1
Khasiat yang dicantumkan sudah dibuktikan dengan
uji praklinik dan klinik, sudah terstandar, dan sudah
Fitofarmaka
dilakukan uji klinik dengan lengkap (fase 1, fase 2,
dan fase 3).
Harus dengan resep dokter dan mengakibatkan
Narkotika ketergantungan yang kuat. Distribusinya
dikendalikan oleh pemerintah.
Golongan
Mekanisme Aksi Contoh Obat
Farmakologi
Anastesi Amida Blokade reversibel pada kanal natrium Lidokain, bupivikain
Anastesi Ester pada akson Benzokain, prokain
Inhibisi hidrolisis asetilkolin pada
Antikolinesterase Piridostigmin, neostigmin
enzim kolinesterase
Agonis
Memacu reseptor muskarinik Pilokarpin
muskarinik
Agonis nikotinik Memacu reseptor nikotinik Nikotin
Antagonis Menghambat reseptor muskarinik dan
Atropin, hiosin, ipatropium
muskarinik mengakibatkan efek excitatory
Menghambat reseptor alfa adrenergik,
Alfa blocker Prazosin
sehingga terjadi dilatasi vena.
Beta-1 selektif : bisoprolol
(low dose), atenolol,
Beta blocker Menghambat reseptor beta adrenergik. metoprolol
Beta blocker nonselektif :
propanolol
Meningkatkan kerja reseptor beta
Salbutamol, formoterol,
Beta-2 agonis adrenergik 2, sehinga terjadi relaksasi
salmeterol
otot polos bronkus.
Menghambat perubahan angiotensin I
ACE Inhibitor Kaptopril, lisinopril, enalapril
menjadi angiotensin II pada ginjal
Angiotensin
Menghambat pada reseptor angiotensin Valsartan, losartan, candesartan
Receptor Blocker
DHP : Amlodipin, nifedipin
Calcium Channel Menghambat masuk kalsium pada sel
NonDHP : Diltiazem,
Blocker otot jantung
verapamil
Menghambat reabsorbsi natrium di
Diuretik thiazide tubulus distal, sehingga meningkatkan Hidroklortiazid
eksresi air, natrium, dan ion hidrogen.
Menghambat reabsorbsi natrium dan
klorida di tubulus proksimal, tubulus
Diuretik sulfon distal, dan lengkung Henle, sehingga Furosemid
meningkatkan eksresi air, natrium,
klorida, magnesium, dan kalsium.
Mengikat reseptor aldosteron di tubulus
Antagonis distal, sehingga meningkatkan sekresi
Spironolakton
aldosteron natrium dan klorida dan menahan
kalium dan ion hidrogen.
Modulasi metabolisme lipid,
karbohidrat, dan protein serta
mempertahankan keseimbangan cairan.
Metilprednisolon,
Kortikosteroid Mengontrol sintesis protein, menekan
hidrokortison
migrasi PMN dan fibroblas, mengubah
kapilaritas membran, dan menstabilkan
lisosom.
Menurunkan produksi glukosa hepatik,
menurunkan absorbsi glukosa di saluran
Biguanid Metformin
cerna, dan meningkatkan sensitivitas
reseptor insulin.
Meningkatkan sekresi insulin,
Menurunkan produksi glukosa hepatik,
Sulfonilurea Glibenklamid, glimepirid
dan meningkatkan sensitivitas reseptor
insulin.
HMG-CoA
Menghambat enzim pengubah substrat Simvastatin, atorvastatin,
Reductase
kolesterol (HMG-CoA Reductase) rosuvastatin
Inhibitor
Menghambat lipolisis perifer dan
Asam Fibrat menurunkan pengambilan asam lemak Gemfibrozil
bebas oleh hati.
Resin Asam Mengikat asam empedu pada saluran Kolestipol, Koleselvam,
Empedu cerna. Kolestiramin
Mengikat kristal hidroksiapatit pada
tulang dan menghambat osteoklast serta Asam alendronat, asam
Bifosfonat
menghambat pelepasan mineral dan risendronat
kolagen dari tulang.
Proton Pump Menghambat pompa proton dalam
Omeprazol, pantoprazol
Inhibitor sekresi ion hidrogen pada lambung.
Menghambat reseptor H-2 pada sel
H-2 Antagonis parietal lambung, sehingga Famotidin, ranitidin, simetidin
menghambat sekresi asam lambung.
Generasi lama : klorfeniramin
Menghambat reseptor H-1, sehingga maleat.
H-1 Antagonis
tidak tejadi aktivasi oleh histamin. Generasi baru : loratadin,
cetirizin, fexofenadin.
Antibiotika
Amoksisilin, ampisilin
Penisilin
Menghambat sintesis dinding bakteri Generasi 1 : Cefradoksil
Antibiotika (golongan beta laktam). Generasi 2 : Cefuroksim
Generasi 3 : Ceftriakson,
Sefalosporin
cefotaksim, ceftazidim
Menghambat sintesis protein dengan
Antibiotika mengikat subunit ribosom 30S dan 50S Tetrasklin, oksitetrasiklin,
Tetrasiklin dan mengikat logam untuk metabolisme doksisiklin
bakteri.
Antibiotika Menghambat DNA girase, sehingga
Ciprofloksasin, levofloksasin
Quinolon merusak struktur double helix DNA.
Antibiotika Menghambat sintesis protein dengan Azitromisin, klaritomisin,
Makrolida mengikat subunit ribosom 30S dan 50S. eritromisin
Antibiotika Menghambat sintesis protein dengan Kloramfenikol, tiamfenikol
Fenikol mengikat subunit ribosom 50S.
1.1.1. Toksikologi
Kasus keracunan selalu ditemukan terkait dengan penggunaan bahan kimia sebagai obat atau
kecelakaan. Berikut adalah daftar senyawa yang dapat bersifat racun dan penawar yang dapat
diberikan :
Substrat Racun Penawar
Parasetamol Asetilsistein
Logam berat (As, Pb, Hg, Cu) BAL (dimecaprol)
Logam berat (Pb) EDTA
Ferrum Deferoksamin
Opioid Nalokson
Pestisida organofosfat Atropin, Pralidoksim
Sianida Nitrit, Nitrat
Metanol, etilen glikol Etanol
Beta blocker Glukagon
Benzodiazepin Flumazenil
Karbonmonoksida Oksigen, hiperbarik oksigen
Kumarin Vitamin K
Digoksin Digoksin FAB
Heparin Protamin
INH Piridoksin
Nitrit Metilen Blue
1.3. Farmakokinetika
1.3.1. Kecepatan Infus
S x Dosis
R=
Dimana :
R = kecepatan infus
S = fraksi aktif
= interval pemberian
Pasien ATS menerima infus teofilin dengan dosis 40 mg tiap jam. Berapakah kecepatan infus yang
harus diatur? Diketahui teofilin memiliki fraksi aktif sebesar 80 %.
S x Dosis
R=
0,8 x 40
R=
1
R = 32 mg/jam
Pasien RA 28 tahun, 78 kg diresepkan Tetrasiklin HCl untuk keluhan Gonorrhae. Tetrasiklin HCl
memiliki bioavabilitas oral 77 % dengan semua fraksi aktif. Volume distribusi sebesar 0,2 L/kgBB,
waktu paro eliminasi adalah 10,6 jam. Kadar tunak rerata yang digunakan dalam pengobatan RA di
rumah sakit adalah 35 mg/mL. Apabila RA diizinkan pulang oleh dokter dan meneruskan terapi
tetrasiklin HCl peroral dengan interval tiap 6 jam, berapakah dosis yang Anda sarankan?
Diketahui :
Vd = 0,2 L/kgBB x 78 kg = 15,6 L
K = 0,693/t1/2 = 0,693/10,6 = 0,065 /jam
Cav x k x Vd x
D=
FxS
mg
35 x 0,065 x 15,6 x 6
D= mL
0,77 x 1
D = 276,54 mg ~ 300 mg
Menurut JNC 7, target terapi dan obat yang dipilih adalah sebagai berikut :
Kondisi Target Tekanan Darah Obat Pilihan
Normal <140/90 mmHg Tunggal : ACE Inhibitor ARB, CCB, atau
diuretik thiazid
ACE Inhibitor atau ARB + diureik tiazid;
atau ACE Inhibitor atau ARB + CCB
Geriatrik < 140/90 mmHg ACE Inhibitor, ARB, atau diuretik tiazid
Gagal ginjal kronis < 130/80 mmHg ACE Inhbitor atau ARB
dengan albuminuria (>
30 mg albumin/24
jam)
Diabetes mellitus < 130/80 mmHg First line : ACE Inhbitor atau ARB
Second line : CCB
Third line : diuretik tiazid atau beta-blocker
Gagal jantung dengan < 130/80 mmHg First line : ACE Inhbitor atau ARB + beta-
pengurangan volume blocker
Second line : antagonis aldosteron
Post-myocardial < 130/80 mmHg Beta blocker + ACE Inhibitor atau ARB
infark
Coronary artery < 130/80 mmHg First line : beta-blocker + ACE Inhbitor atau
disease ARB
Second line : CCB
Third line : diuretik tiazid
Pencegahan < 130/80 mmHg Diuretika tiazid atau diuretika tiazid + ACE
kekambuhan stroke Inhibitor
Target penurunan tekanan darah dapat JNC 7 dan JNC 8 sangat berbeda. Pada JNC 8, penurunan
tekanan darah tidak agresif seperti JNC 7. Berikut adalah target menurut JNC 8 :
1.4.2. Dislipidemi dan Berat Badan Berlebih
Menurut ATP III, dalam tata laksana penurunan LDL dan manajemen resiko penyakit degeneratif ada
faktor resiko yang harus diketahui, berikut adalah faktor resiko menurut ATP III.
Faktor Resiko Nilai
Lingkar Pinggang Wanita >88 cm (>35 inch)
Lingkar Pinggang Pria >120 cm (> 40 inch)
Trigliserida 150 mg/dL
HDL Pria < 40 mg/dL
HDL Wanita < 50 mg/dL
Tekanan darah 130/85 mmHg
Glukosa puasa 110 mg/dL
Dengan mengetahui faktor resiko, target penurunan LDL dan memulai terapi dapat diketahui. Berikut
adalah target dan nilai LDL memulai terapi :
Faktor Resiko Target Penurunan Nilai LDL mulai Nilai LDL mulai
LDL terapi terapi obat
nonfarmakologi
Ada riwayat < 100 mg/dL 100 mg/dL 130 mg/dL
coronary heart
disease atau dengan
faktor resiko setara
2 faktor resiko < 130 mg/dL 130 mg/dL Pantauan selama 10
tahun dengan 10
20 % resiko
130 mg/dL
Pantauan selama 10
tahun dengan
resiko < 10 %
160 mg/dL
0 1 faktor resiko < 160 mg/dL 160 mg/dL 190 mg/dL
1.4.4. Diabetes
Diabetes ditanda dengan gejala : polivagi (banyak makan), poliuria (banyak buang air kecil), dan polidipsi
(banyak minum). Diabetes digolongkan menjadi dua tipe utama, yaitu tipe I dan tipe II.
Pada tipe I, pasien lebih cenderung memiliki berat badan rendah dan mengalami ketoasidosis, sedangkan pada
tipe II cenderung obesitas.
Berikut adalah target terapi dari diabetes mellitus :
Dalam tatalaksana terapi, diabetes mellitus tipe 1 dan 2 memiliki perbedaan. Berikut adalah tatalaksana terapi
menurut ADA 2015 :
Obat Keterangan
Metformin Digunakan apabila terapi nonfarmakologi belum mengontrol
kadar glukosa pasien
Insulin + antidiabetika oral atau Pasien baru terdiagnosa gejala DM tipe 2 atau terjadi
insulin tunggal kenaikan kadar glukosa atau HbA1C
Penambahan antidiabetika oral Apabila antidiabetika oral tidak menunjukkan perbaikan
kedua atau insulin setelah 3 bulan pada nilai HbA1C
Dalam terapi DM tipe 1 harus menggunakan insulin. Berikut adalah jenis insulin yang dapat digunakan :
Kerja Insulin Contoh Penggunaan
Rapid Acting Humalog (insulin lispro), NovoLog 5 15 menit sebelum makan
(insulin aspart), Apidra (insulin
glulisine)
Short Acting Humulin R, Novolin R 30 menit sebelum makan
Intermediat Humulin N, Novolin N Umumnya 1 x sehari
Long Acting Lantus (insulin glargine), Levemir Umumnya 1 x sehari di waktu
(insulin detemir) yang sama
1.4.5. Asam Urat
Gout merupakan penyakit yang ditandai dengan kadar asam urat serum lebih besar dari 6,8 atau 7,0
mg/dl. Pada manajemen terapi gout dan hiperurisemia, tujuan terapinya adalah :
3. Menghindari komplikasi yang disebabkan oleh penumpukan kronis kristal asam urat di jaringan.
Penggunaan obat pada terapi gout adalah untuk mendukung tercapainya tujuan terapi. Kondisi
inflamasi dapat di atasi dengan pemberian NSAID, kortikosteroid, atau kolkisin, sedangkan untuk
mencegah serangan gout dengan mengatur kadar asam urat dalam darah agar tidak lebih dari 6,8 atau
Kondisi Keterangan
Hiperurisemia First line yang digunakan adalah allopurinol atau
allopurinol.
Inflamasi Harus di-assesment tingkat inflamasi dan tingkat
kolkisin.
1.4.6. Manajemen Nyeri
WHO Pain Ladder. Berikut adalah pembagian pain ladder dan terapi yang digunakan :
Tingkat Nyeri Terapi
Ringan (0 3) Parasetamol 650 mg, aspirin 500 mg, ibuprofen
Metode Keterangan
Granulasi Basah Senyawa aktif tahan air dan panas, sifat alir jelek, dilakukan
pembuatan massa dengan pengikat, dikeringkan lalu diayak.
Granulasi Kering Senyawa aktif tidak tahan panas dan air, sifat alir jelek,
dilakukan kempa dengan bahan pengisi lalu dihancurkan dan
diayak.
Kempa Langsung Senyawa aktif tidak tahan panas dan air, sifat alir baik.
Pada pembuatan kapsul, harus diperhatikan sifat alir campuran karena berpengaruh pada
keseragaman bobot saat pengisian kapsul. Analisis bahan sediaan padat dapat berupa penetapan bulk
density dan sudut diam. Dalam kontrol kualitas sediaan padat dapat dilakukan keseragaman bobot,
keseragaman kadar, dan uji disolusi. Untuk uji stabilitas dapat dilakukan menurut ICH.
2.1.3. Semipadat
Sediaan semipadat contohnya adalah salep, krim, dan gel. Pada pembuatan sediaan semipadat, harus
memperhatikan sifat hidrofilisitas dan stabilitas senyawa aktif, sehingga dapat ditentukan cara
pembuatan sediaan semipadat. Apabila dalam pencampuran krim dengan salep harus digunakan
surfaktan agar tidak terjadi pemisahan fase. Pemilihan emulgator dalam pembuatan krim sangat
diperlukan dengan menghitung nilai HLB yang diperlukan. Umumnya senyawa yang hidrofob dibuat
sediaan salep dan krim emulsi o/w serta senyawa hidrofil dibuat sediaan gel atau krim emulsi w/o.
Dalam kontrol kualitas sediaan semipadat dapat dilakukan keseragaman bobot, keseragaman kadar,
uji pelepasan obat, uji daya lekat, dan uji penyebaran. Untuk uji stabilitas dapat dilakukan menurut
ICH.
2.1.4. Cair
Sediaan cair contohnya adalah larutan, suspensi, dan emulsi. Pada pembuatan sediaan cair, harus
memperhatikan polaritas, stabilitas, dan kelarutan senyawa aktif, sehingga dapat ditentukan cara
pembuatan sediaan cair. Sediaan cair dapat dibedakan menjadi dua, yaitu steril dan nonsteril. Pada
pembuatan sediaan steril, stabilitas senyawa aktif harus diperhatikan karena akan memilih metode
sterilisasi atau pembuatan sediaan steril. Pada larutan, senyawa aktif harus melarut pada medium
dispersi. Pada suspensi, senyawa aktif harus terdispersi pada medium dispersi. Pada sediaan emulsi,
senyawa aktif harus dapat berpartisi pada medium dispersi. Dalam pembuatan sediaan cair, metode
peningkatan kelarutan senyawa (solubilisasi) dapat dilakukan dengan pengubahan pH larutan,
penambahan surfaktan, atau menambahkan kosolven agar mudah melarut. Dalam pembuatan
suspensi, bahan tambahan dapat berupa agen flokulasi (pencegah penempelan partikel dengan
tolakan muatan listrik) dan thickening agent (menambah kekentalan medium dispersi agar partikel
tidak mudah mengendap). Dalam pembuatan emulsi, harus diperhatikan emulgator yang digunakan
serta nilai HLB yang akan digunakan. Sediaan emulsi dan suspensi harus dikocok dahulu dalam
penggunaan agar penyebaran senyawa aktif merata. Sediaan emulsi dan suspensi disarankan tidak
disimpan dalam lemari es karena dapat mengubah penyebaran partikel dan pemisahan fase emulsi.
Dalam kontrol kualitas sediaan semipadat dapat dilakukan keseragaman volume dan keseragaman
kadar. Untuk uji stabilitas dapat dilakukan menurut ICH.
2.1.5. Gas
Sediaan gas contohnya adalah aerosol dan spray. Pada pembuatan sediaan gas, harus memperhatikan
volatilitas senyawa aktif, jenis propelan, dan kompatibilitas senyawa aktif dengan propelan, sehingga
dapat ditentukan cara pembuatan sediaan gas. Sediaan gas harus disimpan jauh dari api agar tidak
meledak.
BAGIAN 3 FARMAKOGNOSI
3.1. Simplisia
Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai bahan obat, kecuali dinyatakan lain
berupa bahan yang telah yang dikeringkan. Simplisia terdiri dari nabati, hewan, dan mineral. Nama
simplisa terdiri dari dua kata kata pertama mengacu pada nama tanaman dalam bahasa latin dan kata
kedua mengacu pada bagian tanaman dengan nama latin.
Berikut adalah tatanama baku simplisia :
Nama Bagian Nama
Contoh
Tumbuhan Latin
Kayu Lignum Caesalpiniae lignum (Kayu secang)
Batang Caulis Tinospora caulis (Batang brotowali)
Buah Fructus Piperi fructus (Cabe Jawa/Buah cabe)
Bunga Flos Jasminum flos (Bunga melati)
Kulit Kayu Cortex Cinchonae cortex (Kulit kayu kina)
Biji Semen Myristae semenis (Biji pala)
Umbi Tuber Solanum tuber (Umbi kentang)
Akar Radix Rhei radix (Akar kelembak)
Akar tinggal Rhizome Curcuma xanthorrhizae rhizome (Temulawak)
Umbi lapis Bulbus Alii sativum Bulbus (Bawang putih)
Kulit buah Pericarpium Granati pericarpii (Kulit buah delima)
Daun Folium Orthosiphonis folium (Daun kumis kucing)
Bagian di atas tanaman Herba Centellae herba (Herba pegagan)
Minyak Oleum Oleum cocos (Minyak kelapa)
4.1.2. Pengenceran
Praktek pengenceran sering ditemukan pada praktek sehari-hari pada pelayanan kefarmasian,
misalnya dalam pembuatan alkohol cuci atau mengencerkan bahan obat tertentu. Prinsip pengenceran
adalah kesetaraan jumlah molekul atau jumlah bobot senyawa dalam larutan.
Bagaimana cara pembuatan alkohol 70 % dengan volume 1,5 liter dari alkohol 95 %?
Konsep pengenceran :
volume awal x konsentrasi awal = volume akhir x konsentrasi akhir
Atau,
V1 x C1 = V2 x C2
95 % x X = 70 % x 1,5 L
X = (70/95) x 1,5 L
X = 1,1 L
Jadi, ambil 1,1 liter alkohol 95 % lalu ditambahkan akuades sampai 1,5 liter.
4.1.3. Asam Basa
Konsep asam basa dalam farmasi penting dalam meramalkan jumlah obat yang terion dan terserap
pada bagian tubuh tertentu. Konsep asam basa juga berguna dalam meramalkan kompatibilitas
pencampuran obat suntik.
Rumus yang biasa digunakan adalah :
(Garam)
pH asam pH = pKa + log
( Asam)
( Basa)
pH basa pH = pKa + log
(Garam)
Dalam menentukan persentase terionisasi dapat digunakan dua cara :
- Rumus
Rumus untuk asam lemah :
100
% terionisasi =
1+10( pKa pH )
Rumus untuk basa lemah :
100
% terionisasi =
1+10( pH pka )
- Rule of Thumb
Untuk senyawa asam lemah :
pH = pKa Umumnya 50 % fraksi terionisasi
pH = pKa + 1 Umumnya 90 % fraksi terionisasi
pH = pKa + 2 Umumnya 99 % fraksi terionisasi
pH = pKa + 3 Umumnya 99,9 % fraksi terionisasi
pH = pKa + 4 Umumnya 99,99 % fraksi terionisasi
Contoh :
1. Metrotreksat merupakan obat golongan inhibitor asam folat yang memiliki pKa 5,4 dan bersifat asam
lemah. Dalam terapi, pasien harus mempertahankan pH urin pada nilai sekitar 7 agar metrotreksat
tidak mengendap di ginjal. Berapa % fraksi terionisasi metrotreksat pada pH urin di nilai sekitar 7?
Jawab :
Dengan rule of thumb dapat diramalkan bahwa pH = 7 memiliki selisih 1 2 nilai dengan pKa,
sehingga bisa dikatakan 90 99 % senyawa metrotreksat dalam bentuk terion.
Dengan perhitungan :
100
% terionisasi =
1+10( pKa pH )
100
% terionisasi =
1+10(5,47)
100
% terionisasi =
1+0,025
% terionisasi = 97,5 %
2. Efedrin memiliki pKa 9,4 dan bersifat basa lemah. Apabila efedrin ditambahkan ke dalam larutan
dengan pH 7,4. Berapa % efedrin yang tidak terionisasi?
Jawab :
Dengan rule of thumb dapat diramalkan bahwa pH = 7,4 memiliki selisih 2 nilai dengan pKa,
sehingga bisa dikatakan 99 % efedrin dalam bentuk terion dan 1 % dalam bentuk tidak terion.
Dengan perhitungan :
100
% terionisasi =
1+10( pH pKa )
100
% terionisasi =
1+10(7,49,4 )
100
% terionisasi =
1+0,01
% terionisasi = 99 %
% tidak terionisasi = 100 99 = 1 %
4.1.4. Polaritas
Dalam praktek kefarmasian, polaritas merupakan suatu acuan untuk menentukan partisi obat
berdasarkan sifat kimianya. Misalnya senyawa hormon cenderung lebih bercampur dengan minyak
dibandingkan dengan air. Semakin banyak gugus polar (misalnya : -OH, -COOH, -NH2), senyawa
tersebut memiliki kecendrungan menetap pada fase berair dan polaritasnya akan meningkat.
Dalam menentukan polaritas, digunakan pendekatan koefisien partisi dengan rumus sebagai berikut :
(Konsentrasi Senyawa Dalam Fase Organik)
P=
( Konsentrasi Senyawa Dalam Fase Berair)
Koefisien partisi yang sering digunakan dalam farmasi adalah koefisien partisi apparent (Papp).
Dengan rumus sebagai berikut :
Papp = P x fraksi tak terion
atau
( Konsentrasi Senyawa Dalam Fase Organik)
Papp =
( Konsentrasi Senyawa Dalam Fase Berair)
Contoh :
Senyawa x merupakan basa lemah yang diberikan secara intravena. Senyawa x memiliki pKa = 9,4
dengan P = 65. Senyawa x kemudian dianalisis dengan cara mengambil 5 mL sampel darah dan
diekstraksi dengan 10 mL oktanol. Berapakah konsentrasi senyawa x dalam plasma. Diasumsikan pH
plasma pasien adalah 7,4 dan dari hasil analisis senyawa x memiliki konsentrasi sebesar 34 ng/mL
dalam oktanol.
Jawab:
Gunakan rumus :
100
% terionisasi = ( pH pKa )
1+10
100
% terionisasi =
1+10(7,49,4 )
100
% terionisasi =
1+0,01
% terionisasi = 99 %
% tidak terionisasi = 100 99 = 1 %
Atau fraksi tak terion = 0,01
Papp = P x fraksi tak terion
Papp = 65 x 0,01 = 0,65
( Konsentrasi Senyawa Dalam Fase Organik)
Papp =
( Konsentrasi Senyawa Dalam Fase Berair)
34 ng /mL
Papp =
(Konsentrasi Senyawa Dalam Fase Berair)
34 ng/mL
Konsentrasi dalam Plasma =
0,65
Konsentrasi dalam Plasma = 52,31 ng/mL
5.2. Pricing
Penetapan harga merupakan hal yang penting di dalam praktek keseharian farmasis. Mulai dari
pembuatan obat sampai menjual obat. Berikut adalah contoh penentuan harga pada praktek farmasis.
a. Pembuatan obat
Industri farmasi Y ingin membuat sirup parasetamol dengan dosis 250 mg/5 mL. Setiap kali produksi
membutuhkan biaya total Rp 10.000.000 untuk 2000 botol. Berapakah harga satu botol sirup
parasetamol dosis 250 mg/5 mL?
Pada kasus di atas, dalam menentukan harga per botol dapat ditentukan sebagai berikut :
Biaya Produksi Total
Harga per botol = + pajak pertambahan nilai
Jumlah Produksi
Rp 10.000 .000 Rp 10.000 .000
Harga per botol = + (10 % x )
2000 2000
Harga per botol = Rp 5.000 + Rp 500 = Rp 5.500