.
Untuk mengurangi perdarahan berulang, salep atau krim antiseptik seperti salep kemicetin,
gentamisin atau mupirocyn dapat dioleskan ke mukosa hidung terutama regio anterior (pleksus
kiesselbach). 3,22
Penderita dengan tekanan darah tinggi harus dilakukan pemeriksaan menyeluruh sebelum
dipulangkan. Pengobatan sebelumnya termasuk antikoagulan sebaiknya dievaluasi kembali
dan penderita sebaiknya dikonsulkan ke ahli hematologi. 3
Kesimpulan
Lebih dari 21 tahun terakhir, penanganan epistaksis telah perkembangan yang cukup pesat.
Strategi pengobatan konvensional seperti pemasangan tampon telah didukung dengan
perkembangan teknologi endoskopi dan elektrokauter. Penatalaksanaan sebaiknya sesuai
dengan protokol sistematis yang sudah dijelaskan di dalam buku ini, dimulai dengan teknik
yang sederhana yang bisa dilakukan di klinik terlebih dahulu dan dilanjutkan dengan teknik
endoskopi untuk kasus perdarahan yang sulit dihentikan. 3,23,24
ALGORITMA DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN EPISTAKSIS
Riwayat Penyakit yang
diderita
Pemeriksan Umum
Rinoskopi Anterior
Rinoskopi
Resusitasi Jika
Diperlukan
Identifikasi Lokasi
Perdarahan:
- Anterior
- Posterior
- Sumber tidak jelas
Hentikan Perdarahan
- Kauterisasi
Evaluasi & tatalaksana
- Tampon Hidung Berhasil etiologi untuk mencegah
(Anterior & rekurensi
Posterior)
Perdarahan
Gagal berhenti
- Intervensi Bedah
- Ligasi arteri Maksilaris dan cabangnya
- Ligasi Arteri Etmoid Anterior Berhasil
- Angiografi
- Embolisasi arteri Maksila & cabang2nya
-
1. Viehweg TL, Roberson JB, Hudson JW. Epistaxis: Diagnosis and Treatment. J Oral Maxiilofac Surg
2006; 64 : 511-518
2. Kucik CJ, Clenny T. Management of Epistaxis. American Family physician. Available from:
http://www.aafp.org/afp. Accessed Juni, 2016
3. Pope LER, Hobbs CGL. Epistaxis: an update on current management. Postgrad Med J 2005; 81: 309-
314.
4. Epistaxis is uncommon problem in ICU. Available
from:http://seattleclouds.com/myapplications/dukeg/ican/Epistaxis.html. Cited June,2016
5. Swift AC. Epistaxis. The otorhinolaryngologist 2012; 5(3): 129-132
6. Bertrand B, Eloy Ph, Rombaux Ph, Lamarque C, Watelet JB, Collet S. Guidelines to the management of
epistaxis. B-ENT 2005; 1: 27-43
7. Cho JH, Kim YH. Epistaxis. Available from: http://www.intechopen.com. Accesed Juni, 2016.
8. Schlosser RJ. Epistaxis. N Engl J Med 2009; 360:784-9
9. Kundi NA, Raza M. Duration of nasal packs in the management of epistaxis. Journal of the College of
Physicians and Surgeons Pakistan 2015; 25 (3):202-205
10. Gupta AK, Jain S, Singh AP, Jindal A, Singh K. Epistaxis: Management Protocol As Per etiology.
Clinical Rhinology: An International Journal 2009; 2(3):43-46
11. Nasal Packing for Epistaxis . Available from: http://www.keyword-suggestions.com. Accessed June,2016
12. Daudia A, Jaiswal V, Jones NS. Guidelines for the management of idiopathic epistaxis in adult: how we
do it. Clinical Otolaryngology 2008; 33:607-628.(kekerapan 60%)
13. Hubbard J. When Your Nose Won’t stop Bleeding: Causes and Cures. Available from:
www.thesurvivaldoctor.com. Accesed June,2016
14. Swift AC, Bleier BS, Bhalla RK, Schlosser RJ. Epistaxis: Etiology, Investigations, and Management. In:
georgalas C, Fokkens W, editors. Rhinologyand Skull Base Surgery. From the lab to the Operating
Room: An Evidence-based Approach.New York: Thieme Med Pub; 2013. p.507-524
15. Vaughan W, Khanna M, Fong K. Epistaxis. In Kennedy DW, Hwang PH, editors. Disease of the Nose,
sinuses, and Skull Base.New York: Thieme Med Pub; 2012. p.491-502
16. Neto PS, Nunes LMA, Gregorio LC, Santos RDP, Kosugi EM. Surgical treatment of severe epistaxis: an
eleven-year Experience. Braz J Otorhinolaryngol 2013; 79 (1): 59-64
17. Rabelo FAW, Prado VBD, Valera FCP, Demarco RC, Tamashiro E, lima WTA. Surgical treatment of
nasal packing refractory epistaxis
18. Mahalingappa Y, Shakeel M, Vallamkondu V, Karagama Y. Early Surgical Intervention versus
Conventional Treatment in posterior epistaxis: A systematic review. J otolaryngol ENT Res 2015, 3
95):1-7
19. Krajina A, Chrobok V. Radiological Diagnosis and Management of epistaxis. Cardiovasc Intervent Radiol
2014 ; 37:26-36
20. Varshney S, Saxena RK. Epistaxis: A retrospective Clinical Study. Indian journal of Otolaryngology and
Head and Neck Surgery 2015; 57 (2): 125-129
21. Adekwu A, Ibiam FA, Eke BA, Elachi IC, Ajogwu GA, Eifu ME, Otene TA. Etiological profile and
management of epistaxis in Makurdi, North-Central Nigeria: A six year retrospective study.
Otolaryngology Online Journal 2016; 6(1): 1-9
22. Tanner R, Harney MS. The Initial Management of epistaxis. . Available from: http://www.lenus.ie/hse.
Accessed Juni, 2016
23. Manickam A, Ghosh D, Saha J, Basu SK. An Aetiopathological Study on Epistaxis in Adults and its
Management. Bengal Journal of Otolaryngology and Head Neck Surgery 2015; 23:12-17
24. Page Cyril, Biet A, Liabeuf S, Strunski V, Fournier A. Serious spontaneous epistaxis and hypertension in
hospitalized patients. Eur Arch Otorhinololaryngol 2011; 011:1-5