Anda di halaman 1dari 22

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Stroke
2.1.1. Definisi
Definisi stroke menurut World Health Organization (WHO) adalah tanda-
tanda klinis yang berkembang cepat akibat gangguan fungsi otak fokal (atau
global), dengan gejala-gejala yang berlangsung selama 24 jam atau lebih, dapat
menyebabkan kematian, tanpa adanya penyebab lain selain vaskuler.1 Definisi ini
mencakup stroke akibat infark otak (Stroke Iskemik), perdarahan intraserebral
(PIS) non traumatik, perdarahan intraventrikuler dan beberapa kasus perdarahan
subarachnoid (Warlow, Gijn, Hankey, Sandercock, & Bamford, 2007)
Stroke infark merupakan stroke yang disebabkan oleh menurunnya aliran
darah ke otak akibat obstruksi pada pembuluh darah pada suatu area otak
sehingga area tersebut kekurangan nutrisi dan oksigen (Gofir, 2011)
Menurut World Health Organization (WHO), stroke adalah suatu tanda klinis yang
berkembang cepat akibat gangguan fokal (atau global) dengan gejala-gejala yang
berlangsung selama 24 jam atau lebih dan dapat menyebabkan kematian tanpa adanya
penyebab lain yang jelas selain vaskuler (Frtzsimmons, 2007). Sekitar 80% sampai 85%
stroke adalah stroke iskemik, yang terjadi akibat obstruksi atau bekuan di satu atau lebih
arteri besar pada sirkulasi serebrum. (Price dan Wilson,2002)
Stroke adalah gangguan fungsi saraf yang disebabkan oleh gangguan
aliran darah dalam otak yang dapat timbul secara mendadak dalam beberapa detik
atau secara cepat dalam beberapa jam dengan gejala atau tanda-tanda sesuai
dengan daerah yang terganggu.
Menurut WHO: stroke adalah terjadinya ganguan fungsional otak fokal
maupun global secara mendadak dan akut yang berlangsung lebih dari 24 jam
akibat gangguan aliran darah otak. Stroke merupakan manifestasi keadaan
pembuluh darah cerebral yang tidak sehat sehingga bisa disebut juga cerebral
arterial disease atau cerebrovascular disease. Cedera dapat disebabkan oleh
sumbatan bekuan darah, penyempitan pembuluh darah, sumbatan dan
penyempitan atau pecahnya pembuluh darah, semua ini menyebabkan kurangnya
pasokan darah yang memadai (Irfan, 2010).
2.1.2. Epidemiologi
Di antara penyakit-penyakit neurologi yang terjadi pada orang dewasa,
stroke menduduki rangking pertama baik pada frekuensinya maupun pada
pentingnya (emergensi) penyakit tersebut. Lebih dari 50 persen kasus stroke
merupakan penyebab dirawatnya penderita di bangsal neurologi (Victor &
Ropper, 2001). Di Amerika Serikat Stroke menduduki peringkat ke-3 penyebab
kematian setelah penyakit jantung dan kanker. Setiap tahunnya 500.000 orang
Amerika terserang stroke di antaranya 400.000 orang terkena stroke iskemik dan
100.000 orang menderita stroke hemoragik (termasuk perdarahan intraserebral
dan subarakhnoid) dengan 175.000 orang mengalami kematian (Victor & Ropper,
2001).
Di Indonesia penelitian berskala cukup besar dilakukan oleh Survey
ASNA di 28 Rumah Sakit seluruh Indonesia. Penelitian ini dilakukan pada
penderita stroke akut yang dirawat di Rumah Sakit (hospital based study), dan
dilakukan survey mengenai faktor-faktor risiko, lama perawatan mortalitas dan
morbiditasnya. Penderita laki-laki lebih banyak dari perempuan dan profil usia di
bawah 45 tahun cukup banyak yaitu 11,8%, usia 45-64 tahun berjumlah 54,2%
dan di atas usia 65 tahun 33,5% (Misbach dkk., 2007).
2.1.3. Klasifikasi dan Etiologi
Terdapat dua macam bentuk stroke yaitu stroke iskemik dan stroke
hemoragik. Stroke iskemik merupakan 80% dari penyebab stroke, disebabkan
oleh gangguan pasokan oksigen dan nutrisi ke sel-sel otak akibat bentukan
trombus atau emboli. Keadaan ini dapat diperparah oleh terjadinya penurunan
perfusi sistemik yang mengaliri otak. Sedangkan stroke hemoragik intraserebral
dan subarakhnoid disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah kranial (Smith et
al., 2005).
Stroke secara luas diklasifikasikan menjadi stroke iskemik dan hemoragik.
Stroke iskemik merupakan 80% kasus stroke dan dibagi menjadi aterotrombosis
arteri, emboli otak, stroke lakunar, dan hipoperfusi sistemik. Perdarahan otak
merupakan 20% sisa penyebab stroke dan dibagi menjadi perdarahan
intraserebral, perdarahan subarakhnoid, dan hematoma subdural/ ekstradural
(Goldszmidt et al., 2003).
2.1.3.1. Stroke Hemoragik
Stroke perdarahan atau stroke hemoragik adalah perdarahan yang tidak
terkontrol di otak. Perdarahan tersebut dapat mengenai dan membunuh sel
otak, sekitar 20% stroke adalah stroke hemoragik (Gofir, 2009). Jenis
perdarahan (stroke hemoragik), disebabkan pecahnya pembuluh darah otak,
baik intrakranial maupun subarakhnoid. Pada perdarahan intrakranial,
pecahnya pembuluh darah otak dapat karena berry aneurysm akibat hipertensi
tak terkontrol yang mengubah morfologi arteriol otak atau pecahnya pembuluh
darah otak karena kelainan kongenital pada pembuluh darah otak tersebut.
Perdarahan subarakhnoid disebabkan pecahnya aneurysma congenital
pembuluh arteri otak di ruang subarakhnoidal (Misbach dkk., 2007).
2.1.3.2. Stroke Iskemik
Stroke iskemik mempunyai berbagai etiologi, tetapi pada prinsipnya
disebabkan oleh aterotrombosis atau emboli, yang masing-masing akan
mengganggu atau memutuskan aliran darah otak atau cerebral blood flow
(CBF). Nilai normal CBF adalah 5060 ml/100 mg/menit. Iskemik terjadi jika
CBF < 30 ml/100mg/menit. Jika CBF turun sampai < 10 ml/mg/menit akan
terjadi kegagalan homeostasis, yang akan menyebabkan influks kalsium secara
cepat, aktivitas protease, yakni suatu cascade atau proses berantai eksitotoksik
dan pada akhirnya kematian neuron.
Reperfusi yang terjadi kemudian dapat menyebabkan pelepasan radikal
bebas yang akan menambah kematian sel. Reperfusi juga menyebabkan
transformasi perdarahan dari jaringan infark yang mati. Jika gangguan CBF
masih antara 1530 ml/100mg/menit, keadaan iskemik dapat dipulihkan jika
terapi dilakukan sejak awal (Wibowo dkk., 2001). Stroke iskemik akut adalah
gejala klinis defisit serebri fokal dengan onset yang cepat dan berlangsung
lebih dari 24 jam dan cenderung menyebabkan kematian. Oklusi pembuluh
darah disebabkan oleh proses trombosis atau emboli yang menyebabkan
iskemia fokal atau global. Oklusi ini mencetuskan serangkaian kaskade
iskemik yang menyebabkan kematian sel neuron atau infark serebri (Adam et
al., 2001; Becker et al., 2006). Aliran darah ke otak akan menurun sampai
mencapai titik tertentu yang seiring dengan gejala kelainan fungsional,
biokimia dan struktural dapat menyebabkan kematian sel neuron yang
irreversible (WHO, 1989; Adam et al., 2003; Bandera et al., 2006).
Klasifikasi Stroke Iskemik Berdasarkan Penyebabnya
a. Stroke Trombosis
Stroke trombotik pembuluh darah besar dengan aliran lambat biasanya
terjadi saat tidur, saat pasien relatif mengalami dehidrasi dan dinamika
sirkulasi menurun. Stroke ini sering berkaitan dengan lesi aterosklerotik yang
menyebabkan penyempitan atau stenosis di arteria karotis interna atau, yang
lebih jarang di pangkal arteria serebri media atau di taut ateria vertebralis dan
basilaris. Mekanisme pelannya aliran darah parsial adalah defisit perfusi yang
dapat terjadi pada reduksi mendadak curah jantung atau tekanan darah
sistemik. Agar dapat melewati lesi stenotik intra-arteri, aliran darah yang
mungkin bergantung pada tekanan intravaskular yang tinggi. Penurunan
mendadak tekanan darah tersebut dapat menyebabkan penurunan generalisata
CBF, iskemia otak, dan stroke (Sylvia A.P. & Lorraine M.W., 2006).
b. Stroke embolik
Stroke embolik terjadi akibat embolus biasanya menimbulkan defisit
neurologik mendadak dengan efek maksimum sejak awitan penyakit. Embolus
berasal dari bahan trombotik yang terbentuk di dinding rongga jantung atau
katup mitralis. Karena biasanya adalah bekuan kecil, fragmen fragmen dari
jantung mencapai otak melalui arteria karotis atau vertebralis. Dengan
demikian, gejala klinis yang ditimbulkannya tergantung pada bagian mana
sirkulasi yang tersumbat dan seberapa dalam bekuan berjalan di percabangan
arteri sebelum tersangkut. Embolisme dapat terurai dan terus mengalir
sepanjang pembuluh darah sehingga gejalagejala mereda. Namun, fragmen
fragmen tersebut kemudian tersangkut di sebelah hilir dan menimbulkan
gejalagejala fokal.
Pasien dengan stroke kardioembolik memiliki risiko yang lebih besar
terkena stroke hemoragik, karena terjadi perdarahan petekie atau bahkan
perdarahan besar di jaringan yang mengalami infark beberapa jam atau
mungkin hari setelah emboli pertama. Perdarahan tersebut disebabkan karena
struktur dinding arteri sebelah distal dari okulasi embolus melemah atau rapuh
karena perfusi. Dengan demikian, pemulihan tekanan perfusi dapat
menyebabkan perdarahan arteriol atau kapiler di pembuluh tersebut. Stroke
kriptogenik adalah stroke iskemik akibat sumbatan mendadak pembuluh
intrakranium besar tetapi tanpa penyebab yang jelas (Sylvia A.P. & Lorraine
M.W., 2006).
2.1.3.3. Klasifikasi Iskemik Serebral
Perjalanan klinis pasien dengan stroke infark akan sebanding dengan
tingkat penurunan aliran darah ke jaringan otak. Perjalanan klinis ini akan
dapat mengklasifikasikan iskemik serebral menjadi 4, yaitu:
a. Transient ischemic Attack (TIA)
Adalah suatu gangguan akut dari fungsi fokal serebral yang gejalanya
berlangsung kurang dari 24 jam dan disebabkan oleh thrombus atau emboli.
TIA sebenarnya tidak termasuk ke dalam kategori stroke karena durasinya yang
kurang dari 24 jam.
b. Reversible Ischemic Neurological Deficit (RIND)
Seperti juga pada TIA gejala neurologis dari RIND juga akan menghilang,
hanya saja waktu berlangsung lebih lama, yaitu lebih dari 24 jam, bahkan
sampai 21 hari. Jika pada TIA dokter jarang melihat sendiri peristiwanya,
sehingga pada TIA diagnosis ditegakkan hanya berdasar keterangan pasien
saja, maka pada RIND ini ada kemungkinan dokter dapat mengamati atau
menyaksikan sendiri. Biasanya RIND membaik dalam waktu 24 - 48 jam.
Sedangkan PRIND (Prolonged Reversible Ischemic Neurological Deficit) akan
membaik dalam beberapa hari, maksimal 3 - 4 hari.
c. Stroke In Evolusion (Progressing stroke)
Pada bentuk ini gejala/ tanda neurologis fokal terus memburuk setelah 48
jam. Kelainan atau defisit neurologik yang timbul berlangsung secara bertahap
dari yang bersifat ringan menjadi lebih berat. Diagnosis progressing stroke
ditegakkan mungkin karena dokter dapat mengamati sendiri secara langsung
atau berdasarkan atas keterangan pasien bila peristiwa sudah berlalu.
d. Complete Stroke Non-Haemmorhagic
Completed Stroke diartikan bahwa kelainan neurologis yang ada sifatnya
sudah menetap, tidak berkembang lagi.
Kelainan neurologi yang muncul bermacam macam, tergantung pada
daerah otak mana yang mengalami infark.
2.1.4. Patofisologi stroke Infark Tromboemboli
Penyebab utama stroke infark adalah thrombus dan emboli yang seringkali
dipengaruhi oleh penurunan perfusi sistemik. Thrombus disebabkan oleh kerusakan
pada endotel pembuluh darah, dapat terjadi baik di pembuluh darah besar (large
vessel thrombosis), maupun di pembuluh darah lakunar (small vessel thrombosis).
Kerusakan ini dapat mengaktivasi dan melekatkan platelet pada permukaan endotel
tersebut, kemudian membentuk bekuan fibrin. Penyebab terjadinya kerusakan yang
paling sering adalah aterosklerosis (aterotrombotik). Pada aterotrombotik terbentuk
plak akibat deposisi lipid sehingga terjadi penyempitan lumen pembuluh darah
yang menghasilkan aliran darah yang turbulen sepanjang area stenosis.
Hal ini dapat menyebabkan disrupsi intima atau pecahnya plak sehingga
memicu aktivitas trombosit. Gangguan pada jalur koagulasi atau trombolisis juga
dapat menyebabkan thrombus. Pembentukan thrombus atau emboli yang menutupi
arteri akan menurunkan aliran darah di serebral dan bila ini berlangsung dalam
waktu lama dapat mengakibatkan iskemik jaringan sekitar lokasi thrombus (Fagan
and Hess, 2008).
Plak aterotrombotik yang terjadi pada pembuluh darah ekstrakranial dapat
lisis akibat mekanisme fibrinotik pada dinding arteri dan darah, yang menyebabkan
terbentuknya emboli, yang akan menyumbat arteri yang lebih kecil, distal dari
pembuluh darah tersebut. Trombus dalam pembuluh darah juga dapat akibat
kerusakan atau ulserasi endotel, sehingga plak menjadi tidak stabil dan mudah lepas
membentuk emboli. Emboli dapat menyebabkan penyumbatan pada satu atau lebih
pembuluh darah. Emboli tersebut akan mengandung endapan kolesterol, agregasi
trombosit dan fibrin. Emboli akan lisis, pecah atau tetap utuh dan menyumbat
pembuluh darah sebelah distal, tergantung pada ukuran, komposisi, konsistensi dan
umur plak tersebut, dan juga tergantung pada pola dan kecepatan aliran darah.
Sumbatan pada pembuluh darah tersebut (terutama pembuluh darah di otak) akan
meyebabkan matinya jaringan otak, dimana kelainan ini tergantung pada adanya
pembuluh darah yang adekuat. Otak yang hanya merupakan 2% dari berat badan
total, menerima perdarahan 15% dari cardiac output dan memerlukan 20% oksigen
yang diperlukan tubuh manusia, sebagai energi yang diperlukan untukmenjalankan
kegiatanneuronal. Energi yang diperlukan berasal dari metabolisme glukosa, yang
disimpan di otak dalam bentuk glukosa atau glikogen untuk persediaan
pemakaian selama 1 menit, dan memerlukan oksigen untuk metabolisme
tersebut, lebih dari 30 detik gambaran EEG akan mendatar, dalam 2 menit
aktifitas jaringan otak berhenti, dalam 5 menit maka kerusakan jaringan otak
dimulai, dan lebih dari 9 menit, manusia akan meninggal. Bila aliran darah jaringan
otak berhenti maka oksigen dan glukosa yang diperlukan untuk pembentukan ATP
akan menurun, akan terjadi penurunan Na-K ATP ase, sehingga membran potensial
akan menurun. K+ berpindah ke
ruang CES sementara ion Na dan Ca berkumpul di dalam sel. Hal ini
menyebabkan permukaan sel menjadi lebih negatif sehingga terjadi membrane
depolarisasi. Saat awal depolarisasi membran sel masih reversibel, tetapi bila
menetap terjadi perubahan struktural ruang menyebabkan kematian jaringan otak.
Keadaan ini terjadi segera apabila perfusi menurun dibawah ambang batas
kematian jaringan, yaitu bila aliran darah berkurang hingga dibawah 0,10 ml/100
gr.menit. Akibat kekurangan oksigen terjadi asidosis yang menyebabkan gangguan
fungsi enzim-enzim, karena tingginya ion H. Selanjutnya asidosis menimbulkan
edema serebral yang ditandai pembengkakan sel, terutama jaringan glia, dan
berakibat terhadap mikrosirkulasi. Oleh karena itu terjadi peningkatan resistensi
vaskuler dan ekmudian penurunan dari tekanan perfusi
sehingga terjadi perluasan daerah iskemik. Peranan ion Ca pada sejumlah proses
intra dan ekstra seluler pada keadaan ini sudah makin jelas, dan hal ini menjadi
dasar teori untukmengurangi perluasan daerah iskemi dengan mengatur masuknya
ion Ca. Komplikasi lebih lanjut dari iskemia serebral adalah edema serbral.
Kejadian ini terjadi akibat peningkatan jumlah cairan dalam jaringan otak sebagai
akibat pengaruh dari kerusakan lokal atau sistemis. Segera setelah terjadi iskemia
timbul edema serbral sitotoksik. Akibat dari osmosis sel cairan berpindah dari
ruang ekstraseluler bersama dengan kandungan makromolekulnya. Mekanisme ini
diikuti dengan pompa Na/K dalam membran sel dimana transport Na dan air
kembali keluar ke dalam ruang ekstra seluler. Pada keadaan iskemia, mekanisme ini
terganggu danneuron menjadi bengkak. Edema sitotoksik adalah suatu intraseluler
edema. Apabila iskemia menetap untuk waktu yang lama, edema vasogenic dapat
memperbesar edema sitotoksik. Hal ini terjadi akibat kerusakan dari sawar darah
otak, dimana cairan plasma akan mengalir ke jaringan otak dan ke dalam ruang
ekstraseluler sepanjang serabut saraf dalam substansia alba sehingga terjadi
pengumpalancairan. Sehingga vasogenik edema serbral merupakan suatu edema
ekstraseluler. Pada stadium lanjut vasigenic edema serebral tampak sebagai
gambaran fingerlike pada substansia alba. Pada stadium awal edema sitotoksik
serbral ditemukan pembengkakan pada daerah disekitar arteri yang terkena. Hal ini
menarik bahwa gangguan sawar darah otak berhungan dengan meningkatnya resiko
perdarahan sekunder setelah rekanalisasi (disebut juga trauma reperfusy). Edema
serbral yang luas setelah terjadinya iskemia dapat berupa space occupying lesion.
Peningkatan tekanan tinggi intrakranial yang menyebabkan hilngnya kemampuan
untuk menjaga keseimbangan cairan didalam otak akan menyebabkan penekanan
sistem ventrikel, sehingga cairan serebrospinalis akan berkurang. Bila hal ini
berlanjut,maka akan terjadi herniasi kesegala arah, dan menyebabkan hidrosephalus
obstruktif. Akhirnya dapat menyebabkan iskemia global dan kematian otak.
2.1.5. Manifestasi Klinik
Manifestasi klinik pada pasien stroke pada umumnya mengalami
kelemahan pada salah satu sisi tubuh dan kesulitan dalam berbicara atau
memberikan informasi karena adanya penurunan kemampuan kognitif atau
bahasa (Fagan and Hess, 2008). Sebagian besar manifestasi klinis timbul
setelah bertahuntahun, berupa :
1. Nyeri kepala saat terjaga, kadangkadang disertai mual dan muntah akibat
peningkatan tekanan darah intrakranium
2. Penglihatan kabur akibat kerusakan retina akibat hipertensi
3. Ayunan langkah yang tidak mantap karena kerusakan susunan saraf pusat
4. Nokturia karena peningkatan aliran darah ginjal dan filtrasi glomerulus
5. Edema dependen dan pembengkakan akibat peningkatan tekanan kapiler
(Corwin, 2001).
2.1.6. Faktor Risiko
Stroke disebabkan oleh banyak faktor, yang sebagian besar sesungguhnya
bisa dikendalikan. Virgil Brown, MD, dari Emory University, Atlanta,
menyatakan bahwa stroke merupakan akibat dari life style (gaya hidup) manusia
modern yang tidak sehat. Hal ini tampak pada perilaku mengonsumsi makanan
yang tinggi kolesterol dan rendah serat, kurang dalam aktivitas fisik serta
berolahraga, akibat stress/ kelelahan, konsumsi alkohol berlebihan, kebiasaan
merokok. Berbagai faktor risiko itu selanjutnya akan berakibat pada pengerasan
pembuluh arteri (arteriosklerosis), sebagai pemicu stroke (Diwanto, 2009).
Menurut The WHO Task Force on Stroke and other Cerebrovascular
Disorders (1988), faktor risiko stroke iskemik adalah: hipertensi, diabetes
mellitus, penyakit jantung, serangan iskemik sepintas (TIA), obesitas, hiper-
agregasi trombosit, alkoholism, merokok, peningkatan kadar lemak darah
(kolesterol, trigliserida LDL), hiperurisemia, infeksi, faktor genetik atau
keluarga, dan lainlain (migren, suhu dingin, kontrasepsi tinggi estrogen, status
sosio-ekonomi, hematokrit, peningkatan kadar fibrinogen, proteinuria dan intake
garam berlebih). Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi termasuk usia, jenis
kelamin, dan hereditas. Walaupun faktor ini tidak dapat diubah, namun tetap
berperan sebagai pengidentifikasi yang penting pada pasien yang berisiko
terjadinya stroke, di mana pencarian yang agresif untuk kemungkinan faktor
risiko yang lain sangat penting (Gofir, 2009).

2.1.6.1. Faktor yang Tidak Dapat Dimodifikasi

a. Usia
Siapa pun tidak akan pernah bisa menaklukkan usia. Sudah menjadi
rahasia umum bahwa usia itu kuasa Tuhan. Beberapa penelitian membuktikan
bahwa 2/3 serangan stroke terjadi pada usia di atas 65 tahun. Meskipun
demikian, bukan berarti usia muda atau produktif akan terbebas dari serangan
stroke (Wiwit S., 2010).
b. Jenis Kelamin
Penelitian menunjukkan bahwa pria lebih banyak terkena stroke
daripada wanita, yaitu mencapai kisaran 1,25 kali lebih tinggi. Namun
anehnya, justru lebih banyak wanita yang meninggal dunia karena stroke. Hal
ini disebabkan pria umumnya terkena serangan stroke pada usia muda.
Sedangkan, para wanita justru sebaliknya, yaitu saat usianya sudah tinggi (tua)
(Wiwit S., 2010).
c. Garis Keturunan
Terdapat dugaan bahwa stroke dengan garis keturunan saling berkaitan.
Dalam hal ini, hipertensi, diabetes, dan cacat pada pembuluh darah menjadi
faktor genetik yang berperan. Cadasil, yaitu suatu cacat pada pembuluh darah
dimungkinkan merupakan faktor genetik yang paling berpengaruh. Selain itu,
gaya hidup dan pola makan dalam keluarga yang sudah menjadi kebiasaan
yang sulit diubah juga meningkatkan resiko stroke (Wiwit S., 2010).
d. Asal Usul Bangsa
Berdasarkan literatur, bangsa Afrika, Asia, dan keturunan Hispanik lebih
rentan terkena serangan stroke (Wiwit S., 2010).
e. Kelainan Pembuluh Darah (Atrial Fibrillation)
Kelainan ini adalah suatu kondisi ketika salah satu bilik jantung bagian
atas berdetak tidak sinkron dengan jantung. Akibatnya, terjadi penggumpalan
darah yang menyebabkan sumbatan pembuluh darah. Gumpalan darah
tersebut akan terbawa sampai ke pembuluh darah otak dan menyebabkan
stroke.

Hasil penelitian menunjukkan, sebanyak 20% stroke disebabkan oleh


kelainan itu. Kelainan pembuluh darah ini dapat dikontrol dengan obat atau
operasi (Wiwit S., 2010).

2.1.6.2. Faktor yang Dapat Dimodifikasi


a. Hipertensi
Hipertensi merupakan faktor risiko terpenting untuk semua tipe stroke,
baik stroke iskemik maupun stroke perdarahan. Peningkatan risiko stroke
terjadi seiring dengan peningkatan tekanan darah. Walaupun tidak ada nilai
pasti korelasi antara peningkatan tekanan darah dengan risiko stroke,
diperkirakan risiko stroke meningkat 1,6 kali setiap peningkatan 10 mmHg
tekanan darah sistolik, dan sekitar 50% kejadian stroke dapat dicegah dengan
pengendalian tekanan darah (Indiana Stroke Prevention Task Force January
2006/ Updated, 2007). Beberapa peneliti melaporkan bahwa apabila hipertensi
tidak diturunkan pada saat serangan stroke akut dapat mengakibatkan edema
otak, namun berdasarkan penelitian dari Chamorro menunjukkan bahwa
perbaikan sempurna pada stroke iskemik dipermudah oleh adanya penurunan
tekanan darah yang cukup ketika edema otak berkembang sehingga
menghasilkan tekanan perfusi serebral yang adekuat (PERDOSSI, 2007).
b. Diabetes Melitus
Orang dengan diabetes melitus lebih rentan terhadap aterosklerosis dan
peningkatan prevalensi proaterogenik, terutama hipertensi dan lipid darah
yang abnormal. Pada tahun 2007 sekitar 17,9 juta atau 5,9% orang Amerika
menderita diabetes. Berdasarkan studi case control pada pasien stroke dan
studi epidemiologi prospektif telah menginformasikan bahwa diabetes dapat
meningkatkan risiko stroke iskemik dengan risiko relatif mulai dari 1,8 kali
lipat menjadi hampir 6 kali lipat.
Berdasarkan data dari Center for Disease Control and Prevention 1997-
2003 menunjukkan bahwa prevalensi stroke berdasarkan usia sekitar 9 %
stroke terjadi pada pasien dengan penyakit diabetes pada usia lebih dari 35
tahun (Goldstein et al, 2011).
c. Dislipidemia
Terdapat 4 penelitian case-control yang melaporkan kaitan antara
hiperkolesterolemia dan risiko PIS (perdarahan intraserebral). Odds Ratio
keseluruhan untuk kolesterol yang tinggi adalah 1,22 (95% CI: 0,562,67), di
mana penyelidikan terhadap penelitian kohort melaporkan kaitan antara
hiperkolesterolemia dan PIS; semuanya meneliti kadar kolesterol serum total.
Leppala el al. (1999) menemukan RR adjusted PIS sebesar 0,20 (95% CI:
0,10-0,42) untuk kadar kolesterol > 7,0 mmol/L dibandingkan dengan kadar
kolesterol < 4,9 mmol/L (Ariesen et al., 2003).
d. Merokok
Tingkat kematian penyakit stroke karena merokok di Amerika Serikat
pertahunnya diperkirakan sekitar 21.400 (tanpa ada penyesuaian untuk faktor
resiko) dan 17.800 (setelah ada penyesuaian), ini menunjukkan bahwa rokok
memberikan kontribusi terjadinya stroke yang berakhir dengan kematian
sekitar 12% sampai 14% (Goldstein et al, 2011).
e. Pemakaian Alkohol
Sebuah meta-analisis terhadap 35 penelitian dari tahun 1966 hingga 2002
melaporkan bahwa dibandingkan dengan bukan pengguna alkohol, individu
yang mengkonsumsi < 12 g per hari (1 minuman standar) alkohol memiliki
adjusted RR yang secara signifikan lebih rendah untuk stroke iskemik (RR:
0,80; 95% CI: 0,67 hingga 0,96), demikian juga individu yang mengkonsumsi
12 hingga 24 g per hari (1 hingga 2 standar minum) alkohol (RR: 0,72; 95%
CI: 0,57). Tetapi, individu yang mengkonsumsi alkohol > 60 g per hari
memiliki adjusted RR untuk stroke iskemik yang secara signifikan lebih tinggi
(RR: 1,69; 95% CI: 1,3 hingga 2,1) (Hankey et al., 2010).
f. Obesitas

Sebuah penelitian kohort observasional prospektif terhadap 21.144 laki


laki Amerika Serikat yang di follow-up selama 12,5 tahun (rerata) untuk
kejadian 631 stroke iskemik menemukan bahwa BMI 30 kg/mm3
berhubungan dengan adjusted relative risk (RR) sroke iskemik sebesar 2,0
(95% CI: hingga 2,7) dibandingkan dengan laki laki dengan BMI < 30
kg/mm3 (SeungHan et al., 2003).

g. Serangan Iskemik Sepintas (TIA)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa risiko stroke rekuren dan atau


kematian lebih tinggi pada minor ischemic stroke (stroke iskemik ringan)
walaupun perbedaan yang signifikan hanya pada kematian. Perbedaan
prognosis yang tampak mungkin disebabkan karena prognosis yang baik pada
pasien dengan amaurosis fugax di antara pasien dengan transient ischemic
attack.

h. Penyakit Jantung

Atrial fibrilasi (AF) merupakan gangguan irama yang banyak menyerang


pria dewasa, AF ditemukan pada 11,5% populasi di negara negara barat dan
merupakan salah satu faktor risiko independen stroke.

AF dapat menyebabkan risiko stroke atau emboli menjadi 5 kali lipat


daripada pasien tanpa AF. Kejadian stroke yang didasari oleh AF sering diikuti
dengan peningkatan morbiditas, mortalitas, dan penurunan kemampuan fungsi
daripada stroke karena penyebab yang lain. Risiko stroke karena AF
meningkat jika disertai dengan beberapa faktor lain, yaitu jika disertai usia >
65 tahun, hipertensi, diabetes melitus, gagal jantung, atau riwayat stroke
sebelumnya seperti yang dikategorikan dalam CHAD. Pada CHAD umur > 65
tahun, gagal jantung, hipertensi, dan DM dinilai 1 point setiap kali ditemukan
dan riwayat stroke atau emboli sebelumnya dinilai 2 point (Gage et al., 2004).
i. Peningkatan Kadar Hematokrit

Berdasarkan penelitian La Rue et al. (1987), pasien dengan kadar


hematokrit tinggi memiliki risiko yang lebih besar untuk terkena infark
lakuner, tetapi tidak untuk stroke oleh karena trombus atau emboli atau stroke
perdarahan. Diduga kenaikan hematokrit akan meningkatkan viskositas darah
dan ada hubungan terbalik antara viskositas dengan aliran darah otak. ADO
yang rendah viskositas yang tinggi berakibat konsumsi oksigen oleh jaringan
otak akan berkurang, dan jelas lebih rendah pada daerah yang disuplai oleh
arteri-arteri yang kecil yang tidak memiliki kolateral seperti yang terjadi pada
infark lakunar. Dalam penelitian tersebut juga ditemukan kenaikan hematokrit
secara signifikan disertai kenaikan tekanan darah sistolik.

j. Migren

Migren dan penyakit serebrovaskuler memiliki hubungan dalam cara yang


berbeda. Migren merupakan kemungkinan penyebab untuk stroke seperti
dalam migrainous infarction. Nyeri kepala mungkin adalah sebuah gejala dari
penyakit serebrovaskuler dan juga faktor risiko untuk stroke. Banyak
gangguan serebrovaskuler seperti perdarahan serebri, trombosis sinus vena,
diseksi arteri karotis atau vertebralis, dan stroke iskemik yang mungkin
muncul dengan atau diikuti nyeri kepala.

Konsep stroke yang dipicu migrain telah digambarkan dengan baik oleh
migrainous infarction, yang telah dijelaskan dengan baik dalam klasifikasi
International Headache Society (IHS) yang telah direvisi, dan mewakili
gambaran paling kuat hubungan antara stroke iskemik dan migren adalah
patent foramen ovale (PFO) yang mungkin memainkan sebuah peranan
patogenesis dalam kedua gangguan ini. Hubungan antara migren dan artery
dissection (CAD) dilaporkan di dalam beberapa penelitian terbaru. Migren
lebih sering pada pasien dengan CAD. Hal ini mendukung hipotesis bahwa
penyakit dinding arteri yang mendasari mungkin adalah kondisi menyebabkan
predisposisi untuk migren (Agostoni et al., 2004).
2.1.7. Pemeriksaan Penunjang Diagnostik
Semua pasien yang diduga stroke harus menjalani pemeriksaan MRI atau
CT scan tanpa kontras untuk membedakan antara stroke iskemik dan
hemoragik serta mengidentifikasi adanya efek tumor atau massa (kecurigaan
stroke luas). Stroke iskemik adalah diagnosis yang paling mungkin bila CT
scan tidak menunjukkan perdarahan, tumor, atau infeksi fokal, dan bila
temuan klinis tidak menunjukkan migren, hipoglikemia, ensefalitis, atau
perdarahan subarakhnoid (Goldszmidt et al., 2009).
Pencitraan otak atau CT scan dan MRI adalah instrumen diagnosa yang
sangat penting karena dapat digunakan untuk mengetahui sejauh mana stroke
yang diderita oleh seseorang. Hasil CT scan perlu diketahui terlebih dahulu
sebelum dilakukan terapi dengan obat antikoagulan atau antiagregasi platelet.
CT scan dibedakan menjadi dua yaitu, CT scan non kontras yang digunakan
untuk membedakan antara stroke hemoragik dengan stroke iskemik yang
harus dilakukan untuk mengantisipasi kemungkinan penyebab lain yang
memberikan gambaran klinis menyerupai gejala infark atau perdarahan di
otak, misalnya adanya tumor. Sedangkan yang kedua adalah CT scan kontras
yang digunakan untuk mendeteksi malformasi vaskular dan aneurisme
(Lumbantobing., 2001).

2.1.8. Penatalaksanaan
Perawatan stroke terdiri dari perawatan medis dan nonmedis. Perawatan
medis pada awal serangan bertujuan menghindari kematian dan mencegah
kecacatan. Setelah itu, perawatan medis ditujukan untuk mengatasi keadaan darurat
medis pada stroke akut, mencegah stroke berulang, terapi rehabilitatif untuk stroke
kronis, dan mengatasi gejala sisa akibat stroke. Terapi stroke secara medis antara
lain dengan pemberian obat-obatan, fisioterapi, dan latihan fisik untuk
mengembalikan kemampuan gerak sehari-hari (Wiwit S., 2010).

2.1.8.1. Terapi Non Farmakologi


a. Perubahan Gaya Hidup Terapeutik
Modifikasi diet, pengendalian berat badan, dan peningkatan aktivitas fisik
merupakan perubahan gaya hidup terapeutik yang penting untuk semua pasien
yang berisiko aterotrombosis. Pada pasien yang membutuhkan terapi obat untuk
hipertensi atau dislipidemia, obat tersebut harus diberikan, bukannya digantikan
oleh modifikasi diet dan perubahan gaya hidup lainnya (Goldszmidt et al., 2011).
Diet tinggi buah-buahan sitrus dan sayuran hijau berbunga terbukti
memberikan perlindungan terhadap stroke iskemik pada studi Framingham
(JAMA 1995;273:1113) dan studi Nurses Health (JAMA 1999;282:1233), setiap
peningkatan konsumsi per kali per hari mengurangi risiko stroke iskemik sebesar
6%. Diet rendah lemak trans dan jenuh serta tinggi lemak omega-3 juga
direkomendasikan. Konsumsi alkohol ringan-sedang (1 kali per minggu hingga 1
kali per hari) dapat mengurangi risiko stroke iskemik pada laki-laki hingga 20%
dalam 12 tahun (N Engl J Med 1999;341:1557), namun konsumsi alkohol berat (>
5 kali/ hari) meningkatkan risiko stroke.

b. Aktivitas fisik
Inaktivasi fisik meningkatkan risiko penyakit jantung dan stroke setara
dengan merokok, dan lebih dari 70% orang dewasa hanya melakukan sedikit
latihan fisik atau bahkan tidak sama sekali, semua pasien harus diberitahu untuk
melakukan aktivitas aerobik sekitar 3045 menit setiap hari (Goldszmidt et al.,
2011). Latihan fisik rutin seperti olahraga dapat meningkatkan metabolisme
karbohidrat, sensitivitas insulin dan fungsi kardiovaskular (jantung). Latihan juga
merupakan komponen yang berguna dalam memaksimalkan program penurunan
berat badan, meskipun pengaturan pola makan lebih efektif dalam menurunkan
berat badan dan pengendalian metabolisme (Sweetman, 2009).
2.1.8.2. Terapi Farmakologi
Outcome/ goal penatalaksanaan terapi stroke akut, antara lain: (1)
mengurangi progesivitas kerusakan neurologi dan mengurangi angka kematian,
(2) mencegah komplikasi sekunder yaitu disfungsi neurologi dan imobilitas
permanen, (3) mencegah stroke ulangan. Terapi yang diberikan tergantung
pada jenis stroke yang dialami (iskemik atau hemoragik) dan berdasarkan pada
rentang waktu terapi (terapi pada fase akut dan terapi pencegahan sekunder
atau rehabilitasi).
Strategi pengobatan stroke iskemik ada dua, yang pertama reperfusi yaitu
memperbaiki aliran darah ke otak yang bertujuan untuk memperbaiki iskemik
dengan obat-obat antitrombotik (antikoagulan, antiplatelet, trombolitik). Kedua
dengan neuroproteksi yaitu pencegahan kerusakan otak agar tidak berkembang
lebih berat akibat adanya area iskemik (Fagan and Hess, 2008).
1. Antiplatelet
The American Heart Association/ American Stroke Association
(AHA/ASA) merekomendasikan pemberian terapi antitrombotik digunakan
sebagai terapi pencegahan stroke iskemik sekunder. Aspirin, klopidogrel
maupun extended-release dipiridamol-aspirin (ERDP-ASA) merupakan terapi
antiplatelet yang direkomendasikan (Fagan and Hess, 2008). Berbagai obat
antiplatelet, seperti asetosal, sulfinpirazol, dipiridamol, tiklopidin, dan
klopidogrel telah dicoba untuk mencegah stroke iskemik. Agen ini umumnya
bekerja baik dengan mencegah pembentukan tromboksan A2 atau
meningkatkan konsetrasi prostasiklin. Proses ini dapat membangun kembali
keseimbangan yang tepat antara dua zat, sehingga mencegah adesi dan agregasi
trombosit.
Belum ada data penelitian yang merekomendasikan obat golongan
antiplatelet selain dari aspirin. Aspirin merupakan antiplatelet yang lebih
murah, sehingga akan berpengaruh pada tingkat kepatuhan jangka panjang.
Bagi pasien yang tidak tahan terhadap aspirin karena alergi atau efek samping
pada saluran cerna yaitu mengiritasi lambung, dapat direkomendasikan dengan
penggunaan klopidogrel.
Klopidogrel sedikit lebih efektif dibandingkan asetosal dengan penurunan
resiko serangan berulang 7,3% lebih tinggi dibandingkan dengan pemberian
asetosal. Kombinasi asetosal dan klopidogrel tidak dianjurkan karena dapat
meningkatkan resiko perdarahan dan tidak menunjukkan hasil yang signifikan
dengan pemberian tunggal klopidogrel (Tatro, 2008).
c. Pemberian Neuroprotektan
Mempertahankan fungsi jaringan adalah tujuan dari apa yang disebut
sebagai strategi neuroprotektif. Cara kerja metode ini adalah menurunkan
aktivitas metabolisme dan tentu saja kebutuhan oksigen selsel neuron. Dengan
demikian neuron terlindungi dari kerusakan lebih lanjut akibat hipoksia
berkepanjangan atau eksitotoksisitas yang dapat terjadi akibat jenjang glutamat
yang biasanya timbul setelah cedera sel neuron. Suatu obat neuroprotektif yang
menjanjikan, serebrolisin (CERE) memiliki efek pada metabolisme kalsium
neuron dan juga memperlihatkan efek neurotrofik (Sylvia A.P. & Lorraine M.W.,
2006).
Beberapa diantaranya adalah golongan penghambat kanal kalsium
(nimodipin, flunarisin), antagonis reseptor glutamat (aptiganel, gavestinel,
selfotel), agonis GABA (klokmethiazol), penghambat peroksidasi lipid (tirilazad),
antibody anti-ICAM-1 (enlimobab), dan aktivator metabolik (sitikolin).
Pemberian obat golongan neuroprotektan sangat diharapkan dapat menurunkan
angka kecacatan dan kematian (McEvoy, 2008).
d. Pemberian Antikoagulan
Warfarin merupakan pengobatan yang paling efektif untuk pencegahan stroke
pada pasien dengan fibrilasi atrial. Pada pasien dengan fibrilasi atrial dan sejarah
stroke atau TIA, resiko kekambuhan pasien merupakan salah satu resiko tertinggi
yang diketahui (Fagan & Hess, 2008).
Secara umum pemberian heparin, LMWH atau Heparinoid setelah stroke
iskemik tidak direkomendasikan karena pemberian antikoagulan (heparin,
LMWH, atau heparinoid) secara parenteral meningkatkan komplikasi perdarahan
yang serius.
Penggunaan warfarin direkomendasikan baik untuk pencegahan primer
maupun sekunder pada pasien dengan atrial fibrilasi. Penggunaan warfarin harus
hati-hati karena dapat meningkatkan risiko perdarahan. Pemberian antikoagulan
rutin terhadap pasien stroke iskemik akut dengan tujuan untuk memperbaiki
outcome neurologic atau sebagai pencegahan dini terjadinya stroke ulang tidak
direkomendasi (PERDOSSI, 2007).
2.1.9.3 Rehabilitasi Pasca Stroke
Tujuan utama rehabilitasi adalah untuk mencegah komplikasi,
meminimalkan gangguan, dan memaksimalkan fungsi organ. Prioritas rehabilitasi
stroke dini adalah pencegahan stroke sekunder, managemen dan pencegahan
penyakit penyerta dan komplikasi. Pada dasarnya rehabilitasi pada pasien stroke
iskemik maupun stroke hemoragik memiliki prinsip yang sama. Rehabilitasi
tersebut meliputi terapi berbicara, terapi fisik, dan terapi occupasional (Aminoff,
2009).

2.2.6 Pencegahan

Pengendalian hipertensi merupakan hal terpenting dalam pencegahan


stroke primer dan sekunder pada populasi umum serta pada pasien dengan non-
dialisis. Sampai saat ini, tidak ada data percobaan menarik untuk
merekomendasikan satu kelas antihipertensi atas yang lain. Meskipun penelitian
retrospektif telah menunjukkan bahwa hipertensi yang tidak terkontrol pada
pasien dialisis adalah terkait dengan stroke tidak ada studi mendefinisikan target
optimal tekanan darah.

Pedoman klinis menganjurkan penggunaan terapi antiplatelet untuk


pencegahan stroke iskemik dan ada bukti yang mendukung kemanjurannya pada
pasien dengan non-dialisis GGK. Risiko perdarahan dengan agen antiplatelet
ditambah di ESRD (end-stage renal disease) disarankan dengan hati-hati. Stroke
thromboprophylaxis dengan antikoagulan oral (warfarin dan, baru-baru ini,
dengan agen baru seperti dabigatran atau rivaroxaban) dianjurkan pada pasien
dengan AF. Sekali lagi, tidak ada uji coba terkontrol secara acak di GGK atau
pasien ESRD, tetapi keberhasilan dalam non-dialisis GGK didukung oleh data
dari sebuah studi Denmark. Pengobatan dengan antikoagulan oral perlu dengan
risiko yang lebih tinggi dari perdarahan terlihat pada pasien dengan gangguan
ginjal dan terutama pada mereka dengan ESRD . Paradoksnya, penggunaan
warfarin telah dikaitkan dengan peningkatan risiko stroke pada pasien HD
mungkin karena kalsifikasi vaskular dipercepat terjadi sebagai akibat dari vitamin
K antagonis.

Kajian cepat dan modifikasi faktor risiko pada pasien dengan TIA telah
terbukti mengurangi insiden stroke akut berikutnya. Hubungan antara TIA dan
stroke akut pada pasien dengan gangguan ginjal akut tidak jelas dan dampak
seperti intervensi multifaktorial di ESRD belum diteliti. Dalam sebuah studi dari
Inggris, gejala sistematis skrining untuk TIA pada pasien HD tidak menimbulkan
pemastian lebih baik dari sindrom ini juga tidak mengidentifikasi pasien yang
kemudian memiliki stroke akut. Hal ini menunjukkan bahwa hubungan antara
kardinal TIA dan stroke mungkin tidak kuat pada pasien HD atau diagnosis
sendiri mungkin dikaburkan oleh beban gejala yang signifikan dari kelompok ini.

Endarterektomi karotis dianjurkan untuk pasien dengan gejala, bermutu tinggi


(> 70%) karotis stenosis untuk mengurangi risiko stroke berikutnya. Endarterektomi
mengurangi risiko stroke sebesar 82% pada 2 tahun pada pasien dengan stadium 3.

2.2.7 Prognosis

Prognosis stroke dapat dilihat dari 6 aspek yakni: death, disease,


disability, discomfort, dissatisfaction, dan destitution. Keenam aspek prognosis
tersebut terjadi pada stroke fase awal atau pasca stroke. Untuk mencegah agar
aspek tersebut tidak menjadi lebih buruk maka semua penderita stroke akut harus
dimonitor dengan hati-hati terhadap keadaan umum, fungsi otak, EKG, saturasi
oksigen, tekanan darah dan suhu tubuh secara terus-menerus selama 24 jam
setelah serangan stroke. Adapun prognosis dari stroke infark pada pasien tersebut
adalah:
Quo ad Vitam : Bonam

Quo ad Fungtionam : Dubia ad Malam


Quo ad Sanationam : Dubia ad Bonam

1. Rumantir CU. Gangguan peredaran darah otak. Pekanbaru : SMF Saraf RSUD
Arifin Achmad/FK UNRI. Pekanbaru. 2007.

2. Goetz Christopher G. Cerebrovascular Diseases. In : Goetz: Textbook of Clinical


Neurology, 3rd ed. Philadelphia : Saunders. 2007

3. Rumantir CU. Pola Penderita Stroke Di Lab/UPF Ilmu Penyakit Saraf Fakultas
Kedokteran Universitas Padjadjaran Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung
Periode 1984-1985.

4. Laporan Penelitian Pengalaman Belajar Riset Dokter Spesialis Bidang Ilmu


Penyakit Saraf. 1986.

5. Ropper AH, Brown RH. Cerebrovascular Diseases. In : Adam and Victors


Priciples of Neurology. Eight edition. New York : Mc Graw-Hill. 2005.

6. Kelompok Studi Stroke PERDOSSI. Pencegahan Primer Stroke. Dalam :


Guideline Stroke 2007. Jakarta.

7. Gofir, A. (2011). Manajemen Stroke. Yogyakarta: Pustaka Cendikia


Press.

8. Warlow, C., Gijn, V., Hankey, G., Sandercock, P., & Bamford, J. (2007).
Stroke
In : a practical guide to management. London: Blackwell Science.

Anda mungkin juga menyukai