Anda di halaman 1dari 26

ANALISIS SOSIAL

ANALISIS SOSIAL
ANALISIS SOSIAL
Disekitar kita banyak sekali fenomena dan problem-problem sosial,
seringkali ketika berhadapan dengan berbagai masalah sosial kita sulit
untuk mengurai latar belakang masalah, pengaruh kepentingan serta
implikasi logis yang mungkin muncul. Kesulitan memahami kaitan
masalah sosial disebabkan karena keterbatasan kemampuan dalam
memetakan variable yang saling mempengaruhi. Untuk itu, diperlukan
kecerdasan dalam melakukan analisis sosial agar mampu membaca dan
memahami realitas sosial secara utuh.

Organisasi mahasiswa, adalah bagian dari kehidupan sosial, senantiasa bersinggungan dengan
realitas sosial, atau salah dalam memahaminya, maka perubahan sosial yang dilakukan tidak
akan efektif, bahkan jauh dari sasaran.

1) Pengertian Ansos
Analisis sosial merupakan usaha untuk menganalisis sesuatu
keadaan atau masalah sosial secara objektif. Analisis sosial diarahkan
untuk memperoleh gambaran lengkap mengenai situasi sosial dengan
menelaah kaitan-kaitan histories, structural dan konsekuensi masalah.
Analisis sosial akan mempelajari struktur sosial, mendalami fenomena-
fenomena sosial, kaitan-kaitan aspek politik, ekonomi, budaya dan agama.
Sehingga akan diketahui sejauh mana terjadi perubahan sosial,
bagaimana institusi sosial yang menyebabkan masalah-masalah sosial,
dan juga dampak sosial yang muncul akibat masalah sosial. Secara
Definisi ANSOS adalah merupakan upaya kita untuk menempatkan suatu
masalah tertentu dalam konteks realitas sosial yang lebih luas yang
mencakup konsep waktu (sejarah), konteks struktur (ekonomi, sosial,
politik, budaya, konteks nilai, dan konteks tingkat atau aras lokasi (spatial:
lokal-global).

2) Ruang lingkup ansos


Pada dasarnya semua realitas sosial dapat dianalisis, namun dalam
konteks transformasi sosial, maka paling tidak objek analisa sosial harus
relevan dengan target perubahan sosial yang direncanakan yang sesuai
dengan visi atau misi organisasi. Secara umum objek sosial yang dapat di
analisis antara lain;
Masalah-masalah sosial, seperti; kemiskinan, pelacuran, pengangguran,
kriminilitas
Sistemsosial seperti: tradisi, usha kecil atau menengah, sitem
pemerintahan, sitem pertanian
Lembaga-lembaga sosial seperti sekolah layanan rumah sakit, lembaga
pedesaan.
Kebijakan public seperti : dampak kebijakan BBM, dampak perlakuan
sebuah UU.
3) Pentingnya teori social
Teori dan fakta berjalan secara simultan, teori sosial merupakan
refleksi dari fakta sosial, sementara fakta sosial akan mudah di analisis
melalui teori-teori sosial. Teori sosial melibatkan isu-isu mencakup filsafat,
untuk memberikan konsepsi-konsepsi hakekat aktifitas sosial dan prilaku
manusia yang ditempatkan dalam realitas empiris. Charles lemert (1993)
dalam Social Theory; The Multicultural And Classic Readings menyatakan
bahwa teori sosial memang merupakan basis dan pijakan teknis untuk
bisa survive.
Teori sosial merupakan refleksi dari sebuah pandangan dunia
tertentu yang berakar pada positivisme. Menurut Anthony Giddens secara
filosofis terdapat dua macam analisis sosial, pertama, analisis intitusional,
yaitu ansos yang menekan pada keterampilan dan kesetaraan actor yang
memperlakukan institusi sebagai sumber daya dan aturan yang di
produksi terus-menerus. Kedua, analisis perilaku strategis, adalah ansos
yang memberikan penekanan institusi sebagai sesuatu yang diproduksi
secara sosial.
A. Kerangka Anaisis Antoni Giddens INTERAKSI Komunikasi Kekuasaan
Sanksi/Norma MODALITAS Kerangka Penafsiran Fasilitas Ideologi,
politik,budaya, sosial Norma agama, hukum, nilai, aturan, tradisi
STRUKTUR Pemaknaan Dominasi Legitimasi
B. Paradigma Teori-teori Sosial

4) Hubungan Kesadaran dengan ANSOS

ASPEK KESADARAN MAGIS KESADARAN NAIF KESADARAN KRITIS


KERANGKA BERPIKIR kehidupan sosial hasil kekuatan di luar manusia
kehidupan sosial hasil kualitas manusia dan sda. kehidupan sosial hasil
system, struktuk, historis.
METHODE TERAPAN SOSIAL bantuan / karitatif Pembangunan

advokasi pemberdayaan /transformative GERAKAN SOSIAL evolutipf/


natural / netral konstruktif radikal dan cepat

5) Langkah-Langkah Ansos
Proses analisis sosial meliputi beberapa tahap antara lain:

Memilih dan menentukan objek analisis


Pemilihan sasaran masalah harus berdasarkan pada pertimbangan
rasional dalam arti realitas yang dianalsis merupakan masalah yang
memiliki signifikansi sosial dan sesuai dengan visi atau misi organisasi.

Pengumpulan data atau informasi penunjang


Untuk dapat menganalisis masalah secara utuh, maka perlu
didukung dengan data dan informasi penunjang yang lengkap dan
relevan, baik melalui dokumen media massa, kegiatan observasi maupun
investigasi langsung dilapangan. Re-cek data atau informasi mutlak
dilakukan untuk menguji validitas data.
Identifikasi dan analisis masalah
Merupaka tahap menganalisis objek berdasarkan data yang telah
dikumpulkan. Pemetaan beberapa variable, seperti keterkaitan aspek
politik, ekonomi, budaya dan agama dilakukan pada tahap ini. Melalui
analisis secara komphrehensif diharapkan dapat memahami subtansi
masalah dan menemukan saling keterkaitan antara aspek.

Mengembangkan presepsi
Setelah di identifikasi berbagai aspek yang mempengaruhi atau
terlibat dalam masalah, selanjutnya dikembangkan presepsi atas masalah
sesuai cara pandang yang objektif. pada tahap ini akan muncul beberapa
kemungkinan implikasi konsekuensi dari objek masalah, serta
pengembangan beberapa alternative sebagai kerangka tindak lanjut.

Menarik kesimpulan
Pada tahap ini telah diperoleh kesimpulan tentang; akar masalah, pihak
mana saja yang terlibat, pihak yang diuntungkan dan dirugikan, akibat
yang dimunculkan secara politik, sosial dan ekonomi serta paradigma
tindakan yang bisa dilakukan untuk proses perubahan sosial.

6) Peranan Ansos Dalam Strategi Gerakan PMII


Ingat, paradigma gerakan PMII adalah kritis transformatif, artinya
PMII dituntut peka dan mampu membaca realitas sosial secara objektif
(kritis), sekaligus terlibat aktif dalam aksi perubahan sosial (transformatif).
Transformasi sosial yang dilakukan PMII akan berjalan secara efektif jika
kader PMII memiliki kesadaran kritis dalam melihat realitas sosial.
Kesadaran kritis akan muncul apabila dilandasi dengan cara pandangan
luas terhadap realitas sosial. Untuk dapat melakukan pembacaan sosial
secara kritis, mutlak diperlakukan kemampuan analisis sosial secara baik.
Artinya, strategi gerakan PMII dengan paradigma kritis transformatif akan
dapat terlaksana secara efektif apabila ditopang dengan kematangan
dalam analisis sosial (ANSOS).

REKAYASA SOSIAL:
A. Antaran Mulanya biasa saja. Sebuah masyarakat di daerah terpencil
pinggiran hutan di
Kalimantan adalah komunitas adat yang setia terhadap warisan tradisi
leluhur. Pemahaman mereka atas hutan, pohon dan tanah masih bersifat
sakral dan berdimensikan transendental. Tapi sejak upaya modernisasi
dari negara melalui proyek pembangunan dengan program transmigrasi,
pengembangan kawasan desa hutan, pariwisata, dan apapun namanya,
daerah tersebut mulai terbuka bagi masuknya arus masyarakat dari luar
komunitas adat, tak terkecuali masuknya Media Televisi melalui antena
parabola.
Keterbukaan masyarakat adat tersebut mulai terlihat dengan persentuhan
dengan masyarakat luar yang juga membawa serta bentuk-bentuk
kebudayaan; dari cara berpikir hingga perilaku. Tidak itu saja, masuknya
televisi telah mampu merubah berbagai sistem nilai dan sistem makna
yang terdapat dalam masyarakat terbut. Sebelum ada modernisasi (dan
televisi) masyarakat tersebut memiliki kearifan lokal untuk selalu
bersosialisasi, berinteraksi sosial, dan sebagainya. Ketika televisi baru
memasuki desa dan jumlahnya belum seberapa, alat tersebut justru
menjadi sarana yang memperkuat kebersamaan, karena tetangga yang
belum mempunyai televisi boleh menumpang menonton. Namun ketika
televisi semakin banyak dan hampir tiap keluarga memilikinya, maka
kebersamaan itu segera berkahir, karena masing-masing keluarga
melewatkan acara malam mereka di depan pesawatnya. Tanpa disadari
media telivisi telah merubah segalanya dalam struktur maupun kultur
masyarakat tersebut. Peristiwa itu meminjam istilah Ignas Kleden
menunjukkan bahwa nilai-nilai (kebersamaan atau individualisme) dan
tingkah laku (berkumpul atau bersendiri), secara langsung dipengaruhi
oleh hadirnya sebuah benda materiil. Parahnya, pola kehidupan yang
menghargai kebersamaan beralih menjadi individualis, sifat gotong
royong tergantikan sifat pragmatisme dalam memaknai segala bentuk
kebersamaan dan kerja. Taruhlah misalnya ketika memaknai tanah
warisan. Jika dulu bermakna teologis, sekarang lebih dimaknai bersifat
ekonomis belaka. Tidak jarang jika dulu masyarakat mati-matian membela
tanah warisnya, sekarang tergantikan kepentingan ekonomis untuk dijual
kepada pengusaha dari kota. Tak pelak lagi, hotel-hotel, villa-villa, cafe-
cafe dan apapun namanya mulai bermunculan di masyarakat terpencil
tersebut. Lambat laun, masyarakat tersebut sudah berubah citranya
secara fundamental sebagai masyarakat adat dengan kearifan lokalnya
menjadi masyarakat pinggiran berwajah metropolitan dengan segenap
perubahan yang ada. Sayangnya, yang diuntungkan dalam kondisi
masyarakat yang demikian ternyata tidak merata. Bahkan hampir
sebagian besar masyarakat tetap menjadi penonton dalam perubahan
struktur maupun kultur yang terjadi. Dalam kondisi yang demikian, apa
yang seharusnya dilakukan? Membiarkan berada dalam situasi
ketidakmenentuan, sehingga masyarakat adat kian tersisihkan atau
tergerus oleh kepentingan ekonomis-pragmatis atau ikut serta terlibat
merancang sebuah strategi perubahan sosial agar perubahan masyarakat
tersebut dapat direncanakan?
B. Perubahan Sosial: awal dari rekayasas social Prolog ini merupakan
catatan awal untuk memberikan suatu preskripsi bahwa perubahan sosial
merupakan keniscayaan yang menimpa suatu masyarakat, seberapapun
dia tersisolasi. Persoalannya bagaimana perubahan sosial tersebut
dirancang dengan perencanaan, sehingga yang muncul dalam
masyarakat yang berada dalam order (tatanannya); meskipun didalamnay
berkelindan berbagai perubahan. Artinya; tiada masyarakat yang dapat
steril dari perubahan sosial. Justru perubahan sosial memberikan suatu
bukti terjadinya dinamika di dalam masyarakat tersebut. Tanpa perubahan
sosial, masyarakat tersebut adalah masyarakat yang mati, stagnan,
tanpa dinamika. Terdapat dua (2) bentuk perubahan sosial. Pertama,
perubahan sosial yang tidak terencana (unplanned social change).
Perubahan social yang terjadi terus menerus yang terjadi secara perlahan
yang tanpa direncanakan yang biasanya diakibatkan oleh teknologi dan
globalisasi. Perubahan dalam contoh di atas adalah salah satu bentuk
adanya perubahan yang tidak disadari dengan hadirnya kebudayaan
materiil, yakni televise. Kedua, perubahan social yang terencana (planned
social change); yakni sebuah perubahan social yang didesain serta
ditetapkan strategi dan tujuannya. Nah, dalam kasus perubahan social di
desa adapt tersebut di atas juga terjadi akibat sebuah desain matang
(rekayasa social) dari Negara, misalnya melalui proyek modernisasi yang
berbalut ideologi pembangunanisme (developmentalisme). Lalu apa
sesungguhnya perubahan social tersebut. Perubahan social adalah proses
perubahan yang terjadi dalam struktur dan fungsi suatu sistem sosial.
Sementara Suparlan, menegaskan bahwa perubahan sosial adalah
perubahan dalam struktur sosial dan pola-pola hubungan sosial, yang
antara lain mencakup; sistem status, hubungan-hubungan dalam
keluarga, sistem-sistem politik dan kekuatan, serta persebaran penduduk.
Selain itu terdapat tiga (3) unsur penting perubahan sosial, yakni (1)
sumber yang menjadi tenaga pendorong perubahan, (2) proses
perubahan, dan (3) akibat atau konsekuensi perubahan itu. Menurut
Jalaluddin Rahmat, ada beberapa penyebab terjadinya perubahan sosial.
(1) bahwa masyarakat berubaha karena ideas; pandangan hidup,
pandangan dunia dan nilai-nilai. Max Weber adalah salah satu tokoh yang
percaya bahwa ideas merupakan penyebab utama terjadinya perubahan
sosial. Hal ini dia perlihatkan dalam menganalisis perubahan sosial dalam
masyarakat Eropa dengan semangat etik protestanismenya sehingga
memunculkan spirit kapitalisme. Diakui oleh Weber bahwa ideologi
ternyata berpengaruh bagi perkembangan dalam masyarakat. (2) yang
mempengaruhi terjadinya perubahan dalam masyarakat juga terjadi
dengan adanya tokoh-tokoh besar (the great individuals) yang seringkali
disebut sebagai heroes (pahlawan), dan (3) perubahan sosial bisa terjadi
karena munculnya social movement (gerakan sosial). Yakni sebuah
gerakan yang digalang sebagai aksi sosial, utamanya oleh LSM/NGO,
yayasan, organisasi sosial, dsb serta Lebih lanjut Kang Jalal, menyebut
bahwa dalam perubahan sosial dibutuhkan berbagai strategi yang
selayaknya dilakukan melalui berbagai cara, tergantung analisis situasi
atas problem sosial yang ada. (1) strategi normative-reeducative
(normatif-reedukatif). Normative adalah kata sifat dari norm (norma) yang
berarti atuiran-aturan yang berlaku dalam masyarakat. Norma tersebut
termasyarakatkan lewat education, sehingga strategi normatif
digandengkan denagn upaya reeducation (pendidikan ulan) untuk
menanamkan dan mengganti paradigma berpikir masyarakat lama
dengan yang baru. Cara atau taktik yang dilakukan adalah dengan
mendidik, bukan sekedar mengubah perilaku yang tampak melainkan juga
mengubah keyakinan dan nilai sasaran perubahan, (2) persuasive
strategy (strategi persuasif). Strategi perubahan yang dilakukan melalui
penggalangan opini dan pandangan masyarakat yang utamanya dilakukan
melalui media massa dan propaganda. Cara yang dilakukan adalah
dengan membujuk atau mempengaruhi lewat suatu bentuk propaganda
ide atau hegemoni ide.(3) perubahan sosial terjadi karena revolusi atau
peoples power. Revolusi dianggap sebagai puncak (jalan terakhir) dari
semua bentuk perubahan sosial, karena ia menyentuh segenap sudut dan
dimensi sosial, dan mengudang gejolak dan emosional dari semua orang
yang terlibat di dalamnya.
C. Rekayasa sosial: gagasan konseptual Berangkat dari realitas bahwa
perubahan sosial tidak dapat dicegah sebagai sebuah keniscayaan
sejarah, baik direncanakan maupun tidak direncanakan, tulisan ini
berupaya lebih dilokalisir untuk mewacanakan perubahan sosial dengan
perencanaan atau desain perubahan sosial. Istilah populernya adalah
rekayasa sosial.
Istilah "rekayasa sosial (social engineering)" seringkali dipandang negatif
karena lebih banyak digunakan untuk menunjuk perilaku yang manipulatif.
Padahal, secara konseptual, istilah "rekayasa sosial" adalah suatu konsep
yang netral yang mengandung makna upaya mendesain suatu perubahan
sosial sehingga efek yang diperoleh dari perubahan tersebut dapat
diarahkan dan diantisipasi. Konsep rekayasa sosial, dengan demikian,
menunjuk pada suatu upaya mendesain atau mengkondisikan terjadinya
perubahan struktur dan kultur masyarakat secara terencana. Rekayasa
sosial (social engineering) adalah salah satu cara yang bisa dilakukan
untuk menciptakan masyarakat yang bersih, kuat, disiplin dan berbudaya.
Dalam prinsip berpikir sistem, perubahan yang signifikan hanya dapat
dilakukan oleh individu dan masyarakat itu sendiri, bukan menunggu
peran struktur saja. Untuk membentuk struktur yang kuat, diperlukan
elemen kebaruan (emergent properties) yang lahir dari individu dan
komunitas yang sadar/belajar secara terus menerus (the lifelong learner).
Komunitas ini dapat dirancang dengan menggunakan pendekatan dan
penerapan beberapa prinsip organisasi pembelajaran (learning
organisation) dan berpikir sistem (system thinking) yang dirajut dan
dikonstruksi dalam konsep dan metode pembelajaran primer.

C. Dari Problem Sosial, Unsur-Unsur Sosial hingga Aksi Sosial


Pada dasarnya rekayasa sosial hanya dapat diselenggarakan kepada
masyarakat yang didalamnya terdapat sejumlah problem (sosial).
Problem-problem sosial tersebut memberikan dampak bagi perjalanan
panjang (dinamika) dalam masyarakat. Tapa ada problem sosial, tidak
akan ada orang berpikir untuk melakukan rekayasa sosial. Artinya,
problem sosial menjadi faktor utama untuk segera diatas dalam
melakukan rekayasa sosial. Problem sosial biasanya muncul akibat
terjadinya kesenjangan antara apa yang seharusnya terjadi dalam
masyarakat (das sollen) dengan kondisi yang sebenarnya terjadi (das
sein). Misalnya; awalnya masyarakat berharap agar arus lalu lintas di
Metropolitan Surabaya berjalan aman, tertib dan lancar. Semua pengguna
jalan raya berjalan dengan mentaati aturan yang berlaku, ada atau tidak
ada petuga. Sayangnya, apa yang diinginkan oleh masyarakat bertolak
belakang dengan realitas yang terjadi. Betapa banyak pelanggaran lalu
lintas terjadi akibat ketidaktaatan mereka pada peraturan. Akibatnya
terjadi perbedaan antara yang ideal dengan realitas. Kesenjangan
tersebut merupakan suatu problem sosial yang mesti segera di atasi.
Itulah sebabnya, dibuatlah sebuah skenario (strategi) sebagai bagian
rekayasa sosial melalui kampanye safety riding.
Dengan demikian, dalam melakukan rekayasa sosial, analisis atas
situasi (problem sosial) dalam masyarakat tidak boleh ditinggalkan.
Sebab, bisa jadi tanpa analisis situasi ini sebuah rekayasa sosial akan
mengalami kegagalan. Ibarat sebuah adagium salah di tingkat hulu akan
berakhir fatal di tingkat hilir. Salah dalam membaca sebab musabab
sehingga terlahir problem sosial akan berakibat kesalahan dalam
menentukan rekayasa sosial yang dijalankannya. Tanpa pembicaraan
mengenai problem sosial ini, alih-alih melakukan rekayasa sosial untuk
menyelesaikan problem sosial, kita mungkin malah menambah panjang
munculnya problem sosial baru.
Dalam melakukan pemecahan atas problem sosial ada kalanya
memang dituntut aksi sosial (aksi kolektif) yakni tindakan kolektif
(bersama) untuk mengatasi problem sosial, sehingga perubahan sosial
bisa digerakkan bersama sesuai dengan keinginan bersama.
Philip Kotler, memberikan gambaran unsur-unsur sosial dan aksi sosial
yang dapat dilakukan dalam melakukan rekayasa sosial; (1) cause
(sebab), yakni upaya atau tujuan sosial yang dipercayai oleh pelaku
perubahan- dapat memberikan jawaban pada problem sosial, (2) change
agency (pelaku perubahan), yakni organisasi yang misi utamanya
memajukan sebab sosial, (3) Change target (sasaran perubahan);
individu, kelompok atau lembaga yang ditunjuk sebagai sasaran upaya
perubahan, (4) Channel (saluran); media untuk menyampaikan pengaruh
dan dari setiap pelaku perubahan ke sasaran perubahan, dan (5) Change
strategy (strategi perubahan); teknik utama untuk mempengaruhi yang
diterapkan oleh pelaku perubahan untuk menimbulkan dampak pada
sasaran perubahan.
Sebagai catatan tambahan, dalam melakukan rekayasa sosial hal
lazim yang marak digunakan oleh LSM/NGO atau organisasi sosial- adalah
melakukan analisis situasi dengan pendekatan analisis SWOT; yakni
Streght (kekuatan), Weakness (kelemahan), Oppurtunity (peluang) dan
Treath (ancaman). Analisis ini dilakukan untuk mengukur seberapa besar
kemampuan atau potensi kita dalam melakukan rekayasa sosial. Melalui
analisa ini, minimal kita dapat menentukan bentuk-bentuk rekayasa sosial
yang hendak dijalankan. Namun demikian, ada berbagai pendekatan
dalam melakukan rekayasa sosial tergantung dari- gaya dan prototipe
masing-masing pelaku perubahan sosial sekaligus masyarakat yang akan
dirancang perubahan sosialnya.
E. Epilog
Namun demikian dalam melakukan rekayasa sosial harus
dihindarkan berbagai bentuk kesalahan (asumsi) yang kemudian disebut
sebagai kesesatan berpikir (fallacy). Artinya, harus dicermati dan
diwaspadai juga, bahwa dalam masyarakat yang hendak dirancang
rekayasa sosialnya (misal korban) masih mengendapnya berbagai bentuk
pola pikir yang dapat mengganggu jalannya rekayasa sosial. Misalnya,
fallacy of dramatic instance (kecenderungan untuk melakukan over
generalisasi), fallacy of Retrospektif Determinisme (kecenderungan yang
menganggap bahwa masalah sosial yang terjadi sebagai sesuatu yang
secara historis memang selalu ada, tidak bisa dihindari, dan merupakan
akibat dari sejarah yang cukup panjang), argumentum ad populum
(kecenderungan untuk menganggap bahwa pendapat kebanyakan
masyarakat sebagai kebenaran), dsb.
Rekayasa sosial akan mendapat tantangan bisa jadi bukan berasal
dari pihak luar atau kelompok sosial di luar, tetapi justru dalam
masyarakat yang hendak dirancang perubahan sosial; masyarakat yang
menjadi korban dari kelompok kepentingan. Dus, tanpa perencanaan yang
matang bisa jadi bukan keberhasilan yang diperoleh justru kitalah menjadi
penyebab kian melembaganya problem sosial.

PARADIGMA KRITIS TRANSFORMATIF


Paradigma pertama kali diperkenalkan oleh Thomas Khun, seorang
ahli fisika teoritik, dalam bukunya The Struktur Of Scientific Revolution,
yang dipopulerkan oleh Robert Friederichs (The Sociologi Of Sociology;
1970), Lodhal dan Cardon (1972), Effrat (1972), dan Philips (1973).
Sementara Khun sendiri, seperti ditulis Ritzer (1980) tidak
mendefinisikan secara jelas pengertian paradigma. Bahkan menggunakan
kata paradigma dalam 21 konteks yang berbeda. Namun dari 21
pengertian tersebut oleh Masterman diklasifikasikan dalam tiga
pengertian paradigma.
a. Paradigma metafisik yang mengacu pada sesuatu yang menjadi pusat
kajian ilmuwan.
b. Paradigma Sosiologi yang mengacu pada suatu kebiasaan sosial
masyarakat atau penemuan teori yang diterima secara umum.
c. Paradigma Konstrak sebagai sesuatu yang mendasari bangunan konsep
dalam lingkup tertentu, misalnya paradigma pembangunan, paradigma
pergerakan dll.
Masterman sendiri merumuskan paradigma sebagai pandangan
mendasar dari suatu ilmu yang menjadi pokok persoalan yang dipelajari (a
fundamental image a dicipline has of its subject matter).
Sedangkan George Ritzer mengartikan paradigma sebagai apa yang
harus dipelajari, persoalan-persoalan apa yang mesti dipelajari,
bagaimana seharusnya menjawabnya, serta seperangkat aturan tafsir
sosial dalam menjawab persoalan-persoalan tersebut. Maka, jika
dirumuskan secara sederhana sesungguhnya paradigma adalah How to
see the Word semacam kaca mata untuk melihat, memaknai,
menafsirkan masyarakat atau realitas sosial. Tafsir sosial ini kemudian
menurunkan respon sosial yang memandu arahan pergerakan.

A. Apakah yang disebut Teori kritis?


Apa sebenarnya makna Kritis? Menurut kamus ilmiah populer,
kritis adalah Tajam/tegas dan teliti dalam menanggapi atau memberikan
penilaian secara mendalam. Sehingga teori kritis adalah teori yang
berusaha melakukan analisa secara tajam dan teliti terhadap realitas.
Secara historis, berbicara tentang teori kritis tidak bisa lepas dari
Madzhab Frankfurt.
Dengan kata lain, teori kritis merupakan produk dari institute
penelitian sosial, Universitas Frankfurt Jerman yang digawangi oleh
kalangan neo-marxis Jerman. Teori Kritis menjadi disputasi publik di
kalangan filsafat sosial dan sosiologi pada tahun 1961. Konfrontasi
intelektual yang cukup terkenal adalah perdebatan epistemologi sosial
antara Adorno (kubu Sekolah Frankfurt - paradigma kritis) dengan Karl
Popper (kubu Sekolah Wina - paradigma neo positivisme/neo kantian).
Konfrontasi berlanjut antara Hans Albert (kubu Popper) dengan Jrgen
Habermas (kubu Adorno). Perdebatan ini memacu debat positivisme
dalam sosiologi Jerman.
Habermas adalah tokoh yang berhasil mengintegrasikan metode
analitis ke dalam pemikiran dialektis Teori Kritis. Teori kritis adalah anak
cabang pemikiran marxis dan sekaligus cabang marxisme yang paling
jauh meninggalkan Karl Marx (Frankfurter Schule).
Cara dan ciri pemikiran aliran Frankfurt disebut ciri teori kritik
masyarakat eine Kritische Theorie der Gesselschaft. Teori ini mau
mencoba memperbaharui dan merekonstruksi teori yang membebaskan
manusia dari manipulasi teknokrasi modern. Ciri khas dari teori kritik
masyarakat adalah bahwa teori tersebut bertitik tolak dari inspirasi
pemikiran sosial Karl Marx, tapi juga sekaligus melampaui bangunan
ideologis marxisme bahkan meninggalkan beberapa tema pokok Marx dan
menghadapi masalah masyarakat industri maju secara baru dan kreatif.
Beberapa tokoh Teori Kritis angkatan pertama adalah Max
Horkheimer, Theodor Wiesengrund Adorno (musikus, ahli sastra, psikolog
dan filsuf), Friedrich Pollock (ekonom), Erich Fromm (ahli psikoanalisa
Freud), Karl Wittfogel (sinolog), Leo Lowenthal (sosiolog), Walter Benjamin
(kritikus sastra), Herbert Marcuse (murid Heidegger yang mencoba
menggabungkan fenomenologi dan marxisme, yang juga selanjutnya
Marcuse menjadi nabi gerakan New Left di Amerika).
Pada intinya madzhab Frankfurt tidak puas atas teori Negara Marxian yang
terlalu bertendensi determinisme ekonomi. Determinisme ekonomi
berasumsi bahwa perubahan akan terjadi apabila masalah ekonomi sudah
stabil. Jadi basic strurtur (ekonomi) sangat menentukan supras truktur
(politik, sosial, budaya, pendidikan dan seluruh dimensi kehidupan
manusia). Kemudian mereka mengembangkan kritik terhadap masyarakat
dan berbagai sistem pengetahuan. Teori kritis tidak hanya menumpukkan
analisisnya pada struktur sosial, tapi teori kritis juga memberikan
perhatian pada kebudayaan masyarakat (culture society).
Seluruh program teori kritis Madzhab Frankfurt dapat dikembalikan
pada sebuah manifesto yang ditulis di dalam Zeischrift tahun 1957 oleh
Horkheimer. Dalam artikel tentang Teori Tradisional dan teori Kritik
(Traditionelle und KritischeTheorie) ini, konsep Teori kritis pertama
kalinya muncul. Tokoh utama teori kritis ini adalah Max Horkheimer (1895-
1973), Theodor Wiesengrund Adorno (1903-1969) dan Herbert Marcuse
(1898-1979) yang kemudian dilanjutkan oleh Generasi kedua mazhab
Frankfurt yaitu Jurgen Habermas yang terkenal dengan teori
komunikasinya.

Diungkapkan Goerge Ritzer, secara ringkas teori kritis berfungsi


untuk mengkritisi :
1) Teori Marxian yang deterministic yang menumpukan semua persoalan
pada bidang ekonomi.
2) Positivisme dalam Sosiologi yang mencangkok metode sains eksak
dalam wilayah sosial- humaniora katakanlah kritik epistimologi.
3) Teori- teori sosiologi yang kebanyakan hanya memperpanjang status
quo.
4) Kritik terhadap masyarakat modern yang terjebal pada irrasionalitas,
nalar teknologis,nalar instrumental yang gagal membebaskan manusia
dari dominasi.
5) Kritik kebudayaan yang dianggap hanya menghancurkan otentisitas
kemanusiaan.

Madzhab Frankfrut mengkarakterisasikan berpikir kritis dengan


empat hal :
1. Berpikir dalam totalitas (dialektis)
2. Berpikir empiris-historis
3. Berpikir dalam kesatuan teori dan praksis
4. Berpikir dalam realitas yang tengah dan terus bekerja (working
reality).
Mereka mengembangkan apa yang disebut dengan kritik ideology atau
kritik dominasi. Sasaran kritik ini bukan hanya pada struktur sosial namun
juga pada ideologi dominan dalam masyarakat.

Teori Kritis berangkat dari 4 (empat sumber) kritik yang


dikonseptualisasikan oleh Immanuel Kant, Hegel, Karl Marx dan Sigmund
Freud.

1. Kritik dalam pengertian Kantian.


Immanuel Kant melihat teori kritis dari pengambilan suatu ilmu
pengetahuan secara subyektif sehingga akan membentuk paradigma
segala sesuatu secara subyektif pula. Kant menumpukkan analisisnya
pada aras epistemologis; tradisi filsafat yang bergulat pada persoalan isi
pengetahuan. Untuk menemukan kebenaran, Kant mempertanyakan
condition of possibility bagi pengetahuan. Bisa juga disederhanakan
bahwa kitik Kant terhadap epistemologi tentang (kapasitas rasio dalam
persoalan pengetahuam) bahwa rasio dapat menjadi kritis terhadap
kemampuannya sendiri dan dapat menjadi pengadilan tinggi. Kritik ini
bersifat transendental. Kritik dalam pengertian pemikiran Kantian adalah
kritik sebagai kegiatan menguji kesahihan klaim pengetahuan tanpa
prasangka.

2. Kritik dalam pengertian Hegelian.


Kritik dalam makna Hegelian merupakan kritik terhadap pemikiran
kritis Kantian. Menurut Hegel, Kant berambisi membangun suatu meta-
teori untuk menguji validitas suatu teori. Menurut Hegel pengertian kritis
merupakan refleksi-diri dalam upaya menempuh pergulatan panjang
menuju ruh absolute. Hegel merupakan peletak dasar metode berpikir
dialektis yang diadopsi dari prinsip tri-angle-nya Spinoza Diktumnya yang
terkenal adalah therational is real, the real is rational. Sehingga, berbeda
dengan Kant, Hegel memandang teori kritis sebagai proses totalitas
berfikir. Dengan kata lain, kebenaran muncul atau kritisisme bisa tumbuh
apabila terjadi benturan dan pengingkaran atas sesuatu yang sudah ada.
Kritik dalam pengertian Hegel didefinisikan sebagai refleksi diri atas
tekanan dan kontradiksi yang menghambat proses pembentukan diri-rasio
dalam sejarah manusia.

3. Kritik dalam pengertian Marxian.


Menurut Marx, konsep Hegel seperti orang berjalan dengan kepala.
Ini adalah terbalik. Dialektika Hegelian dipandang terlalu idealis, yang
memandang bahwa, yang berdialektika adalah pikiran. Ini kesalahan
serius sebab yang berdialektika adalah kekuatan-kekuatan material dalam
masyarakat. Pikiran hanya refleksi dari kekuatan material (modal produksi
masyarakat). Sehingga teori kritisbagi Marx sebagai usaha
mengemansipasi diri dari penindasan dan elienasi yang dihasilkan oleh
penguasa di dalam masyarakat. Kritik dalam pengertian Marxian berarti
usaha untuk mengemansipasi diri dari alienasi atau keterasingan yang
dihasilkan oeh hubungan kekuasaan dalam masyarakat.

4. Kritik dalam pengertian Freudian.


Madzhab frankfrut menerima Sigmun Freud karena analisis Freudian
mampu memberikan basis psikologis masyarakat dan mampu
membongkar konstruk kesadaran dan pemberdayaan masyarakat. Freud
memandang teori kritis dengan refleksi dan analisis psikoanalisanya.
Artinya, bahwa orang bisa melakukan sesuatu karena didorong oleh
keinginan untuk hidupnya sehingga manusia melakukan perubahan dalam
dirinya. Kritik dalam pengertian Freudian adalah refleksi atas konflik psikis
yang menghasilkan represi dan memanipulasi kesadaran. Adopsi Teori
Kritis atas pemikiran Freudian yang sangat psikologistik dianggap sebagai
pengkhianatan terhadap ortodoksi marxisme klasik.Berdasarkan empat
pengertian kritis di atas, teori kritis adalah teori yang bukan hanya
sekedar kontemplasi pasif prinsip-prinsip obyektif realitas, melainkan
bersifat emansipatoris. Sedang teori yang emansipatoris harus memenuhi
tiga syarat:
a. bersifat kritis dan curiga terhadap segala sesuatu yang terjadi pada
zamannya.
b. berfikir secara historis, artinya selalu melihat proses perkembangan
masyarakat.
c. tidak memisahkan teori dan praksis. Tidak melepaskan fakta dari nilai
semata-mata untuk mendapatkan hasil yang obyektif.

B. Paradigma Kritis; Sebuah Sintesis Perkembangan Paradigma Sosial


William Perdue, menyatakan dalam ilmu sosial dikenal adanya tiga jenis
utama paradigma:

1. Order Paradigm (Paradigma Keteraturan)


Inti dari paradigma keteraturan adalah bahwa masyarakat
dipandang sebagai sistem sosial yang terdiri dari bagian-bagian atau
elemen-elemen yang saling berkaitan dan saling menyatu dalam
keseimbangan sistemik. Asumsi dasarnya adalah bahwa setiap struktur
sosial adalah fungsional terhadap struktur lainnya. Kemiskinan,
peperangan, perbudakan misalnya, merupakan suatu yang wajar, sebab
fungsional terhadap masyarakat. Ini yang kemudian melahirkan teori
strukturalisme fungsional. Secara eksternal paradigma ini dituduh a
historis, konservatif, pro-satus quo dan karenanya, anti-perubahan.
Paradigma ini mengingkari hukum kekuasaan : setiap ada kekuasaan
senantiasa ada perlawanan.

2. Conflic Paradigm (Paradigma Konflik)


Secara konseptual paradigma Konflik menyerang paradigma
keteraturan yang mengabaikan kenyataan bahwa :- Setiap unsur-unsur
sosial dalam dirinya mengandung kontradiksi-kontradiksi internal yang
menjadi prinsip penggerak perubahan- Perubahan tidak selalu gradual;
namun juga revolusioner- Dalam jangka panjang sistem sosial harus
mengalami konflik sosial dalam lingkar setan (vicious circle) tak berujung
pangkal Kritik itulah yang kemudian dikembangkan lebih lanjut menjadi
paradigma konflik. Konflik dipandang sebagai inhern dalam setiap
komunitas, tak mungkin dikebiri, apalagi dihilangkan. Konflik menjadi
instrument perubahan.

4. Plural Paradigm (Paradigma plural)


Dari kontras/perbedaan antara paradigma keteraturan dan
paradigma konflik terse but melahirkan upaya membangun sintesis
keduanya yang melahirkan paradigma plural. Paradigma plural
memandang manusia sebagai sosok yang independent, bebas dan
memiliki otoritas serta otonomi untuk melakukan pemaknaan dan
menafsirkan realitas sosial yang ada disekitarnya.

C. Terbentuknya Paradigma Kritis


Ketiga paradigma di atas merupakan pijakan-pijakan untuk
membangun paradigma baru. Dari optic pertumbuhan teori sosiologi telah
lahir Paradigma kritis setelah dilakukan elaborasi antara paradigma
pluralis dan paradigma konflik.
Paradigma pluralis memberikan dasar pada paradigma kritis terkait
dengan asumsinya bahwa manusia merupakan sosok yang independent,
bebas dan memiliki otoritas untuk menafsirkan realitas. Sedangkan
paradigma konflik mempertajam paradigma kritis dengan asumsinya
tentang adanya pembongkaran atas dominasi satu kelompok pada
kelompok yang lain.. Apabila disimpulkan apa yang disebut dengan
paradigma kritis adalah paradigma yang dalam melakukan tafsir sosial
atau pembacaan terhadap realitas masyarakat bertumpu pada:
a. Analisis struktural: membaca format politik, format ekonomi dan politik
hukum suatu masyarakat, untuk menelusuri nalar dan mekanisme
sosialnya untuk membongkar pola dan relasi sosial yang hegeminik,
dominatif, dan eksploitatif.
b. Analisis ekonomi untuk menemukan fariabel ekonomi politikbaik pada
level nasional maupun internasional.
c. Analisis kritis yang membongkar the dominant ideology baik itu
berakar pada agama, nilai-nilai adat, ilmu atau filsafat. Membongkar
logika dan mekanisme formasi suatu wacana resmi dan pola-pola eksklusi
antar wacana.
d. Psikoanalisis yang akan membongkar kesadaran palsu di masyarakat.
e. Analisis kesejarahan yang menelusuri dialektika antar tesis-tesis sejarah,
ideologi, filsafat, aktor-aktor sejarah baik dalam level individual maupun
sosial, kemajuan dan kemunduran suatu masyarakat.

C. Kritis dan Transformatif


Dalam memilih paradigma kritis ini, tentunya mempunyai berbagai
alasan yang mendasarinya, antara lain :
Secara Internal, pertama; teori ini menerima pandangan tentang
perlunya kategori imperatif paham ilmu-ilmu sosial yang sejalan dengan
argumen yang mendukung interperatif. Dan model kritis menyetakan
bahwa untuk memilki pokok bahasan (subjet matter) seorang harus
mempunyai maksud dan keinginan para pelaku yang diamatinya dan juga
aturan serta makna konstitutif tatanan sosial mereka. Untuk melakukan ini
semua maka digunakan pola pikir kritis.
Kedua, Menghindari sebuah kegiatan yang mempunyai asumsi
kebetulan. Yaitu dengan cara membongkar sistem hubungan sosial yang
menentukan tindakan individu. Dalam bahasanya Paulo freire adalah
kesadaran kritis (critical consciusns). Model berfikir kritis merupakan
model yang menuntut bahwa para praktikusnya berusaha untuk
menemukan kaidah kuasi-kausal darn fungsional tentang tingkah laku
sosial dalam konstalasi kehidupan sosial sehari-hari.
Ketiga, Teori kritis bagaian dari ilmu-ilmu soaial yang dapat
digunakan untuk mengeksplor tentang teori-teori ilmiah sekaligus dalam
penyikapan terhadap realitas sosial yang berkembang.
Model berfikir paradigma kritis ini menganggap hubungan yang
tersembunyi antara teori dan praktek sebagai salah satu titik tolaknya,
dan ini berarti bahwa model ini mempertalikan pendirian pengetahuannya
dengan pemuasan tujuan dan keinginan manusia.
Secara Eksternal, paradigma kritis sangat berfungsi bagi PMII,
pertama; masyarakat indonesia adalah masyarakat plural (majemuk) yang
terdiri dari suku,,agama, ras (etnis) dan tradisi, kultur maupun
kepercayaan. Pluralitas bangsa inilah yang menyimpan kekayaan akan
konflik yang luar biasa. Disi lain ternya pluralitas terkadang dipahami
sebagai pembatas (penghalang) ideoloi antara komunitas satu dengan
komunitas yang lain. Kondisi seperti inilah akan lebih tepat digunakannya
paradigma kritis, karena paradigma ini akan memberikan tempat yang
sama (toward open and equal society) bagi setiap individu maupun
kelompok masyarakat untuk mengembangkan potensi diri dan
kreativitasnya secara maksimal melalui dialog terbuka, transparan dan
jujur. Dengan bahasa sederhananya memanusiakan manusia.
Kedua, masyarakat Indonesia saat ini telah terbelenggu oleh nilai-
nilai kapitalisme modern yang dapat mengakibatkan ketergantungan bagi
masyarakat setiap adanya suatu perubahan (hanyalah meniru dan
mengikuti) dengan asumsi siapa yang tidak melakukannya maka dia akan
ditinggalkan dan dipinggirkannya oleh perkembangan jaman. Hal ini tanpa
disadari telah mengekang dan memandulkan kesadaran rakyat untuk
mengembangkan kreativitas dan pola pikir, dengan meminjam istilah
Mark, bahwa kapitalisme inilah yang mengakibatkan manusia terasing
(alienated) dari diri dan lingkungannya. Dalam kondisi inilah peradigma
kritis menjadi keniscayaan untuk diterapkan.
Ketiga, selama pemerintahan Orde Baru, pemerintahan dijalankan
dengan cara hegemonik-militeristik, yang mengakibatkan ruang publik
masyarakat atau dalam bahasa Habermas, public sphere menjadi hilang.
Dampak dari sistem ini adalah masyarakat dihinggapi budaya bisu dalam
berkreasi, berinovasi, maupun melakukan pemberontakan. Lebih radikal
lagi, seluruh potensi dan kekuatan pemberontakan atau jiwa kritisisme
yang dimiliki telah dipuberhanguskan dengan cara apapun demi
melenggangkan kekuasaan status quo negara. Melihat fenomena seperti
ini maka perlu untuk dilakuknnya sebuah pemberdayaan (empowerment)
bagi rakyatIndonesia sebagai artikulasi sikap kritik dan pemberontak
terhadap negara yang totaliter hegemonik. Untuk melakukan upaya
empowerment, enforcemen (penguatan), sekaligus memperkuat civil
society dihadapan negara melalui paradigma kritis sebagai pola pikir dan
cara pandang masyarakat kita agar rakyat dan negara mmempunyai
posisi setara (equal).
Keempat, menghancurkan paradigma keteraturan (order paradigm).
Karena penerapan paradigma keteraturan ini, pemerintah harus menjaga
harmoni dan keseimbangan sosial (sicial harmony), sehingga gejolak
sekecil apapun harus diredam agar tidak mengusik ketenangan semu
mereka. Dengan paradigma inilah masyarakat akan dijadikan robot yang
hanya diperlakukan sana-kemari tanpa memberikan kebebasan mereka
untuk berfikir dan berkreasi dalam mengapresiasikan kemauannya. Untuk
melakukan pemberontakan atas belenggu dan kejumudan berfikir
semacam itu, maka diperlukan paradigma kritis.
Kelima, masih kuatnya belenggu dogmatisme agama dan tradisi.
Sehingga secara tidak sadar telah terjadi pemahaman yang distortif
tentang ajaran dan fungsi agama. Lebih parah lagi ketika terjadi
dogmatisasi agama sehingga kita tidak bisa membedakan lagi mana yang
dianggap dogma dan mana yang dianggao sebagai pemikiran. Akhirnya
agama terkesa kering dan kaku, bahkan tidak jarang agama menjadi
penghalang bagi kemajuan dan upaya penegakan nilai-nilai kemanusiaan.
Sementara disisi lain agama hanya dijadikan komoditas kendaran atau
lokomotif bagi kepentingan politik (kekuasaan) oleh kelompok tertentu.
Dengan terma-terma agama, masyarakat menjadi terbius dan tidak
mampu untuk melakukan kritik. Dengan demikian sangatlah perlu untuk
mengembalikan fungsi dan ajaran agama. Upaya tersebut adalah dengan
mengadakan rekontruksi/dekontrusi (pembongkaran) pemahaman
masyarakat melalui paradigma kritis. Dan harus diakui pula bahwa agama
diposisikan sebagai poros moralitas dan mampu menjadi inspirator dalam
moral forcement dalam seluruh kehidupan berbangsa dan bernegara. Dari
sinilah agama akan benar-benar kembali kefitrohnya, yakni melahirkan
dan menjaga perdamaian dimuka bumi.
Namun Paradigma kritis baru menjawab pertanyaan : struktur
formasi sosial seperti apa yang sekarang sedang bekerja. Ini baru sampai
pada logika dan mekanisme working-sistem yang menciptakan relasi tidak
adil, hegemonik, dominatif, dan eksploitatif; namun belum mampu
memberikan prespektif tentang jawaban terhadap formasi sosial tersebut;
strategi mentransformasikannya; disinilah Term Transformatif
melengkapi teori kritis.
Dalam perspektif Transformatif dianut epistimologi perubahan non-
esensialis. Perubahan yang tidak hanya menumpukan pada revolusi politik
atau perubahan yang bertumpu pada agen tunggal sejarah; entah kaum
miskin kota (KMK), buruh atau petani, tapi perubahan yang serentak yang
dilakukan secara bersama-sama. Disisi lain makna tranformatif harus
mampu mentranformasikan gagasan dan gerakan sampai pada wilayah
tindakan praksis ke masyarakat. Model-model transformasi yang bisa
dimanifestasikan pada dataran praksis antara lain:

1. Transformasi dari Elitisme ke Populisme


Dalam model tranformasi ini digunakan model pendekatan, bahwa
mahasiswa dalam melakukan gerakan sosial harus setia dan konsisten
mengangkat isu-isu kerakyatan, semisal isu advokasi buruh, advokasi
petani, pendampingan terhadap masyarakat yang digusur akibat adanya
proyek pemerintah yang sering berselingkuh dengan kekuatan pasar
(kaum kapitalis) dengan pembuatan mal-mal, yang kesemuanya itu
menyentuh akan kebutuhan rakyat secara riil. Fenomena yang terjadi
masih banyak mahasiswa yang lebih memprioritaskan isu elit, melangit
dan jauh dari apa yang dikehendaki oleh rakyat, bahkan kadang sifatnya
sangat utopis. Oleh karena itu, kita sebagai kaum intelektual terdidik,
jangan sampai tercerabut dari akar sejarah kita sendiri. Karakter gerakan
mahasiswa saat ini haruslah lebih condong pada gerakan yang bersifat
horisontal.

2. Transformasi dari Negara ke Masyarakat


Model tranformasi kedua adalah transformasi dari Negara ke
masyarakat. Kalau kemudian kita lacak basis teoritiknya adalah kritik
yang dilakukan oleh Karl Marx terhadap G.W.F. Hegel. Hegel memaknai
Negara sebagai penjelmaan roh absolute yang harus ditaati kebenarannya
dalam memberikan kebijakan terhadap rakyatnya. Disamping itu, Hegel
mengatakan bahwa Negara adalah satu-satunya wadah yang paling
efektif untuk meredam terjadinya konflik internal secara nasional dalam
satu bangsa. Hal ini dibantah Marx. Marx mengatakan bahwa justru
masyarakatlah yang mempunyai otoritas penuh dalam menentukan
kebijakan tertinggi. Makna transformasi ini akan sesuai jika gerakan
mahasiswa bersama-sama rakyat bahu-membahu untuk terlibat secara
langsung atas perubahan yang terjadi disetiap bangsa atau Negara.

3. Transformasi dari Struktur ke Kultur.


Bentuk transformasi ketiga adalah transformasi dari struktur ke
kultur, yang mana hal ini akan bisa terwujud jika dalam setiap mengambil
keputusan berupa kebijakan-kebijakan ini tidak sepenuhnya bersifat
sentralistik seperti yang dilakukan pada masa orde baru, akan tetapi
seharusnya kebijakan ini bersifat desentralistik. Jadi, aspirasi dari bawah
harus dijadikan bahan pertimbangan pemerintah dalam mengambil
keputusan, hal ini karena rakyatlah yang paling mengerti akan kebutuhan,
dan yang paling bersinggungan langsung dengan kerasnya benturan
sosial di lapangan.

4. Transformasi dari Individu ke Massa


Model transformasi selanjutnya adalah transformasi dari individu ke
massa. Dalam disiplin ilmu sosiologi disebutkan bahwa manusia adalah
mahluk sosial, yang sangat membutukan kehadiran mahluk yang lain.
Bentuk-bentuk komunalitas ini sebenarnya sudah dicita-citakan oleh para
foundhing fathers kita tentang adanya hidup bergotong royong.
Rasa egoisme dan individualisme haruslah dibuang jaung-jauh dari
sifat manusia. Salah satu jargon yang pernah dikatakan oleh Tan Malaka
(Sang Nasionalis Kiri), adalah adanya aksi massa. Hal ini tentunya setiap
perubahan meniscayakan adanya power atau kekuatan rakyat dalam
menyatukan program perjuangan menuju perubahan sosial dalam bidang
apapun ipoleksosbudhankam).

E. Paradigma Kritis Transformatif (PKT ) yang diterapkan di PMII?


Dari paparan diatas, terlihat bahwa PKT sepenuhnya merupakan proses
pemikiran manusia, dengan demikian dia adalah sekuler. Kenyataan ini
yang membuat PMII dilematis, karena akan mendapat tuduhan sekuler
jika pola pikir tersebut diberlakukan. Untuk menghindari dari tudingan
tersebut, maka diperlukan adanya reformulasi penerapan PKT dalam
tubuh warga pergerakan.
Dalam hal ini, paradigma kritis diberlakukan hanya sebagai kerangka
berpikir dan metode analisis dalam memandang persoalan. Dengan
sendirinya dia tidak dilepaskan dari ketentuan ajaran agama, sebaliknya
justru ingin mengembalikan dan memfungsikan ajaran agama
sebagaimana mestinya. PKT berupaya menegakkan harkat dan martabat
kemanusiaan dari belenggu, melawan segala bentuk dominasi dan
penindasan, membuka tabir dan selubung pengetahuan yang munafik dan
hegemonik. Semua ini adalah pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam
Islam. Oleh karenanya pokok-pokok pikiran inilah yang dapat diterima
sebagai titik pijak penerapan PKT di kalangan warga PMII.

PARADIGMA-PARADIGMA SOSIOLOGI dan ANALISIS SOSIAL


PENGANTAR
Tulisan ini telah menyita perhatian karena telah merubah cara kita
berpikir tentang teori-teori sosial dan kita berharap bahwa kita akan
berlaku sama untuk yang lain. Tulisan ini menjelaskan dan membantu
mengatasi apa yang kiranya menjadi sumber utama kebingungan dalam
ilmu-ilmu sosial pada saat sekarang. Pada awalnya tulisan ini hanya
bermaksud menghubungkan teori-teori organisasi dalam konteks
kemasyarakatan yang lebih luas. Tetapi, dalam wacana yang lebih luas,
tulisan ini sekaligus juga mencakup banyak aspek dari filsafat dan teori
sosial secara umum.
Dalil kami adalah bahwa teori sosial dapat secara mudah dipahami
dari empat kunci paradigma, yang didasarkan atas perbedaan anggapan
metateori tentang sifat dasar ilmu sosial dan sifat dasar dari masyarakat.
Empat paradigma itu dibangun atas pandangan-pandangan yang berbeda
mengenai dunia sosial. Masing-masing pendirian menghasilkan
(melahirkan) analisanya sendiri-sendiri mengenai kehidupan sosial.
Masing-masing paradigma melahirkan teori-teori dan pandangan-
pandangan yang didalamnya terdapat pertentangan fundamental yang
ditimbulkan dalam paradigma lainnya.
Sejumlah analisa-analisa teori sosial telah membawa kita berhadap-
hadapan langsung dengan sifat dari asumsi-asumsi yang mengandung
perbedaan pendekatan pada ilmu sosial.
ASUMSI-ASUMSI DASAR ILMU SOSIAL
Tesis utama dalam tulisan ini adalah bahwa semua teori tentang
masyarakat didasarkan pada (atas) filsafat ilmu dan teori sosial tertentu.
Fildsafat dan teori ilmu sosial selalu mengandung empat anggapan dasar
(asumsi): ontologis, epistemologis, pandangan tentang manusia (human
nature), dan metodologi. Semua pakar ilmu sosial mendekati pokok kajian
mereka dengan asumsi-asumsi (baik eksplisit maupun implisit) mengenai
dunia sosial dan cara dimana dunia sosial diteliti.
ASUMSI ONTOLOGIS
Asumsi ini memperhatikan inti dari fenomena yang diamati. Para
pakar ilmu sosial misalnya dihadapkan pada pertanyaan dasar ontologis:
apakah realitas diteliti sebagai suatu yang berada di luar diri manusia
yang merasuk ke dalam alam kesadaran seseorang; ataukah merupakan
hasil dari kesadaran seseorang? Apakah relaitas itu merupakan keadaan
yang obyektif atau hasil dari pengetahuan seseorang (subyektif)? Apakah
realitas itu memang sesuatu yang sudah ada (given) di luar pikiran
seseorang atau hasil dari pikiran seseorang.
ASUMSI EPISTEMOLOGIS
Ini berkaitan dengan anggapan-anggapan dasar mengenai landasan
ilmu pengetahuan, yaitu bagaimana seseorang mulai memahami dunia
sosial dan mengkomunikasikannya sebagai pengetahuan kepada orang
lain. Anggapan dasar ini berkaitan juga dengan bentuk-bentuk
pengetahuan apa saja yang bisa didapat dan bagaimana seseorang
memilah-milah mana yang dikatakan benar dan salah. Dikotomi benar
dan salah itu sendiri menunjukkan pendirian atau sikap epistemologi
tertentu. Didasarkan atas pandangan tentang sifat ilmu pengetahuan itu
sendiri: apakah misalnya mungkin mengenal dan mengkomunikasikan
sifat ilmu pengetahuan sebagai sesuatu yang wujud nyata dan dapat
disebarkan atau diteruskan dalam bentuk nyata; atau apakah ilmu
pengetahuan itu merupakan sesuatu yang lebih halus (tidak berujud),
lebih mempribadi, bersifat rohaniah dan bahkan mengatasi kenyataan
(transendental) yang lebih didasarkan pengalaman dan pengetahuan
pribadi yang unuk dan hakiki? Di sini epistemologi menentukan posisi
yang ekstrim: apakah pengetahuan itu sesuatu yang dapat diperoleh
(dipelajari) dari orang lain atau sesuatu yang dimiliki atas dasar
pengalaman pribadi.
ASUMSI HAKEKAT MANUSIA
Ini terutama mengenai hubungan antara manusia dengan
lingkungannya. Semua ilmu sosial secara jelas harus didasarkan pada
asumsi ini, karena kehidupan manusia hakekatnya adalah subyek
sekaligus obyek dari pencarian dan penemuan pengetahuan. Kita dapat
mengindentifikasi pandangan ilmu sosial, yang mengandung pandangan
manusia dalam menanggapi keadaan-keadaan di luar dirinya secara
mekanistik atau deterministik. Pandangan ini mengarahkan manusia
bahwa manusia dan pengalamannya dihasilkan oleh lingkungan, manusia
dibentuk oleh keadaan sekitar di luar dirinya. Pandangan ini
dipertentangkan dengan anggapan bahwa manusia memiliki peran
penciptaan yang lebih besar, memiliki kemauan bebas (free will),
menduduki peran kunci, bahwa seseorang adalah pencipta lingkungan
sekitarnya, pengendali dan bukan dikendalikan, sebagai dalang (master)
bukan wayang (marionette). Dalam dua pandangan ekstrim ini kita dapat
melihat perdebatan besar mengenai filsafast antara mereka yang
membela determinisme dan mereka yang membela volunterisme.
Semua ilmu sosial mengacu pada salah satu pandangan ekstrim ini dan
ahli-ahli ilmu sosial tersebar di antara keduanya.

ASUMSI METODOLOGIS
Anggapan-anggapan dasar tersebut memiliki konsekuensi penting
dalam hal cara seseorang menemukan pengetahuan tentang dunia sosial.
Perbedaan asumsi ontologis, epistemologis, dan asumsi kecenderungan
manusia akan membawa ahli ilmu sosial ke arah perbedaan metodologis,
bahkan di kalangan ahli ilmu alam tradisional sekalipun yang jurang
perbedaan mereka sangat tipis. Menelusuri metodologi yang digunakan
kedua kubu itu sangatlah mungkin. Penganut paham ekstrim pertama,
analisisnya akan dipusatkan pada hubungan-hubunhan dan tatanan-
tatanan antara berbagai unsur yang membentuk masyarakat dan
menemukan cara yang dapat menjelaskan hubungan (relationship) dan
keteraturan (regularity). Cara ini merupakan upaya mencari hukuim-
hukum yang dapat diberlakukan secara umum untuk menjelaskan
kenyataan sosial. Penganut pandangan kedua, upayanya terarah pada
berbagai masalah masyarakat yang berbeda dan dipahami dengan cara
berbeda pula. Upayanya terpusat memahami cara seseorang
menafsirkan, merubah dan membentuk dunia di mana ia berada.
Tekanannya pada pemahaman dan pengertian khas dan unik setiap orang
pada kenyataan yang umum. Menekankan sifat kenisbian kenyataan
sosial. Pendekatan ini sering dianggap tidak ilmiah oleh penganut
kaidah-kaidah ilmu pengetahuan sosial.
Bagian Asumsi-Asumsi Dasar ilmu Sosial (Dimensi Subyektif-
Obyektif)
PENDEKATAN SUBYEKTIF PENDEKATAN OBYEKTIF
Nominalisme Ontologi Realisme
Anti-positivisme Epistemologi Positivisme
Volunterisme Hakekat Manusia Determinisme
Ideografis Metodologi Nomotetis
Nominalisme Realisme : Debat Ontologis
Kaum nominalis beranggapan bahwa realitas sosial yang dianggap
merupakan sesuatu yang berada di luar diri seseorang hanyalah sekedar
nama-nama (names), konsep atau label yang digunakan menjelaskan
realitas sosial. Mereka tidak menerima adanya kenyataan masyarakat di
manapun yang benar-benar dapat dijelaskan oleh konsep semacam itu.
Penamaan itu hanyalah rekaan saja untuk menjelaskan, memberi
pengertian dan memahami realitas. Nominalisme sering disejajarkan
dengan paham konvensionalisme. Keduanya sulit dibedakan.
Realisme beranggapan bawa realita sosial sebagai sesuatu di luar
diri seseorang, merupakan kenyataan yang berujud, dapat diserap, dan
merupakan tatanan nisbi yang tetap. Realitas itu ada, berwujud sebagai
keutuhan yang dapat dialami (empirical entities). Mungkin kita saja yang
belum menyadari dan belum memilii penamaan atau konsep untuk
menjelaskannya. Kenyataan sosial ada terpisah (independen) dari
pemahaman seseorang terhadapnya. Orang dilahirkan dan kenyataan
sudah ada di luar dirinya, bukan berarti orang itu yang menciptakannya.
Realitas ada mendahului keberadaan dan kesadaran seseorang
terhadapnya.
Anti-positivisme Positivisme: Debat Epistemologis
Sebutan kaum positivis sama seperti kaum Borjuis berkesan
sentimen dari suatu pandangan tertentu. Istilah itu digunakan di sini
untuk mengidentifikasi sikap atau pendirian epistemologis tertentu. Istilah
positivisme sering dicampuradukkan dengan empirisme, ini
mengeruhkan beberapa pengertian pokok dan bernada olok-olok.
Pendirian epistemologis kaum positivis didasarkan pada pendekatan
tradisional yang digunakan dalam ilmu alam. Perbedaannya hanya dalam
istilah yang digunakan. Hipotesa mengenai tatanan sosial dapat
dibuktikan kebenarannya melalui penelitian eksperimental; tetapi sering
juga jipotesa itu keliru dan tak pernah dapat dibuktikan kebenarannya.
Kaum verifikasionis (ingin membuktikan kebenaran) dan falsisikasionis
(ingin membuktikan kekeliruan) hipotesa tentang tatanan sosial
sependapat bahwa pengetahuan hakekatnya merupakan proses kumulatif
dimana pemahaman-pemahaman baru diperoleh sebagai tambahan atas
kumpulan pengetahuan atau penghapusan atas hipotesa salah yang
pernah ada.
Pendirian epistemologis kaum anti-positivis beragam jenisnya, yang
semuanya tidak menerima berlakunya kaidah-kaidah atau menegaskan
tatanan sosial tertentu terhadap semua peristiwa sosial. Realitas sosial
adalah nisbi, hanya dapat dipahami dari pandangan orang-perorang yang
langsung terlibat dalam peristiwa sosial tertentu. Mereka menolak
kedudukan sebagai pengamat seperti layaknya kedudukan kaum
positivis. Seseorang hanya bisa mengerti melalui kerangka berpikir
orang yang terlibat langsung atau diri mereka sendiri sebagai peserta
atau pelaku dalam tindakan. Seseorang hanya bisa mengerti dari sisi
dalam, bukan dari luar realitas sosial. Karena itu, ilmu sosial bersifat
subyektif dan menolak anggapan bahwa ilmu pengetahuan dapat
ditemukan sebagai pengaetahuan tentang apa saja.
Volunterisme Determinisme : Debat Hakekat Manusia
Kaum determinis menganggap bahwea manusia ditentukan oleh
keadaan lingkungan sekitar dimana ia berada. Kaum volunteris
beranggapan manusia sepenuhnya pencipta dan berkemauan bebas.
Kedua anggapan ini merupakan unsur paling hakiki dalam teori ilmu
sosial.

Ideografis Nomotetis: Debat Metodologis


Pendekatan ideografis mengatakan bahwa seseorang hanya dapat
memahami kenyataan sosial melalui pencapaian pengetahuan langsung
dari pelaku atau orang yang terlibat dalam peristiwa sosial. Pendekatan ini
menekankan analisisnya secara subyektif dengan cara masuk ke dalam
keadaan dan melibatkan diri dalam kehidupan sehari-hari. Hubungan
langsung sedekat mungkin dengan memahami sejarah hidup dan latar
belakang para pelaku sangat penting dalam pendekatan ini. Masalah yang
diteliti dibiarkan muncul apa adanya.
Pendekatan nomotetis mementingkan adanya seperangkat teknik
dan tata cara sistematik dalam penelitian, seperti metode ilmu alam
dengan mengutamakan proses pengujian hipotesa dengan dalil-dalil yang
baku. Cara ini juga mengutamakan teknik-teknik kuantitatif untuk
menganalisis data. Survei, angket, tes kepribadian dan alat-alat baku
yang sering digunakan dalam metodologi nomotetis.
ANGGAPAN-ANGGAPAN DASAR MENGENAI SIFAT ILMU SOSIAL
Ada dua tradisi pemikiran besar yang mewarnai perkembangan ilmu
sosial selama lebih duaratus tahun terakhir. Pertama adalah sosiologi
positivisme. Aliran ini mewakili pandangan yang berusaha menerapkan
cara dan bentuk penelitian ilmu alam ke dalam pengkajian peristiwa sosial
atau kemanusia. Realitas sosial disamakan dengan realitas alam. Meniru
kaum realis dalam ontologinya, kaum positivis dalam epistemologinya,
pandangan deterministik mengenai sifat manusia dan nomotetis dalam
metodologinya.
Tradisi kedua adalah idealisme Jerman, berlawanan dengan yang
pertama. Aliran ini menyatakan bahwa realitas tertinggi bukan kenyataan
lahir yang dapat dilihat oleh indera, tetapi ruh atau gagasan. Karena
itu, ontologinya nominalis, epistemologinya anti-positivis dimana sifat
subyektifitas dari peristiwa kemanusiaan lebih penting dan menolak cara
dan bentuk penelitian ilmu alam, berpandangan volunteris terhadap fitrah
manusia, dan menggunakan pendekatan ideografis dalam analisis
sosialnya.
Sejak 70 tahun terakhir telah mulai bersentuhan antara kedua
tradisi besar terutama di bidang filsafat sosial. Jalan tangan dari kedua
kutub memunculkan bebrapa pemikiran baru seperti fenomenologis,
etnometodologi dan terori-teori aksi. Aliran tengah ini selain menyatakan
pendiriannya sendiri sering juga menentang aliran sosiologi positivisme.
Aliran-aliran ini dapat dipahami dengna baik dengan mengenali
perbedaan-perbedaan anggapan dasarnya masing-masing.

ANGGAPAN-ANGGAPAN DASAR TENTANG HAKEKAT MANUSIA


Semua pendekatan dalam mengkaji masyarakat didasarkan pada
kerangka berpikir, pandangan dan anggapan-anggapan dasar tertentu.
Debat Ketertiban Pertentangan (Order-Conflict Debate)
Dahrendorf (1959) dan Lockwood (1956) mengadakan pembedaan
pendekatan sosiologi dalam dua pandangan: pandangan tentang sifat
keseimbangan dan ketertiban sosial dan pandangan mengenai
perubahan, pertentangan dan pemaksaan suatu tatanan masyarakat.
Yang pertama penganutnya jauh lebih banyak dari kedua. Menurut Dawe,
yang pertama merupakan teori sosial. Cohen (1968), Silverman (1970),
Van den Bergh (1969) mwnganggap perdebatan itu semu dan tidak ada
gunanya. Coser (1956) memandang pertentangan sosial berfungsi penting
untuk mnenjelaskan ketertiban sosial sehingga perlu dijadikan ragam
dalam teori sosial.
Cohen (1968), berdasarkan anggapan dasarnya mengenai corak
sistem sosial, menyebutkan bahwa corak sistem sosial yang tertib
ditandai oleh: perjanjian bersama (commitment), kerapatan (cohesion),
kesetiakawanan (solidarity), kesepakatan (consensus), imbal balik
(reciprocity), kerjasama (coorperation), keterpaduan (integration),
ketetapan (stability), dan kekukuhan (persitence). Corak pertentangan
sosial ditandai pemaksaan (coercion), pemisahan (division), percekcokan
(hostility), ketidaksepakatan (dissensus), pertentangan (conflict),
ketidakpaduan (malintegration) dan perubahan (change).

Bagan Teori Masyarakat:


Ketertiban dan Pertentangan
KETERTIBAN PERTENTANGAN
Ketetapan (stability) Perubahan (change)
Keterpaduan (integration) Pertentangan (conflict)
Koordinasi fungsional Pemisahan (disintegration)
Kesepakatan (consensus) Pemaksaan (coercion)
Selanjutnya ia mengatakan bahwa Dahrendorf keliru karena
membuat pemisahan antara ketertiban dan pertentangan, padahal sangat
mungkin teori sosial menggabungkan unsur-unsur kedua corak
masyarakat, sehingga tidk perlu diperdebatkan.

Tahun 1960-an lahir gerakan budaya penentang (counter-culture


movement). Tahun 1968 revolusi Perancis gagal, maka sosiolog kemudian
beralih dari kajian-kajian tentang tatanan (struktur) masyarakat ke kajian-
kajian perseorangan. Gerakan kaum subyektivis dan teori aksi semakin
diminati sehingga perdebatan ketertiban dan pertentangsan sosial
terbenam kalah, debat fisafat dan metode ilmu sosial kian marak. Dengan
tenggelamnya perdebatan itu maka pakar sosial merupakan karya Marx
dan cenderung melirik Weber, Durkheim dan Pareto yang cenderung
mengkaji satu sisi dari masyarakat, yaitu ketertiban sosial. Karena itu
sangatlah penting menghidupkan kembali debat ketertiban sosial. Karena
itu sangatlah penting menghidupkan kembali debat ketertiban dan
pertentangan karena apa yang disebut kesepakatan sosial bisa jadi hasil
penggunaan kekuatan yang memaksa.

Wright Mills (1959) menyatakan bahwa apa yang dikatakan Parson


tentang orientasi nilai (value orientation) dan tatanan nilai (normative
structure) hanyalah perlambangan untuk legitimasi kekuasaaan.
Dahrendorf menyebutnya kesepakatan sebagai sistem mengesahkan
tatanan kekuasaan, sedang Mills menyebutnya penguasaan
(domination).

Analisa ketertiban sosial diwakili oleh teori-teori fungsional yang


cenderung meladeni kepentingan kekuasaan, bersifat statis dalam arti
ingin melanggengkan kemapanan (status quo). Teori pertentangan justru
bertujuan menjelaskan proses dan sifat perubahan struktural paling
mendasar dalam masyarakat. Yang ingin dituju adalah terjadinya
transformasi masyarakat secara radikal.
Banyak analisis tentang ketertiban dan pertentangan ini sering
salah tafsir, terjebak dan membuat pengertian menjadi suram tentang
perbedaan mendasar keduanya. Oleh karena diusulkan adanya
perubahan-perubahan tertentu yang lebih tegas dan radikal dalam
menganalisis keduanya, maka digantilah peristilahan yang lain sama
sekali yakni: keteraturan (regulation) dan perubahan radikal (radical
change).
KETERATURAN vs PERUBAHAN RADIKAL
Istilah ini diusulkan karena telah terjadi banyak ketidakjelasan
dalam membedakan corak ketertiban dan pertentangan sosial. Istilah
keteraturan menunjuk pada teori sosial yang menekankan pentingnya
kesatuan (unity) dan kerapatan (cohesiveness). Teori ini mendambakan
adanya keteraturan dalam peristiwa kemanusiaan. Istilah perubahan
radikal sarat dengan keinginan menjelaskan tentang perubahan-
perubahan radikal dalam masyarakat, pertentangan-pertentangan yang
mendasar dalam masyarakat, bentuk-bentuk penguasaan yang menandai
masyarakat modern. Pandangan ini bertujuan membebaskan manusia dari
berbagai struktur (tatanan) masyarakat yang membatasi dan
menghalangi potensinya untuk berkembang. Pertanyaan-pertanyaan
dasarnya adalah masalah harkat manusia, baik fisik maupun kejiwaan.
Pandangan ini utopis, memandang ke depan, menanyakan apa yang
mungkin dan bukan sekadar apanya saja, melihat kemungkinan berbeda
dari sekadar kemapanan.
Skema Keteraturan Perubahan Radikal
Sosiologi Keteraturan Sosiologi Perubahan Radikal
Kemapanan Perubahan Radikal
Ketertibah Sosial Pertentangan Struktural
Kesepakatan Bentuk-bentuk Penguasaan
Kerapatan dan Keterpaduan Sosial Saling Pertentangan
Kesetiakawanan Pemerdekaan
Pemuasaan Kebutuhan Pemerosotan Harkat Manusia
Hal-hal yang Wujud Nyata Hal-hal yang Masih Terpendam
DUA DIMENSI, EMPAT PARADIGMA
Sejak 1960-an telah terjadi banyak aliran pemikiran sosiologi
bermunculan. Dalam perkembangannya berbagai pemikiran dasar
sosiologi justru menjadi kabur. Pada awal 1970-an telah terjadi kebuntuan
dalam perdebatan sosiologi baik mengenai sifat ilmu sosial dan sifat
masyarakat seperti halnya terjadi pada 1960-1n. Untuk menembus
kebuntuan itu diusulkan untuk menampilkan kembali beberapa unsur
penting dari perdebatan yang terjadi pada 1960-an dan cara baru dalam
menganalisis empat paradigma sosiologi yang berbeda. Empat paradigma
itu ialah: humanis, radikal, strukturalis radikal, interpretatif, fungsionalis.
Paradigma Teori Sosial
PERUBAHAN RADIKAL
Humanis Radikal Strukturalis Radikal
Interpretatif Fungsionalis
SUBYEKTIF OBYEKTIF
KETERATURAN

Keempat paradigma tampak berhampiran satu sama lain tetapi tetap


pada pendirian masing-masing, karena memang dasar pemikirannya
berbeda secara mendasar.
Sifat dan Kegunaan Empat Paradigma
Paradigma diartikan sebagai anggapan-anggapan meta-teoretis
yang paling mendasar yang menentukan kerangka berpikir, cara
mengandaikan dan cara bekerjanya para penganut teori sosial yang
menggunakannya. Di dalamnya tersirat adanya kesamaan pandangan
yang mengikat sekelompok penganut teori dalam cara pandang dan cara
kerja yang sama dalam batas-batas pengetian yang sama pula. Jika
ilmuwan sosial telah menggunakan paradigma tertentu, maka berarti
memandang dunia dalam satu cara yang tertentu pula. Sehingga di sini
ada empat pandangan yang berbeda mengenai sifat ilmu pengetahuan
dan sifat masyarakat yang didasarkan pada anggapan-anggapan meta-
teoretis.
Empat paradigma itu merupakan cara mengelompokkan cara
berpikir seseorang dalam suatu teori sosial dan merupakan alat untuk
memahami mengapa pandangan-pandangan dan teori-teori tertentu
dapat lebih menampilkan setuhan pribadi di banding yang lain. Demikian
juga alat untuk memetakan perjalanan pemikiran teori sosial seseorang
terhadap persoalan sosial. Perpindahan paradigma sangat dimungkinkan
terjadi, dan ini revolusi yang sama bobotnya dengan pindah agama. Hal
ini pernah terjadi pada Marx yang dikenal Marx tua dan Marx muda,
perpindahan dari humanis radikal ke strukturalis radikal. Ini disebut
perpecahan epistemologi (epistemological break). Juga terjadi pada diri
Silverman, dari fungsionalis ke interpretatif.
Paradigma Fungsionalis
Paling banyak dianut di dunia. Pandangannya berakar kuat pada
tradisi sosiologi keteraturan. Pendekatannya terhadap permasalahan
berakar dari pemikiran kaum obyektivis. Memusatkan perhatian pada
kemapanan, ketertiban sosial, kesepakatan, keterpaduan sosial,
kesetiakawanan, pemuasan kebutuhan dan hal-hal yang nyata (empirik).
Condong realis dalam pendekatannya, positivis, determinis dan nomotetis.
Rasionalitas diutamakan dalam menjelaskan peristiwa sosial, berorientasi
pragmatis artinya berusaha melahirkan pengetahuan yang diterapkan,
berorientasi pada pemecahan masalah yakni langka-langkah praktis untuk
pemecahan masalah praktis juga. Mendasarkan pada filsafat rekayasa
sosial untuk dasar bagi perubahan sosial, menekankan pentingnya cara-
cara memelihara dan mengendalikan keteraturan sosial. Berusaha
menerapkan metode ilmu alam dalam pengkajian masalah kemanusiaan.

Paradigma ini mulai di Perancis pada dasawarsa pertama abad ke-19


dibentuk karena pengaruh karya August Comte, Herbert Spencer, Emile
Durkheim dan Wilfredo Pareto. Aliran ini mengatakan: realitas sosial
terbentuk oleh sejumlah unsur empirik nyata yang hubungan semua
unsurnya dapat dikenali, dikaji, diukur dengan cara dan menggunakan alat
seperti dalam ilmu alam. Menggunakan kias ilmu mekanikan dan biologi
untuk menjelaskan realitas sosial sangan biasa dalam aliran ini.
Sejak awal abad ke-20, mulai dipengaruhi oleh tradisi pemikiran
idealisme Jerman seperti karya Max Weber, George Simmel dan George
Herbert Mead. Banyak kaum fungsionalis mulai meninggalkan rumusan
teoretis dari kaum obyektivitas dan memulai pewrsentuhan dengan
paradigma interpretatif. Kias mekanika dan biologi mulai bergeser ke
pandangan para pelaku langsung dalam proses kegiatan sosial. Pada
1940-an, pemikiran sosiologi perubahan radikal mulai menyusupi kubu
kaum fungsionalis untuk meradikalisasi teori-teori fungsionalis. Sungguh
pun telah terjadi persentuhan dengan paradigma lain, paradigma
fungsionalis tetap saja secara mendasar menekankan pemikiran
obyektivitas tentang realitas sosial untuk menjelaskan keteraturan sosial.
Karena persentuhan dengan paradigma lain itu maka sebenarnya telah
lahir beragam pemikiran yang berbeda dalam paham fungsionalis.
Interaksi antar paradigma digambarkan sebagai berikut :
Pengaruh Pemikiran yang Membentuk Paradigma Fungsionalis
PERUBAHAN RADIKAL
Teori Marxis
Idealisme Jerman
SUBYEKTIF OBYEKTIF
KETERATURAN Sosiologi positivism
Paradigma Interpretatif
Kubu ini sebenarnya menganut ajaran-ajaran sosiologi keteraturan,
tetapi mereka menggunakan pendekatan subyektivitas dalam analisa
sosialnya, sehingga hubungan mereka dengan sosiologi keteraturan
bersifat tersirat. Mereka ingin memahami kenyataan sosial menurut apa
adanya, mencari sifat yang paling dasar dari kenyataan sosial menurut
pandangan subyektif dan kesadaran seseorang yang langsung terlibat
dalam peristiwa sosial bukan menurut orang lain yang mengamati.
Pendekatannya cenderung nominalis, anti-positivis dan ideografis.
Kenyataan sosial muncul karena dibentuk oleh kesadaran dan tindakan
seseorang. Karenanya mereka berusaha menyelami jauh ke dalam
kesadaran dan subyektifitas pribadi manusia untuk menemukan
pengertian apa yang ada di balik kehidupan sosial.
Sungguhpun demikian, anggapan-anggapan dasar mereka masih
tetap didasarkan pada pandangan bahwa manusia hidup serba tertib,
terpadu dan rapat, kamapanan, kesepakatan, kesetiakawanan.
Pertentangan, penguasaan, benturan sama sekali tidak menjadi agenda
kerja mereka. Mereka ini terpengaruh langsung oleh pemikiran sosial
kaum idealis Jerman, yang berasal dari pemikiran Kant yang lebih
menekankan sifat hakekat rohaniah daripada kenyataan sosial. Perumus
teori ini antara lain Dilthey, Weber, Husserl, dan Schutz.
Paradigma Humanis Radikal
Para penganutnya berminat mengembangkan sosiologi perubahan
radikal dari pandangan subyektifis. Pendekatan terhadap ilmu sosial sama
dengan kaum interpretatif yaitu nominalis, anti-positivis, volunteris dan
ideografis. Arahnya berbeda, yaitu cenderung menekankan perlunya
menghilangkan atau mengatasi berbagai pembatasan tatanan sosial yang
ada.
Pandangan dasarnya yang penting adalah bahwa kesadaran
manusia telah dikuasai atau dibelenggu oleh suprastruktur ideologis yang
ada di luar dirinya yang menciptakan pemisah antara dirinya dengan
kesadarannya yang murni (aliensi), atau membuatnya dalam kesadaran
palsu (false consciousness) yang menghalanginya mencapai pemenuhan
dirinya sebagai manusia sejati. Karena itu agenda utamanya adalah
memahami kesulitan manusia dalam membebaskan dirinya dari semua
bentuk tatanan sosial yang menghambat perkembangan manusia sebagai
manusia. Penganutnya mengecam kemapanan habis-habisan. Proses-
proses sosial dilihat sebagai tidak manusiawi. Untuk itu mereka ingin
memecahkan masalah bagaimana manusia bisa memutuskan belenggu-
belenggu yang mengikat mereka dalam pola-pola sosial yang mapan
untuk mencapai harkat kemanusiaannya. Meskipun demikian masalah-
masalah pertentangan struktural belum menjadi perhatian mereka.
Paradigma Strukturalis Radikal
Penganutnya juga memperjuangkan sosiologi perubahan radikal
tetapi dari sudut pandang obyektifitas. Pendekatan ilmiahnya memeiliki
beberapa persamaan dengan kaum fungsionalis, namun mempunyai
tujuan akhir yang saling berlawanan. Analisanya lebih menekankan pada
pertentangan struktural, bentuk-bentuk penguasaan dan pemerosotan
harkat kemanusiaan. Karenanya pendekatannya cenderung realis,
positivis, determinis dan nomotetis.
Kesadaran manusia dianggap tidak penting. Hal yang lebih penting
adalah hubungan-hubungan struktural yang terdapat dalam kenyataan
sosial yang nyata. Mereka menekuni dasar-dasar hubungan sosial dalam
rangka menciptakan tatanan sosial baru secara menyeluruh. Penganut
paradigma ini terpecah dalam dua perhatian, pertama lebih tertarik untuk
menjelaskan bahwa kekuatan sosial yang berbeda-beda serta hubungan
antar kekuatan sosial merupakan kunci untuk menjelaskan perubahan
sosial. Sebagian mereka lebih tertarik padaa keadaan penuh pertentangan
dalam suatu masyarakat. Paradigma ini diilhami oleh pemikiran Marx tua
setelah terjadinya perpecahan epistemologi dalam sejarah pemikiran
Marx, selain pengaruh Weber. Paradigma inilah yang menjadi bibit lahirnya
teori sosiologi radikal. Penganutnya antara lain Althusser, Polantzas,
Colletti, dan beberapa penganut kelompok kiri baru

http://tuntutanuntukmenulis.blogspot.co.id/2013/02/analisis-sosial.html

Anda mungkin juga menyukai