Monitorng gunung api dapat dilakukan dengan beberapa disiplin ilmu, diantaranya:
1. Geologi; monitoring gunung api menggunakan disiplin ilmu geologi menitik beratkan
kepada kondisi geologis disekitar gunung api, meliputi deformasi yang terjadi di sekitar
gunung api, dan juga endapan-endapan gunung api tersebut sebagai salah satu data
interpretasi interpretasi aktifitas gunung api sebelumnya sebagai acuan pada periode saat
ini.
2. Petrologi; dengan menganalisa batuan vulkanik secara menditail, baik fisika dan
kimianya meliputi mineralogi dan potensi kandungan gas.
3. Geofisika; monitoring metode geofisika terdapat beberapa metode, yaitu gravitasi,
seismik, magnetik, suhu, self potensial, dan EM. Dimana objek yang menjadi perhatian
pada monitoring ini adalah posisi kantung magma beserta pergerakan magma, aktifitas
hidrothermal yang berkaitan erat dengan tingkat eksplosifitas letusanm dan kestabilan
bangunan gunung api.
Karena kenaikan Intensitas Magnet maka akan meningkatkan nilai induksi magnetik
sehingga meningkatkan nilai medan magnet sebagai berikut.
Dalam konteks studi deformasi gunungapi dengan metode survei GPS, ada
beberapa keunggulan dan keuntungan dari GPS yang perlu dicatat, yaitu antara
lain:
GPS dapat mencakup suatu kawasan yang relatif luas tanpa memerlukan
saling keterlihatan antar titik-titik pengamatan. Dengan karakteristik seperti
ini, GPS dapat memantau sekaligus beberapa gunungapi yang berdekatan.
GPS memberikan nilai vektor koordinat serta pergerakan titik (dari minimum dua
kala pengamatan) dalam tiga dimensi (dua komponen horisontal dan satu komponen
vertikal), sehingga dapat informasi deformasi yang lebih baik dibandingkan metode-
metode terestris yang umumnya memberikan informasi deformasi dalam satu atau
dua dimensi.
GPS memberikan nilai vektor pergerakan titik dalam suatu sistem koordinat referensi
yang tunggal dan stabil baik secara spasial maupun temporal. Dengan itu maka GPS
dapat digunakan untuk memantau deformasi gunung atau gunung-gunungapi dalam
kawasan yang luas secara konsisten dari waktu ke waktu.
GPS dapat memberikan nilai vektor pergerakan dengan tingkat presisi sampai
beberapa mm, dengan konsistensi yang tinggi baik secara spasial maupun temporal.
Dengan tingkat presisi yang tinggi dan konsisten ini maka diharapkan besarnya
pergerakan titik yang kecil sekalipun akan dapat terdeteksi dengan baik.
GPS dapat dimanfaatkan secara kontinyu tanpa tergantung waktu (siang maupun
malam), dalam segala kondisi cuaca. Dengan karakteristik semacam ini maka
pelaksanaan survei GPS untuk studi deformasi gunungapi dapat dilaksanakan secara
efektif dan fleksibel.
e. Pengamatan Seismisitas
Sebelum pengamatan seismisitas ini bisa dilakukan, hal pertama yang harus
dilakukan adalah pemasangan seismometer di sekitar gunung api yang akan diamati.
Untuk pengamatan lebih akurat, harus dipasang lebih dari satu seismometer di setiap
gunung api. Di Indonesia, dari 129 gunung api aktif saat ini sudah dilakukan pengamatan
sebanyak 69 gunung api sisanya mudah-mudahan bisa disegera dilakukan
pengamatan (PVMBG). Pengamatan seismisitas akan menyelamatkan banyak jiwa
seperti ketika gunung api Pinatubo di Philipina erupsi pada tahun 1991.
Selain peningkatan seismisitas, peningkatan gas dan thermal (suhu) juga terjadi
apabila sebuah gunung api akan erupsi. Beberapa gas keluar ketika gunung api mau dan
sedang erupsi antara lain; Karbonmonoksida (CO), Karbondioksida (CO2), Hidrogen
Sulfide (H2S), Sulfurdioksida (S02), dan Nitrogen (NO2). Peningkatan suhu juga bisa
teramati dari mulai mengeringnya sungai dan danau serta perpohonan yang mulai mati di
sekitar gunung api.
Pengukuran untuk gas dan thermal bisa dilakukan secara langsung, namun
pengukuran secara langsung sangat berisiko bagi pengukur. Solusi lain adalah dengan
cara memasang alat pengukuran gas dan thermal di lapangan fumaroel dan datanya
terekam secara terus-menerus dan bisa dikirim secara automatis ke pusat pengamatan.
Untuk saat ini pengukuran kandungan gas juga sudah bisa dilakukan melalui pesawat
terbang seperti gambar (USGS) disamping tulisan ini.
Salah satu tujuan utama penginderaan jauh dalam bidang pemetaan adalah untuk
mengetahui atau mendapatkan gambar suatu obyek tanpa harus mendatangi obyek
tersebut secara langsung. Metode ini terkait dengan sensor yang bisa mengamati suatu
obyek, yang analoginya adalah kamera foto. Jika kamera atau sensor ini terletak di
pesawat udara, maka hasilnya adalah foto udara; jika terletak di satelit atau pesawat luar
angkasa, maka hasilnya adalah citra satelit. Sensor merekam semua pantulan radiasi yang
dipancarkan oleh obyek di permukaan bumi. Radiasi yang umum adalah dari pantulan
sinar matahari (gelombang cahaya) yang direkam oleh sensor dan diterjemahkan dalam
warna yang berbeda tergantung panjang gelombangnya. Metode ini dikelompokkan
menjadi penginderaan jauh pasif, karena sensor hanya menerima pantulan panjang
gelombang cahaya. Kelemahannya adalah sangat tergantung kepada sinar matahari,
artinya tidak berfungsi di malam hari, dan tidak dapat menembus awan.
Aplikasi remote sensing bisa digunakan dalam pemetaan topografi, pembuatan model
permukaan (digital elevation model), pemetaan arus laut, pekerjaan hidrologi, aktivitas
terkait dengan seismik, kegiatan terkait dengan deformasi permukaan (penurunan atau
kenaikan permukaan tanah), gunung api, perubahan daerah pesisir serta aplikasi
kehutanan.
ANALISIS SPEKTRAL GUNUNG SLAMET
Gempa gunungapi Tipe B Sumber gempa gunungapi tipe ini terdapat pada
kedalaman kurang dari 1 km dari kawah yang sedang aktif. Oleh karena itu gempa yang
tercatatmempunyai gerakan awal yang cukup jelas, tapi waktu tiba gelombang S tidak
dapat dilihat secara jelas
1. Stasiun GUC Berada pada ketinggian 1338 m di atas permukaan laut, berjarak
mendatar 370 m dari Gunung Slamet. Posisi geografi stasiun GUC 7 12' 13" Lintang
Selatan dan 109 10' 13" Bujur Timur.
2. Stasiun DKL Posisi geografi stasiun DKL 7 10' 52" Lintang Selatan dan 109 11' 41"
Bujur Timur. Berada pada ketinggian 1170 m di atas permukaan laut, berjarak
mendatar 860 m dari Gunung Slamet.
3. Stasiun CKT Berjarak mendatar 670 m dari Gunung Slamet. Berada pada ketinggian
1310 m di atas permukaan laut, Posisi geografi stasiun CKT 7 13' 08" Lintang
Selatan dan 109 16' 14" Bujur Timur.
Pada pengolahan data untuk menentukan spektral, data yang digunakan adalah
seluruh rekaman (termasuk coda yang ikut terekam). Hal ini menyebabkan hasil spektral
yang diperoleh kemungkinan lebih mewakili coda dari pada body wave-nya itu sendiri.
Untuk itu perlu dilakukan pemilahan data (coda dan body wave) yang lebih akurat untuk
mendapatkan hasil spektral yang lebih bagus. Dalam penentuan kedalaman hiposenter,
pengolahan yang dilakukan adalah penentuan kedalaman relatif hiposenter, bukan harga
mutlaknya. Akan tetapi hanya untuk mengetahui distribusi penyebaran dari kedalaman
hiposenter tersebut.
Dari hasil pengolahan data estimasi spektral diperoleh bahwa spektral gempa untuk
Gunung Slamet untuk masing-masing stasiun pencatat gempa relatif tidak berubah. Hal
ini menunjukkan bahwa pada frekuensi tersebut memang terjadi getaran gempa yang
disebabkan oleh sumber Gunung Slamet tersebut yang relatif tetap.
Secara umum gempa Gunung Slamet mempunyai frekuensi antara 4,0 Hz sampai
dengan 5,8 Hz. Stasiun GUC mempunyai harga spektral yang relatif lebih besar
dibandingkan dengan dua stasiun yang lainnya, karena letak stasiun GUC yang relatif
lebih dekat dengan Gunung Slamet dibandingkan dengan kedua stasiun lainnya tersebut.