Anda di halaman 1dari 17

PENATALAKSANAAN

EPISTAKSIS

Epistaksis merupakan salah satu kegawat daruratan di bidang THT. Epistaksis adalah
perdarahan akut yang berasal dari hidung dan nasofaring. Epistaksis bukan merupakan suatu
penyakit, melainkan gejala dari suatu kelainan yang pada 90% kasus dapat berhenti spontan.
Meskipun kebanyakan kasus dapat diatasi atau dapat berhenti spontan, beberapa kasus
perdarahan cukup massif dan dapat menyebabkan kematian sehingga membutuhkan
intervensi dari ahli THT. Beberapa faktor risiko yang menyebabkan epistaksis dan dapat
mengenai berbagai kelompok usia, akan tetapi biasanya faktor risiko ini terjadi pada populasi
usia lanjut dengan penyakit penyerta dan memerlukan penanganan lebih intensif serta rawat
inap. Strategi penatalaksanaan epistaksis sudah mulai berkembang dalam beberapa dekade
terakhir. Tiga prinsip penatalaksanaan epistaksis yaitu menghentikan perdarahan, mencegah
komplikasi dan mencegah berulangnya epistaksis. Meskipun pemahaman mengenai epistaksis
sudah berkembang , prinsip-prinsip pemasangan dengan tampon hidung masih digunakan
sejak Hippocrates menggunakan kain wol sebagai tampon pada petinju yang mengalami
epistaksis pada era Yunani kuno. Dengan perkembangan teknologi endoskopi, beberapa cara
baru dalam mengatasi epistaksis telah dikembangkan. Kombinasi dari beberapa teknik terbaru
tersebut dapat mencegah komplikasi dan penderita tidak perlu rawat inap. Buku ini akan
membahas bermacam-macam pilihan teknik penatalaksanaan epistaksis baik teknik
konvensional ataupun teknik yang terbaru sehingga diharapkan para dokter umum mampu
menentukan etiologi, membuat diagnosis epistaksis berdasarkan pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang (laboratorium dan radiologi) sehingga dapat memberikan terapi yang
optimal. Dengan demikian pembaca diharapkan dapat lebih menguasai berbagai teknik
penatalaksanaan epistaksis yang sudah dikembangkan dan digunakan saat ini.1-3

Definisi
Epistaksis berasal dari bahasa Yunani yaitu “ epistazein” yang berarti menetes. Secara
terminology epistaksis adalah perdarahan akut yang berasal dari mukosa hidung dan
nasofaring. Epistaksis merupakan salah satu kegawat daruratan di bidang THT yang dapat
berakibat fatal jika terlambat diatasi. Pada anak-anak dan dewasa muda epistaksis biasanya
dapat berhenti spontan dan hanya 1-2% yang memerlukan tindakan invasif atau
pembedahan.1-3

Kekerapan
Epistaksis, baik yang spontan ataupun yang disertai penyebab lain dialami 60% kasus,
dengan 6% di antaranya membutuhkan pengobatan medis. Pada umumnya perdarahan dapat
berhenti spontan, sehingga hanya sebagian kecil penderita yang datang ke Rumah Sakit.
Insidens epistaksis bervariasi dengan rentang usia yang cukup yang cukup besar. Terdapat
distribusi bimodal dengan puncak pada usia anak-anak dan remaja muda dan dewasa tua
(usia 45-65 tahun). Di Inggis, epistaksis merupakan 33% kasus kegawat daruratan di bidang
THT dan rerata usia penderita yang dilaporkan adalah usia 70 tahun. 3-4
Anatomi
Salah satu fungsi primer hidung adalah untuk menghangatkan dan melembabkan udara
pernafasan. Oleh karena itu hidung kaya akan pembuluh darah yang berasal dari arteri karotis
interna dan eksterna.5

Gbr.1. Anatomy sumber perdarahan hidung 4

Klasifikasi epistaksis berdasarkan anatomi sumber perdarahan dikelompokkan menjadi


epistaksis anterior dan epistaksis posterior. Ada juga yang mengelompokkan menjadi
epistaksis superior dan inferior tergantung dari suplai perdarahan dari arteri karotis. Umumnya,
arteri karotis interna (via arteri ethmoid) mensuplai area di atas konka media sementara
sisanya disuplai oleh cabang arteri karotis eksterna termasuk arteri sfenopalatina, yang
menyediakan perdarahan ke septum dan dinding lateral hidung. Hubungan antara kedua
sistem karotis tersebut bervariasi tergantung posisi dan tekanan salah satu di antaranya.
Terdapat juga persilangan antara arteri kanan dan kiri yang dapat menyebabkan perdarahan
yang menetap meskipun sudah dilakukan ligasi arteri ipsilateral. 3,5
Perdarahan dari anterior terjadi hampir 80% dari kasus epistaksis. Biasanya terjadi pada
anastomosis yang disebut pleksus kiesselbach di bagian bawah septum anterior atau disebut
juga dengan little’s area. Perdarahan dari posterior biasanya berasal dari arteri septal posterior
(cabang dari arteri sfenopalatina) yang membentuk pleksus woodruff. 3,5

Etiologi
Klasifikasi etiologi epistaksis terdiri dari etiologi lokal dan etiologi sistemik (Gbr 1), di mana
di antaranya 80% - 90% bersifat idiopatik. Faktor yang terpenting selain hidung kaya akan
vaskularisasi dan suplai dari dua cabang arteri yang besar, yaitu pembuluh darah di dalam
mukosa hidung berjalan superfisial sehingga tidak terlindungi yang menyebabkan trauma pada
mukosa mudah memicu perdarahan hidung. Kadang-kadang dapat terjadi ruptur spontan
pembuluh darah, misalnya pada saat melakukan perasat valsava atau menghembuskan nafas
terlalu keras. Meskipun jarang, harus dipastikan tidak ada tumor di hidung maupun nasofaring
pada kasus epistaksis unilateral berulang
Tabel 1. Etiologi Epistaksis1

Traumatik Tumor / Lesi Hidung


Trauma Mengorek Hidung Tumor Nasofaring
Trauma Wajah Tumor Sinus
Mukosa Hidung Kering Polip Hidung
Benda Asing AngioFibroma Juvenile
Perforasi septum Lesi Metastatik
Inhalasai Bahan Kimia Hemangioma Hidung
Barotrauma
Zat iritan Lingkungan

Infeksi Gangguan Hemostatis


Infeksi Saluran Nafas Atas Leukimia
Sinusitis Trombositopenia
Rinitis Hemofilia
Tuberkulosis Sindrom von Willebrand
Mononukleosis Anemia Aplastik
Demam Scarlet Polisitemia Vera
Demam Reumatik Platelet Inhibition
Sifilis

Penatalaksanaan

PENATALAKSANAAN EPISTAKSIS
1. Penatalaksanaan Awal
2. Pemeriksaan Hidung dan Orofaring
3. Menghentikan Perdarahan (Konservatif atau
pembedahan)

Tabel 2.
Penatalaksanaan Epistaksis

1. Penatalaksanaan Awal
Tiga prinsip utama dalam penatalaksanaan epistaksis yaitu menghentikan perdarahan,
mencegah komplikasi dan mencegah berulangnya epistaksis. Persiapan pemeriksa sebagai
tindakan pencegahan adalah menggunakan masker dan pelindung mata sebelum melakukan
tindakan menghentikan perdarahan kepada penderita. 2
Anamnesis dilakukan untuk mengetahui jumlah perdarahan, frekuensi dan lamanya
perdarahan. Penyebab epistaksis dicari dengan menanyakan riwayat trauma dan penyakit
lainnya pada kepala dan leher, riwayat hipertensi, arteriosklerosis, koagulopati, penyakit hepar
dan riwayat pengobatan sebelumnya (warfarin, aspillet), dan kebiasaan meminum alkohol atau
merokok.6
Epistaksis merupakan kasus yang dapat mengancam jika terjadi perdarahan yang massif.
Semua pasien yang datang dengan perdarahan aktif harus dilakukan pemeriksaan menyeluruh
dan resusitasi jika diperlukan. Pada pasien geriatrik keadaan umum dapat menurun dengan
cepat sehingga diperlukan resusitasi yang agresif. Alat pelindung diri seperti masker wajah
dan kacamata pelindung harus digunakan oleh pemeriksa. Tanda- tanda vital harus dimonitor
dengan ketat. Pemeriksaan darah lengkap dan fungsi hemostatis darah juga harus segera
dilakukan. Jika sudah terdapat tanda- tanda syock hipovolemik penderita harus diberikan
resusitasi. Penanganan awal dilakukan penilaian keadaan umum dan tanda vital dengan
pendekatan ABC (airway, breathing and circulation) pada keadaan umum buruk segera
lakukan akses intravena dan resusitasi cairan. Penanganan airway dan breathing dilakukan
pada saat pertama kali pasien datang. Rongga hidung dan orofaring harus segera dibersihkan
dari darah yang mengalir atau bekuan darah untuk mencegah terjadinya sumbatan jalan nafas
atas. Penderita epistaksis yang massif dan usia lanjut sebaiknya segera diberikan resusitasi
cairan. Pemeriksaan laboratorium darah lengkap diperlukan untuk mengetahui kadar
hemoglobin (Hb) dan menilai status koagulasi darah. 6
Penatalaksanaan awal dapat dilakukan dengan menekan cuping hidung dengan jari
selama 15 menit yang sebaiknya dibantu oleh asisten atau perawat. (Gbr. 2) Selain itu dapat
juga dibantu dengan kompres dingin atau pasien diminta untuk mengulum es batu. Pasien
diminta untuk sedikit menunduk untuk mencegah darah mengalir ke nasofaring dan mencegah
tertelannya darah yang dapat menyebabkan pasien mual atau tidak nyaman. 6-8


Gbr 2. Cara menekan cuping hidung untuk menghentikan perdarahan yang berasal dari pleksus
kiesselbach

2. Pemeriksaan Hidung dan Orofaring


Persiapan yang optimal sangat penting untuk mengatasi epistaksis. Alat-alat yang harus
dipersiapkan adalah lampu kepala, spekulum hidung (killian), pinset, alat penghisap (suction)
hidung, alat kauter dan tampon hidung (Gbr.3). Pemeriksaan menggunakan lampu kepala atau
sumber pencahayaan lain yang adekwat. Kavum nasi biasanya akan tertutup oleh bekuan
darah. Bekuan darah dapat dibersihkan dengan menggunakan pompa penghisap (suction).
Pemeriksaan rinoskopi anterior kemudian dilakukan dengan menggunakan spekulum hidung
sambil menghisap bekuan darah dengan menggunakan kanul suction yang rigid agar sumber
perdarahan dapat diidentifikasi.Selanjutnya dilakukan pemeriksaan orofaring untuk melihat
perdarahan dari posterior hidung atau apakah perdarahan masih berlangsung atau sudah
berhenti. 6
Anestesi lokal yang dikombinasi dengan vasokonstriktor dapat diberikan pada tampon
kapas atau semprot hidung di daerah little’s area selama 10-15 menit. Pada umumnya
anestesi general tidak diperlukan meskipun kadang-kadang sedasi ringan (diazepam dosis
kecil) diperlukan terutama pada pasien hipertensi atau pasien dengan anxietas. Anestesi lokal
yang adekwat biasanya cukup membantu untuk mengidentifikasi sumber perdarahan dan
melakukan tatalaksana selanjutnya. 6
Gbr 3. Instrumen yang digunakan pada penatalaksanaan epistaksis yaitu spekulum hidung Killian, pinset
bayonet, tip suction rigid, aplikator kapas, larutan silver nitrate, tampon anterior netcell, balon epistat,
kauter elektrik, Gelfoam dan xeroform. 2

Tabel 3. Jenis-jenis analgesia lokal hidung 3


Kotak. 2. Jenis-jenis preparat Analgesia Lokal Hidung

• Lidocain injeksi (0.5%, 1%, atau 2%) dengan adrenalin


(epinefrin 1/200.000)
• Larutan Topikal Cocaine (2% atau 5%)
• Larutan Topikal Lidocain (5%) dengan 0.5%
phenylephrine (Cophenylcaine)

3. Menghentikan Perdarahan
Tujuan penanganan epistaksis adalah untuk mencari lokasi serta penyebab perdarahan
aktif. Jika perdarahan berhenti dan pasien stabil, pasien dapat dipulangkan dan disarankan
untuk mengoles vaselin atau salep antibiotik pada septum anterior. 3
Penatalaksanaan konservatif epistaksis yaitu identifikasi sumber perdarahan dengan
menggunakan lampu kepala atau sumber cahaya lain. Jika sumber perdarahan sudah dapat di
identifikasi, dilakukan penghentian perdarahan secara kimiawi atau elektrokauter. Jika tidak
berhasil, dilakukan langkah selanjutnya yaitu tampon anterior dengan kapas atau kasa. Jika
masih gagal, teknik yang lebih advanced dengan menggunakan tampon posterior belloque
atau folley catheter yang dikembangkan dengan udara atau air. Cara terakhir jika semua
metode di atas masih gagal yaitu dengan ligasi arteri atau embolisasi.3,4,6

a. Penatalaksanaan Konservatif Epistaksis Anterior


1. Kauterisasi kimiawi dapat dilakukan dengan mengoleskan larutan argentum nitras
(25% - 40%) yang akan bereaksi dengan mukosa hidung untuk membakar pembuluh
darah mukosa yang terbuka. Cara melakukan kauterisasi kimia dengan mengoles
dengan tekanan yang ringan selama 5 – 10 detik. Teknik ini dapat dilakukan dengan
lampu kepala (Gbr.4). Efek kauterisasi bervariasi tergantung pada konsentrasi larutan
dan teknik pengolesan. Pembuluh darah yang merupakan “feeding vessel” dapat
dikauterisasi juga untuk menghindari kekambuhan. Pada saat mengeluarkan aplikator
kapas harus berhati-hati agar aplikator tidak menyentuh vestibulum atau bibir bagian
atas. Jika tidak sengaja tersentuh, sebaiknya segera dicuci dengan larutan saline
(Nacl 0.9%). Tindakan pengolesan sebaiknya dilakukan pada satu sisi hidung untuk
mencegah perforasi septum. Jangan mengoleskan argentum nitras lebih dari 10 detik
karena dapat menyebabkan nekrosis mukosa dan kerusakan lapisan kartilago septum.
Selain itu tidak boleh mengoleskan secara luas atau pada daerah yang sama di kedua
sisi septum karena dapat menyebabkan perforasi septum. Setelah dikauter dan
perdarahan berhenti, dapat dioleskan salep antibiotik topikal. Apabila diperlukan
kauterisasi berulang sebaiknya diberikan interval waktu antara 4 – 6 minggu dengan
kauterisasi berikutnya.8

Gbr 4. Cara melakukan kauterisasi kimia dengan aplikator kapas yang sudah dibasahi dengan
silver nitrate dan dioleskan pada sumber perdarahan di mukosa hidung

2 Kauterisasi dengan elektrik (elektrokauter)


Teknik ini dilakukan apabila perdarahan lebih hebat dan lokasinya lebih posterior.
Akan tetapi teknik ini hanya bisa dilakukan dengan menggunakan endoskopi karena
bekerja lebih ke posterior. 7,8
3. Bahan hemostatik lokal yang dapat diserap
Bahan seperti Gelfoam atau Surgicel ditempatkan pada sumber perdarahan ini
memiliki kelebihan tidak menimbulkan trauma pada saat dipasang atau pada saat
dilepaskan ketika perdarahan sudah berhenti. 6
4. Tampon Hidung Anterior
Jika dengan kauterisasi atau bahan hemostatik perdarahan masih berlanjut,atau jika
sumber perdarahan tidak dapat diidentifikasi langkah berikutnya yaitu dengan
memasang tampon anterior. Ada beberapa macam model tampon anterior yang saat
ini yang dapat diperoleh. Tampon hidung yang paling sederhana dapat dibuat sendiri
dengan kapas yang digulung padat berbentuk memanjang dengan diameter 1-1.5 cm
dan panjang 7-10 cm tergantung luas kavum nasi.Tampon dapat dioles dengan salep
antibiotik (kemisetin atau gentamisin) untuk mencegah trauma mukosa hidung atau
infeksi. Tampon kapas dapat juga dibungkus dengan handscoen yang sudah dipotong
berbentuk jari kemudian tampon kapas dimasukkan ke dalam karet handscoen yang
sudah dipotong dan dioleskan vaselin atau salep antibiotik. Tampon ini disebut juga
tampon kondom dan biasanya lebih baik untuk mencegah trauma mukosa karena
permukaan yang halus dan licin.

Gbr 5. Cara membuat tampon anterior tradisional dari kapas yang digulung padat


Gbr 6. Tampon anterior kapas gulung yang dibungkus karet handscoen yang dipotong
berbentuk jari dan diberi benang (tampon kondom)

5. Jenis- jenis tampon anterior komersial


Ada beberapa jenis tampon komersial yang saat ini bisa diperoleh. Netcell atau
Merocel yang terbuat dari polyvinyl alcohol, busa polymer padat yang dimasukkan ke
dalam kavum nasi dan dikembangkan dengan membasahi tampon dengan air agar
memenuhi kavum nasi dengan padat, sehingga tekanan pada sumber perdarahan
dapat dicapai dengan adekwat. Hal ini dapat membantu proses koagulasi dengan
memberikan waktu kepada faktor pembekuan darah untuk melokalisir sumber
perdarahan. Merocel atau netcell mudah untuk dimasukkan ke dalam kavum nasi dan
tidak diperlukan keterampilan khusus untuk menggunakannya (Gbr.7). Tampon ini
terbukti efektif pada 85% kasus. 1,8

Gbr 7.Tampon anterior netcell (kiri), balon epistat (tengah), cara pemasangan tampon netcell
(kanan) 1

Rapid Rhino adalah tampon anterior dengan carboxymethylcellulose yang terbuat dari
bahan hydrocolloid, yang bertindk sebagai platelet aggregator dan dapat bersifat lubricant
ketika kontak dengan cairan. Tidak seperti merocel, rapid rhino memiliki balon atau cuff yang
dapat dikembangkan dengan udara dan hydrocolloid atau Gel-knit dapat membantu kerja
bekuan darah pada saat tampon dicabut.4

Gbr 8. Tampon Rapid Rhino yang memiliki balon yang dapat dikembangkan4

1. Jika tampon anterior masih gagal, tampon dapat dilakukan dengan kasa yang
berbentuk pita (tampon roll) yang sudah dioleskan salep antibiotik yang dimasukkan
sampai padat ke dalam kavum nasi. Tampon ini dimasukkan pelan-pelan ke dalam
kavum nasi dengan menggunakan spekulum hidung dan pinset bayonet. Setelah
dilakukan pemasangan tampon, dilakukan pemeriksaan ulang pada kavum nasi sisi
kontralateral dan orofaring dengan mnggunakan spatel lidah untuk melihat perdarahan
apakah sudah berhenti. Jika masih terlihat darah mengalir, sebaiknya memasang
tampon sisi kontralateral terlebih dahulu sebelum memutuskan untuk mengeluarkan
kembali tampon yang sudah dipasang. Dengan memasang tampon di sisi kontralateral
diharapkan dapat menambah tekanan pada septum dan menghentikan perdarahan.
Karena pemasangan tampon hidung memiliki risiko dan komplikasi, sebaiknya pasien
rawat inap di rumah sakit. Apabila pemasangan tampon membutuhkan waktu lebih
dari 24 jam, sebaiknya penderita diberikan antibiotik untuk mencegah sindrom syok
toksik. Tampon sebaiknya dikeluarkan paling lambat 3 hari. 6,9,10

Gbr 9. Cara pemasangan tampon yang berbentuk pita (tampon roll) . 11

Prosedur Pemasangan Tampon Anterior 2


1. Spekulum hidung dipegang dengan cara ibu jari pada titik tumpu spekulum, jari
telunjuk diletakkan pada dorsum hidung dan jari lainnya yang digunakan untuk
memegang pada tangkai spekulum.
2. Spekulum dimasukkan ke nostril hidung kanan / kiri, posisi spekulum harus selalu
terbuka pada saat dimasukkan dan diarahkan ke superior. Cahaya dari lampu kepala
harus selalu diarahkan ke dalam rongga hidung pada saat memasukkan spekulum
sehingga inspeksi dapat terlihat jelas sambil ujung jari telunjuk menekan puncak
hidung.
3. Darah yang mengalir dihisap dengan alat penghisap (suction) sebaiknya yang memiliki
ujung (tip suction) rigid. Pada tahap awal dapat diberikan analgesi topikal dengan
tampon kapas yang diberikan diberi larutan lidocaine (dengan atau tanpa 1-2 tetes
larutan epinefrin 1:1000). Pada penderita hipertensi hanya diberikan larutan lidokain
saja tanpa adrenalin. Setelah 5-10 menit kemudian tampon diangkat dan rongga
hidung dievaluasi kembali.
4. Kemudian pasanglah tampon hidung anterior tradisional yang terbuat dari
kapas/tampon kondom/tampon roll yang telah dilapisi vaselin atau salep antibakteri ke
dalam rongga hidung
5. Untuk tampon roll,tampon dipasang dengan cara berlapis-lapis (layering) dari dasar
hidung ke koana di belakang sampai setinggi konka media di atas (Gbr.9).
6. Jika tampon komersial seperti netcell, merocell atau rapid rhino dapat diperoleh, akan
lebih baik lagi menggunakan tampon ini karena lebih mudah pemasangannya dan
tidak memerlukan keahlian khusus dan kemungkinan trauma mukosa pada saat
tampon dicabut lebih kecil.

Hal-Hal yang harus diperhatikan pada saat pemasangan tampon anterior : 6


1. Tampon harus dipasang dengan hati-hati jangan sampai menimbulkan cedera atau trauma
pada mukosa hidung, septum nasi atau kolumela..
2. Pada pemasangan tampon roll ataupun jenis tampon anterior lainnya, ujung tampon tidak
bole keluar ke orofaring atau terlihat di orofaring karena memiliki risiko tampon akan menutup
saluran nafas atas atau laring.
3. Tampon dipasang secukupnya, tidak boleh terlalu padat karena dapat menyebabkan
komplikasi.

Tampon Hidung Posterior


Tampon anterior seringkali tidak dapat menghentikan perdarahan yang berasal dari posterior
hidung. Perdarahan seperti ini akan sulit untuk diatasi dan membutuhkan tampon posterior.
Ada beberapa jenis tampon posterior, seperti tampon kateter folley dan tampon posterior kasa
konventional (belloque). 6,12

Kateter Folley
Tampon ini menggunakan prinsip penekanan langsung dari balon atau terkumpulnya bekuan
darah (clott) di kavum nasi yang akan berfungsi yang berfungsi sebagai tampon juga. Tampon
yang digunakan adalah kateter folley yang biasa digunakan untuk nelaton kateter urin.
Tampon ini dimasukkan ke dalam kavum nasi kemudian didorong sampai turun ke orofaring.
Setelah ujung balon kateter terlihat di orofaring, balon dikembangkan dengan 3-4 ml air atau
udara, kemudian ditarik kembali kearah anterior (hidung) sampai menekan regio posterior
hidung dan nasofaring (Gbr.10). Pasien harus dirawat di rumah sakit dan harus dilakukan
pengawasan terutama pada pasien anak-anak dan geriatrik. 1,6



Gbr 10. Tampon Posterior Kateter Folley dan Cara pemasangannya 13

Tampon belloque


Gbr 11.Tampon posterior tradisional yang terbuat dari kasa padat (belloque). 2

Tampon Belloque
Tampon belloque dilakukan untuk perdarahan yang tidak berhasil dihentikan dengan tampon
anterior. Tampon Belloque berbentuk kubus dengan diameter 3 cm yang terbuat dari kain kasa
yang dilipat padat. Pada tampon terikat 3 utas benang, dua utas di satu sisi, dan satu buah di
sisi berlawanan (Gbr.11).6

Prosedur Pemasangan Tampon Posterior


1. Rongga hidung dan orofaring diberikan larutan analgesia local dengan atau tanpa
larutan adrenalin dengan tampon kapas atau dengan spray (semprotan).
2. Masukkan Nelaton kateter melalui lubang hidung sampai terlihat di orofaring dengan
cara pasien membuka mulut dengan bantuan spatula lidah, lalu ditarik keluar dari
mulut.
3. Pada ujung kateter ini dikaitkan 2 benang tampon belloque tadi, kemudian kateter
ditarik kembali melalui hidung sampai benang keluar dan dapat ditarik. Tampon perlu
didorong dengan bantuan jari telunjuk untuk dapat melewati palatum mole sampai ke
nasofaring.
4. Jika menggunakan tampon Kateter Folley, selang Folley dimasukkan dari hidung
ipsilateral dengan sisi perdarahan sampai ujungnya terlihat di orofaring, kemudian
balon dikembangkan 5 cc dengan air atau udara, setelah balon mengembang, kateter
ditarik kembali dari hidung sampai balon mencapai nasofaring. Kemudian ujung
kateter Folley yang dipipi difiksasi dengan plester.
5. Setelah tampon posterior terpasang dengan baik, dipasang tampon anterior yang
berfungsi juga untuk fiksasi tampon posterior.
6. Kedua benang yang sudah keluar di hidung diikat pada sebuah gulungan kain kasa di
depan nares anterior supaya tampon yang terletak di nasofaring tetap di tempatnya.
Seutas benang yang keluar dari mulut diikat secara longgar pada pipi pasien (setelah
2-3 hari, tampon ditarik keluar melalui benang ini.
7. Pasien dengan tampon posterior harus dirawat inap dan diberikan antibiotik karena
memerlukan pengawasan ketat terhadap airway dan reflex vagal yang mungkin terjadi.

Setelah pemasangan tampon anterior dan posterior di rongga hidung 6


1. Pada pemasangan tampon bilateral pasien harus dimonitoring ketat terutama
oksigenasi, penderita diberikan oksigen yang telah dihumidifikasi, pemberian
antibiotik spektrum luas dan analgesik jika diperlukan.
2. Jika setelah pemasangan tampon anterior perdarahan tidak berhenti, pemasangan
tampon anterior harus dilanjutkan dengan tampon posterior
3. Pasang kasa + plester di anterior untuk menahan tampon supaya tidak keluar.
4. Tampon hidung anterior dipertahankan selama 2x24 jam, bila setelah dilepas
epistaksis masih berlanjut,lakukan pemasangan ulang tampon anterior atau
posterior jika diperlukan.
5. Pada kasus epistaksis massif pasang infus dan transfuse jika ada indikasi

b. Terapi bedah 14-18


Perdarahan yang masih tetap gagal dengan pemasangan tampon hidung atau yang menetap
setelah tampon dicabut membutuhkan intervensi bedah. Sebelum dilakukan intervensi bedah,
kondisi hemodinamik penderita harus distabilkan terlebih dahulu. Pada sebagian besar kasus
tindakan bedah harus dengan anestesi umum, meskipun pada kasus geriatrik dengan berbagai
penyulit dapat dilakukan dengan analgesia lokal. Beberapa jenis intervensi bedah seperti
diatermi, operasi septum dan ligasi arteri.

Diatermi
Mencari sumber perdarahan dengan anestesi umum lebih mudah dilakukan. Penggunaan
kauter bipolar lebih dianjurkan daripada monopolar , karena penggunaan kauter bipolar dapat
merusak n.opticus dan okulomotorius apabila sumber perdarahan berdekatan dengan orbita. 6

Koreksi Septum
Koreksi septum kadang diperlukan untuk mempermudah akses instrument ke dalam kavum
nasi. Operasi septum dilakukan untuk mengkoreksi septum deviasi atau membuang spina
yang pada beberapa kasus dapat menyebabkan epistaksis.14-18

Ligasi arteri sfenopalatina


Teknik ini biasanya adalah teknik pertama yang dilakukan apabila epistaksis tidak dapat
dihentikan dengan tampon. Teknik ini dilakukan dengan visualisasi langsung menggunakan
endoskopi dan pembuluh darah di jepit (clipping) atau dikauter dengan kauter bipolar. Angka
keberhasilan teknik ini cukup tinggi karena arteri ini merupakan arteri ujung dengan sedikit
kolateral. 14,15
Ligasi arteri ethmoid anterior dan arteri ethmoid posterior
Teknik ini kadang-kadang dibutuhkan untuk menghentikan perdarahan di ethmoid dan dahulu
dilakukan dengan pendekatan eksterna melalui region subperiosteal dan dinding medial orbita.
Teknik endoskopi telah mulai dikembangkan begitu juga pendekatan eksterna yang
dikombinasi dengan endoskopi. 14,15

Ligasi arteri maksila


Sejak teknik endoskopi diperkenalkan, meskipun efektif untuk 87% kasus. Teknik ini
merupakan kombinasi teknik Caldwell-Luc melalui dinding posterior sinus maksila ke fossa
pterigopalatina. Arteri maksila dapat dijepit dengan clip atau diatermi. Komplikasi teknik ini
dapat berupa kerusakan rahang dan gigi dan perdarahan intraoperative. 16-18

Ligasi arteri karotis eksterna


Ligasi arteri karotis pada kasus sulit epistaksis pernah dilaporkan oleh Pilz tahun 1869. Teknik
ini merupakan teknik yang tidak spesifik untuk mengurangi aliran darah ke hidung dan
dilaporkan memiliki angka kegagalan sebesar 45%. Hal ini disebabkan suplai darah ke hidung
banyak juga berasal dari arteri karotis kontralateral. Pada umumnya, teknik ini dapat
dipertimbangkan sebagai pilihan terakhir, pada kasus perdarahan massif yang tidak terkontrol
dengan teknik-teknik lain. 16-18

Pilihan Tatalaksana Lain-Lain 3

Embolisasi dengan Angiografi


Teknik ini diperkenalkan oleh Sokoloff untuk kasus epistaksis pada tahun 1972. Metode ini
rutin dilakukan pada beberapa sentra di luar negeri untuk kasus epistaksis yang sulit diatasi
dan jika terdapat kontraindikasi operasi. Teknik ini menggunakan kanulasi arteri karotis
eksterna dan mencari lokasi titik perdarahan dengan kontras yang larut dalam air. Gelfoam
dan polyvinyl alcohol dapat digunakan untuk embolisasi arteri. Angka keberhasilan sebesar
87% yang sama dengan angka keberhasilan teknik bedah ligasi arteri. Teknik ini juga
memiliki keterbatasan seperti kurangnya spesialis radiologi dan perlengkapan dan kesulitan
dalam melakukan embolisasi arteri ethmoid yang memiliki risiko kebutaan, aneurisma akibat
kesalahan memasukkan zat emboli, cedera cerebrovascular. Komplikasi dilaporkan 17%-27%.3

Fibrin glue
Fibrin Glue terbuat dari human plasma cryprecipitate dan akan berikatan dengan pembuluh
darah yang cedera. Teknik ini dilakukan dengan cara menyemprotkan lapisan tipis fibrin glue di
atas sisi yang mengalami perdarahan dapat diulangi jika diperlukan. Dilaporkan komplikasi
seperti pembengkakan lokal, atrofi mukosa, sekret berlebihan lebih sedikit dibandingkan
elektrokauter, perak nitrate, dan tampon hidung. Komplikasi perdarahan berulang setara
dengan elektrokauter yaitu sebesar 15%. 3,6

Elektrokauter dengan endoskopi


Penemuan lensa endoskopi Hopkins pada tahun 1960 merupakan perubahan terbesar dalam
operasi hidung dan sinus. Teknologi ini juga telah digunakan untuk mengatasi epistaksis.
Pemeriksaan rongga hidung menggunakan endoskopi rigid (sudut 00 dan 300). Bekuan darah
disedot dengan menggunakan suction (pipa penghisap) agar sumber perdarahan dapat jelas
dilihat. Regio yang di lihat pertama kali sebaiknya daerah septum. Jika sumber perdarahan
sudah dapat diidentifikasi, titik perdarahan dikauter untuk menghentikan perdarahan. Kauter
bipolar lebih dianjurkan sambil menghisap darah yang mengalir agar kauter lebih efektif.
Pasien sebaiknya diobservasi selama 2 jam dan jika tidak terdapat perdarahan kembali pasien
dapat dipulangkan. Studi terbaru menunjukkan teknik ini berhasil pengatasi perdarahan pada
sebanyak 89% kasus epistaksis dan 74% kasus tidak memerlukan rawat inap. Teknik ini
memiliki kelebihan pasien tidak perlu dirawat, tidak memerlukan pemasangan tampon
sehingga penderita tidak perlu dirawat sehingga lebih hemat biaya. 3,12

Irigasi air hangat


Penggunaan irigasi air hangat merupakan teknik alternative untuk epistaksis posterior. Teknik
bervariasi, tapi pada umumnya menggunakan kateter balon untuk menekan koana dan
nasofaring kemudian air hangat dengan suhu 450C-500 C pelan-pelan dimasukkan ke dalam
rongga hidung. Jika air hangat masuk ke orofaring pasien diminta untuk meludah dan jangan
ditelan. Air hangat berguna untuk membersihkan bekuan darah dan memicu edema mukosa
hidung sehingga aliran darah ke hidung dapat berkurang. 3

Laser
Laser dimanfaatkan untuk mengatasi epistaksis terutama pada kasus-kasus hereditary
haemorrhagc telangiectasia (Osler-Weber-Rendu disease). Neodymium yttrium-alumunium-
garnet (Nd:YAG) laser sering digunakan (dengan endoskopi), meskipun aplikasi laser jenis lain
seperti argon atau karbon dioksida juga sering digunakan. 3

Penanganan Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan laboratorium
Pada kasus-kasus dengan kecurigaan kelainan hemostasis, perdarahan massif atau
perdarahan berulang dapat dilakukan pemeriksaan darah lengkap termasuk jumlah trombosit,
prothrombine time, activated partial thromboplastin time dan panel kimiawi (termasuk test
fungsi hati). Pemeriksaan ini dilaksanakan sebelum pemberian terapi antikoagulan pada
penderita koagulopati. Bila hasil pemeriksaan tidak normal disarankan untuk konsultasi/rawat
bersama dengan ahli hematologi.6

Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologi tidak rutin dilakukan kecuali jika terdapat kecurigaan rinosinusitis
atau tumor di hidung, sinus paranasal atau nasofaring. Salah satu contoh pada kasus
angiofibroma nasofaring juvenile dengan epistaksis berulang. Pemeriksaan radiologi yang
dilakukan adalah Ct Scan dengan atau tanpa kontras, MRI atau angiografi karotis.6,7,19

Terapi medikamentosa
Beberapa anti-fibrinolitik yang sering digunakan untuk mengatasi perdarahan seperti
aminocrapoic acid, etamsylate (Dycinone), atau asam tranexamat. Obat-obat ini bekerja
dengan menghambat fibrinolitik dan memblock pembentukan plasmin.. Farmakoterapi ini
hanya berperan sebagai supprotif pada penatalaksanaan epistaksis. 6

Komplikasi Tindakan Pada Penatalaksanaan epistaksis 6,13,20


Beberapa komplikasi yang dapat terjadi selama dan pasca tindakan adalah:
a. Kauterisasi : sinekia, perforasi septum
b. Tampon anterior: sinekia, rinosinusitis, syndrome syok toksik, disfungsi tuba eustacius
c. Tampon posterior: sinekia, rinosinusitis, sindrom syok toksik, disfungsi tuba eustacius,
disfagia, luka pada ala nasi dan kolumela, hipoventilasi, tuli mendadak.
d. Ligasi arteri maksilaris interna melalui transantral: resiko anestesi umum, rinosinusitis,
fistel oroantral, rasa kebas region infra orbita, cedera gigi
e. Ligasi arteri masilaris Interna melalui transoral: resiko anestesi umum, rasa kebas
pada pipi, trismus, parestesi lidah.
f. Ligasi arteri ethmoidalis anterior/posterior: resiko anestesi umum, rinosinusitis, trauma
duktus lakrimalis, telechantus
g. Embolisasi: nyeri fasialis, trismus, paresis fasialis, nekrosis kulit, stroke, hematoma

Edukasi Pada penderita 6


a. Menggunakan nasal saline (cuci hidung)
b. Menghindari buang ingus atau bersin terlalu keras
c. Jika bersin lakukan dengan mulut terbuka
d. Tidak boleh melakukan manipulasi atau mengorek hidung
e. Hindari makan yang panas, berbumbu atau pedas dan minuman panas
f. Hindari penggunaan aspirin atau NSAID lainnya
g. Hindari penggunaan semprot hidung kortikosteroid sementara waktu
h. Jika terjadi epistaksis berulang yang ringan (pencet ala nasi 5-10 menit), gunakan
kompres es.

Prognosis
Prognosis pada umumnya baik dengan tatalaksana yang adekuat keadaan umum dan
penyakit yang mendasarinya. Beberapa kasus mungkin akan terjadi perdarahan berulang yang
akan berhenti sendiri atau hanya memerlukan pengobatan yang minimal. Pasien dengan
Osler-Weber Rendu cenderung untuk mengalami rekurensi. Faktor predisposisi terjadinya
kekambihan antara lain usia, riwayat hipertensi, penggunaan antikoagulan, riwayat epistaksis
posterior sebelumnya. Dengan penatalaksanaan yang adekuat dan mengatasi penyebabnya,
pada umumnya tidak terjadi kekambuhan. 6

Follow Up
Semua penderita dengan riwayat epistaksis massif membutuhkan pemeriksaan hidung
yang menyeluruh agar dapat mengidentifikasi kemungkinan tumor ganas. Pemeriksaan ini
dapat dilakukan sebelum pasien rawat inap dipulangkan atau beberapa hari kemudian. Pasien
harus diberikan edukasi bagaimana penanganan pertama jika terjadi epistaksis dan mencegah
kekambuhan termasuk menghindari aktivitas yang dapat memicu perdarahan berulang
(menghembuskan nafas dengan keras, mengangkat benda-benda berat, atau aktivitas berat
lainnya). Selain itu juga penderita diedukasi untuk menghentikan kebiasaan mengkonsumsi
alkohol atau minuman panas yang dapat menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah hidung.
Untuk mengurangi perdarahan berulang, salep atau krim antiseptik seperti salep kemicetin,
gentamisin atau mupirocyn dapat dioleskan ke mukosa hidung terutama regio anterior (pleksus
kiesselbach). 3,22
Penderita dengan tekanan darah tinggi harus dilakukan pemeriksaan menyeluruh sebelum
dipulangkan. Pengobatan sebelumnya termasuk antikoagulan sebaiknya dievaluasi kembali
dan penderita sebaiknya dikonsulkan ke ahli hematologi. 3

Kesimpulan
Lebih dari 21 tahun terakhir, penanganan epistaksis telah perkembangan yang cukup pesat.
Strategi pengobatan konvensional seperti pemasangan tampon telah didukung dengan
perkembangan teknologi endoskopi dan elektrokauter. Penatalaksanaan sebaiknya sesuai
dengan protokol sistematis yang sudah dijelaskan di dalam buku ini, dimulai dengan teknik
yang sederhana yang bisa dilakukan di klinik terlebih dahulu dan dilanjutkan dengan teknik
endoskopi untuk kasus perdarahan yang sulit dihentikan. 3,23,24
ALGORITMA DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN EPISTAKSIS
Riwayat Penyakit yang
diderita
Pemeriksan Umum
Rinoskopi Anterior

Rinoskopi

Resusitasi Jika
Diperlukan
Identifikasi Lokasi
Perdarahan:
- Anterior
- Posterior
- Sumber tidak jelas

Hentikan Perdarahan
- Kauterisasi
Evaluasi & tatalaksana
- Tampon Hidung Berhasil etiologi untuk mencegah
(Anterior & rekurensi
Posterior)

Perdarahan
Gagal berhenti

Tampon Hidung Ulang


- Epistat
Berhasil Cabut tampon 48-72jam
- Tampon Kateter
foley

Perdarahan Berulang Perdarahan Masih Berlanjut


- Intervensi Bedah
- Ligasi arteri Maksilaris dan cabangnya
- Ligasi Arteri Etmoid Anterior Berhasil
- Angiografi
- Embolisasi arteri Maksila & cabang2nya
-

Perbaiki Gangguan Hemostasis


FFP - Vit K
Cryoprecipitate - Platelet
DAFTAR PUSTAKA

1. Viehweg TL, Roberson JB, Hudson JW. Epistaxis: Diagnosis and Treatment. J Oral Maxiilofac Surg
2006; 64 : 511-518
2. Kucik CJ, Clenny T. Management of Epistaxis. American Family physician. Available from:
http://www.aafp.org/afp. Accessed Juni, 2016
3. Pope LER, Hobbs CGL. Epistaxis: an update on current management. Postgrad Med J 2005; 81: 309-
314.
4. Epistaxis is uncommon problem in ICU. Available
from:http://seattleclouds.com/myapplications/dukeg/ican/Epistaxis.html. Cited June,2016
5. Swift AC. Epistaxis. The otorhinolaryngologist 2012; 5(3): 129-132
6. Bertrand B, Eloy Ph, Rombaux Ph, Lamarque C, Watelet JB, Collet S. Guidelines to the management of
epistaxis. B-ENT 2005; 1: 27-43
7. Cho JH, Kim YH. Epistaxis. Available from: http://www.intechopen.com. Accesed Juni, 2016.
8. Schlosser RJ. Epistaxis. N Engl J Med 2009; 360:784-9
9. Kundi NA, Raza M. Duration of nasal packs in the management of epistaxis. Journal of the College of
Physicians and Surgeons Pakistan 2015; 25 (3):202-205
10. Gupta AK, Jain S, Singh AP, Jindal A, Singh K. Epistaxis: Management Protocol As Per etiology.
Clinical Rhinology: An International Journal 2009; 2(3):43-46
11. Nasal Packing for Epistaxis . Available from: http://www.keyword-suggestions.com. Accessed June,2016
12. Daudia A, Jaiswal V, Jones NS. Guidelines for the management of idiopathic epistaxis in adult: how we
do it. Clinical Otolaryngology 2008; 33:607-628.(kekerapan 60%)
13. Hubbard J. When Your Nose Won’t stop Bleeding: Causes and Cures. Available from:
www.thesurvivaldoctor.com. Accesed June,2016
14. Swift AC, Bleier BS, Bhalla RK, Schlosser RJ. Epistaxis: Etiology, Investigations, and Management. In:
georgalas C, Fokkens W, editors. Rhinologyand Skull Base Surgery. From the lab to the Operating
Room: An Evidence-based Approach.New York: Thieme Med Pub; 2013. p.507-524
15. Vaughan W, Khanna M, Fong K. Epistaxis. In Kennedy DW, Hwang PH, editors. Disease of the Nose,
sinuses, and Skull Base.New York: Thieme Med Pub; 2012. p.491-502
16. Neto PS, Nunes LMA, Gregorio LC, Santos RDP, Kosugi EM. Surgical treatment of severe epistaxis: an
eleven-year Experience. Braz J Otorhinolaryngol 2013; 79 (1): 59-64
17. Rabelo FAW, Prado VBD, Valera FCP, Demarco RC, Tamashiro E, lima WTA. Surgical treatment of
nasal packing refractory epistaxis
18. Mahalingappa Y, Shakeel M, Vallamkondu V, Karagama Y. Early Surgical Intervention versus
Conventional Treatment in posterior epistaxis: A systematic review. J otolaryngol ENT Res 2015, 3
95):1-7
19. Krajina A, Chrobok V. Radiological Diagnosis and Management of epistaxis. Cardiovasc Intervent Radiol
2014 ; 37:26-36
20. Varshney S, Saxena RK. Epistaxis: A retrospective Clinical Study. Indian journal of Otolaryngology and
Head and Neck Surgery 2015; 57 (2): 125-129
21. Adekwu A, Ibiam FA, Eke BA, Elachi IC, Ajogwu GA, Eifu ME, Otene TA. Etiological profile and
management of epistaxis in Makurdi, North-Central Nigeria: A six year retrospective study.
Otolaryngology Online Journal 2016; 6(1): 1-9
22. Tanner R, Harney MS. The Initial Management of epistaxis. . Available from: http://www.lenus.ie/hse.
Accessed Juni, 2016
23. Manickam A, Ghosh D, Saha J, Basu SK. An Aetiopathological Study on Epistaxis in Adults and its
Management. Bengal Journal of Otolaryngology and Head Neck Surgery 2015; 23:12-17
24. Page Cyril, Biet A, Liabeuf S, Strunski V, Fournier A. Serious spontaneous epistaxis and hypertension in
hospitalized patients. Eur Arch Otorhinololaryngol 2011; 011:1-5

Anda mungkin juga menyukai