TINJAUAN PUSTAKA
2. 1 . Anatomi Vertebrae
Columna vertebralis merupakan poros tulang rangka tubuh yang
memungkinkan untuk bergerak. Terdapat 33 columna vertebralis, meliputi 7
columna vertebra cervical, 12 columna vertebra thoracal, 5 columna vertebra
lumbal, 5 columna vertebrasacral dan 4 columna vertebra coccygeal.
Vertebra sacral dan cocygeal menyatu menjadi sacrum-coccyx pada umur 20
sampai 25 tahun. Columna vertebrales juga membentuk saluran untuk spinal
cord. Spinal cord merupakan struktur yang sangat sensitif dan penting karena
menghubungkan otak dan sistem saraf perifer.
Canalis spinalis dibentuk di bagian anterior oleh discus intervertebralis
atau corpus vertebra, di lateral oleh pediculus, di posterolateral oleh facet joint
dan di posterior oleh lamina atau ligament kuning. Canalis spinalis
mempunyai dua bagian yang terbuka di lateral di tiap segmen, yaitu foramina
intervertebralis.
Recessus lateralis adalah bagian lateral dari canalis spinalis. Dimulai di
pinggir processus articularis superior dari vertebra inferior, yang merupakan
bagian dari facet joint. Di bagian recessus inilah yang merupakan bagian
tersempit. Setelah melengkung secara lateral mengelilingi pediculus, lalu
berakhir di caudal di bagian terbuka yang lebih lebar dari canalis spinalis di
lateral, yaitu foramen intervertebralis. Dinding anterior dari recessus lateralis
dibatasi oleh discus intervertebralis di bagian superior, dan corpus verterbralis
di bagian inferior.
Facet Joint adalah persendian kecil yang menghubungkan tulang vertebra
dengan yang lainnya. Sendi faset merupakan sendi diartrosis yang
membolehkan tulang belakang bergerak. Oleh karena kelenturan dari kapsul
sendi, tulang belakang mampu bergerak dalam batas wajar dengan arah yang
berbeda-beda.
Dinding lateral dibentuk oleh pediculus vertebralis. Dinding dorsal
dibatasi oleh processus articularis superior dari vertebra bagian bawah, sampai
3
4
ke bagian kecil dari lamina dan juga oleh ligamen kuning (lamina). Di bagian
sempit recessus lateralis, dinding dorsalnya hanya dibentuk oleh hanya
processus lateralis, dan perubahan degeneratif di daerah inilah mengakibatkan
kebanyakan penekanan akar saraf pada stenosis spinalis lumbalis.
Akar saraf yang berhubungan dengan tiap segmen dipisahkan dari kantong
dura setinggi ruang intervertebra lalu melintasi recessus lateralis dan keluar
dari canalis spinalis satu tingkat dibawahnya melalui foramina intervertebralis.
Di tiap-tiap titik ini dapat terjadi penekanan.
2. 2 . Spondilolistesis
A. Definisi
Spondylolisthesis terdiri dari kata spondylos (vertebra) dan olisthanein
(bergeser), sehingga memiliki arti adanya pergerakan korpus vertebra lumbal
ke depan dalam hubungannya dengan sacrum atau kadang-kadang dengan
vertebra di bawahnya3.
B. Epidemiologi
Spondilolistesis mengenai 5-6% populasi pria, dan 2-3% wanita. Karena
gejala yang diakibatkan olehnya bervariasi, kelainan tersebut sering ditandai
dengan nyeri pada bagian belakang (low back pain), nyeri pada paha dan
tungkai. Sering penderita mengalami perasaan tidak nyaman dalam bentuk
spasme otot, kelemahan, dan ketegangan otot betis (hamstring muscle)4.
Meskipun demikian, banyak penelitian menyebutkan bahwa terdapat
predisposisi kongenital dalam terjadinya spondilolisthesis dengan prevalensi
sekitar 69% pada anggota keluarga yang terkena. Lebih lanjut, kelainan ini
juga berhubungan dengan meningkatnya insidensi spina bifida sacralis4.
C. Etiologi dan Klasifikasi
Penyebab dari spondylolisthesis adalah malformasi persimpangan
lumbosakral yang kecil, sendi facet tidak kompeten, bisa kongenital
(spondylolisthesis displastik) atau akibat cedera tulang belakang setelah
olahraga berat (spondylolisthesis isthmic). Olah raga berat contohnya
gymnastics, sepak bola, gulat, angkat berat, menyelam, tenis, voli, dan lain-
lain.
Ada 5 jenis utama spondylolisthesis dari klasifikasi Wiltse:
1. Tipe I disebut dengan spondylolistesis displastik dan terjadi sekunder
akibat kelainan kongenital pada permukaan sacral superior dan
permukaan L5 inferior atau keduanya dengan pergeseran vertebra L5.
2. Tipe II, isthmic atau spondilolitik, dimana lesi terletak pada bagian
isthmus atau pars interartikularis, mempunyai angka kepentingan klinis
yang bermakna pada individu dibawah 50 tahun. Jika defeknya pada pars
interartikularis tanpa adanya pergeseran tulang, keadaan ini disebut
dengan spondilolisis. Jika satu vertebra mengalami pergeseran kedepan
dari vertebra yang lain, kelainan ini disebut dengan spondylolistesis. Tipe
II dapat dibagi kedalam tiga subkategori:
6
D. Patofisiologi Spondilolistesis
7
1. Gejala
a. Asimptomatik
Onset biasanya saat pertumbuhan pada akhir masa kanak-kanak dan awal
masa dewasa, mungkin karena meningkatnya aktivitas olahraga pada
umur-umur tersebut. Spondylolisthesis tidak menyebabkan nyeri punggung
pada dewasa (terutama di atas 40 tahun) dengan tidak ada riwayat gejala
sebelum umur 30 tahun; biasanya dikarenakan disc, strain, dan lain-lain.
b. Simptomatik
Low back pain adalah gejala tersering, biasanya diperberat dengan gerakan
(ekstensi lumbal dan twisting). Pasien akan merasa nyeri berkurang jika
beristirahat lama. Gejala akan terasa lebih berat pada trimester ketiga pada
ibu hamil.Keluhan lain yang mungkin yaitu nyeri, mati rasa, kesemutan,
atau kelemahan pada kaki, bisa juga terjadi hilangnya kontrol dari buang
air besar dan buang air kecil; keluhan tersebut tergantung kompresi saraf
mana yang terlibat. Pasien juga bisa mengeluh kaku pada betis. Pasien
11
F. Pemeriksaan Penunjang
Kebanyakan kasus tidak dapat terlihat secara langsung tanda secara kasat
mata adanya kelainan spondylolisthesis pada pasien. Pasien biasanya
mengeluh nyeri pada punggung dengan nyeri intermitten pada kedua kaki.
Spondylolisthesis sering menyebabkan kaku otot atau kekencangan pada
hamstrings muscle. Oleh karena itu dibutuhkan pemeriksaan penunjang.
Spondylolisthesis dapat dengan mudah diidentifikasi dengan plain
radiographs. Lateral x-ray akan menunjukkan salah satu vertebra yang
bergeser ke depan dibandingkan vertebra-vertebra yang berdekatan.
Spondylolistthesis dibagi derajat keparahannya berdasarkan presentase
pergeseran vertebra dibandingkan vertebra-vertebra yang di dekatnya6.
Jika pasien mengeluhkan nyeri, mati rasa, perasaan tertusuk atau kelemahan
pada kedua kaki, perlu dicurigai adanya kelainan yang lain. Gejala tersebut
bisa disebabkan karena stenosis atau menyempitnya celah untuk radix nervus
yang mempersarafi kedua kaki. CT scan atau MRI dapat membantu menilai
12
G. Diagnosa Banding
1. Nyeri pada malam hari atau disertai demam atau disertai gejala umum
yang lain: tumor atau infeksi
2. Nyeri akut: herniasi discus, slipped apophysis, spondylolysis, fraktur
vertebra, atau muscle strain
3. Nyeri kronik: kifosis Scheuermann,inflammatory spondyloarthropathies,
atau gangguan psikis
4. Nyeri disertai fleksi spinal ke depan: herniasi discus atau slipped
apophysis
5. Nyeri disertai ekstensi spinal: spondylolysis, spondylolisthesis, atau lesi
pada pedicle ataupun lamina (arcus posterior)
6. Nyeri disertai recent-onset skoliosis: tumor, infeksi, herniasi discus,syrinx,
atau skoliosis idiopatik
7. Nyeri yang lain: pielonefritis atau krisis sickle cell7.
H. Penatalaksanaan
1. Non-operatif
Pengobatan untuk spondilolistesis umumnya konservatif. Pengobatan non-
operatif diindikasikan untuk semua pasien tanpa defisit neurologis atau defisit
neurologis yang stabil. Hal ini dapat merupakan pengurangan berat badan,
stretching exercise, pemakaian brace, pemakaian obat anti inflamasi. Hal
terpenting dalam manajemen pengobatan spondilolistesis adalah motivasi
pasien.
2. Operatif
Pasien dengan defisit neurologis atau nyeri yang mengganggu aktifitas, yang
gagal dengan non operatif manajemen diindikasikan untuk operasi. Bila
radiologis tidak stabil atau terjadi progresivitas slip dengan serial x-ray
14
disarankan untuk operasi stabilisasi. Jika progresivitas slip menjadi lebih 50%
atau jika slip 50% pada waktu diagnosis, ini indikasi untuk fusi. Pada high
grade spondilolistesis walaupun tanpa gejala, fusi tetap harus dilakukan.
Dekompresi tanpa fusi adalah logis pada pasien dengan simptom oleh karena
neural kompresi. Bila manajemen operatif dilakukan pada dewasa muda maka
fusi harus dilakukan karena akan terjadi peningkatan slip yang bermakna bila
dilakukan operasi tanpa fusi. Jadi indikasi fusi antara lain: usia muda,
progresivitas slip lebih besar 25%, pekerja yang sangat aktif, pergeseran 3mm
pada fleksi/ekstensi lateral x-ray. Fusi tidak dilakukan bila multi level
disease, motivasi rendah, aktivitas rendah, osteoporosis, habitual tobacco
abuse. Pada habitual tobacco abuse angka kesuksesan fusi menurun. Brown
dkk mencatat pseudoarthrosis (surgical non union) rate 40% pada perokok
dan 8% pada tidak perokok. Fusi insitu dapat dilakukan dengan beberapa
pendekatan:
a. Anterior approach
b. Posterior approach (yang paling sering dilakukan)
c. Posterior lateral approach6.
3. Rehabilitasi Medik
Penelitian mengenai tatalaksana konservatif untuk spondylolisthesis
menunjukkan tatalaksana konservatif biasanya dapat mengendalikan gejala
dan mengembalikan fungsi. Hanya sebagian kecil pasien yang memerlukan
intervensi bedah untuk mengatasi nyeri atau spondylolisthesis yang progresif.
Berdasarkan dari penelitian saat ini, tatalaksana konservatif tersebut
membutuhkan adanya pembatasan kegiatan (penghentian sementara dari
kegiatan atau aktivitas fisik yang berat) dan mungkin memerlukan bracing
untuk mencapai tujuan pengobatan, meskipun proses penyembuhan,
menghilangkan rasa nyeri, atau kedua duanya bisa terjadi tanoa adanya
pemakaian brace8.
Spondhylolisthesis muncul di populasi umum dan bukan merupakan masalah
yang berarti. Disfungsi pada pelvis dapat berperan penting dalam
memperparah kondisi penderita. Dibandingkan dengan intervensi bedah,
terapi konservatif terbukti lebih menguntungkan dengan risiko yang lebih
ringan. Spondylolisthesis merupakan sebuah kondisi yang lebih stabil dari
15
pada yang biasanya diduga, tetapi nyeri yang diderita dapat menjadi berat dan
lebih berhubungan dengan peningkatan sensitivitas di tempat defek daripada
merupakan efek sekunder dari spondylolisthesis8.
Apabila penderita tidak mengalami spondylolisthesis berat dan tidak stabil,
serta mengalami manifestasi gangguan neurologis, seperti kesulitan dalam
fungsi buang air kecil dan buang air besar, adanya atrofi otot, sebelum
memulai terapi perlu adanya konsultasi dengan dokter syaraf atau bedah
syaraf. Apabila kondisi penderita benar-benar tidak stabil, terkadang
diperlukan terapi injeksi untuk upaya stabilisasi dan membantu mencegah
terjadinya displacement vertebrae lebih jauh8.
Pada penderita dengan vertebrae yang stabil, tatalaksana konservatif
dilakukan tanpa adanya gerakan yang membebani pelvis dan vertebrae.
Exercise dapat dilakukan dengan pelvic wedges atau block, exercise ball,
cupping, dan sacro occipital teknik (SOT) indikator dan intervensi untuk
membantu relaksasi bertahap dan memodifikasi posisi pelvis dan vertebrae,
mengurangi beban pada spondylolisthesis. Kerja otot juga membantu untuk
mengurangi adanya gerakan otot yang dapat menarik vertebrae ke depan pada
saat posisi istirahat ataupun dalam posisi bergerak.
Partisipasi aktif penderita memiliki peran yang penting dalam keberhasilan
terapi. Karena untuk perbaikan yang terus-menerus diperlukan adanya
spesifik home exercise, ergonomic modifications, dan body awareness
movement8.
Exercise awal merupakan hal yang penting untuk membantu pasien
membangun body awareness dan membantu penderita belajar bagaimana
untuk memodifikasi penyakitnya dengan menjadi lebih waspada terhadap
sensasi dari pergerakan yang mempengaruhi tubuhnya. Exercise harus
dimulai dengan perlahan dan lembut8.
a. Core stabilization
Dilakukan dengan cara mengaktivasi otot-otot abdominal bagian dalam,
yaitu musculus abdominus transversus dan M. Obliquus internus.
Kemudian dibantu dengan aktivasi dari otot-otot di daerah lumbal.
Dengan dilakukannya stabilisasi pada otot abdominal akan menunda
kontraksi dari abdominal transversus sehingga mencegah low back pain.
Otot lumbal yang atrofi juga dapat menyebabkan low back pain.
Fase 1: Core initiation
16
b. Gluteal strengthening
Dilakukan untuk stabilisasi dari pelvis
c. Body mechanic
1) Tidur : Hindari posisi tidur pronasi (tengkurap), bisa di sarankan
untuk menggunakan guling untuk menghindari posisi pronasi.
18
I. Prognosis
Pasien dengan fraktur akut dan pergeseran tulang yang minimal kemungkinan
akan kembali normal apabila fraktur tersebut membaik. Pasien dengan
perubahan vertebra yang progresif dan degeneratif kemungkinan akan
mengalami gejala yang sifatnya intermiten. Resiko untuk terjadinya
spondilolistesis degeneratif meningkat seiring dengan bertambahnya usia, dan
pergeseran vertebra yang progresif terjadi pada 30% pasien. Bila pergeseran
vertebra semakin progresif, foramen neural akan semakin dekat dan
menyebabkan penekanan pada saraf (nerve compression) atau sciatica hal ini
akan membutuhkan pembedahan dekompresi1.
J. Komplikasi
Progresifitas dari pergeseran dengan peningkatan tekanan ataupun penarikan
(traction) pada saraf spinal, bisa menyebabkan komplikasi. Pada pasien yang
membutuhkan penanganan dengan pembedahan untuk menstabilkan
spondilolistesis, dapat terjadi komplikasi seperti nerve root injury (<1%),
kebocoran cairan serebrospinal (2%-10%), kegagalan melakukan fusi (5%-
19