Oleh:
Laily Sofia Adiba, S.Farm.
051613143121
STUDI KASUS
Seksi Kefarmasian dan Seksi Alat Kesehatan dan
Perbekalan Rumah Tangga
Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur
Laporan Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) Pemerintahan
Program Pendidikan Profesi Apoteker Universitas Airlangga Periode 104
KASUS I
1. Berdasarkan surat dari Balai Besar POM Surabaya Nomor XX/94/02.13.7692 tanggal 25
Februari 2013 perihal hasil pemeriksaan Apotek USF didapatkan hasil sebagai berikut :
A. Tidak memiliki arsip arsip surat pemesanan obat
B. Faktur tidak diarsipkan berdasarkan tanggal pemesaan
C. Kartu stock tidak mencantumkan no Batch dan tanggal kadaluwarsa
D. Tidak ada pencatatan pelayanan informasi obat
E. Resep tidak diberi no urut
Pertanyaan:
1. Sebagai Apoteker di Dinas Kesehatan Kota setempat, apa yang harus dilakukan?
2. Sebagai Apoteker di Apotek tersebut, apa yang harus dilakukan ?
Jawaban
ANALISIS KASUS
A. Tidak memiliki arsip surat pemesanan obat
Dasar hukum yang dilanggar:
1. UU No.36 tahun 2009 tentang Kesehatan pada 98 ayat 3
Ketentuan mengenai pengadaan, penyimpanan, pengolahan, promosi, pengedaran sediaan
farmasi dan alat kesehatan harus memenuhi standar mutu pelayananfarmasi yang
ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
2. PP 51 tahun 2009 pasal 17
Pekerjaan kefarmasian yang berkaitan dengan proses distribusi atau penyaluran sediaan
sediaan farmasi pada fasilitas distribusi atau penyaluran sediaan farmasi wajib dicatat oleh
tenaga kefarmasian sesuai dengan tugas dan fungsinya.
3. PP 51 tahun 2009 pasal 15
Pekerjaan kefarmasian dalam fasilitas distribusi atau penyaluran sediaan farmasi harus
memenuhi ketentuan cara distribusi yang baik yang ditetapkan oleh menteri.
4. PKBPOM tentang cara distribusi obat yang baik pada sub bag dokumentasi
pemesanan
- Pesanan dibuat secara tertulis minimal rangkap 2 menggunakan form surat pesanan.
Jika pesanan dilakukan lewat telepon, SP supaya diserahkan pada saat obat diterima
Laporan Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) Pemerintahan
Program Pendidikan Profesi Apoteker Universitas Airlangga Periode 104
- Setiap SP seharusnya diberi nomer secara berurutan, nomor dicetak dengan baik, jelas
dan rapi
- Apabila karena sesuatu hal SP tidak dapat digunakan, maka SP yang tidak digunakan
ini tetap harus diarsipkan dengan diberi tanda pembatalan yang jelas
- SP supaya ditandatangani oleh penanggungjawab, sambil dicantumkan nama jelas dan
nomor SIK yang bersangkutan
- SP diarsipkan berdasarkan nomor urut dan tanggal pemesanan
5. PKBPOM No. 7 tahun 2016 bagian pencatatan dan pelaporanbutir F3
Dokumen pengadaan meliputi SP, faktur pembelian, SPB, bukti retur, nota kredit dari
Industri Farmasi/PBF, wajib diarsipkan menjadi satu berdasarkan nomor urut atau tanggal
penerimaan barang.
PENYELESAIAN KASUS
A. Sebagai Apoteker di Dinas Kesehatan
Berdasarkan KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 1332/MENKES/SK/X/2002 tentang PERUBAHAN ATAS PERATURAN
MENTERI KESEHATAN RI NOMOR 922/MENKES/PER/X/1993 tentang
KETENTUAN DAN TATA CARA PEMBERIAN IZIN APOTIKPasal 26 dan Pasal
27, Apoteker di Dinas Kesehatan melakukan pembinaan dan pengawasan berupa:
1. Pemberian surat peringatan kepada APA dengan toleransi 3x peringatan dengan
tenggang waktu masing-masing 2 bulan
2. Melakukan pembekuan Izin Apotek untuk jangka waktu selama-lamanya 6 (enam)
bulan sejak dikeluarkannya penetapan pembekuan Izin Apotek
3. Keputusan pencabutan Surat Izin Apotek
KASUS 2
Terdapat laporan toko obat dan warung di Kabupaten X melayani penjualan
antibiotik Amoksisilin secara bebas, bagaimana menurut saudara berperan sebagai
Apoteker yang bekerja di Dinas Kesehatan Kab/Kota, Petugas Dinas Kesehatan Provinsi,
maupun sebagai petugas BPOM? Jelaskan langkah-langkah kegiatan yang saudara
lakukan!
JAWABAN :
Menurut Peraturan menteri kesehatan RI No 2406/Menkes/Per/XII/2011 tentang
Pedoman umum penggunaan antibiotik, Penyakit infeksi masih merupakan salah satu
masalah kesehatan masyarakat yang penting, khususnya di negara berkembang. Salah satu
obat andalan untuk mengatasi masalah tersebut adalah antimikroba antara lain antibakteri /
antibiotik, antijamur, antivirus, antiprotozoa. Antibiotik merupakan obat yang paling
banyak digunakan pada infeksi yang disebabkan oleh bakteri. Berbagai studi menemukan
bahwa sekitar 40-62% antibiotik digunakan secara tidak tepat antara lain untuk penyakit-
penyakit yang sebenarnya tidak memerlukan antibiotik. Pada penelitian kualitas
penggunaan antibiotik diberbagai bagian rumah sakit ditemukan 30% sampai dengan 80%
tidak didasarkan pada indikasi (Hadi,2009).
Intensitas penggunaan antibiotik yang relatif tinggi menimbulkan berbagai permasalahan
dan merupakan ancaman global bagi kesehatan terutama resistensi bakteri terhadap
antibiotik. Selain berdampak pada morbiditas dan mortalitas, juga memberi dampak negatif
terhadap ekonomi dan sosial yang sangat tinggi. Pada awalnya resistensi terjadi ditingkat
rumah sakit, tetapi lambat laun juga berkembang di lingkungan masyarakat, khususnya
Streptococcuspneumoniae (SP), Staphylococcusaureus, dan Escherichiacoli.
Laporan Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) Pemerintahan
Program Pendidikan Profesi Apoteker Universitas Airlangga Periode 104
a. Dasar Hukum :
KEPMENKES No 02396/SK/VIII/86 tentang Tanda Khusus Obat Keras Daftar G
Pasal 3 ayat 1 :
1. Tanda khusus untuk obat keras adalah lingkaran bulat berwarna merah
dengan garis tepi berwarna hitam dengan huruf K yang menyentuh garis tepi.
KEPMENKES No 02396/SK/VIII/86 tentang Tanda Khusus Obat Keras Daftar G
Pasal 2 ayat1- 2 :
(1) Pada etiket dan bungkus luar obat jadi yang tergolong obat keras harus
dicantumkan secara jelas tanda khusus obat keras
(2) Ketentuan dimaksud dalam ayat (1) merupakan pelengkap dari keharusan
mencantumkan kalimat Harus dengan resep dokter yang ditetapkan dalam
KEPMENKES Nomor 197/SK/77 tanggal 15 maret 1977
Menurut Ayat 2 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan pun
menyebutkan, setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan dilarang
menyimpan, mengolah, mempromosikan, dan mengedarkan obat dan bahan yang
berkhasiat.
Berdasarkan dasar hukum di atas dijelaskan bahwasanya terjadi pelanggaran
pertama yaitu penjualan bebas obat Amoksisilin.
b. Dasar hukum pelayanan farmasi komunitas di toko obat adalah Peraturan Menteri
Kesehatan RI nomor 1331 tahun 2002 (sebagai perubahan Peraturan Menteri Kesehatan
RI nomor 167 tahun 1972 tentang Pedagang Eceran Obat). Pasal 2 ayat 1 dan 2 :
Laporan Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) Pemerintahan
Program Pendidikan Profesi Apoteker Universitas Airlangga Periode 104
1. Pedagang Eceran Obat menjual obat-obat bebas dan obat-obat bebas terbatas
dalam bungkusan dari pabrik yang membuatnya secara eceran.
2. Pedagang Eceran Obat harus menjaga agar obat-obat yang dijual bermutu baik
dan berasal dari pabrik-pabrik farmasi atau pedagang besar farmasi yang
mendapat ijin dari Departemen Kesehatan.
Pasal 8
1. Pedagang Eceran Obat harus memasang papan tulisan dengan tulisan Toko Obat
Berijin" tidak menerima resep dokter dan namanya di depan tokonya. Tulisan
tersebut harus mudah dilihat umum dan dibagian bawah pojok kanan harus
dicantumkan nomor ijin.
2. Tulisan harus berwarna hitam di atas dasar putih; tinggi huruf paling sedikit 5 cm
dan tebalnya paling sedikit 5 mm.
3. Ukuran papan tersebut ayat (1) paling sedikit: lebar 40 cm dan panjang 50 cm.
Pasal 9
Pedagang Eceran Obat dilarang menerima atau melayani resep dokter.
Pasal 10
Pedagang Eceran Obat dilarang membuat obat, membungkus kembali obat
Pasal 11
Obat-obat yang masuk Daftar Obat Bebas Terbatas harus disimpan dalam almari
khusus dan tidak boleh dicampur dengan obat obat atau barang-barang lain.
Pasal 12
Di depan tokonya, pada iklan-iklan dan barang-barang cetakan Toko Obat tidak
boleh memasang nama yang sama atau menyamai nama apotik, pabrik obat atau
pedagang besar farmasi, yang dapat menimbulkan kesan seakan-akan Toko Obat
tersebut adalah sebuah apotik atau ada hubungannya dengan apotik, pabrik farmasi
atau Pedagang Besar Farmasi.
Laporan Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) Pemerintahan
Program Pendidikan Profesi Apoteker Universitas Airlangga Periode 104
f. melaksanakan tugas lain yang diberikan oleh Kepala Bidang Jaminan dan Sarana
Kesehatan sesuai dengan tugas dan fungsinya.
Tahun 2013 Tentang Standar Pelayanan Publik Di Lingkungan Badan Pengawas Obat Dan
Makanan
Langkah-Langkah :
A PENGAWASAN DAN PENGAMATAN(WASMAT) / OBSERVASI
1) Lakukan pengawasan dan pengamatan (WASMAT) melalui pemeriksaan setempat atau
cara lain terhadap sarana, orang yang patut diduga, pelaku, peiantara, kurir dan
alatransportasi, aktivitas kegiatan impo; produksi, distribusi produk tegal/ilega! (palsu,
gelap, kadaluwarsa atau tidak terdaftar).
2) Cari barang bukti (produk/dokumen) baik secara langsung maupun tidaK langsung, jika
berupa obat, untuk memperolehnya menggunakan resep dokter
3) Lakukan analisis terhadap bahan keterangan/informasi,dan barang bukti yang ditemukan
B. PENGAMATAN/INVESTIGASI
1. Setelah dilakukan bukti awal yang cukup, atas dasar surat penugasan dilakukan
investigasi terhadap
1. Sarana legal
Lakukan pemeriksaan setempat melakukan audit komprehensif terhadap
kegiatan pengelolaan produk terapetik (dalam hal ini pengelolaan produk
antibiotik amoksisilin) guna menentukan adanya pelanggaran terhadap ketentuan
yang berlaku
2. Sarana ilegal
Apabila pemilik sarana menolak dilakukan pemeriksaan poin sarana legal
(a)atau mengadakan perlawanan, PPNS Badan POM dapat meminta bantuan
upaya paksa dari Penyidik Polri.
2. Lakukan GELAR KASUS secara internal dalam rangka analisis yuridis sebagai
dasar tindakan temuan :
Laporan Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) Pemerintahan
Program Pendidikan Profesi Apoteker Universitas Airlangga Periode 104
a. Apabila ada cukup bukti adanya pelanggaran tindak pidana, maka temuan
tersebut di proses secara PRO-JUSTISIA dengan mengikuti juknis Penyidikan
tindak pidana bagi PPNS Badan POM
b. Apabila kurang cukup bukti, agar kembali dilakukan WASMAT dan audit
konverhensif untuk memperoleh barang bukti dan terpenuhinya unsur-unsur
tindak pidana sesuai aturan yang berlaku.
Laporan Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) Pemerintahan
Program Pendidikan Profesi Apoteker Universitas Airlangga Periode 104
STUDI KASUS
Balai Besar POM Surabaya
Laporan Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) Pemerintahan
Program Pendidikan Profesi Apoteker Universitas Airlangga Periode 104
__________________________________________________________________________
Diterima oleh : AA Penanggung Jawab
__________________________________________________________________________
Pertanyaan :
Dari temuan tersebut
1. Pelanggaran apa saja yang telah dilakukan oleh apotek tersebut (jelaskan secara
singkat)
2. Sanksi apa yang dapat diberikan terhadap apotek ?
3. Dapatkah apoteker menjadi tersangka ? (jelaskan)
Data Obat :
1. Ancom Tablet
Nama produk : Ancom tablets, Anti-Hypertensive Compound
Laporan Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) Pemerintahan
Program Pendidikan Profesi Apoteker Universitas Airlangga Periode 104
2. Fructus Persica
Indikasi : Kekurangan darah atau cairan, masuk angin, sembelit,
konstipasi, kulit kusam, kuku kusam, mulut kering
Komposisi : Canabis Fructus, Persicae Semen, Notopterygii Rhizoma
et Radix, Angelica Sinensis Radix, Rhei Radix et Rhizoma
Bentuk sediaan : Pil
Kemasan : Botol isi 200 pil
Dosis : Oral, sehari tiga kali 4 pil
Produsen : Lanzou Fo Ci Pharmaceutical Factory, Lanzhou, China
Catatan : Obat mengandung biji Canabis Indica, secara khusus diatur
karena berpotensi disalahgunakan
Laporan Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) Pemerintahan
Program Pendidikan Profesi Apoteker Universitas Airlangga Periode 104
Pelanggaran 1
Kedua produk yang telah disebutkan diatas (Ancom dan Fructus Perisca) termasuk obat
tradisional impor, namun tidak memiliki izin edar. Oleh karena itu perlu tindakan hukum
atas penjualan obat tradisional tersebut terhadap apotek. Menurut pasal 106 ayat 1 obat
dapat diperjual belikan jika memiliki izin edar.
Berdasarkan UU No. 36 tahun 2009 Tentang Kesehatan
Pasal 106 Ayat 1
Sediaan farmasi dan alat kesehatan hanya dapat diedarkan setelah mendapat izin edar.
Pasal 196
Setiap orang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat
kesehatan yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan keamanan, khasiat atau
kemanfaatan, dan mutu sebagaimana dimaksud dalam pasal 98 ayat (2) dan ayat (3)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak
Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 197
Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi
dan/atau alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar sebagaimana dimaksud dalam Pasal
106 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda
paling banyak Rp 1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).
Berdasarkan Peraturan Pemerintah RI No 72 tahun 1998 tentang pengamanan
sediaan farmasi.
Pasal 9 ayat 1 dan 2
(1) sediaan farmasi dan alat kesehatan hanya dapat diedarkan setelah memperoleh izin edar
dari Menteri
(2) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat( 1) bagi sediaan
farmasi yang berupa obat tradisional yang diproduksi oleh perorangan.
Berdasarkan Permenkes No. 007 tahun 2012
Pasal 1
(2) Izin edar adalah bentuk persetujuan registrasi obat tradisional untuk dapat diedarkan di
wilayah Indonesia.
Laporan Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) Pemerintahan
Program Pendidikan Profesi Apoteker Universitas Airlangga Periode 104
(3) Registrasi adalah prosedur pendaftaran dan evaluasi obat tradisional untuk
mendapatkan izin edar.
Pasal 2ayat (1)
Obat tradisional yang diedarkan di wilayah Indonesia wajib memiliki izin edar.
Pasal 23
(1) Kepala Badan dapat memberikan sanksi administratif berupa pembatalan izin edar
apabila:
Pemegang nomor izin edar melakukan pelanggaran di bidang produksi dan/atau
peredaran obat tradisional;
(2) Selain dapat memberikan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Kepala Badan dapat memberikan sanksi administratif lain berupa perintah penarikan dari
peredaran dan/atau pemusnahan obat tradisional yang tidak memenuhi standar dan/atau
persyaratan.
Pelanggaran 2
Obat tradisional ancom tablet dan fructus persica mengandung BKO
Undang-undang yang dilanggar beserta sanksi yang bisa dikenakan :
1. Permenkes No. 7 Tahun 2012 Pasal 7 Ayat 1
Obat tradisional dilarang mengandung:
a) etil alkohol lebih dari 1%, kecuali dalam bentuk sediaan tingtur yang
pemakaiannya dengan pengenceran;
b) bahan kimia obat yang merupakan hasil isolasi atau sintetik berkhasiat obat;
c) narkotika atau psikotropika; dan/atau
d) bahan lain yang berdasarkan pertimbangan kesehatan dan/atau berdasarkan
penelitian membahayakan kesehatan.
Tanaman ganja, semua tanaman genus genus cannabis dan semua bagian dari tanaman
termasuk biji, buah, jerami, hasil olahan tanaman ganja atau bagian tanaman ganja
termasuk damar ganja dan hasis termasuk dalam Daftar Narkotika Golongan I
Dasar Hukum :
Permenkes No. 3 Tahun 2015 tentang Peredaran, Penyimpanan, Pemusnahan, dan
Pelaporan Narkotika
Pasal 5
(1) Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi dalam bentuk obat jadi hanya dapat
diedarkan setelah mendapatkan izin edar dari Menteri.
(2) Untuk mendapatkan izin edar Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi dalam
bentuk obat jadi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus melalui pendaftaran pada
Badan Pengawas Obat dan Makanan.
Pasal 6
(1) Industri Farmasi yang memproduksi Narkotika dan PBF atau Instalasi Farmasi
Pemerintah yang menyalurkan Narkotika wajib memiliki izin khusus dari Menteri sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Izin khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. Izin Khusus Produksi Narkotika;
b. Izin Khusus Impor Narkotika; atau
c. Izin Khusus Penyaluran Narkotika.
Pasal 15
Penyaluran Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi dalam bentuk obat jadi oleh
Industri Farmasi kepada PBF hanya dapat dilakukan oleh Industri Farmasi pemilik izin
edar.
Pasal 17
(1) Pengiriman Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi yang dilakukan oleh
Industri Farmasi, PBF, atau Instalasi Farmasi Pemerintah harus dilengkapi dengan:
a. surat pesanan;
Laporan Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) Pemerintahan
Program Pendidikan Profesi Apoteker Universitas Airlangga Periode 104
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 10 Tahun 2013 Tentang Impor
Dan Ekspor Narkotika, Psikotropika, Dan Prekursor Farmasi
Pasal 3
(1) Impor Narkotika hanya dapat dilakukan oleh 1 (satu) perusahaan PBF milik negara
yang telah memiliki izin khusus sebagai importir dari Menteri.
(2) Menteri mendelegasikan pemberian izm khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
kepada Direktur Jenderal.
Pasal 5
(1) Impor Narkotika, Psikotropika, dan/atau Prekursor Farmasi hanya dapat dilaksanakan
setelah mendapatkan SPI dari Menteri.
(2) SPI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku untuk setiap kali pelaksanaan impor.
(3) Menteri mendelegasikan pemberian SPI sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1) kepada
Direktur Jenderal.
(2) Surat Persetujuan Impor Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan
berdasarkan hasil audit Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan terhadap rencana
kebutuhan dan realisasi produksi dan/atau penggunaan Narkotika.
Pasal 36
(1) Narkotika dalam bentuk obat jadi hanya dapat diedarkan setelah mendapat izin edar
dari menteri
Pasal 45
(1) Industri farmasi wajib mencantumkan label pada kemasan narkotika baik dalam bentuk
obat jadi maupun bahan baku narkotika
(3) Setiap keterangan yang dicantumkan dalam label narkotika harus lengkap dan tidak
menyesatkan.
Sanksi :
Undang-undang Republik Indonesia No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika pasal 113
ayat 1 dan 2 :
(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor,
mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda
paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan
Narkotika Golongan I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam bentuk tanaman
beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon atau dalam
bentuk bukan tanaman beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana
mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan
paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
Undang-undang Republik Indonesia No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika pasal 113
ayat 1 dan 2 :
(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual,
membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan
Narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara
Laporan Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) Pemerintahan
Program Pendidikan Profesi Apoteker Universitas Airlangga Periode 104
paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda
paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menjadi perantara
dalam jual beli, menukar, menyerahkan, atau menerima Narkotika Golongan I
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1
(satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman
beratnya 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup,
atau pidana penjara paling singkat 6 (enam) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun
dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3
(sepertiga).
Pelanggaran 4
Apotek melakukan pemesanan obat kepada Pedagang Besar Alat Kesehatan dan bukan
kepdaa PBF. Hal ini tidak sesuai dengan PP 51 tahun 2009 tentang pekerjaan kefarmasian
pasal 1 ayat 10 yakni Fasilitas Distribusi atau Penyaluran Sediaan Farmasi adalah sarana
yang digunakan untuk mendistribusikan atau menyalurkan Sediaan Farmasi, yaitu
Pedagang Besar Farmasi dan Instalasi Sediaan Farmasi.
Menurut Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik Indonesia
Nomor Hk.03.1.34.11.12.7542 Tahun 2012 Tentang Pedoman Teknis Cara Distribusi Obat
Yang Baik, Pedagang Besar Farmasi yang selanjutnya disingkat PBF, adalah perusahaan
berbentuk badan hukum yang memiliki izin untuk pengadaan, penyimpanan, penyaluran
obat dan/atau bahan obat dalam jumlah besar sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan sedangkan yang dimaksud dengan Instalasi Sediaan Farmasi adalah sarana
yang digunakan untuk mendistribusikan atau menyalurkan Sediaan Farmasi milik
pemerintah, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah kabupaten/kota.
Apoteker dapat menjadi tersangka apabila dilakukan:
1. Pengadaan obat yang mengandung narkotika dan psikotropika dengan atau tanpa
sepengetahuan APA dimana obat-obat tersebut didapat tidak dari pihak yang sesuai
dalam pengadaan perbekalan sediaan farmasi. Obat berasa dari PBAK bukan dari
PBF yang Menurut PP 51 tahun 2009 tentang pekerjaan kefarmasian pasal 1
ayat 10 : Fasilitas Distribusi atau Penyaluran Sediaan Farmasi adalah sarana yang
Laporan Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) Pemerintahan
Program Pendidikan Profesi Apoteker Universitas Airlangga Periode 104
Sehingga jika hal-hal tersebut terjadi maka yang berhak mendapatkan sanksi adalah
Apoteker penanggungjawab apotek tersebut.
Laporan Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) Pemerintahan
Program Pendidikan Profesi Apoteker Universitas Airlangga Periode 104
Penyalur alat kesehatan (PAK) menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
No. 1191/Menkes/Per/Viii/2010 tentang Penyaluran Alat Kesehatan
Pada BAB I Pasal 1 disebutkan bahwa :
1. Penyalur Alat Kesehatan, yang selanjutnya disingkat PAK adalah perusahaan berbentuk
badan hukum yang memiliki izin untuk pengadaan, penyimpanan, penyaluran alat
kesehatan dalam jumlah besar sesuai ketentuan perundangundangan.
2. Cabang Penyalur Alat Kesehatan, yang selanjutnya disebut Cabang PAK adalah unit
usaha dari penyalur alat kesehatan yang telah memiliki pengakuan untuk melakukan
kegiatan pengadaan, penyimpanan, penyaluran alat kesehatan dalam jumlah besar sesuai
ketentuan peraturan perundangundangan.
Mengacu pada peraturan tersebut, Penyalur Alat Kesehatan (PAK) tidak memiliki
kewenangan untuk mengedarkan obat.
(2) Penyaluran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan surat pesanan yang
ditandatangani apoteker pengelola apotek atau apoteker penanggung jawab.
(3) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) surat pesanan untuk
lembaga ilmu pengetahuan ditandatangani oleh pimpinan lembaga.
Pasal 22
Setiap PBF dan PBF Cabang yang melakukan pengadaan, penyimpanan, dan penyaluran
narkotika wajib memiliki izin khusus sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa yang memiliki kewenangan penyaluran obat adalah
PBF (Pedagang Besar Farmasi) yg memiliki surat izin, baik PBF pusat maupun PBF
cabang, bukan PAK (Penyalur Alat Kesehatan).
PAK yang mendistribusikan produk selain alkes yaitu obat, yang tidak memiliki izin edar
dapat dikenai sanksi pencabutan izin PAK sesuai dengan peraturan tersebut.