Anda di halaman 1dari 8

Aplikasi Geofisika (Fisika Bumi) Dalam Mitigasi dan Monitoring Bencana

Alam dan Non-Alam

1. Metode Geolistrik
Metode Geolistrik adalah salah satu metode/teknologi geofisika (fisika bumi) yang
mempelajari bumi berdasarkan sifat fisik berupa kelistrikan batuan (resistivitas,
konduktifitas, dan chargeabilitas). Pengukuran sifat kelistrikan batuan bawah permukaan bisa
dilakukan dengan cara mengalirkan arus listrik ke dalam tanah kemudian diukur respon
tegangannya (volt) seperti pada pengukuran geolistrik tahanan jenis (resistivitas) dan
polarisasi terimbas (chargebilitas) atau tanpa mengalirkan arus listrik sama sekali seperti pada
pengukuran potensial diri (self potential). Metode Geolistrik, khususnya geolistrik tahanan
jenis (resistivitas) banyak digunakan untuk menduga kedalaman dan ketebalan lapisan aquifer
(pembawa air) bawah permukaan karena sifat fisik aquifer yang sangat tidak resistif. Kalau
kita melihat kembali manfaat geolistrik ini, ternyata banyak sekali aplikasi metode geolistrik
baik dalam bidang geoteknik, arkeologi, lingkungan dan kebencanaan. Untuk melihat aplikasi
geolistrik dalam bidang kebencanaan, mari kita simak bahasan berikut ini:

Mengamati Bidang Gelincir Longsor

Seperti yang sudah dijelaskan di atas, bahwa prinsip dalam metode geolistrik tahanan
jenis adalah arus listrik diinjeksikan ke alam bumi melalui dua elektroda arus, sedangkan
beda potensial yang terjadi diukur melalui dua elektroda potensial. Dari hasil pengukuran
arus dan beda potensial listrik dapat diperoleh variasi harga resistivitas listrik pada lapisan di
bawah titik ukur. Dari variasi beda resistivitas ini bisa diketahui perlapisan bawah perbukaan
tanah dan pada lapisan berapa terdapat lapisan bidang gelincir longsor. Bidang gelincir
longsor ini sering kali ditandai dengan nilai kontras resistivitas antara lapisan atas dan bawah
yang ada di bawah permukaan sebuah lereng.

Gambar 1: Penampang bawah permukaan 2D hasil pengukuran geolistrik tahanan jenis untuk
mendeteksi bidang gelincir di Basilicata, Italia (Sumber : Claudia de Bari, 2011)
Pada gambar di atas dapat dilihat salah satu hasil pengukuran geolistrik 2-D berupa
penampang melintang pada sebuah lereng Basilicata, Italia. Penelitian tersebut dilakukan
oleh Claudia de Bari bersama kawan-kawannya. Dari penampang 2D geolistrik tersebut bisa
dilihat bahwa kedalaman bidang gelincir longsor pada lereng tersebut sekitar 20 meter. Para
geofisikawan Indonesia sendiri juga telah banyak melakukan survey geolistrik untuk
mendeteksi kedalaman bidang gelincir sebuah lereng yang rawan longsor. Satu hal yang
harus menjadi catatan kita bersama bahwa penelitian tersebut harus dilakukan sebelum
longsor terjadi. Apabila sudah diketahui kedalaman bidang gelincirnya tentu bisa
diperkirakan metode slope stability dan protection apa yang cocok diaplikasikan pada lereng
sehingga tidak terjadi bencana tanah longsor.

Geolistrik Untuk Bencana Non-Alam

Bencana non-alam berupa pencemaran air bawah permukaan atau air tanah (bencana
lingkungan) jarang sekali terdeteksi dari survey atas permukaan. Pencemaran air tanah sering
kali disebabkan oleh bocornya lapisan pelindung LPA (Lokasi Pembuangan Akhir) atau
bahasa kerennya Landfill. Polutan cair atau sering disebut lindi (leachate) menjadi penyebab
utama pencemaran air bawah permukaan.

2. Metode Geo-magnetik
Metode geo-magnet adalah metode geofisika yang paling tua. Prinsip dasar dalam
metode ini adalah mempelajari kondisi bawah permukaan bumi berdasar sifat kemagnetan
batuan. Batu magnet sudah lama digunakan oleh orang Cina sebagai petunjuk dalam
pelayaran namun gagasan bahwa bumi ini bersifat magnet timbul beberapa tahun kemudian.
William Gilbert (1540–1603), seorang doktor Ratu Elizabeth I telah menuliskan sebuah buku
yang berjudul “De Magnete” pada tahun 1600. Pada masa inilah timbul pemikiran bahwa
semua titik di atas permukaan bumi memiliki nilai dan arah medan magnet yang berbeda-
beda. Pada tahun 1830 sampai 1842, Karl Frederick Gauss melakukan pengamatan secara
detail terhadap medan magnet bumi. Dia menyimpulkan bahwa sumber medan magnet bumi
berasal dari dalam bumi. Dia juga menyatakan bahwa medan magnet bumi juga memiliki
hubungan erat dengan perputaran bumi karena kutub magnet bumi dekat dengan sumbu
putaran bumi (Telford, 1990).
Metode magnetik ini mengasumsikan bahwa setiap batuan yang ada di bawah permukaan
bumi memiliki sifat magnetik yang berbeda-beda. Jadi ketika medan magnet bumi
menginduksi batuan yang ada di bawah permukaan bumi maka akan timbul medan magnet
sekunder akibat induksi tadi. Nilai intensitas medan magnet sekunder ini akan berbeda-beda
pada setiap batuan dan sangat bergantung pada sifat kemagnetan batuan (diamagnetik,
paramagnetik, dan feromagnetik) serta remanen magnet yang sudah ada sejak zaman dulu
pada batuan tersebut.

Melihat “Isi Perut” Gunungapi dengan Teknologi Geo-magnet

Saat ini banyak sekali penelitian dalam upaya memitigasi dan memonitor bahaya
gunungapi supaya tidak menjadi bencana erupsi gunungapi. Ketika gunungapi “berhajat”
untuk meletus maka di dalam gunungapi akan terjadi peningkatan aktifitas magma berupa
naiknya magma ke atas. Kenaikan magma di dalam tubuh gunungapi bisa dimonitor
menggunakan metode geomagnet. Pada saat magma mengalami proses penaikan magma,
medan magnetik di sekitar gunung api memiliki kecenderungan turun karena pemanasan
batuan di sekitarnya. Sedangkan saat magma turun di dalam gunung api, maka medan
magnetik meningkat. Dalam fenomena gunungapi ini, ketika magma naik akan memanaskan
suhu batuan sekitarnya sehingga menjadikan sifat kemagnetan batuan sekitar menjadi
berkurang. Beberapa penelitian juga menggunakan teknologi/metode geo-magnet untuk
memodelkan volume magma yang ada di dalam tubuh gunungapi sehingga bisa diperkirakan
besar-kecilnya erupsi gunungapi tersebut di masa yang akan datang. Dengan mengetahui
besar-kecilnya potensi erupsi maka kita dan pemerintah bisa lebih siaga dan tahu
kesiapsiagaan apa yang mesti dilakukan ke depan.

Geo-magnet Untuk Bencana Non-Alam


Selain untuk mitigasi erupsi Gunungapi, metode geo-magnet juga digunakan untuk
investigasi lingkungan seperti mencari pipa besi, drum, tangki limbah yang sudah tertimbun
dan sudah lama ditinggal. Untuk pipa, drum dan tangki limbah yang terimbun kurang dari 2
meter mungkin masih bisa pakai metal detector namun untuk yang sudah tertimbun sedalam
lebih dari 5 meter, harus menggunakan peralatan magnetometer untuk mendeteksinya. TPA
(Tempat Pembuangan Akhir) yang sudah lama ditimbun dan sudah tidak ketahui lagi semana
batas areanya juga bisa dipetakan kembali menggunakan peralatan magnetometer. Pemetaan
kembali ini tentu untuk kebijakan lingkungan dan mengetahui potensi bencana lingkungan.

Ini adalah sebagian kecil kegunaan metode geo-magnet untuk bidang kebencanaan. Satu
lagi hal yang penulis sampaikan juga bahwa medan magnet utama bumi selain bisa
dimanfaatkan untuk mempelajari kondisi bawah bumi berdasarkan sifat magnet batuan,
ternyata medan magnet bumi atau geo-magnet juga berfungsi untuk melindungi semua
mahkluk hidup yang ada di bumi dari pancaran radiasi dari luar angkasa salah satunya
pancaran dari badai matahari.

3. Metode Seismik
Metode seismik pada prinsipnya adalah metode geofisika yang mempelajari bumi
berdasarkan kecepatan penjalaran gelombang getar/gempa. Kecepatan gelombang ini sangat
berhubungan dengan densitas dan modulus elastisitas batuan bawah permukaan. Metode
seismik masuk kategori metode aktif dalam ilmu geofisika karena pada saat pengukurannya
diperlukan sumber getaran yang buat oleh manusia berupa hantaman palu, beban yang
dijatuhkan, vibrator dan bom (dinamik). Sumber getaran yang dipancarkan ini akan menjalar
ke segala arah dan masuk ke bawah permukaan dan ketika berjumpa dengan lapisan baru,
gelombang tersebut ada yang dipantulkan kembali ke atas permukaan dan ada juga yang
dibiaskan ke dalam permukaan tanah. Kecepatan sampainya gelombang ini dari satu titik ke
titik yang lain diukur menggunakan geo-phone yang ditancapkan di atas permukaan tanah.
Dari respon perbedaan kecepatan perambatan gelombang masing-masing lapisan tersebut,
akhirnya bisa dipetakan kondisi bawah permukaan.
Gambar : Pengukuran Seismik Bias (Sumber: Asrillah, 2011)

Pada awal-awal perkembangannya, orang mengenal metode seismik bias (refraction) dan
seismik pantul (reflection). Namun seiring perkembangan ilmu, pada tahun 1980-an Nazarian
dan Stokoe memperkenalkan metode seismik SASW (Spectral Analysis of Surface Wave)
di University of Texas Austin dan pada tahun 1999 Choon Byong Park bersama kawan-
kawannya mengembangkan metode seismik MASW (Multichannel Analysis of Surface
Wave). Kedua metode ini digunakan untuk mengamati penjalaran gelombang S (Vs) yang
memiliki peranan dalam pembentukan gelombang permukaan (Rayleigh dan Love) yang
begitu merusak bangunan.

Pemetaan Mikrozonasi Dengan SASW dan MASW

Saat ini, pemerintah pusat melalui Tim 9 yang dibentuknya sudah membuat peta
kawasan rawan gempa bumi untuk wilayah Indonesia. Peta tersebut masing berupa peta kasar
(makrozonasi) atau dalam skala yang yang sangat luas. Nilai percepatan goncangan tanah
tertinggi (Peak Ground Acceleration/PGA) yang dihitung juga masih berdasarkan percepatan
gelombang di batuan dasar (bedrock). Beberapa kota di negara tidak duduk tepat di atas
batuan dasar dengan lapisan sedimen tipis, melainkan duduk di atas lapisan batuan sedimen
tebal yang ada di atas batuan dasar. Di beberapa kota juga, kondisi lapisan sedimen juga
sangat muda dan lunak (soft soil). Dan ternyata, lapisan tanah lunak dan tebal yang duduk di
atas batuan dasar ini bisa meningkatkan faktor amplifikasi (penguatan goncangan/amplitudo)
gelombang gempa bumi dan efek pantulan gelombang gempa bumi dari batuan dasar.
Gelombang gempa bumi juga akan bergerak sangat lambat pada lapisan lunak dibanding
dengan lapisan keras. Contoh kasus gempa bumi yang memiliki efek amplifikasi yang sangat
fenomenal adalah gempa bumi Meksiko (1985), gempa bumi San Fransisco (1989), gempa
bumi Kobe (1995), gempa bumi Jogja (2006) dan gempa-gempa yang lain.
Pengukuran MASW atau SASW mutlak dilakukan di setiap kota yang ada di Indonesia
untuk memetakan dimana saja kawasan-kawasan yang memiliki nilai amplikasi tinggi,
rendah dan berapa kedalaman lapisan sedimen di kota tersebut. Pada gambar disamping bisa
diihat kondisi lapisan bawah permukaan berdasarkan percepatan gelombang shear (geser)
(Vs) untuk keperluan geoteknik. Jenis-jenis tanah bawah permukaan juga bisa dipetakan
berdasarkan kecepatan penjalaran gelombang shear. Jenis tanahnya antara lain lanau (silt) dan
lempung berpasir (sandy clay). Untuk kawan-kawan Teknik Sipil bisa memahami gambar
tersebut sebagaimana disebutkan pada America Society of Civil Engineers (ASCE) 2010
maka kecepatan 175 m/s – 350 m/s masuk dalam kategori tanah lunak.
Pemetaan mikrozonasi atau upaya mendetailkan peta makrozonasi yang sudah ada
mutlak dilakukan. Peta mikrozonasi ini akan sangat bermanfaat nantinya dalam menentukan
kebijakan pembangunan infrastruktur di kawasan yang rawan gempa. Hasil akhir daripada
pemetaan mikrozonasi bisa diterapkan dalam standarisasi bangunan berupa building
code. Building code ini juga ke depan harus diterapkan pada setiap bangunan yang ada di
Indonesia karena gempa bumi tidak pernah membunuh, yang membunuh adalah reruntuhan
bangunan.
Selain metode MASW dan SASW, metode seismik Microtremo yang memanfaatkan
getaran dari alam juga sangat bagus untuk mengetahui percepatan gelombang tanah di batuan
dasar dan lapisan permukaan. Metode Geofisika Gravity juga bisa digunakan untuk
mengetahui kedalaman batuan dasar dan memperkiraan densitas batuan permukaan dan
batuan dasar. Ketika kecepatan gelombang dan densitas batuan diketahui, maka akan sangat
mudah untuk menghitung nilai impedansi yang akhirnya juga digunakan untuk menghitung
faktor amplifikasinya.

4. Metode Graviti (Gaya Berat)


Dalam ilmu geofisika eksplorasi, metode graviti dikenal sebagai metode medan
potensial. Maksud metode medan potensial disini adalah kita memanfaatkan medan yang
sudah ada di bumi tanpa harus membuat sumber sendiri atau sering disebut juga sebagai
metode geofisika pasif. Metode graviti pada prinsipnya adalah mengukur kecepatan gravitasi
karena gaya tarik-menarik antara dua benda. Besarnya gaya tarik-menarik antara alat
gravitimeter yang diletakkan di atas permukaan sangat bergantung pada kepadatan
(densitas/massa jenis) batuan di bawah permukaan bumi. Dengan bahasa lain bisa kita
katakan bahwa nilai percepatan gravitasi di permukaan tanah beda tipis di masing-masing
tempat, perbedaan ini diakibat oleh padat tidaknya batuan yang ada di bawah.

Nilai rata-rata percepatan gravitasi di atas permukaan bumi adalah 9,8 m/s2 namun
terdapat perbedaan nilai gravitasi akibat pengaruh batuan di bawahnya sangat kecil sehingga
untuk bisa memetakan kondisi bawah permukaan berdasar perbedaan nilai percepatan
gravitasi yang sangat kecil ini diperlukan sebuah peralatan gravitimeter yang sangat sensitif.
Saat ini sudah ada peralatan gravitimeter (mikrograviti) yang sanggup mengukur perubahan
nilai percepatan graviti dalam orde 0,01-0,001 milliGal (mGal). Data hasil pengukuran
lapangan tersebut harus dikoreksi untuk mendapat nilai percepatan gravitasi karena pengaruh
gaya tarik batuan bawah permukaan dan bukan karena pengaruh kelelahan alat (drift
correction), gaya tarik bulan/matahari (Earth Tides correction), garis lintang (latitude
correction), ketinggian tempat pengukuran (free air correction), massa batuan antara
permukaan laut dan tinggi kawasan pengukuran (bouguer correction), dan gaya tarik gedung
atau bukit sekitar area pengukuran (terrain correction). Dalam proses koreksi data ini,
kejelian dan pengalaman seorang geofisikawan berperan. Setelah semua koreksi dilakukan,
baru didapatkan nilai percepatan graviti karena pengaruh densitas batuan bawah permukaan.

Gambar di samping ini adalah proses


pengambilan data gravitasi di lapangan
menggunakan peralatan mikro-gravitimeter
CG-5 yang sudah bisa melakukan beberapa
koreksi sehingga lebih memudahkan dalam
pengukurannya.

Metode Graviti untuk mendeteksi Sinkhole

Sinkhole seperti yang pernah terbentuk di Guatemala awalnya berupa gua bawah
permukaan dan ketika tanah penutup gua tersebut tidak sanggup lagi menahan beban di
atasnya atau sudah mulai tipis maka terjadilah bencana sinkhole. Gua bawah permukaan
sebagai penyebab utama sinkhole ini sebenarnya bisa dipetakan menggunakan peralatan
gravitimeter. Prinsip dasar pemetaan ini adalah gua bawah permukaan yang sudah terbentuk
ini memiliki nilai densitas hampir 0 g/cc karena berupa ruang sedangkan batuan sekitar gua di
sekitar apabila kita asumsikan batu kapur memiliki densitas batuan sekitar 1,9 – 2,9 g/cc.
Ruang dengan densitas 0 g/cc otomatis akan memiliki gaya tarik sangat rendah terhadap alat
mikro-gravitimeter dibandingkan batuan sekitar dengan densitas 1,9 – 2,9 g/cc. Kontras
densitas ini memungkinkan penggunaan metode graviti untuk memetakan gua sebagai
penyebab utama bencana sinkhole.

Pemetaan gua bawah permukaan harus dilakukan sebelum suatu tempat akan dijadikan
kawasan pembangunan. Apabila suatu kawasan sudah terlanjur dilakukan pembangunan,
pemetaan ini juga harus dilakukan untuk memastikan kawasan yang aman dan kawasan yang
tidak aman untuk ditinggali. Pada gambar di atas, bisa dilihat salah satu contoh hasil
pengukuran metode graviti . Pada profil data graviti setelah dikoreksi terlihat jelas penurunan
nilai gravitasi ketika alat gravitimeter diukur di atas sebuah gua/lubang bawah permukaan.

Metode Graviti untuk Mencari Sesar dan Tebal Lapisan Sedimen

Selain untuk mencari gua-gua bawa permukaan, metode graviti juga bisa digunakan
untuk mencari zona sesar zaman dulu yang sudah terkubur oleh lapisan sedimen. Zona sesar
aktif yang menjadi sesar sangat penting untuk dipetakan mengingat zona sesar aktif juga bisa
menjadi sumber gempa bumi. Dasar pemahaman metode graviti bisa digunakan untuk
pemetaan sesar adalah adanya zona-zona hancuran dan lemah yang memiliki nilai densitas
lebih rendah dibandingkan batuan di sekitarnya. Apabila dilakukan pengukuran graviti
dengan sistem grid seluar area dugaan adanya sesar maka akan bisa dipetakan dengan jelas
letak sesar tersebut. Metode graviti juga bisa digunakan untuk menduga ketebalan lapisan
sedimen dan kedalaman batuan dasar. ketebalan dan kepadatan sedimen ini tentu
berhubungan tingkat goncangan tanah.

Penyebaran lindi yang menjadi penyebab utama pencemaran air tanah harus dipantau
penyebarannya, kalau tidak maka bencana non-alam berupa penyemaran air dan lingkungan
akan menganggung kehidupan masyarakat kita. Saya juga menyarankan agar setiap LPA
yang ada di Indonesia harus dilakukan pemantauan penyebaran lindi baik dengan cara
membuat sumur pantau (monitoring well) yang banyak ataupun pengukuran geolistrik. Ini
adalah sebagian kecil daripada penggunaan/aplikasi metode graviti dalam upaya pengurangan
risiko bencana.

Anda mungkin juga menyukai