Anda di halaman 1dari 38

Assalamualaikum Wr.

Wb
Monitoring GunungApi dengan Metode Geomagnet
Kelompok : 1
Nama kelompok :
1. Eldo Muhammad Ikbal (F1C016017)
2. Mia Wahyu. S (F1C016025)
3. Reta R Pane (F1C016025)
4. Dedi Suprianto ( F1C016025)
A . Monitoring Gunung Api
Monitoring gunung api merupakan
serangkaian kegiatan pengukuran, analisa, dan
interpretasi data gunung api dengan tujuan untuk
dapat memprediksi terjadinya erupsi gunung api.
Tujuan monitoring adalah prediksi erupsi
artinya bagaimana mengetahui kapan erupsi terjadi,
berapa lama erupsi berlangsung, dimana pusat
erupsi dan bagaimana karakteristik erupsi. Sebelum
erupsi biasanya terdapat "Prekursor erupsi" yaitu
suatu gejala awal berupa perubahan-perubahan
parameter fisika dan kimia yang terlihat secara
visual maupun yang terukur sebagai tanda aktivitas
vulkanik sebelum erupsi.
Secara umum, monitoring Gunung Api dapat
dilakukan dengan 3 cara yaitu :
O geologi; dengan mengamati kondisi geologi di
sekitar gunung api
O dengan menganalisa batuan vulkanik secara
mendetail melalui kenampakan fisik maupun
komposisi kimia
O monitoring dengan metode Geofisika yaitu
Gravitasi, Seismik, Magnetik, Self Potensial, dan
EM.
Sebelum melakukan proses monitoring,
umumnya juga dilakukan pengamatan
persebaran nilai anomali medan magnet
secara berkala atau pemetaan. Pemetaan ini
bertujuan untuk mengetahui posisi dapur
magma beserta dengan kecenderungan
pergerakannya. Dalam monitoring gunung api,
desain survey yang digunakan biasanya radial,
menyesuaikan dengan kontur dan semakin
rapat saat mendekati kawah gunung.
B . Metode Magnetik
Metoda magnetik merupakan metoda geofisika
untuk memperoleh gambaran bawah permukaan bumi
berdasarkan sifat kemagnetannya. Eksplorasi
menggunakan metode magnetik, pada dasarnya terdiri
atas tiga tahap yaitu : akuisisi data lapangan,
processing dan interpretasi.
Pada tahap akuisisi, dilakukan penentuan titik
pengamatan dan pengukuran dengan alat. Untuk
koreksi data pengukuran dilakukan pada tahap
processing. Koreksi pada metode magnetik terdiri atas
koreksi harian, koreksi topografi (terrain) dan koreksi
lainnya. Sedangkan untuk interpretasi dari hasil
pengolahan data dengan menggunakan software
diperoleh peta anomali magnetik.
Dalam memonitoring gunung api
menggunakan metode magnetik biasanya bisa
dilakukan secara kontinyu ataupun secara
periodik.
Untuk monitoring secara kontinyu
koordinat dari titik-titik magnetik pada gunung
api ditentukan secara real–time dan terus
menerus dengan sistem yang disusun secara
otomatis.
Dalam memonitoring gunung api dilakukan
dengan menggunakan dua buah PPM yaitu salah
satu alat diletakan ditempat yang relative jauh
dari aktivitas gunung api, sebagai basenya, dan
alat yang lainnya diletakkan disekitar gunung api
untuk memonitoring aktivitas gunung api tersebut.
Dengan demikian kita akan memiliki
minimal satu data hasil pengukuran magnetik
digunung api dan satu data yang tanpa pengaruh
aktivitas gunung api, sehingga dari kedua data
tersebut kita bisa membandingkan antara
keduanya. Sehingga ketika terjadi perubahan nilai
magnetik akan ketahuan.
Pengamatan magnetic juga dilakukan untuk
mengamati nilai intensitas magnet di atas gunung api, apabila
magma mulai naik ke atas permukaan maka nilai intensitas
magnet di atas gunung api akan rendah karena pengaruh
panas magma. Magma yang naik ke atas permukaan akan
memiliki nilai susceptibilitas yang rendah dibandingkan
dengan batuan vulkanik pembentuk gunung api.
Meningkatnya aktivitas gunung api dicirikan dengan
naiknya temperatur yang berasal dari magma menuju
permukaan. Batuan bawah permukaan gunung api akan
mengalami perubahan magnetisasinya ketika temperatur yang
melewatinya mengalami perubahan. Bahan magnetik akan
berkurang magnetisasinya jika temperatur naik, dengan
demikian perubahan sifat magneti batuan di daerah gunung
api aktif akan memberikan informasi tentang aktivitas gunung
api tersebut. Semakin meningkatnya aktivitas maka
temperaturnya akan semakin tinggi dan hal ini menyebabkan
sifat magneti batuannya akan cenderung kearah diamagnetik .
Perubahan sifat kemagnetan ini
disebabkan aktifitas Gunung Api tersebut, antara
lain:
1. Proses Thermomagnetik; merupakan
serangkaian proses demagnetisasi dan
remagnetisasi akibat adanya kenaikan suhu
hingga mencapai suhu Currie yakni >5800C.
2. Efek Piezomagnetik; merupakan perubahan
sifat kemagnetan yang diakibatkan oleh
tekanan non- hidrostatis
3. Fenomena Elektrokinetik; magnetisme yang
disebabkan oleh pergerakan fluida magmatis.
Studi Kasus 1. Perubahan Medan Magnetik karena suhu

Dalam penelitian dilakukan monitoring pada


gunung Taal di Philipina. Sifat magma dari gunung api ini
yaitu basaltik-andesit. Monitoring yang dilakukan dengan
metode Self- Potensial dan Magnetik. Pengukuran
pertama pada Januari 2005, kemudian dilakukan
kembali pada bulan Februari 2005, dan sudah terjadi
perubahan puluhan nT. Sebelum melakukan monitoring,
dilakukan pemetaan medan magnetic untuk melihat
pengaruh suhu.
Gambar 4. lokasi pengambilan data medan magnetik.
Pengukuran medan magnet dilakukan dan diolah
untuk melihat anomaly medan magnetic.

Gambar 5. Data pemetaan sepanjang 2,5 km panjang lintasan


pada bulan Januari 2005.
Gambar 5. Data pemetaan sepanjang 2,5 km panjang
lintasan pada bulan Januari 2005.

Pada bagian yang lain dilakukan pengukuran yang


sama, kemudian dimodelkan dengan berdasarkan
topografi lintasan, dan disimulasikan nilai magnetisasi
batuannya. Nilai magnetisasi tersebut ditentukan
berdasarkan pengaruh suhu pada batuan. Gambar 6
memberikan gambaran data hasil simulasi dibandingkan
dengan hasil pengukuran yang dilakukan.
Gambar 6. Hasil simulasi dengan model topografi dibandingkan dengan data
pengukuran.
Studi Kasus 2. Monitoring Medan Magnetik.

Gambar 7 menunjukkan perubahan medan magnetic di


gunung St. Helens pada salah satu stasiun monitoring
bersama dengan data tilt. Data diambil dari tanggal 23
Oktober s/d 3 November 1981, yang kemudian dirata-rata
tiap 20 menit. Dari data tersebut terlihat bahwa medan
magnetic naikdari tanggal 23 s/d 27 dan kemudian turun
cukup tajam pada tanggal 27 Oktober dan berkorelasi
sangat baik dengan data tilt. Saat terjadinya erupsi
tanggal 29 Oktober justru tidak terlihat perubahan medan
magnetic yang signifikan.
Gambar 7. Grafik perubahan medan magnetic dan tilt hasil monitoring di
gunung St. Helens dari tanggal 23 Oktober s/d 3 November 1981.
Gambar 8 memperlihatkan data monitoring pada
gunung yang sama pada waktu yang lain, tetapi dengan
selang waktu yang lebih detail. Sudah diketahui bahwa
gunung St. Helens meletus hebat pada tanggal 18 Mei
1980, dengan letusan yang pertama pada jam 15.32
waktu setempat. Gambar 8 menunjukkan data monitoring
medan magnetic, setelah dikurangi terhadap stasiun
referensi, pada tanggal tersebut dari jam 14.00 s/d 19.00.
Sebelumnya data dirata-rata tiap 10 menit. Saat
sebelum terjadi erupsi tidak terjadi perubahan medan
magnetic, bahkan cenderung konstan. Perubahan
mendadak terjadi berbarengan dengan saat terjadinya
erupsi pada jam 15.32. Setelah itu medan magnetic
cenderung fluktuatif.
Gambar 8. Grafik perubahan medan magnetic setiap 10 menit di gunung St.
Helens pada saat terjadinya letusan besar tanggal 18 Mei 1980.
Gambar 8 memperlihatkan data monitoring pada
gunung yang sama pada waktu yang lain, tetapi dengan
selang waktu yang lebih detail. Sudah diketahui bahwa
gunung St. Helens meletus hebat pada tanggal 18 Mei
1980, dengan letusan yang pertama pada jam 15.32
waktu setempat. Gambar 8 menunjukkan data
monitoring medan magnetic, setelah dikurangi terhadap
stasiun referensi, pada tanggal tersebut dari jam 14.00
s/d 19.00. Sebelumnya data dirata-rata tiap 10 menit.
Saat sebelum terjadi erupsi tidak terjadi perubahan
medan magnetic, bahkan cenderung konstan.
Perubahan mendadak terjadi berbarengan dengan saat
terjadinya erupsi pada jam 15.32. Setelah itu medan
magnetic cenderung fluktuatif.
Studi Kasus 3. Identifikasi Magma Chamber
Berdasarkan Analisis Data Magnetik Total di Dunung Ili
Lewotolo Kabupaten Lembata , NTT

Gunung Ili Lewotolo merupakan gunungapi


bertipe stratovolcano (gunungapi tipe A), yang terletak
di kecamatan Ili Ape, Kabupaten Lembata, Provinsi
Nusa Tenggara Timur , sebelah timur P. Flores. Kegiatan
Gunung Ili Lewotolo tercatat sejak 1660 dengan tipe
erupsi, yakni letusan (explosive). Kemudian letusan
terakhir terjadi pada 1920 dan diduga adanya struktur
patahan dengan arah barat laut-tenggara. Letusan yang
dianggap telah merusak daerah sekitarnya, yaitu
letusan yang terjadi di kawah pusat pada Oktober
1852. Setelah letusan tersebut muncul kawah baru dan
hembusan-hembusan solfatara di lereng kerucut kawah
baru .
Titik pengukuran pada penelitian ini berjumlah 141
titik yang tersebar pada titik amat pengukuran .

Gambar 1. peta kontur topografi daerah penelitian


Anomali magnet total yang diperoleh kemudian diolah
menggunakan software Golden Surfer, sehingga dapat terlihat
sebaran anomali magnet pada gambar 2 .

Gambar 2. Peta anomali magnet total


Peta kontur anomali pada gambar 2 menunjukkan range
nilai yang terbentuk sekitar -1000 nT s.d. 1100 nT.
Selanjutnya, dilakukan tahapan reduksi bidang datar
dilakukan, karena bentuk topografi yang tidak rata, sehingga
menyebabkan distorsi pada anomali medan magnet total. Distorsi
terjadi karena bervariasinya jarak vertikal antara sumber anomali
terhadap titik pengukuran, sehingga akan dihasilkan medan magnet
yang berbeda. Ketinggian bidang datar tersebut ditentukan
berdasarkan ketinggian rata-rata pada daerah penelitian.
Gambar 3. Peta kontur anomali medan magnet di bidang
datar
Gambar 3 menunjukkan bahwa setelah direduksi ke
bidang datar maka peta sebaran anomali terlihat lebih
smooth dan closure yang diduga sebagai noise telah
menghilang.Pada reduksi bidang datar, data dibawa pada
satu tinggian yang sama ketinggianini berdasarkan
ketinggian rata-rata padadaerah pengukuran. Nilai anomali
yang dihasilkan tidak mengalami perubahan yang signifikan
terhadap anomali magnet total. Pada data ini tidak
dilakukan kontinuasi ke atas, karena data yang telah
direduksi ke bidang datar menunjukkan hasil yang dirasa
cukup untuk mengurangi noise .
Target penelitian ini fokus pada identifikasi
keberadaan magma chamber yang ditandai dengan
nilai magnetik yang rendah, disebabkan suhu magma
yang sangat tinggi, sehingga melemahkan sifat
magnetik dari suatu batuan. Berdasarkan hasil
pengolahan data magnetik dan dilanjutkan dengan
pemodelan inversi 3D, nilai anomali magnet rendah
mengindikasi atau diindikasi sebagai magma chamber
pada gunung api Ili Lewotolo ini seperti yang terlihat
pada Gambar 4.
Berdasarkan data 3D menunjukkan bahwa
aliran magma chamber bergerak pada area timur ke
barat yang ditunjukkan dengan anomali magnetik yang
bernilai 0 hingga -0.00035 pada kedalaman 1000
meter hingga 4000 meter.
Gambar 7. Cut-Plane Anomali Magnetik Reduksi Bidang Datar Slice
Selatan Diagonal NW-SE
Studi Kasus 4. Pendugaan Posisi Dapur Magma Gunungapi Inelika,
Flores, Nusa Tenggara Timur Berdasarkan Survei Magnetik

Gambar 1a. Intensittas magnetik total


Selanjutnya kontur intensitas magnetik total
tersebut direduksi bidang datar (Gambar 1.b). Bila
dilihat pada kontur reduksi bidang datar dengan kontur
anomali lokal menampakkan kontur anomali yang
hampir sama atau perbedaannya tidak terlalu
signifikan. Hal ini dikarenakan ketinggian atau topografi
daerah penelitian cukup beragam.
Kemudian dilakukan pemisahan antara peta regional
dengan lokal, maka digunakan suatu kontinuasi ke atas
(upward continuation) setinggi 1500 m (Gambar 1.c)

Gambar 1c. Peta Regional


Gambar 1d . Peta lokal dari kontiuasi ke atas
Peta lokal direduksi ke kutub untuk
menyederhanakan interpretasi data medan
magnetik pada daerah berlintang rendah dan
menengah. Kontur reduksi ke kutub (Gambar
1.e) tidak jauh berbeda dengan kontur peta
lokalnya. Dimana diduga posisi dapur magma
ditandai dengan lingkaran berwarna kuning.
Bila digabungkan analisa antara kontur
anomali lokal dengan kontur reduksi ke kutub,
dugaan posisi dapur magma di gunung Inelika
terletak pada nilai magnetik rendah yang
terletak di barat daya.
Gambar 1e. Reduksi ke kutub
Selanjutnya yaitu interpretasi secara kuantitatif yang
dilakukan dengan membuat model hasil cross section
(sayatan) (Gambar 2.a) pada kontur anomali magnetik
secara dipole untuk mendapat kecocokan model antara
dua line section (garis A-A’ dan B-B’) (Gambar 2.b dan
2.c).
Pada pemodelan di atas, warna-warna
tersebut menerangkan kondisi batuan bawah
permukaan berdasarkan nilai suseptibilitas
batuan. Batuan di bawah permukaan ini
cenderung berkomposisi andesit-basaltik
(kandungan silika SiO4 tinggi) dengan rentang nilai
suseptibilitas sekitar 0.01 - 1 (10-3) (satuan SI). ).
Hasil pemodelan terlihat poligon berwarna hijau
memiliki nilai suseptibilitas rendah. Bila
disesuaikan dengan posisi hasil sayatan, batuan
tersebut berada pada daerah barat daya dari
puncak dengan volume magma 0,459418 km3.
Dapur magma ini berada di sekitar ±1 km di
bawah permukaan (sea level). Nilai suseptibilitas
rendah berarti memiliki nilai magnetisasi yang
rendah sehingga dapat diindikasikan posisi dapur
magma berada di daerah tersebut.
Berdasarkan hasil kontur anomali
magnetik lokal terlihat dugaan titik posisi dapur
magma.
Bila semakin rendah nilai suseptibilitas
batuannnya maka semakin rendah nilai
magnetisasinya. Dari hasil pemodelan penyebab
anomali magnetik di daerah gunungapi Inelika,
posisi dapur magma diperkirakan di daerah barat
daya dari puncak dengan volume 0,459418 km3
pada sekitar ±1 km di bawah permukaan (sea
level). Selain itu kondisi bawah permukaan
gunungapi Inelika memiliki batuan yang cenderung
seragam (andesit-basaltik). Untuk mendapatkan
hasil yang lebih baik, diharapkan ada survey
lanjutan untuk mengetahui potensi panas bumi
area gunungapi Inelika sehingga mendapatkan
informasi sumber energi terbarukan.

Anda mungkin juga menyukai