Anda di halaman 1dari 22

A.

Mikrograviti & GPS

Pada suatu survey gravitasi Bouguer, data yang diperoleh direferensikan dengan stasiun awal
dengan mengoreksi ketinggian menggunakan free – air gradient (FAG). Pada permukaan bumi, FAG =
-308,6 μGalm-1. Hal ini berarti, setiap kenaikan 1 meter dari permukaan air laut nilai gravitasi berkurang
308,6 μGal. Jika FAG diukur secara langsung, nilai yang terukur biasanya digunakan untuk
membandingakan dengan nilai teoritis. Pengukuran FAG mudah dilakukan dengan menggunakan
tripod untuk menopang plate gravitymeter. Perbedaan tinggi antara gravitymeter di permukaan tanah
dengan di tripod diukur, dan perbedaan nilai pengukuran gravitasi juga diukur kemudian dibagi dan
diperoleh nilai FAG pada daerah itu. Ada dua alasan yang mengakibatkan adanya nilai deviasi FAG
dari nilai teoritisnya, yaitu:
1. Adanya komponen terrain
Jika pengukuran FAG dilakukan dekat dengan tebing atau dinding kawah maka akan
menghasilkan nilai yang lebih kecil jika dibandingkan dengan pengukuran yang jauh dari area
tersebut. Koreksi terrain digunakan untuk mengkoreksi pengaruh subsidence (amblesan) sehingga
terjadi perubahan ketinggian baik karena factor endogen maupun ekstrogen.
2. Adanya komponen anomali Bouguer
Suatu daerah yang memiliki anomali Bouguer cenderung negatif akan memiliki FAG yang
lebih positif dari nilai teoritis, sedangkan daerah yang memiliki anomali Bouguer cenderung positif
akan memiliki nilai FAG yang lebih negatif dibandingkan nilai teoritis. (Berrino et al. 1992).
Ukuran relatif dari komponen terrain dan Bouguer pada FAG bergantung pada topografi dan kontas
densitas di bawah tanah. Koreksi Bouguer sederhana dengan pengaruh porositas ini digunakan
untuk mengkoreksi pengaruh gravitasi akibat adanya perubahan muka air tanah yang ada di dalam
gunungapi.
Pengangkatan (uplift) atau cekungan pada suatu stasiun microgravity akan mempengaruhi terrain
lokal, sehingga kontribusinya terhadap FAG menjadi tidak relevan. Ini berarti walaupun efek
terrain mengurangi FAG, adanya perubahan ketinggian pada stasiun microgravity juga muncul
pada topografi lokal sehingga gradien variasi gravitasi dengan ketinggian akan menjadi nilai
FAG teoritis. Langkah pertama interpretasi untuk survei microgravity adalah mencatat perubahan
gravitasi terhadap elevasi. Setelah gradien ditentukan, kemudian dibandingkan dengan FAG
teoritis atau terukur. Karena stasiun pengamatan gravitasi keadaannya mengalami deformasi,
adanya perubahan ketinggian ini dimasukkan dalam perhitungan

1. Untuk monitoring aktivitas gunung api ,metode gravitasi lebih menekankan perubahan volume
yang terjadi pada gunung api akibat magma yang mengintrusi daripada perubahan densitas
magma itu sendiri. Monitoring gunung api menggunakan gravitasi khususnya mikrograviti
adalah metode yang baik untuk memonitor gunung api namun tidak menjadi metode monitoring
utama untuk gunung berapi.
2. Metode pengukuran nilai gravitasi dianggap relative membutuhkan sedikit sumberdaya manusia.
Teknik ini paling bagus diaplikasikan pada kasus dimana intrusi dari magma akan mempengaruhi
distribusi densitas dari gunung api.
3. Monitoring gunung api menggunakan metode gravitasimikro dilakukan dengan membandingkan
perbedaan nilai gravitasi pada stasiun pengukuran yang tetap dengan sederetan pengukuran yang
dilakukan secara periodik dalam orde bulan atau tahun maupun kontinyu ,dimana masing-masing
mempunyai fungsi tersendiri .
4. Pada monitoring menggunakan metode ini sangat diperlukan data deformasi atau data elevasi.
B. Geomagnetik
Dalam monitoring gunung api menggunakan metode geomagnetik biasanya dilakukan secara
kontinyu, namun bisa juga dilakukan secara periodik. Monitoring secara kontinu pada dasarnya hampir
sama dengan monitoring secara periodik, yang membedakanya hanyalah waktu pengambilan datanya.
Pengambilan data untuk monitoring kontinyu dilakukan lebih intensif dibandingkan monitoring secara
periodic. Sensor pada monitoring kontinyu juga bersifat statis tetap pada satu titik dan jumahnya tidak
banyak. Sedangkan pada monitoring secara periodic, jumlah sensor yang digunakan cukup banyak dan
berpindah-pindah.
Untuk melakukan monitoring gunung api menggunakan metode geomagnetic, minimal kita harus
membutuhkan dua data geomagnetic. Yaitu data hasil survey geomagnetic di sekitar system vulkanik dan
data hasil survey geomagnetic di daerah yang tidak terpengaruh system vulkanik. Dari kedua data tersebut
kita bisa membandingkan antara keduanya, sehingga akan tampak perubahan nilai magnetiknya.
Pengamatan magnetic yang dilakukan di atas gunung api, akan menunjukkan anomaly yang
negative apabila terjadi peningkatan aktivitas. Meningkatnya aktivitas gunung api dicirikan dengan
pergerakan magma yang semakin aktif menuju ke permukaan. Magma yang naik menuju permukaan akan
mengakibatkan kenaikan temperature dan mengakibatkan demagnetisasi. Oleh karena itu, nilai
susceptibilitas yang terukur akan lebih rendah dibandingkan dengan batuan vulkanik pembentuk gunung
api. Semakin meningkatnya aktivitas maka temperaturnya akan semakin tinggi dan hal ini menyebabkan
sifat magneti batuannya akan cenderung kearah diamagnetik (Yamazaki et al, 1990, Koike et al.,2003).
Selain monitoring, metode ini juga bisa digunakan untuk memodelkan volume daripada dapur magma.
Dalam istilah vulkanologi, kemagnetan gunung api dapat disebut sebagai vulkanomagnetik. Perubahan
sifat kemagnetan ini disebabkan aktifitas Gunung Api tersebut, antara lain:
1. Proses Thermomagnetik
Proses ini merupakan serangkaian proses demagnetisasi dan remagnetisasi akibat adanya kenaikan
suhu hingga mencapai suhu Currie yakni 5800C. Saat suatu benda bermagnet dipanasi hingga mencapai
suhu Currie, benda tersebut akan mengalami demagnetisasi atau kehilangan sifat magnetisnya. Namun,
saat suhu kembali turun benda tersebut akan termagnetisasi kembali atau mengalami remagnetisasi.
Sifat magnetisasi ini dalam hubungannya dengan aktifitas Gunung Api adalah pada proses naiknya
magma. Pada saat tersebut bagian atas Gunung Api akan memanas sehingga medan magnetnya akan
menurun dan begitu pula sebaliknya.

2. Efek Piezomagnetik
Efek ini merupakan sifat magnetisme yang disebabkan oleh adanya tekanan yang dikenakan pada
suatu batuan sehingga menimbulkan sifat magnet. Piezomagnetik adalah perubahan sifat kemagnetan
yang diakibatkan oleh tekanan non- hidrostatis (deviatorik). Dalam pembahasan ini efek dari tekanan
hidrostatis yang kecil diabaikan
Efek ini ditemukan berdasarkan pada percobaan laboratorium dimana suatu batuan saat diberi
tekanan akan mengalami perubahan nilai Intensitas Magnet per unit volume sebesar tekanan yang
mengenainya.
∆𝐼 ≈ 𝐾𝜎. 𝐼
Keterangan :
I : intensitas magnet
σ : tekanan yang dikenakan pada batuan
K : konstanta sensitifitas benda terhadap tekanan
Karena kenaikan Intensitas Magnet maka akan meningkatkan nilai induksi magnetik sehingga
meningkatkan nilai medan magnet sebagai berikut.

𝜇 𝐫
𝐵𝑃 = − ∇ ∫ ∆𝐼𝑄 . 3 𝑑𝑣
4𝜋 𝑉 𝑟
3. Fenomena Elektrokinetik
Fenomena ini merupakan sifat magnetisme yang disebabkan oleh pergerakan fluida magmatis. Saat
bergerak, fluida magmatis akan melalui dua medium yakni medium padat dan setengah padat, sehingga
akan terjadi transfer ion yang menyebabkan terbentuknya medan listrik yang juga akan menghasilkan
medan magnet.
Berdasarkan penjabaran yang ada diatas dapat diambil poin-poin sebagai intisari dari tulisan ini, yaitu
sebagai berikut.
1. Dalam akuisisi data dengan metode geomagnetic terdapat dua konsep akusisi yaitu mapping yang
lebih meninjau aspek ruang daripada waktu dan konsep monitoring yang lebih meninjau waktu
dibandingkan aspek ruang.
2. Konsep akuisisi monitoring terbagi menjadi dua yaitu monitoring continue dan monitoring
periodic, dimana yang membedakan antar keduanya adalah seberapa sering waktu yang digunakan
untuk kegiatan monitoring.
3. Efek Thermomagnetic, Piezzomagnetic dan Electrokinetic merupakan perubahan sifat kemagnetan
yang menjelaskan bahwa aktivitas gunung api mulai meningkat.
4. Kegiatan akuisisi mapping dilakukan pada tahap Pre Monitoring yaitu untuk mengetahui keadaan
medan magnetik dan anomali di daerah gunung tersebut sehingga dapat di jadikan perbandingan
pada saat melakukan proses monitoring.
5. Pada tahap Monitoring dibutuhkan minimal dua alat magnetometer, satu diletakkan jauh dari
gunungapi yaitu sebagai base dan yang lain diletakkan di sekitar gunungapi untuk memonitor
aktivitas gunungapi tersebut.
Gunung yang meningkat aktivitasnya maka suhu dan tekanan akan naik, namun medan magnet
dapat saja turun. Suhu naik maka medan magnet turun. Tekanan naik medan magnet naik. Kedua
pengaruh tsb saling bertolak belakang, tinggal mana yang lebih kuat pengaruhnya.
DISKUSI
1. Dari beberapa faktor/proses yang menyebabkan perubahan sifat kemagnetan pada gunung api, faktor
mana yang paling mempengaruhi?
Jawab :
Perubahan sifat kemagnetan pada gunung api merupakan akumulasi dari beberapa proses yaitu
proses thermomagnetik karena efek kenaikan suhu pada tubuh gunung api, efek piezomagnetik karena
adanya tekanan yang dikenakan oleh batuan, dan fenomena elektrokinetik karena pergerakan fluida
magmatis. Ketika magma bergerak naik keatas maka suhu dari tubuh gunung api akan mengalami
kenaikan, selain itu akan muncul tekanan dari magma ke batuan, serta adanya aliran fluida.
Setiap terjadi pergerakan magma maka suhu pasti akan mengalami kenaikan untuk semua tipe
gunung api, sedangkan tekanan magma menuju permukaan tergantung oleh jenis gunung api dan
kedalaman kantong magma,sehingga besarnya tekanan gerakan magma dari suatu gunung api dengan
gunung api yang lain, sehingga menurut kelompok kami, proses thermomagnetik mempunyai kontribusi
paling besar dalam menentukan sifat kemagnetan untuk monitoring gunung api.
Kenaikan suhu akan menyebabkan penurunan medan magnet sedangkan kenaikan tekanan akan
menyebabkan kenaikan medan magnet. Kedua faktor ini bersifat saling menghilangkan, namun karena
kontribusi proses thermomagnetik yang lebih besar daripada efek piezomagnetik, maka anomali medan
magnetik yang dihasilkan ialah penurunan medan magnetik (demagnetisasi).

2. Apakah proses magnetisasi dan demagnetisasi masih terjadi di atas suhu Curie?
Jawaban :
Proses magnetisasi dan demagnetisasi hanya terjadi dibawah Suhu Currie, ketika suatu batuan
berada pada/diatas suhu Currie maka batuan tersebut tidak mempunyai medan magnetik lagi, meskipun
setelahnya suhu nya diturunkan kembali.

C. Lahar

Menurut ukurannya, terdapat 2 jenis lahar, yaitu lahar kecil dan lahar besar. Lahar kecil hanya berukuran
beberapa centimeter dan dapat mengalirkan material vulkanik hanya beberapa meter per detik. Sedangkan
lahar besar dapat mencapai lebar hingga ratusan meter dan dapat mengalirkan material vulkanik dengan
kecepatan lebihdari 22 meter per jam.
Selain pembagian lahar menurut ukurannya, ada juga pengelompokkan lahar berdasarkan komposisi
material lahar (campuran air dan sedimen), yaitu water flow, hyperconcentrated flow , dan debris flow.
Berikut adalah penjelasan lengkapnya :
a. Water flow

Terjadi ketika jumlah sedimen tersuspensi tidak cukup untuk secara substansial mempengaruhi perilaku
aliran air. Air mungkin tampak sangat berlumpur, tetapi sebagian besar sedimen tersuspensi tertransportasi
dekat bed. Bedload dapat mencakup material hingga ukuran batu.
b. Hyperconcentrated flow

Terjadi ketika jumlah sedimen tersuspensi cukup untuk secara signifikan mengubah sifat fluida dan
mekanisme transpor sedimen. Volume besar pasir tertransportasi dalam suspensi dinamis di seluruh kolom
air, namun beban sedimen yang tinggi bergantung pada kecepatan aliran dan turbulensi. Arus bisa sangat
erosif.
c. Debris flow

Campuran sedimen dan air mirip seperti beton basah, mampu menahan partikel berukuran kerikil dalam
suspensi ketika mengalir secara perlahan. Dalam aliran ngarai yang curam dapat mencapai kecepatan tinggi,
mengangkut batu besar dalam suspensi, dan menyebabkan kerusakan katastropik dari benturan atau
penguburan. Dalam channel bergradien rendah dan aliran kipas alluvial, arus dapat mengalir dengan
lambat, tetapi dapat dengan cepat mengisi channel, mengalihkan aliran, dan menghancurkan mobil,
bangunan, dan infrastruktur.
Berdasarkan pemicu terjadinya:
a. Lahar letusan, yaitu apabila lahar terjadi karena dipicu oleh peristiwa letusan gunungapi. Pada lahar jenis
ini, aliran lahar didahului oleh erupsi letusan gunungapi.
b. Lahar hujan, yaitu apabila lahar terjadi karena dipicu oleh curah hujan.

Faktor yang dapat memperngaruhi aliran lahar antara lain yaitu :


a. Curah hujan
Intensitas curah hujan yang dapat menyebabkan aliran lahar berkisar Antara 1 ± 0.1 mm.
b. Topografi

Semakin curam topografi dapat menyebabkan aliran yang semakin deras, begitupun sebaliknya.
c. Komposisi material lahar

Lahar yang mengandung lebih banyak material padatan dapat mengalir lebih kencang dan merusak.
d. Volume lahar

Semakin besar volume aliran lahar dapat semakin membahayakan


INSTRUMENTASI PEMANTAUAN LAHAR
a. Radar Cuaca
Alat ini memanfaatkan refleksi gelombang elektromagnetik dipancarkan melalui antena radar yang akan
mendeteksi objek (awan). Pengukuran intensitas curah hujan (presipitasi) berdasarkan pancaran energi
radar yang dipantulkan kembali oleh butiran-butiran air di dalam awan. Produk reflektivitas ini memiliki
besaran satuan dBZ (decibel Z). Makin besar energi pantul yang diterima radar maka makin besar juga nilai
dBZ. Semakin besar nilai dBZ reflektivitas menunjukkan intensitas hujan yang terjadi semakin besar. Skala
dBZ pada legenda berkisar 5 - 75 yang dinyatakan dengan gradasi warna biru langit hingga ungu muda.
Jika gradasi warna semakin ke arah ungu maka semakin tinggi intensitas hujannya. Kisaran intensitas hujan
berdasarkan skala warna dBZ dan mm/jam.
b. Rain Gauge
Pemasangan rain gauges bertujuan untuk mendapatkan data jumlah curah hujan yang jatuh pada periode
dan tempat tempat tertentu. Keunggulan dari alat ini adalah dapat menampilkan jumlah data curah hujan
setiap menit, jam dan hari serta dapat memberikan grafik histori dari data curah hujan selama 24 jam.
c. Pengamatan Visual
Pengamatan visual digunakan dengan memasang kamera cctv pada titik strategis disekitaran daerah aliran
lahar. Hasil yang direkam berupa foto atau video secara real time.
d. Geophone dan seismometer
Prinsip kerja dari kedua alat ini hampir sama, yaitu dengan mengukur getaran yang terjadi pada tanah ketika
terjadi aliran material lahar. Aliran material lahar menghasilkan getaran dan suara yang biasa disebut
underground vibrations atau geosound. Pemasangan instrumen diletakkan di daerah tepi sungai, dimana
lahar biasa mengalir. Prinsip perekaman getaran oleh alat dalam time domain akan ditransformasi menjadi
frequency domain. Getaran yang dihasilkan karena aliran lahar memiliki rentang frekuensi 10-100 Hz
(Okuda et alii, 1980). Amplitudo maksimum pada time domain dapat menunjukkan bahwa material lahar
bergerak semakin mendekati geophone. Kecepatan aliran lahar dapat diketahui dari perbedaan waktu
amplitudo maksimum antar geophone.
e. GPS
Prinsip kerja yang digunakan pada monitoring lahar dengan GPS yaitu menggunakan pengiriman sinyal
dari satelit ke antenna receiver yang dipasang di area gunungapi. Perubahan titik receiver yang diakibatkan
oleh pergerakan batuan dan deformasi yang terdapat pada tubuh gunungapi dapat diketahui melalui
perhitungan posisi yang dilakukan oleh GPS. GPS Dapat digunakan untuk mengamati pergerakan dan
perubahan permukaan secara real time. The Geographical Survey Institute membuat peta topografi
mendetail secara berulang untuk menghitung laju ektrusi dan menghitung volume lahar dengan monitoring
GPS.
f. Ultrasonic Sensor
• Gelombang Ultrasonik memiliki frekuensi >20 KHz.
• Dapat dihasilkan oleh transduser / sensor. Transduser ultrasonik akan mengubah sinyal mekanik menjadi
gelombang ultrasonik dan sebaliknya.
• Cara kerja : sensor digantung pada titik tertentu dan ia akan menghitung jarak antara permukaan air dengan
sensor ini sendiri.
• Sensor ultrasonic menggunakan piezo crystal untuk meng-generate pulsa mekanik dari membran sensor.
Gelombang bunyi ini akan memantul pada permukaan medium, karena perbedaan densitas antara udara dan
medium. Pulsa yang terpantul akan kembali ke membran sensor. Waktu tempuh tersebut berkorespondensi
dengan jarak sensor ke permukaan medium.
g. Photocells
• Sensor Photocells digunakan untuk mendeteksi adanya debris flow. Debris flow mass mengganggu
gelombang yang dipantulkan oleh sensor, sehingga terjadi perubahan gelombang pantul.
• Kelebihan : tidak perlu perbaikan setelah aktivasi (merupakan sensor non kontak).
• Kelemahan : perlu dilakukan analisis mendalam saat instalasi agar tidak terjadi kontak dengan debris flow.
h. Wireline
• Hanya dapat digunakan satu kali saja.
• Pemasangan dilakukan dengan meregangkan wireline pada ketinggian yang bervariasi. Wireline
mendeteksi ketinggian maksimum dari lahar berdasarkan wireline tertinggi yang rusak.
• Selain itu terdapat Contact sensors yang digunakan untuk mengukur peak levels. Kemudian sinyal
dikirimkan ketika ujung wire tersebut menyentuh aliran lahar.
Early Warning System Lahar Flow Based Forecast the Time Arrival of Lahar merupakan kombinasi dari
system monitoring lahar dengan sensor vibrasi, camera internet, dan sistem telematri broadband network.
Dengan perlengkapan camera dan 2 sensor vibrasi, dapat terlihat fenomena lahar dan kecepatan aliran lahar
di sungai. Informasi tersebut disebarkan melalui internet agar dapat digunakan untuk mengantisipasi aliran
lahar.
EWS ini terdiri dari :
a. Stasiun Seismograf
b. Stasiun Monitoring Camera
c. Stasiun Repeater
d. Stasiun Master : Receiver dan Controller
D. TILT EDM

Tiltmeter digunakan untuk memonitoring kestabilan lereng guna mendeteksi zona pergerakan dan
menentukan apakah pergerakan tersebut konstan, semakin cepat atau memberikan respon pengukuran
yang baik. Tiltmeter adalah instrumen yang digunakan untuk monitoring perubahan sudut kemiringan/
slope suatu struktur (tilt). Selain disebabkan perubahan tekanan yang berpengaruh pada kelerengan
gunungapi, perubahan tilt ini disebabkan oleh aktivitas konstruksi, seperti penggalian, pembuatan
terowongan, dsb yang dapat memberikan efek tertentu pada struktur permukaan tanah.
Beberapa aplikasi penggunaan tiltmeter ini meliputi:
a. Monitoring perubahan struktur sebagai akibat penggalian terowongan
b. Monitoring kestabilan tanah pada area tanah longsor
c. Monitoring deformasi dan pembelokan dinding penopang
d. Informasi awal mengenai deformasi yang dapat mengancam jiwa
Sebuah tiltmeter elektrik menggunakan tempat kecil yang diisi dengan cairan dan “bubble”
digunakan untuk mengukur perubahan slope (kemiringan). Elektroda diletakkan di dalam fluida, tegangan
keluaran dari perubahan elektroda berkorelasi dengan besarnya kemiringan yang menyebabkan
gelembung bergerak. Tiltmeter mengukur besarnya tilt dalam mikroradian. Awalnya tiltmeter dirancang
untuk keperluan militer, tetapi berbagai tiltmeter elektrik sekarang digunakan untuk pemantauan gunung
berapi dengan resolusi yang berbeda-beda tergantung jenisnya.
EDM diset di atas tripod pada suatu titik dan reflektor diletakkan pada titik yang lain. EDM ditembakkan
ke reflektor di suatu titik, di lanjutkan ke titik yang lain untuk mendapatkan serangkaian pengukuran jarak.
Temperatur dan tekanan udara juga terukur dan berpengaruh pada kecepatan cahaya yang melalui udara.
Untuk hasil yang lebih akurat, kelembaban relatif juga dapat diukur. Untuk menghitung jarak horizontal
suatu slope dari satu titik ke titik lain, ketinggian EDM dan reflektor di ukur dengan teliti.
Keakuratan pengukuran jarak dipengaruhi oleh:
a. Kebenaran dalam pengukuran temperatur dan tekanan udara
b. Kestabilan frekuensi standar yang digunakan dalam ED
c. Kesalahan pemasangan EDM dan reflector
d. Kesalahan dalam pengukuran sudut kemiringan dan atau penentuan ketinggian relatif antara 2 titik
ketinggian (benchmark)
Dalam Deformasi gunungapi, metode ini (EDM) digunakan untuk pengukuran jarak di slope. Pengukuran
jarak dilakukan secara episodik (berkala) dengan interval waktu tertentu. Dengan mempelajari jarak
antara titik-titik tersebut dari waktu ke waktu, maka karakteristik deformasi dari gunungapi dapat
dipelajari.
Prinsip Pengukuran Jarak
Suatu gelombang elektronik yang telah diketahui frekuensinya (f) dipancarkan ke pemantul atau
reflector, dan dipantulkan kembali kepemancar. Alat pemancar mampu menghitung jumlah panjang
gelombang (n) dengan ketelitian sampai 1/1000 bagian dari panjang gelombang. Nilai n/f dihitung (t) baik
secara manual maupun otomatis pada alat, dan dikalikan dengan nilai kecepatan standar sinyal di atmosfer
(v), hasilnya adalah jarak atau panjang lereng yang diukur. Dimuka telah dikemukakan berdasarkan
macam gelombang yang dipakai, pengukuran metode elektronik dapat dibagi menjadi dua system. Yaitu
MDM untuk pengukuran jarak jauh dan EDM untuk pengukuran jarak menengah dan dekat. Dasar kerja
dari alat ini adalah gelombang energi (gelombang cahaya, microwave, gelombang radio) yang
dipancarkan dari pemancar di A (transmitter) dan di B dipantulkan oleh alat pemantul (reflector) dan
diterima kembali oleh alat penerima (receiver) di A.
Bila kecepatan rambat gelombang energi = V m/dt, dan waktu yang diperlukan pada saat merambat dari
mulai dipancarkan sampai diterima kembali = t detik, maka dapat dihitung jarak dari titik A ke B = t
meter. Ketelitian yang dapat dicapai oleh alat ini adalah sekitar 2 sampai 10 p.p.m (part per million = 2
s/d 10 milimeter untuk tiap kilometer). Karena perambatan gelombang energi ini tadi lewat lapisan udara,
maka harus dikoreksi juga terhadap temperatur dan tekanan udara pada saat pengukuran.
Prinsip pemantauan deformasi secara kontinyu yaitu pemantauan terhadap perubahan koordinat
beberapa titik yang mewakili sebuah gunungapi dari waktu ke waktu. Metode ini, menggunakan beberapa
alat penerima sinyal (reciever) GPS yang ditempatkan pada beberapa titik pantau pada punggung dan
puncak gunungapi, serta pada suatu pusat pemantau (stasiun referensi) yang merupakan pusat pemroses
data. Pusat pemantau adalah suatu lokasi yang telah diketahui koordinatnya, dan sebaiknya ditempatkan
di kota yang terdekat dengan gunungapi yang bersangkutan (misalkan di pos pengamatan gunungapi).
Koordinat titik-titik pantau tersebut kemudian ditentukan secara teliti dengan GPS, relatif terhadap pusat
pemantau, dengan menggunakan metode penentuan posisi diferensial secara real-time. Untuk itu data
pengamatan GPS dari titik-titik pantau harus dikirimkan secara real-time ke pusat pemantau untuk diproses
bersama-sama dengan data pengamatan GPS dari pusat pemantau. Pengiriman data ini dapat dilakukan
dengan menggunakan bantuan satelit komunikasi ataupun telemetri dengan gelombang radio.
Dalam proses pemantauan aktivitas (geometrik) gunungapi dengan GPS, sebagai contoh, kalau
jarak antara dua titik pantau yang diletakkan sebelah menyebelah sisi gunungapi secara sistematis semakin
memanjang dari waktu ke waktu, atau beda tinggi antara titik-titik pantau dengan pusat pemantau makin
membesar secara kontinyu, maka kita harus waspada bahwa mungkin gunung yang bersangkutan akan
meletus. Perlu ditekankan di sini bahwa untuk mendapatkan suatu kesimpulan yang lebih konprehensif
tentang aktivitas gunungapi tersebut, informasi geometrik yang diberikan oleh GPS sebaiknya
diintegrasikan dengan informasi-informasi vulkanologis.

Pemantauan secara episodik yaitu, pemantauan GPS terhadap titik-titik pantau secara berkala, yang
membedakannya dengan pemantauan secara kontinyu, adalah disini pemantauan dilakukan pada periode
tertentu dengan metode pengukuran secara statik.
Beberapa kelebihan GPS dalam konteks pemantauan deformasi, yaitu:
a. GPS dapat mencakup suatu kawasan yang relatif luas tanpa memerlukan saling keterlihatan antar
titik-titik pengamatan. Dengan karakteristik seperti ini, GPS dapat memantau sekaligus beberapa
gunungapi yang berdekatan.
b. GPS memberikan nilai vektor koordinat serta pergerakan titik (dari minimum dua kala
pengamatan) dalam tiga dimensi (dua komponen horisontal dan satu komponen vertikal), sehingga
dapat informasi deformasi yang lebih baik dibandingkan metode-metode terestris yang umumnya
memberikan informasi deformasi dalam satu atau dua dimensi.
c. GPS memberikan nilai vektor pergerakan titik dalam suatu sistem koordinat referensi yang tunggal
dan stabil baik secara spasial maupun temporal. Dengan itu maka GPS dapat digunakan untuk
memantau deformasi gunung atau gunung-gunungapi dalam kawasan yang luas secara konsisten
dari waktu ke waktu.
d. GPS dapat memberikan nilai vektor pergerakan dengan tingkat presisi sampai beberapa mm,
dengan konsistensi yang tinggi baik secara spasial maupun temporal. Dengan tingkat presisi yang
tinggi dan konsisten ini maka diharapkan besarnya pergerakan titik yang kecil sekalipun akan
dapat terdeteksi dengan baik.
e. GPS dapat dimanfaatkan secara kontinyu tanpa tergantung waktu (siang maupun malam), dalam
segala kondisi cuaca. Dengan karakteristik semacam ini maka pelaksanaan survei GPS untuk studi
deformasi gunungapi dapat dilaksanakan secara efektif dan fleksibel.
FAKTOR PENGUKURAN EDM DAN TILTMETER
1. EDM
EDM diset di atas tripod pada suatu titik dan reflektor diletakkan pada titik yang lain. EDM
ditembakkan ke reflektor di suatu titik, di lanjutkan ke titik yang lain untuk mendapatkan serangkaian
pengukuran jarak. Temperatur dan tekanan udara juga terukur dan berpengaruh pada kecepatan cahaya
yang melalui udara. Untuk hasil yang lebih akurat, kelembaban relatif juga dapat diukur. Untuk
menghitung jarak horizontal suatu slope dari satu titik ke titik lain, ketinggian EDM dan reflektor di ukur
dengan teliti.
Keakuratan pengukuran jarak dipengaruhi oleh:
1. Kebenaran dalam pengukuran temperatur dan tekanan udara
2. Kestabilan frekuensi standar yang digunakan dalam EDM
3. Kesalahan pemasangan EDM dan reflektor
4. Kesalahan dalam pengukuran sudut kemiringan dan atau penentuan ketinggian relatif antara 2 titik
ketinggian (benchmark). Mengukur jarak diantara benchmarks yang terpisah puluhan sampai ribuan
measurement dari gunung api terkadang dapat menunjukkan dengan tepat dimana dan kapan magma
akan naik ke permukaan. Magma yang bergerak naik ke atas terkadang akan mendorong batuan yang
menindihnya keatas atau mengeruknya ke samping. Pada kasus lain, satu bagian dari gunungapi
memungkinkan untuk bergerak relative horizontal terhadap bagian lain baik dalam skala kecil
(millimeasurement) ataupun skala besar (measurement). Kesulitan dalam penggunaan EDM adalah
menaruh benchmark di tempat yang tepat dan melakukan pengukuran secara sering diantara pasangan
benchmark.
2. TILTMETER
Pada monitoring gunungapi, sensor tiltmeter dipasang dipuncak pada puncak gunung api dan data
dikirim secara telemetri online menggunakan gelombang radio ke kantor pusat (BPPTKG). Data
lapangan dikonversi ke dalam satuan sudut (radian) dan diplot secara otomatis ke dalam grafik. Tiltmeter
sangat peka terhadap pengaruh local dan kondisi puncak yang penuh asap solfatara, perubahan suhu
siang dan malam yang drastis sering kali menyebabkan gangguan transmisi dan sistem catudaya.

E. EM
Dasar Teori Metode VLF
Metode VLF merupakan pengukuran yang dilakukan berdasarkan medan magnet sekunder yang
diinduksikan ke struktur geologi yang konduktif dengan menggunakan radio transmitter yang beroperasi
pada frekuensi 10-30kHz. VLF digunakan sebagai survei awal struktur geoelektrik pada kawah gunung api
karena pengukurannya yang relatif mudah diantara metode EM yang lainnya.
Interpretasi data dari survei metode VLF dilakukan dengan melakukan perbandingan kualitatif dari
hasil yang diperoleh dilapangan yang kemudian dibuat model matematika sederhana berdasarkan data
geologi lain. Medan magnet sekunder biasanya dimodelkan dalam satuan sebenarnya dan presentasi medan
magnet primernya. Medan magnet sekunder juga dapat dimodelkan berdasarkan tilt angle dari total field
polarization ellipse. Korelasi positif antara tilt angle dan ellipticity menandakan lapisan yang resistif,
sedangkan korelasi negative menandakan lapisan yang induktif. Jarak antara dua puncakan model tilt angle
merupakan 3 kali kedalaman struktur geologi yang seperti dike didaerah tersebut.
Dasar Teori CSEM
Monitoring dengan mengunakan resistivitas elektrik pada gunung api memberikan gambaran baru
mengenai kegunung apian. Hal ini dikarena karena monitoring dengan resistivitas elektrik memberikan
ketelitian yang lebih karena resistivitas pada lapisan batuan didaerah gunung api dipengaruhi oleh
karakteristik magmanya dan perpindahan panas seraca konduktif maupun konveksi. Monitoring gunung api
dengan mengukur perubahan nilai resistivitasnya dilakukan dengan mengukur titik yang sama secara
berulang menggunaan sumber medan magnet yang dapat dikontrol. Metode ini disebut sebagai controlled-
source electromagnetic (CSEM). Pada monitoring gunung api dengan metode EM, perubahan nilai
resistivitas menandakan terjadinya rock fracturing, atau ground displacement dimana kedua fenomena
tersebut erat kaitannya dengan intrusi magma pada daerah gunung api.

Controlled Source Electromagnetic


Resistivity Monitoring of an Active Volcano Using the Controlled-Source Electromagnetic Technique :
Kilauea, Hawaii
Apabila dilakukan perbandingan dengan metode seismik, maka:
1. Jika ada tremor dan perubahan resistivitas, maka itu merupakan pergerakan magma
2. Jika ada tremor namun tidak ada perubahan resistivitas, maka itu merupakan aktivitas tektonik
tanpa melibatkan magma
3. Dan jika tidak ada tremor namun ada perubahan resistivitas, maka itu merupakan perubahan water
table atau pergerakan magma aseismik

F. SEISMIK AKUISISI
Metode seismik adalah salah satu metode geofisika yang digunakan untuk mengidentifikasi lapisan di
bawah permukaan bumi. Metode seismik ini menfaatkan pemantulan gelombang mekanik yang dihasilkan
dari sumber gelombang baik secara alami (gempa bumi) ataupun menggunakan sumber ledakan atau
sumber getaran lain. Selanjutnya gelombang yang dihasilkan akan menjalar melalui udara, permukaan,
ataupun dipantulkan lapisan tanah dan ada beberapa yang mengalami pembiasan gelombang. Semua
gelombang ini akan ditangkap pada geophone yang sudah terpasang di lintasan survei di permukaan.
Pada gunung api, survei seismik dilakukan dengan meletakan sensor seismik pada gunung api dan akan
menghasilkan seismograf pada seismometer. Hal inilah yang selanjutnya akan diamati oleh pengamat
gunung api. Parameter yang ditangkap cukup mudah untuk membaca aktivitas gunung api, jika ada
peningkatan aktivitas gunung api, maka data yang terekam pada seismometer akan mengalami lonjakan,
hal inilah yang digunakan sebagai acuan untuk status gunung api tersebut.
1. Keunggulan
Keunggulan metode seismik dalam memonitor gunung api antara lain :
a. Letusan gunungapi seringkali didahului oleh kegiatan seismik yang menyimpang.
b. Dalam bentuk yang paling sederhana sistem pemantauan seismik relatif murah untuk mendirikan
dan mengoperasikan.
c. Ada sejumlah data yang tersedia secara bebas.
d. Stasiun pemantauan tunggal dapat merekam data dari beberapa gunung berapi sekaligus.
e. Menyediakan sumber data terus menerus, memungkinkan perubahan yang cepat dalam gunung
berapi yang akan dipantau.
f. Ada sejumlah besar literatur ilmiah yang telah dipublikasikan pada data pemantauan seismik yang
dapat membantu para ilmuwan dalam interpretasi mereka atas data seismik.
g. Dapat menghasilkan citra kenampakan struktur di bawah permukaan.
2. Kelemahan
Adapun kelemahan dari metode seismik sendiri dalam monitoring gunung api antara lain :
a. Terganggu potensial dari sumber-sumber lain seperti getaran tanah,angin, dan sebagainya.
b. Karena memberikan data terus menerus, memerlukan informasi resolusi tinggi untuk volume data
yang dikumpulkan.
c. Reduksi dan prosesing membutuhkan banyak waktu, membutuhkan komputer mahal dan ahli-ahli
yang banyak.
d. Gempabumi adalah fenomena lokal, sehingga satu kejadian tidak dapat mewakili seluruh wilayah
di sekitar sumber gempa.
e. Distribusi spasial hiposenter mempunyai ambiguitas apakah menunjukkan adanya intrusi magma
atau tidak.
Seismometer memiliki beberapa jenis atau tipe yang dibedakan berdasarkan rentang frekuensi perekaman
sinyal seismik dari seismometer tersebut. Terdapat tiga tipe seismometer yakni:
1. Long Period Seismometer
Long Period Seismometer adalah instrument dengan parameter frekuensi resonansi yang sangat
rendah. Kelambatan antara seismometer dan gerakan tanah menjadi nol dan amplitudo perpindahan
seismometer menjadi sama dengan pemindahan tanah yang diperkuat. Kadang-kadang disebut meteran
perpindahan.
Biasanya seismometer ini yang dirancang untuk merekam gelombang seismik dengan frekuensi 0.01
Hz hingga 0.1 Hz dimana digunakan periode 100 hingga 10 detik.

2. Short Period Seismometer


Short Period Seismometer adalah seismometer yang dirancang dengan periode alami yang sangat
singkat dan frekuensi resonansi yang tinggi, bahkan lebih tinggi daripada frekuensi pada gelombang
seismik. Perpindahan (Displacement) seismometer ini sebanding dengan percepatan tanah, dan
instrumen ini disebut akselerometer.
Seismometer ini dirancang untuk merekam gelombang seismik dengan frekuensi 1 Hz hingga 10 Hz
dimana akan digunakan periode 1 hingga 0.1 detik.

3. Broadband Seismometer
Broadband Seismometer adalah seismometer yang memiliki sensitivitas yang tinggi pada rentang
dinamis yang sangat lebar. Seismometer ini dapat digunakan untuk sinyal dengan rentang yang sangat
lebar dan rentang yang dinamis dari ground noise hingga acceleration string-nya yang datang dari
gempa bumi pada umumnya.
Seismometer ini yang dirancang untuk merekam gelombang seismik dengan frekuensi 0.1 Hz hingga
1 Hz dimana periode 10 hingga 1 detik.
Subsistem penerima terdiri dari :
✓ Radio Penerima
Menerima sinyal dari radio transmitter pengirim.
✓ Diskriminator
Menyalurkan sinyal ke seismograph.
✓ Perekam (Recorder)
Umumnya memakai seismograph (analog), namun sekarang juga telah menggunakan komputer
(digital) dengan bantuan ADC (Analog to Digital Converter).

DESAIN SURVEY
Desain survei sangat diperlukan dalam monitoring gunungapi karena desain survei merupakan suatu
langkah awal penelitian dalam kegiatan memonitoring gunungapi. Untuk menentukan desain survei seismik
dalam gunungapi diperlukan langkah-langkah sebagai berikut :
a) Menentukan posisi dari seismometer dengan mepertimbangkan titik yang dapat mendukung studi dari
data event gempa.
b) Melakukan studi cakupan ray (ray coverage) dengan posisi stasiun tersebut dengan berbagai skenario
data sintetik. Jika ada referensi gempa terdahulu, lakukan studi tes resolusi pada daerah tersebut
dengan berbagai skenario penempatan stasiun, pilih yang paling optimal.
c) Lakukan tes noise pada titik tersebut. Apabila terdapat noise yang cukup tinggi pindahkan ke titik yang
lain.
d) Plot titik-titik yang ditentukan ke dalam peta geologi.

SYARAT STASIUN SEISMIK


1. Terletak jauh dari kebisingan atau aktifitas manusia (industri, lalu lintas jalan dan sebagainya)
2. Stasiun tersebut harus dalam jarak aman dari jalur erupsi gunungapi
3. Stasiun seismik terletak di tempat yang terbuka (dinaungi supaya terhindar dari cuaca buruk seperti
hujan dsb), dan akses jalan yang mudah untuk mencapainya.
4. Minimal ada salah satu stasiun terletak sekitar 1 km dari vent, masih dalam jarak aman. Hal ini sangat
berguna dalam mendeteksi gempa skala kecil agar error lokasinya kecil (< 0,5 km) karena gunungapi
sering memiliki noise dengan tingkat yang tinggi, maka harus ada seismometer yang cukup dekat
dengan vent.
5. Sebagian besar stasiun seismik yang secara langsung memonitor suatu gunungapi terletak pada lereng
dengan jarak 5 – 15 km.
6. Selain dalam jangkauan lokal, tersebar pula beberapa stasiun seismik dimonitor secara tak langsung
oleh stasiun seismik didekatnya (30-100 km) termasuk dalam jaringan stasiun seismik regional

G. SEISMIK INTERPRETASI
A. JENIS GEMPA GUNUNG API
1. Volcanic – tectonic events
a. Volcanic – tectonic A (VT-A)
• Kedalaman lebih dari 2 km - Gelombang p dan s jelas - Frekuensi yang tinggi (> 5 hz) - Durasi
sinyal pendek - Dapat terekam di semua stasiun
Stasiun elevasi rendah magnitudo besar
Stasiun elevasi tinggi magnitudo kecil
b. Volcanic – tectonic B (VT-B)]
• Kedalaman dangkal (1 - 2 km) - Gelombang P dan S kadang sulit dibedakan - Frekuensi yang tinggi
( < 5 Hz) - Seismograf yang dekat dengan puncak merekam amplitudo lebih besar dibandingkan seismograf
yang elevasi dibawahnya
2. Low frequency events (LF)
• Kedalaman dangkal (<2 km) tetapi ada beberapa kasus seperti Gn. Kilauea yang menghasilkan tipe
LF ini dengan kedalaman gempa 30 – 40 km - Terdiri dari sinyal onset yang sangat jelas dan tidak
menunjukkan adanya gelombang S - Frekuensi antara 1-3 Hz - Gempa LF pada umumnya muncul dengan
amplitude yang sangat kecil dan akan terlihat sangat jelas jika dipasang dibatuan ekstrusi
3. Multi phase events (MP)
• Di puncak kubah lava - Impuls gempa kurang tegas jika dibandingkan dengan VA dan VB.
Amplitudo bersifat gradual - Frekuensi antara 3 - 4 Hz - Terjadi pada pembentukan kubah lava. Jumlah
gempa kurang lebih 700 gempa per hari, akibat pergesekan kerak – kerak kubah lava pada saat tumbuh
B. VOLCANIC SEISMIC SIGNAL
Munculnya sinyal seismik kontinyu pada gunung berapi aktif menunjukan bahwa ada perbedaan
antara gempa tektonik dan seismologi gunung api. Berbagai gejala yang terjadi di permukaan yang dapat
dilihat seperti fenomena rockfall, longsor dari batuan piroklastik akibat tremor vulkanik. Hampir setiap
gunung berapi di seluruh dunia menunjukan sinyal tremor vulkanik saat terjadi berbagai macam aktivitas
vulkanik. Fenomena tremor vulkanik sendiri merupakan parameter yang sering menjadi rujukan untuk
peringatan awal letusan gunung berapi. Pada bahasan kali ini tremor akan dibahas menjadi 2 bagian yaitu
tremor viskositas tinggi dan viskositas rendah.
Pengamatan yang disebut tremor non vulkanik juga menarik dan banyak menjadikan perhatian
dalam komunitas seismologi. Jenis tremor ini berasosiasi dengan zona subduksi yang membuatnya menjadi
parameter penting dalam mempelajari perilaku dinamis gempa subduksi tersebut.
Volcanic Tremor (low viscous two phase flow)
Sebagian besar gunung berapi basaltic yang dipantau menunjukan beberapa jenis penampakan
tremor vulkanik. Sinyal tremor dapat berlangsung beberapa menit bahkan sampai bulan.
Sinyal pada gambar pertama merupakan sinyal ledakan yang ditimpa pada sinyal kontinyu dari
tremor vulkanik di gunung berapi Stromboli. Gambar ini menjelaskan frekuensi tremor vulkanik yang
lemah namun juga khas pada gunung berapi Stromboli. Band getaran dengan frekuensi diatas 2 Hz
terdistorsi sebagian oleh getaran yang disebabkan puing-puing vulkanik yang dikeluarkan jatuh ke
permukaan. Gambar kedua menjelaskan bahwa transformasi fourier pada tipe sinyal gempa ledakan (hitam)
dan power spectrum dari 6 jam rekaman kontinyu (merah). Dimana yang pertama menggambarkan
spectrum khas dari gempa ledakan, seluruh perilaku spectrum kedua disebabkan oleh tremor vulkanik.
Beberapa sinyal tremor menunjukan variasi amplitude yang kuat dan pendek, sementara yang lain
hampir diam selama beberapa hari bahkan sampai berbulan- bulan. Kesamaan umum dalam spectrum
tremor vulkanik dan gempa ledakan adalah pengamatan yang harus dijelaskan saat mencari sumber
mekanismenya.
Volcanic Tremor (high viscous resonating gas phase
Selama beberapa decade terakhir, banyak dilakukan pengamatan tentang kejadian dan karakteristik
tremor vulkanik di gunung berapi dengan lava yang memiliki nilai viskositas tinggi. Di Gunung Semeru
(Indonesia) spektrum tremor vulkanik terkandung hingga 12 nada. Ini mendukung asumsi bahwa media
beresonansi dengan faktor kualitas tinggi (Q) serta feedback yang bekerja dengan tepat dalam
mekanismenya. Pengamatan serupa juga dilakukan di Lascar Volcano (Chilli), dimana ditemukan hingga
30 nada tambahan yang teridentifikasi pada sinyal seismik.

Spectrogram adalah cara visual untuk mewakili kekuatan sinyal, atau "kenyaringan", sinyal dari
waktu ke waktu pada berbagai frekuensi yang ada dalam bentuk gelombang tertentu. Kegunaan di dunia
seismik adalah untuk melihat konten frekuensi dari sinyal kontinu yang direkam oleh seismometer guna
membantu membedakan dan mengkarakterisasi berbagai jenis gempa bumi atau getaran lain di bumi.

Berdasarkan klasifikasi gempa vulkanik dapat memberikan tampilan yang berbeda pada
spectrogram, yaitu :

a. Volcanic – tectonic A (VT-A)


• Kedalaman lebih dari 2 km
• Gelombang p dan s jelas
• Frekuensi yang tinggi (> 5 hz)
• Durasi sinyal pendek

Rekaman seismik tipe VT-A Gunung


Merapi (Wasserman, 2012)
b. Volcanic – tectonic B (VT-B)
• Kedalaman dangkal (1 - 2 km)
• Gelombang P dan S kadang sulit
dibedakan
• Frekuensi yang tinggi (< 5 Hz)

Rekaman seismik tipe VT-B Gunung


Merapi (Wasserman, 2012)

c. Low frequency events (LF)


• Kedalaman dangkal (<2 km)
• Terdiri dari sinyal onset yang sangat
jelas dan tidak menunjukkan adanya
gelombang S
• Frekuensi antara 1-3 Hz
• Gempa LF pada umumnya muncul
dengan amplitude yang sangat kecil dan
akan terlihat sangat jelas jika dipasang
dibatuan ekstrusi

Rekaman seismik tipe LF Gunung Merapi


(Wasserman, 2012)

d. Multi phase events (MP)


• Di puncak kubah lava
• Impuls gempa kurang tegas jika
dibandingkan dengan VA dan VB
• Amplitudo bersifat gradual
• Frekuensi antara 3 - 4 Hz
• Dari hasil analisis spectral ini bisa
dikatakan bahwa gempa-gempa yang
berasosiasi dengan pertumbuhan
Rekaman seismik tipe MP Gunung kubah lava ini merupakan gempa
Merapi (Wasserman, 2012) dengan frekuensi rendah atau low-
frequency. Dan ini menunjukkan
bahwa gempa-gempa tersebut
merupakan gempa permukaan yang
menjalar pada medium yang tidak
keras dalam artian lunak seperti pada
lava dari kubah lava yang sudah
terbentuk.
e. Tremor
• Tremor spasmodik yaitu tremor yang
tidak memiliki keraturan puncak
frekuensi dan tidak adanya
perulangan puncak secara periodik.
• Range frekuensi : 1-8Hz ditunjukkan
skala tinggi warna merah
• Warna merah menunjukkan frekuensi
yang memiliki amplitude spectrum
maksimal
• Frekuensi dominan 5 Hz

Adapun urutan monitoring seismik adalah :


1. Paling sederhana dilakukan dengan menghitung jumlah gempanya, apabila jumlahnya meningkat
maka dapat diketahui bahwa aktivitas gunung api juga meningkat.
2. Menghitung jumlah gempa berdasarkan klasifikasi jenis gempa
3. Skenario pergerakan magma berdasarkan jenis gempa yang kemudian diinterpretasi
4. RSAM dan SSAM

RSEM (REAL-TIME SEISMIC ENERGY MEASUREMENTS)

Adalah pengembangan dari analisa RSAM (Amplitude Measurements) dengan hubungannya


terhadap energi. Metode ini pertama kali dikembangkan di Colima Mt. Perhitungan RSEM terdiri atas 2
jenis, absolut RSEM dan cumulative RSEM. Secara matematis, dapat ditulis dengan (De la Cruz-Reyna
dan Reyes, 2001)
𝐴𝑣𝑒𝑟𝑎𝑔𝑒 𝐴2 ∑3000 𝐴𝑖 2
𝑅𝑆𝐸𝑀 = √ = √ 𝑖=1
𝑢𝑛𝑖𝑡 𝑡𝑖𝑚𝑒 60
𝑁
1 𝑘
𝑅𝑆𝐸𝑀 = √ ∑(𝐴𝑖 − 𝐴𝐴𝑉𝐺 )2
𝑁
𝑖=1

Ai adalah amplitude sinyal seismik ,Aavg adalah rata-rata dari N sample, k adalah konstanta bergantung dari
analog to digital converternya. Saat sampling ratenya 50 Hz, RSEM akan menghitung tiap menit dari 3000
amplitude sample. Saat sampling rate 100-Hz sampling rate, RSEM akan menghitung tiap 2 menit dari
12000 amplitude sample. Satuan unit RSEM dapat direpresentasikan dalam digital count atau volt,
tergantung dari konstanta k.
INTERPRETASI
Secara umum, RSEM sangat menggambarkan jelas gejala sebelum erupsi. Beberapa kondisi RSEM yang
memungkinkan hadir saat pengamatan adalah
A. Prekursor tidak terlihat
Tipe kasus ini adalah yang paling sering, kenaikkan energi terlihat namun tidak dapat dibedakan kapan
erupsi akan muncul
B. Prekursor waktu singkat
Pada Tipe kasus ini terlihat kenaikkan yang cukup signifikan, namun hanya beberapa jam sebelum erupsi
muncul
C. Prekursor terlihat
Pada Tipe ini kenaikan energi sangat terlihat jelas jauh sebelum erupsi, bahkan beberapa minggu sebelum
erupsi. Karena itulah muncul pemgembangan baru dugaan dari kenaikan RSEM dengan menggunakan FFM
(Failure Forecast Method) dengan menggunakan kurva dari persamaan
ε ̇(t)= B/〖st〗_c ln⁡(1+st)
ϵ(t)= strain terhadap waktu, dot diatas menandakan differensial
B = Konstant stress
s = parameter material
t = waktu
Persamaan tersebut menggambarkan bahwa laju prekursor berupa kurva hiperbolik. Untuk
mengestimasi waktu prediksi dihitung pada kurva asymptote
RSAM adalah kependekan dari Real-time Seismic Amplitude Measurement. Merepresentasikan
keseluruhan ukuran sinyal dengan periode lebih dari 10 menit. Dalam situasi dimana jumlah gempa sangat
banyak sehingga tiap individu dari gempa tersebut tidak dapat dilihat, atau ketika dimana tremor volkanik
terjadi tetapi seismogram tidak menunjukan adanya perbuhan level sinyal, maka RSAM adalah cara terbaik
untuk menunjukan adanya perbuhan dengan menggunakan periode waktu.
Masalah utama dari RSAM adalah cara ini tidak memerdulikan apa yang menyebabkan terjadinya
sinyal tersebut. Ketika sinyal yang muncul berasal dari tremor volkanik maka RSAM akan sangat berguna.
Tetapi ketika semisal angin bertiup kencang dan nilai dari RSAM ikut meningkat, maka saintis sebenarnya
hanya memonitoring cuaca alih alih target monitoring yang sebenarnya adalah aktivitas vulkanik.
SSAM adalah kependekan dari Seismic Spectral-Amplitude Measurement. Metode ini menunjukan
ukuran sinyal relatif di band frekuensi yang berbeda. Perbedaan sinyal sesimik memiliki energi di frekuensi
yang berbeda. Analogi termudah adalah menggunakan analogi musik, dimana beda sinyal seismik
menghasilkan note atau nada, SSAM memperlihatkan kekuatan tiap tiap nada dalam suatu “lagu” secara
keseluruhan.
Menggunakan SSAM sangat memungkinkan untuk membedakan sumber sinyal apakah sinyal
berasal dari angin, aktifitas manusia, gempa, atau tremor vulkanik. Gempa, angin dan aktifitas manusia
cenderung memiliki energi dengan frekuensi lebar (a wide band signal), sedangkan tremor vulkanik
cenderung memiliki energi yang terbatas pada frekuensi tertentu (a narrow-band signal).
Mana yang terbaik? Tidak ada, intinya adalah dengan cara melihat plot RSAM dan SSAM secara
bersamaan. RSAM akan memberikan nilai ukuran sinyal dan SSAM akan memberi informasi mengenai
sumber dari sinyal tersebut. Terkadang, dalam beberapa kasus sinyal yang disebabkan oleh angin lebih
menonjol daripada termor vulkanik, dan hal itulah yang menjadi tantangan bagi para vulkanologi dalam
memahami aktivitas vulkanisme.
H. SP SUHU
Suhu & Pengukurannya Secara Umum
Suhu adalah suatu penunjukan nilai panas atau nilai dingin yang dapat diperoleh/diketahui
menggunakan suatu alat yang dinamakan termometer. Termometer adalah suatu alat yang digunakan untuk
mengukur dan menunjukkan besaran temperatur. Tujuan pengukuran temperatur adalah untuk mencegah
kerusakan pada alat-alat tersebut, mendapatkan mutu produksi/kondisi operasi yang di inginkan,
pengontrolan jalannya proses. Ada 2 (dua) cara mengukur temperatur, yaitu :
1. Metoda Pemuaian, yaitu panas yang diukur menghasilkan pemuaian, pemuaian dirubah
kedalam bentuk gerak-gerak mekanik kemudian dikalibrasi dengan skala angka-angka yang
menunjukkan nilai panas (temperatur) yang diukur.
2. Metoda Elektris, yaitu panas yang diukur menghasilkan gaya gerak listik (Emf). Gaya gerak
listrik kemudian dikalibrasi kedalam skala angka-angka yang menunjukkan nilai panas
(temperatur) yang diukur.

Metode Suhu untuk Monitoring Gunungapi


Metode suhu merupakan metode yang sangat aplikatif dalam penggunaannya. Suhu merupakan
variabel intensif, yaitu variabel yang nilainya tidak bergantung pada massa sistem.
Dasar yang digunakan dalam pengukuran suhu adalah hukum ke nol termodinamika, yang menyatakan
bahwa, jika dua buah benda mempunyai kesamaan suhu dengan benda ketiga, maka kedua benda tersebut
satu dengan yang lain mempunyai kesamaan suhu.
Secara umum, Ada karakter yang sangat khas yang berupa perubahan nilai suhu positif yang
sangat tajam sesaat sebelum sebuah gunung api meletus, dengan mengetahui nilai perubahannya, aktivitas
gunungapi dapat diperkirakan sehingga dapat memberikan peringatan dini sebelum erupsi. Pengamatan
suhu dalam pemantauan kegiatan gunung api bertujuan untuk mengetahui penyebaran suhu pada area
survey, mengetahui penyebaran nilai konduktivitas medium di area survey, memodelkan distribusi suhu
pada penampang vertikal area survey, dan memperkirakan posisi dari heat source berdasarkan data
penyebaran suhu; konduktifitas; dan distribusi suhu pada penampang vertikal dari area survey.
Parameter fisis yang digunakan dalam monitoring suhu :
1. Gradien vertikal suhu, adalah fluktuasi suhu sebagai fungsi waktu pada variasi kedalaman
tertentu.
2. Skin depth, adalah kedalaman dimana suhunya masih terpengaruh suhu permukaan.
3. Difusivitas termal, mengukur kemampuan material untuk mengonduksi energi panas relatif
terhadap kemampuannya untuk menyimpan energi panas. Disebut juga sebagai ukuran dari
inersia termal. Dalam zat dengan difusivitas termal yang tinggi, panas bergerak cepat karena
zat tersebut menghantarkan panas relatif terhadap kapasitas panas volumetriknya.
Pada dasarnya, pengukuran suhu dibagi dalam dua kategori, yaitu:
1. Monitoring suhu dengan menggunakan sensor suhu berbentuk tongkat panjang 2 m, dimana
setiap 0.5 m dari sensor ini dipasang thermistor sebagai sensor suhu.
2. Mapping suhu dengan menggunakan needle probe yang sekaligus digunakan untuk
menghitung konduktivitas panas batuan.
Pada monitoring suhu, akan didapatkan grafik berupa suhu versus time, untuk monitoring ini
biasanya akan terpengaruh beberapa faktor luar semisal adanya steam yang membuat suhu yang terbaca
cukup tinggi melebihi suhu permukaan yang diukur. Di bawah kedalaman skin depth ini suhu yang terukur
diasumsikan berasal dari induksi termal kantong magma.
Pada mapping suhu, akan didapatkan grafik konduktivitas termal versus jarak. Nilai ini
dipengaruhi oleh jenis batuan dari daerah survey. Kemudian dapat dibuat pula peta kontur distribusi suhu
permukaan, dimana suhu permukaan dapat dipengaruhi aktivitas gunung api dan dapat dipengaruhi oleh
intensitas sinar matahari. Sedangkan pada tinjauan aliran panas, energy panas merupakan daerah anomali.
Bila diluar dari lapisan tipis dekat permukaan kerak bumi yang terpengaruh oleh variasi cuaca dan air tanah,
gradient thermal terhadap kedalaman-kedalaman berkisar 5-70C setiap kilometer. Aliran panas oleh
konduktivitas persatuan luas dalam waktu tertentu merupakan hasil kali gradient thermal vertikal terhadap
koefisien konduktivitas panas. Hal ini bergantung pada karakteristik batuan.
INSTRUMENTASI MONITORING SUHU
Pemetaan suhu (mapping) dilakukan untuk untuk mengetahui penyebaran nilai konduktifitas panas dari
area survey. Sehingga selanjutnya dapat memetakan persebaran isothermal dari area penelitian
menggunakan needle probe, alat yang diberi elemen pemanas dan sensor suhu terisolasi yang diletakkan di
dekat ujung probe. Pengambilan data dilakukan setiap selama 10 menit disetiap titik. Alat yang dibutuhkan
pada pemetaan suhu ini adalah :
• Needle probe
• Konsole needle probe
• Aki
• Kabel sambungan aki
• Alat penggali
• Alat tulis
Needle Probe
Needle Probe merupakan salah satu alat praktis untuk mengukur suatu konduktivitas panas bahan. Alat ini
memiliki panjang 600 mm,diameter 5 mm. Probe diberi elemen pemanas (kumparan) dan sensor suhu
terisolasi yang diletakkan dekat ujung probe. Needle probe diterapkan suatu rangkaian pendeteksi panas
sehingga hasil keluaran alat ini sudah dalam satuan derajat celcius.
Seperti gambar 1. di atas, needle probe dengan elemen pemanas (kumparan) dan sensor suhu terisolasi yang
diletakkan dekat ujung probe, sensor suhu tersebut merupakan Sensor Suhu Lm-35. Alat ukur suhu ini
merupakan rangkaian dengan sensor LM35 yang telah dimodifikasi dan digunakan untuk mengukur suhu
dengan jangkauan yang sesuai dengan kebutuhan dan spesifikasi multimeter yang ada. Keluaran dari sensor
LM35 ini bersifat linear dengan faktor skala 10 mv/ C. Sensor LM 35 yang terpasang pada ujung probe
terdiri atas 4 sensor masingmasing terletak pada jarak 7.4 mm, 11.2 m, 13 mm dan 15 mm. Jarak antar
sensor diberi lilin sehingga dapat berfungsi sebagai isolator sekaligus penyekat
Metode Self Potential (SP) merupakan salah satu metode geofisika yang paling sederhana untuk
dilakukan. Metode ini dikatakan paling sederhana karena hanya memerlukan alat ukur tegangan
(miliVoltmeter) dan dua elektroda khusus terbuat dari bahan porous atau biasa disebut dengan porous pot.
Metode SP pertama kali dilakukan oleh Robert Fox pada tahun 1830 di Inggris. Metode SP termasuk ke
dalam metode pasif karena dalam akuisisinya tidak memerlukan injeksi suatu apapun ke dalam bumi.
Dalam akuisisi metode SP digunakan suatu elektroda yang terdiri dari kawat tembaga yang dimasukkan
dalam tabung keramik dengan dinding berpori, di isi dengan larutan Copper Sulphate (CuSO4). Elektroda
ini disebut dengan porous pot. Dalam metode ini porous pot digunakan untuk menghindarkan efek
polarisasi elektroda.
Metode potensial diri (SP) merupakan salah satu metode geofisika yang prinsip kerjanya adalah mengukur
tegangan statis alam (static natural voltage) yang berada di kelompok titik-titik di permukaan tanah. Dalam
metode SP kita memanfaatkan suatu potensial listrik alami yang berasal dari dalam tanah bernama potensial
diri. Potensial diri umumnya berhubungan dengan:
• Perlapisan tubuh mineral sulfida (weathering of sulphide mineral body),
• Perubahan dalam sifat-sifat batuan (kandungan mineral) pada daerah kontak - kontak geologi,
• Aktifitas bioelektrik dari material organik,
• Perbedaan suhu dan tekanan dalam fluida di bawah permukaan dan fenomena-fenomena alam
lainnya
Dalam pengukuran potensial diri, gangguan yang terjadi secara alami sulit untuk dihindarkan, salah satu
contohnya adalah arus telluric. Hal ini mengharuskan kita mengetahui ada atau tidaknya arus telluric
tersebut ketika akuisisi tersebut. Untuk mengetahuinya kita harus melakukan pengukuran SP domain waktu
yang kemudian digunakan untuk mengkoreksi data pengukuran SP domain spasial. Ketika dilakukan
pengambilan data SP untuk mencari tahu potensial diri sebaiknya dilakukan dengan menjauhi hal-hal yang
mengganggu dikarenakan aktivitas manusia, sebagai contoh yaitu tidak melakukan pengukuran potensial
diri bersamaan dengan pengukuran resistivitas yang hraus menginjeksikan arus listrik ke dalam tanah.
Sumber Self Potensial
Adapun sumber self potensial adalah:
1. Potensial Elektrokinetik
Potensial elektrokinetik sering disebut dengan streaming potential. Potensial ini terjadi ketika larutan
elektrolit mengalir melalui pori-pori batuan. Oleh karena itu, timbul perbedaan tekanan hidrostatik (∆P)
yang menimbulkan beda potensial listrik (∆V). Hubungan ini dikenal dengan persamaan Hemoltz-
Smoluchowski (Revil et al., 1996),
𝜀𝜇𝐶𝐸 𝛿𝑃
𝛿𝑉 =
4𝜋𝜂
dimana ε merupakan konstanta dielektrik, μ adalah resistivitas elektrolit, η adalah viskositas dinamis
elektrolit, dV adalah beda potensial listrik, dP adalah beda tekanan hidrostatik, dan CE adalah koefisien
kopling elektrofiltrasi. Sesuai dengan persamaan tersebut aliran fluida akan searah dengan aliran listrik.
2. Potensial Difusi
Potensial difusi terbentuk ketika terjadi perbedaan mobilitas kation dan anion yang disebabkan oleh variasi
konsentrasi elektrolit dalam batuan. Menurut Cardimona, 2002, potensial difusi dirumuskan melalui
persamaan berikut:
𝑅𝑇(𝐼𝑎 − 𝐼𝑐 )𝐶𝐸 𝛿𝑃 𝐶1
𝛿𝑉 = 𝑙𝑛
𝐹𝑛(𝐼𝑎 + 𝐼𝑐 ) 𝐶2
dengan R adalah konstanta gas umum, F konstanta Faraday 96,5 x 103 C/mol), T suhu mutlak, n adalah
valensi, Ia dan Ic berturut-turut adalah mobilitas anion dan kation, C1 dan C2 berturut-turut adalah
konsentrasi larutan pertama dan kedua.
3. Potensial Nerst
Potensial Nerst terbentuk antara dua buah elektroda identic yang tercelup ke dalam elektrolit homogeny
dengan konsentrasi yang berbeda. Besarnya potensial listrik dapat diformulasikan melalui persamaan
berikut:
𝑅𝑇 𝐶1
𝛿𝑉 = 𝑙𝑛
𝐹𝑛 𝐶2
dengan R adalah konstanta gas umum, F konstanta Faraday 96,5 x 103 C/mol), T suhu mutlak, n adalah
valensi, C1 dan C2 berturut-turut adalah konsentrasi larutan pertama dan kedua.
4. Potensial mineralisasi
Apabila dua jenis logam dimasukkan ke dalam suatu larutan homogeny, maka pada logam tersebut akan
muncul beda potensial. Beda potensial ini disebut juga beda potensial kontak elektrolit. Pada daerah yang
banyak mengandung mineral, potensial kontak elektrolit dan potensial elektrokimia sering muncul dan
dapat diukur di permukaan di mana mineral tersebut berada. Oleh karena itu, dalam hal inikedua proses
munculnya potensial ini disebut dengan potensial mineralisasi. Potensial mineralisasi pada umumnya
bernilai kurang dari 100mV.
Akuisisi dalam survey SP umumnya dilakukan dengan dua cara, yaitu leap frog dan fixed base.
• Pengukuran dengan leap frog mempergunakan minimal dua elektroda porous pot, dan pengukuran
dilakukan dengan mencatat nilai beda potensial pada dipol potensial yang disusun, kemudian dipol
selanjutnya bergerak dengan cara elektroda di belakang melompati elektroda didepannya. Demikian
dilakukan terus menerus hingga panjang lintasan dapat tercakup. Dengan cara ini, kabel yang dibutuhkan
cukup pendek, hanya sepanjang dipole yang dibuat.
• Pengukuran dengan fixed base membutuhkan satu elektroda yang diam di tempat (disebut fixed
base) dan elektroda lainnya bergerak menyusuri titik-titik potensial yang direncanakan. Kabel yang
dibutuhkan tentusaja menjadi lebih panjang, sesuai dengan panjang lintasan yang didesain.
Dari banyaknya kasus-kasus penggunaan metode SP pada gunung api dapat diketahui mekanisme
utama yang menyebabkan timbulnya sinyal selfpotential.Mekanisme utama yang dapat menghasilkan
sinyal self-potential pada daerah gunung api, yaitu; efek eletrokimia, efek termoelektrik, efek elektrokinetik
dan efek topografi.
1. Efek Elektokimia
Pada proses pertama adalah difusi kimia yang menghasilkan anomali self-potential, yang dapat
menghasilkan nilai self-potential dengan kisaran di atas beberapa puluh mV baik positif ataupun negatif
(Nourbehecht, 1963; Cowin and Hoover,1979).
Pada gunung api, observasi geokimia memperlihatkan adanya keberadaan perbedaan konsentrasi ion
gas pada sumber mata air dan area fumarol. Pada umumnya seperti struktur yang mengalami pengaruh
hidrotermalisasi dan argilitasi (memprouksi tanah liat). Sehingga proses difusi kimia akan meningkatkan
nilai anomali self-potential yang terdistribusi merata pada daerah tersebut dan terpengaruhi oleh aliran
lokal.Pada proses kedua, yaitu proses elektrokimia yang melibatkan reaksi kimia. Reaksi kimia antara gas
vulkanik yang mengadung hidrogen sulfida (H2S), sulfur dioksida (SO2), karbon dioksida (CO2), dan air
bawah permukaan dapat menghasilkan ion SO4¯,HCO3¯, atau CO3¯. Kedua proses tersebut belum dapat
diketahui lebih mendalam lagi di lapangan. Pada kebanyakan kasus proses difusi dan proses elektrokimia
saling mengisi dengan mekanisme lainnya.
2. Efek Termoelektrik
Efek termoelektrik alami melibatkan mekanisme konduksi termal. Gradien termal yang diterapkan
pada batu kering menimbulkan potensial pada sisi batuan tersebut. Koefisien rata-rata termoelektrik 0.2
mV/oC. Hal ini mengimplikasikan bahwa anomali self-potential 100 mV berkorespondensi dengan 500 oC
perubahan suhu.Fenomena ini jarang terjadi di lapangan, terkecuali jika ada fluks dari superheated gas.
1. Efek termoelektrik murni yang terjadi akibat adanya mekanisme konduksi, hanya berlaku pada area di
mana fluks dari superheated gas terjadi.
2. Fluks gas, sirkulasi air tanah, dan air hujan memperlihatkan perubahan dari konveksi termal menuju
komponen konduksi termal. Hal ini menunjukan adanya efek termoelektrik.
3. Nilai yang dihasilkan pada point 2 adalah bernilai positif. Pada umumnya lemah jika dibandingkan
dengan pengamatan pengukuran SP di lapangan.
3. Efek Elektrokinetik
Ampiltudo positif dari anomali self-potential hingga beberapa ratus mV dapat teramati pada area
puncak gunung api aktif, seperti di Piton de la Fournaise (1800 mV, Zlotnicki dkk., 1994b; Michel and
Zlotnicki, 1998), Kilauea (1600 mV, Zablocki, 1976), Miyake-jima (800 mV, Nishida dkk., 1996; Sasai
dkk., 1997), Vulcano (400 mV, Di Maio dkk., 1997), dan Usu (400 mV, Nishida dan Tomiya, 1987).
Anomali tersebut memiliki korelasi yang baik dengan zona rekahan atau puncak kawah atau kerucut.
Anomali positif tersebut diimbangi oleh hubungan linier antara potensial dengan elevasi pada daerah yang
jauh dari zona yang aktif. Sumber utama berhubungan dengan aliran fluida melalui medium berpori yang
menghasilkan arus listrik.
4. Efek Topografi
Air meteorik adalah air bawah permukaan yang berasal dari atmosfer dan mencapai zona saturasi
melalui proses infiltrasi dan perlokasi. Fluida bawah permukaan yang mengalir melalui struktur pada
umumnya menaikan nilai arus listrik dalam arah aliran fluida. Observasi tersebut banyak diketahui dan
digunakan dalam penelitian sumber air (Corwin, 1990).
Pada daerah gunung api, sebagian air hujan mengalami infiltrasi, banyak atau sedikitnya ke struktur geologi
tergantung permeabilitasnya. Aliran ke arah bawah umumnya berhenti pada lapisan impermeable (Fournier,
1989; Aubert dkk,1993). Topografi dari struktur geologi memengaruhi aliran yang dikendalikan oleh factor
gravitasi. Efek topografi terjadi jika potensial naik ketika elevasi dari topografi berkurang.
Mari kita kelompokkan penggunaan
metode SP ini menurut kategori gunung berapi
untuk lebih menjelaskan kinerja metode ini
dalam kondisi gunung yang memiliki aktivitas
hidrotermal ataupun tidak.
1. Gunung yang tidak menunjukkan aktivitas
hidrotermal, perpindahan panas dari bawah dan
secara keseluruhan berada dalam kondisi
hidrotermal yang steady state.
Secara keseluruhan profil SP
menunjukkan berlakunya efek topografi. Pada
contoh Mount Pelee di Kepulauan Martini,
survei SP yang dilakukan jauh setelah letusan
terakhir terjadi ( 1932 ke 1991) menunjukkan hal
tersebut. Nilai SP hanya dipengaruhi oleh
adanya infiltrasi air terhadap perubahan
ketinggian, tetapi ada sedikit perubahan anomali
positif <200 mV di sebelah barat daya yang
dindikasikan sebagai produk sisa letusan tahuun
1792 dan 1851.
2. Gunung dengan aktivitas hidrotermal yang
ditunjukkan oleh manifestasinya di permukaan
(fumarole dll).
Pada contoh Guunung Miyake-Jima di Izu
Bonin Arc Jepang, yang memiliki siklus erupsi
20 tahunan, awalnya tidak menunjukkan signifikansi aktivitas geotermal dipermukaan. Kecuali hasil
analisis metode audiomagnetotelluric tentang adanya sistem hidrotermal beberapa ratus meter di bawah
puncak. Survei Sp dilakukan beberapa kali dalam beberapa tahun sebelum erupsi tahun 2000, dan hasil
menunjukkan menurunnya nilai SP terhadap kenaikan elevasi (efek topografi) tetapi meningkat drastis di
bagian teraktif sistem hidrotermal yaitu di puncak. Ini menunjukkan adanya interaksi fluida magmatik
dengan air tanah (dari hujan dan ilfitrasi lainnya).
Metode SP ini berdasarkan distribusi anomali negatif dan positif, dapat berguna untuk menggabarkan
kemungkinan adanya sistem hirotermal (berdasarkan bentuk profil SP apakah membentuk W, flat, V atau
half W); status aktivitas gunung; dan kondisi geologi tertentu dimana terdapat aliran air bawah tanah.

Anda mungkin juga menyukai