Anda di halaman 1dari 8

1.

Islam Masuk ke Indonesia Pada Abad ke 7:


1. Seminar masuknya islam di Indonesia (di Aceh) sebagian
dasar adalah catatan perjalanan Al masudi, yang menyatakan
bahwa pada tahun 675 M, terdapat utusan dari raja Arab Muslim
yang berkunjung ke Kalingga. Pada tahun 648 diterangkan telah
ada koloni Arab Muslim di pantai timur Sumatera.
2. Seminar mengenai Masuknya Islam ke indonesia di medan
pada Ahad 21-24 Syawal 1382 H (17-20 maret 1963 H) yang
salah satu kesimpulannya adalah Islam telah masuk ke Indonesia
langsung dari Arab.
3. Dari Harry W. Hazard dalam Atlas of Islamic History (1954),
diterangkan bahwa kaum Muslimin masuk ke Indonesia pada
abad ke-7 M yang dilakukan oleh para pedagang muslim yang
selalu singgah di sumatera dalam perjalannya ke China.
4. Dari Gerini dalam Futher India and Indo-Malay Archipelago, di
dalamnya menjelaskan bahwa kaum Muslimin sudah ada di
kawasan India, Indonesia, dan Malaya antara tahun 606-699 M.
5. Prof. Sayed Naguib Al Attas dalam Preliminary Statemate on
General Theory of Islamization of Malay-Indonesian
Archipelago (1969), di dalamnya mengungkapkan bahwa kaum
muslimin sudah ada di kepulauan Malaya-Indonesia pada 672 M.
6. Prof. Sayed Qodratullah Fatimy dalam Islam comes to
Malaysia mengungkapkan bahwa pada tahun 674 M. kaum
Muslimin Arab telah masuk ke Malaya.
7. Prof. S. muhammmad Huseyn Nainar, dalam makalah
ceramahnya berjudul Islam di India dan hubungannya dengan
Indonesia, menyatakan bahwa beberapa sumber tertulis
menerangkan kaum Muslimin India pada tahun 687 sudah ada
hubungan dengan kaum muslimin Indonesia.
8. W.P. Groeneveld dalam Historical Notes on Indonesia and
Malaya Compiled From Chinese sources, menjelaskan bahwa
pada Hikayat Dinasti Tang memberitahukan adanya Aarb muslim
berkunjung ke Holing (Kalingga, tahun 674). (Ta Shih = Arab
Muslim).

9. T.W. Arnold dalam buku The Preching of Islam a History of The


Propagation of The Moslem Faith, menjelaskan bahwa Islam
datang dari Arab ke Indonesia pada tahun 1 Hijriyah (Abad 7 M).
2. Islam Masuk Ke Indonesia pada Abad ke-11:
1. Satu-satunya sumber ini adalah diketemukannya makam
panjang di daerah Leran Manyar, Gresik, yaitu makam Fatimah
Binti Maimun dan rombongannya. Pada makam itu terdapat
prasati huruf Arab Riqah yang berangka tahun (dimasehikan
1082)
3. Islam Masuk Ke Indonesia Pada Abad Ke-13:
1. Catatan perjalanan Marcopolo, menyatakan bahwa ia
menjumpai adanya kerajaan Islam Ferlec (mungkin Peureulack) di
Aceh, pada tahun 1292 M.
2. K.F.H. van Langen, berdasarkan berita China telah menyebut
adanya kerajaan Pase (mungkin Pasai) di aceh pada 1298 M.
3. J.P. Moquette dalam De Grafsteen te Pase en Grisse
Vergeleken Met Dergelijk Monumenten uit hindoesten,
menyatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke 13.
4. Beberapa sarjana barat seperti R.A Kern; C. Snouck Hurgronje;
dan Schrieke, lebih cenderung menyimpulkan bahwa Islam
masuk ke Indonesia pada abad ke-13.
5. Pendapat ini juga disampaikan oleh N.H. Krom dan Van Den
Berg. Namun, pendapat ini memperoleh sanggahan dari : H. Agus
Salim, M. Zainal Arifin Abbas, Sayeg Alwi bin Tahir Alhada, H.M
Zainuddin, Hamka, Djuned Parinduri, T.W. Arnold yang
berpendapat Islam masuk ke Indonesia telah dimulai sejak abad
ke-7 M.

Pertama, teori Gujarat. Islam dipercayai datang dari wilayah Gujarat


India melalui peran para pedagang India muslim pada sekitar abad
ke-13 M.

Kedua, teori Mekkah. Islam dipercaya tiba di Indonesia langsung dari


Timur Tengah melalui jasa para pedagang Arab muslim sekitar abad
ke-7 M.

Ketiga, teori Persia. Islam tiba di Indonesia melalui peran para


pedagang asal Persia yang dalam perjalanannya singgah ke Gujarat
sebelum ke nusantara sekitar abad ke-13 M.

Jika teori tersebut ditelaah lebih jauh, pendapat yang muncul akan cukup
beragam. Bahkan beberapa diantaranya ada yang menyatakan bahwa
Islam berasal dari Cina.

Terkait teori yang menyatakan bahwa Islam di Indonesia berasal dari


anak benua India, misalnya, ternyata sejarawan tidak satu kata mengenai
wilayah Gujarat. Pendapat Pijnappel yang juga disokong oleh C. Snouck
Hurgronje, J.P. Moquette, E.O. Winstedt, B.J.O. Schrieke, dan lain-lainnya
tersebut ternyata berbeda dengan yang dikemukakan oleh S.Q. Fatimi dan
G.E. Morison.Pijnapel, seorang ahli Melayu dari Universitas Leiden,
Belanda, mengemukakan teori ini pada tahun 1872. Menurut Azyumardi
Azra teori ini diambil dari terjemahan Perancis tentang catatan perjalanan
Sulaiman, Marco polo dan Ibnu Battutah. Kesimpulan catatan Sulaiman
menyebutkan bahwa Islam di Asia Tenggara dikembangkan oleh orang-
orang Arab yang bermazhab Syafii dari Gujarat dan Malabar di India. Oleh
karena itu, menurut teori ini, Nusantara menerima Islam dari India.
Kenyataan bahwa Islam di Nusantara berasal dari India menurut teori ini
tidak menunjukkan secara meyakinkan dilihat dari segi pembawanya.
Sebagaimana dikemukakan Pijnapel, bahwa Islam di Nusantara berasal
dari orang-orang Arab yang bermazhab Syafii yang bermigrasi ke Gujarat
dan Malabar. Pijnappel sebenarnya memandang bahwa Islam di Nusantara
disebarkan oleh orang-orang Arab. Pandangan ini cukup memberikan
pengertian bahwa pada hakekatnya penyebar Islam di Nusantara adalah
orang-orang Arab yang telah bermukim di India. Penjelasan ini didasarkan
pada seringnya kedua wilayah India dan Nusantara ini disebut dalam
sejarah Nusantara klasik. Dalam penjelasan lebih lanjut, Pijnapel
menyampaikan logika terbalik, yaitu bahwa meskipun Islam di Nusantara
dianggap sebagai hasil kegiatan orang-orang Arab, tetapi hal ini tidak
langsung datang dari Arab, melainkan dari India, terutama dari pesisir
barat, dari Gujarat dan Malabar. Jika logika ini dibalik, maka dapat
dinyatakan bahwa meskipun Islam di Nusantara berasal dari India,
sesungguhnya ia dibawa oleh orang-orang Arab.

Pendukung lain teori ini adalah Snouck Hurgronje. Ia berpendapat


bahwa, ketika Islam telah mengalami perkembangan dan cukup kuat di
beberapa kota pelabuhan di anak benua India, sebagian kaum Muslim
Deccan tinggal di sana sebagai pedagang perantara dalam perdagangan
Timur Tengah dengan Nusantara. Orang-orang Deccan inilah, kata
Hurgronje, datang ke dunia Melayu-Indonesia sebagai penyebar Islam
pertama. Orang-orang Arab menyusul kemudian pada masa-masa
selanjutnya. Hubungan perdagangan Timur Tengah dan Nusantara
menjadi entry point untuk melihat kehadiran Islam di Nusantara. Tetapi
karena secara geografis, anak benua India berada di antara Nusantara
dan Timur Tengah, maka dapat dipastikan bahwa sebagian padagang
Muslim Arab dan juga Persia singgah terlebih dahulu di India sebelum
mencapai Nusantara. Kenyataan ini tentu tidak diabaikan Hurgronje,
hanya saja ia menekankan peran bangsa India dalam penyebaran Islam di
Nusantara. Mengenai waktu kedatangannya, Hurgronje tidak
menyebutkan secara pasti. Ia juga tidak menyebutkan secara pasti
wilayah mana di India yang dipandang sebagai tempat asal datangnya
Islam di Nusantara. Ia hanya memberikan prediksi waktu, yakni abad ke-
12 sebagai periode yang paling mungkin sebagai awal penyebaran Islam
di Nusantara. Dari segi metodologi sejarah, ketidakpastian tentang waktu
dan tempat adalah kesalahan fundamental, sehingga argumentasi
Hurgronje terlalu lemah, untuk tidak mengatakan keliru.
Dukungan yang cukup argumentatif atas teori India disampaikan oleh
W.F. Stutterheim. Ia menjawab aspek-aspek mendasar dalam sejarah,
tentang di mana (ruang) dan kapan (waktu). Dengan jelas, ia
menyebutkan Gujarat sebagai negeri asal Islam yang masuk ke
Nusantara. Pendapatnya didasarkan pada argumen bahwa Islam
disebarkan melalui jalur dagang antara Nusantara Cambay (Gujarat)
Timur Tengah Eropa. Argumentasi ini diperkuat dengan pengamatannya
terhadap nisan-nisan makam Nusantara yang diperbandingkan dengan
nisan-nisan makam di wilayah Gujarat. Relief nisan Sultan pertama dari
kerajaan Samudera (Pasai), al-Malik al-Saleh (1297 H), menurut
pengamatan Stutterheim, bersifat Hinduistis yang mempunyai kesamaan
dengan nisan yang terdapat di Gujarat. Kenyataan ini cukup memberikan
keyakinan pada dirinya bahwa Islam datang ke Nusantara dari Gujarat.
Demikian ia menjelaskan aspek ruang kedatangan Islam ke Nusantara.
Penjelasan ini cukup argumentatif dan didukung data yang memadai,
tetapi Stutterheim tidak memperhatikan proses Islamisasi di Gujarat.
Sebagaimana dijelaskan Marison, wilayah ini baru diislamkan satu tahun
setelah wafatnya sang Sultan, yaitu pada 1298 M. Pada saat bersamaan
penyebaran masyarakat Islam pada periode tersebut, ketika bangsa
Mongol melebarkan ekspansinya (Bagdad ditaklukan pada 1258 M),
mereka mulai mencari daerah baru bagi kehidupan mereka. Seandainya
Stutterheim menyebutnya sebagai proses lebih lanjut dari Islamisasi
Nusantara, misalnya perkembangan Islam pada abad 14-16, bisa jadi
Gujarat ikut andil memberikan pengaruhnya di Nusantara mengingat
daerah itu (Gujarat) lebih dekat secara geografis ke wilayah Nusantara.
Walaupun terdapat kekurangan, teori yang dikemukakan Stutterheim
mendapat dukungan dari Moquette, sarjana asal Belanda.

Penelitian Moquette terhadap bentuk batu nisan membawanya pada


kesimpulan bahwa Islam di Nusantara berasal dari Gujarat. Moquette
menjelaskan bahwa bentuk batu nisan, khususnya di Pasai mirip dengan
batu nisan pada makam Maulana Malik Ibrahim (822 H/1419 M) di Gresik
Jawa Timur. Sedangkan bentuk batu nisan di kedua wilayah itu sama
dengan batu nisan yang terdapat di Cambay (Gujarat). Kesamaan bentuk
pada nisan-nisan tersebut meyakinkan Moquette bahwa batu nisan itu
diimpor dari India. Dengan demikian, Islam di Indonesia, menurutnya,
berasal dari India, yaitu Gujarat. Teori ini kemudian dikenal juga dengan
teori batu nisan.

Teori lainnya yang menjelaskan bahwa Islam berasal dari anak benua
India dikemukakan oleh S.Q. Fatimi dan dikemukakan pula oleh Tome
Pires. Ada beberapa alasan mengapa kedua tokoh ini berkeyakinan bahwa
Islam berasal dari Benggal (Bangladesh sekarang). Tome Pires
berpendapat bahwa kebanyakan orang terkemuka di Pasai adalah orang
Benggali atau keturunan mereka. Pendapat ini disetujui oleh Fatimi.
Bahkan lebih jauh Fatimi menjelaskan, bahwa Islam muncul pertama kali
di Semenanjung Malaya adalah dari arah timur pantai, bukan dari barat
Malaka, melalui Kanton, Pharang (Vietnam), Leran dan Trengganu. Proses
awal Islamisasi ini, menurutnya, terjadi pada abad ke-11 M. Masa ini
dibuktikan dengan ditemukannya batu nisan seorang Muslimah bernama
Fatimah binti Maimun yang wafat pada tahun 475 H atau 1082 M di Leran
Gresik. Menurut M.C. Ricklef, ini adalah nisan kuburan Muslim tertua yang
masih dapat ditemukan di wilayah ini. Berkenaan dengan teori batu nisan
dari Stutterheim dan Moquette yang menyatakan Islam di Nusantara
berasal dari India, Fatimi menentang keras pendapat ini. Menurutnya,
bahwa menghubungkan seluruh batu nisan di Pasai dengan batu nisan
dari Gujarat adalah suatu tindakan yang keliru. Berdasarkan hasil
pengamatannya, Fatimi menyatakan, bentuk dan gaya batu nisan al-Malik
al-Saleh berbeda dengan batu nisan yang ada di Gujarat. Ia berpendapat,
bentuk dan gaya batu nisan itu mirip dengan batu nisan yang ada di
Benggal. Oleh karena itu, batu nisan tersebut pasti didatangkan dari
Benggal, bukan dari Gujarat. Analisis ini dipergunakan Fatimi untuk
membangun teorinya yang menyatakan bahwa Islam di Nusantara berasal
dari Benggal. Tetapi terdapat kelemahan substansial pada Fatimi, bahwa
perbedaan mazhab fikih yang dianut muslim Nusantara, yaitu para
pengikut mazhab Syafii dengan para pengikut mazhab Hanafi tidak
menjadi perhatiannya. Perbedaan mazhab fikih ini menjadikan teori Fatimi
lemah dan tidak cukup kuat diyakini kebenarannya.
Marison, dengan penjelasannya yang lebih komprehensif,
mengidentifikasi Coromandel atau Malabar sebagai daerah asal Islam di
Nusantara dan itu terjadi pada akhir abad ke 13 M. Ia tidak membangun
teorinya berdasarkan kemiripan batu nisan yang terdapat di beberapa
tempat di Nusantara dengan yang ada di Gujarat, atau bahkan di Benggal
Menurutnya, kemiripan tersebut tidak harus menunjukkan bahwa Islam
Nusantara datang dari daerah-daerah tersebut. Argumentasi yang
diajukannya dibangun berdasarkan riwayat Melayu dan laporan
Marcopolo. Menurut berita-berita tersebut, ketika raja Pasai pertama wafat
tahun 698 H/1297 M, Gujarat masih merupakan kerajaan Hindu. Cambay,
Gujarat baru ditaklukan penguasa Muslim satu tahun kemudian pada 699
H/1298 M. Sebelum Marison mengemukakan pandangan ini, Arnold telah
menyebutkan hal serupa. Marison, dengan demikian, memperkuat
pendapat Arnold yang menyebutkan bahwa Coromandel dan Malabar
merupakan daerah asal kedatangan Islam ke Nusantara. Arnold
mengemukakan pendapatnya berdasarkan kesaksian Ibnu Battutah ketika
mengunjungi kawasan ini pada abad ke-14 dan juga didasarkan pada
kesamaan mazhab fikih di antara keduanya, yaitu Syafi.

Sedangkan tentang teori bahwa Islam Indonesia berasal langsung dari


Mekkah antara lain dikemukakan oleh Crawfurd (1820), Keyzer (1859),
Nieman (1861), de Hollander (1861), dan Verth (1878). Tokoh dari Asia
Tenggara, termasuk Indonesia yang mendukung teori ini di antaranya
Hamka, A. Hasymi, dan Syed Muhammad Naquib Al-Attas.

Al-Attas sebagai tokoh pendukung teori ini menyebutkan, bahwa aspek-


aspek atau kerakteristik internal Islam harus menjadi perhatian penting
dan sentral dalam melihat kedatangan Islam di Nusantara, bukan unsur-
unsur luar atau aspek eksternal. Karakteristik ini dapat menjelaskan
secara gamblang mengenai bentuk Islam yang berkembang di Nusantara.
Lebih lanjut Al-Attas menjelaskan bahwa penulis-penulis yang
diidentifikasi sebagai India dan kitab-kitab yang dinyatakan berasal dari
India oleh sarjana Barat khususnya, sebenarnya adalah orang Arab dan
berasal dari Arab atau Timur Tengah atau setidaknya Persia. Sejalan
dengan hal ini, Hamka menyebutkan pula bahwa kehadiran Islam di
Indonesia telah terjadi sejak abad ke-7 dan berasal dari Arabia sedangkan
T.W. Arnold dan Crawford lebih didasarkan pada beberapa fakta tertulis
dari beberapa pengembara Cina sekitar abad ke-7 M, dimana kala itu
kekuatan Islam telah menjadi dominan dalam perdagangan Barat-Timur,
bahwa ternyata di pesisir pantai Sumatera telah ada komunitas muslim
yang terdiri dari pedagang asal Arab yang di antaranya melakukan
pernikahan dengan perempuan-perempuan lokal. Pendapat ini didasarkan
pada berita Cina yang menyebutkan, bahwa pada abad ke-7 terdapat
sekelompok orang yang disebut Ta-shih yang bermukim di Kanton (Cina)
dan Fo-lo-an (termasuk daerah Sriwijaya) serta adanya utusan Raja Ta-
shih kepada Ratu Sima di Kalingga Jawa (654/655 M). Sebagian ahli
menafsirkan Ta-shih sebagai orang Arab. Mengenai Raja Ta-shih tersebut,
menurut Hamka, adalah Muawiyah bin Abu Sufyan yang saat itu menjabat
sebagai Khalifah Daulah Bani Umayyah. Untuk meyakinkan asal usul Islam
di Nusantara, seminar seputar masalah ini telah digelar beberapa kali.
Seminar Masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia telah
diselenggarakan di Medan 17-20 Maret 1969 dan seminar serupa juga
diadakan di Aceh pada 10-16 Juli 1978 dan 25-30 September 1980.
Berdasarkan hasil seminar-seminar tersebut, disimpulkan bahwa Islam
masuk ke Nusantara langsung dari Arabia, bukan India. Hasil seminar ini
memperkuat teori bahwa Islam di Nusantara berasal dari Arab
sebagaimana ditegaskan Al-Attas dan didukung oleh sejarawan Indonesia,
seperti Hamka dan Muhammad Said. Kehadiran orang-orang Islam yang
berasal dari Timur Tengah ke Nusantara(kebanyakan adalah dari Arab dan
Persia) menurut Azyumardi Azra, ahli Islam di Asia Tenggara, terjadi pada
abad ke-7. Masa-masa awal kehadiran Islam pertama kali dilaporkan oleh
seorang agamawan dan pengembara terkenal dari Cina, bernama I-Tsing.
Ia menginformasikan bahwa pada 51 H/671 M, ia menumpang kapal Arab
dan Persia untuk berlayar dari Kanton dan berlabuh di pelabuhan muara
sungai Bhoga, yang disebut juga Sribhoga atau Sribuza, yaitu Musi
sekarang. Banyak sarjana modern mengidentifikasi Sribuza sebagai
Palembang, ibukota kerajaan Budha Sriwijaya pada masa itu. Menurut
Yuantchao kapal yang sampai di Palembang berjumlah sekitar 35 kapal
dari Persia. Secara geografis, letak Sriwijaya yang berada di jalur
perdagangan internasional memberi pengaruh besar terhadap dunia luar.
Beperapa peristiwa yang terjadi di luar daerah kekuasaannya, misalnya
perubahan politik di India yang saat itu di bawah hegemoni Buddha,
menjadikan Sriwijaya sebagai wilayah Buddha yang dapat dijadikan
pilihan. Ini menempatkan Sriwijaya sebagai pusat terkemuka keilmuwan
Buddha di Nusantara. I-Tsing, yang menghabiskan beberapa tahun di
Palembang dalam perjalanannya menuju ke dan kembali dari India,
merekomendasikan Sriwijaya sebagai pusat keilmuwan Buddha yang baik
bagi para penuntut ilmu agama ini sebelum mereka melanjutkan
pelajaran ke India. Meskipun Sriwijaya sebagai pusat keilmuwan Buddha,
tetapi ia memiliki watak yang kosmopolitan. Kondisi ini memungkinkan
masuknya berbagai pengaruh atau ajaran lain, termasuk agama Islam.
Watak Sriwijaya yang kosmopolitan itulah yang memungkinkan para
pengungsi Muslim Arab dan Persia yang diusir dari Kanton setelah terjadi
kerusuhan di sana, mereka melakukan eksodus menuju Palembang untuk
mencari suaka politik dari penguasa setempat. Bukti lain yang
menunjukkan bahwa Islam berasal dari Arab yaitu :

Terdapat juga sebuah kitab Ajaib al-Hind yang ditulis al-


Ramhurmuzi sekitar tahun 1000 M, dikatakan bahwa para
pedagang muslim telah banyak berkunjung kala itu ke
kerajaan Sriwijaya

Menurut al Masudi pada tahun 916 telah berjumpa Komunitas


Arab dari Oman, Hidramaut, Basrah, dan Bahrein untuk
menyebarkan islam di lingkungannya, sekitar Sumatra,
Jawa, dan Malaka.

Munculnya nama kampong Arab dan tradisi Arab di lingkungan


masyarakat, yang banyak mengenalkan islam.

Kerajaan Samudra Pasai menganut aliran mazhab Syafii, dimana


pengaruh mazhab Syafii terbesar pada waktu itu adalah
Mesir dan Mekkah.
Teori Persia yang dikemukakan oleh sebagian sejarawan di Indonesia
tampaknya kurang populer dibanding teori-teori sebelumnya.Teori Persia
lebih menitikberatkan tinjauannya pada kebudayaan yang hidup di
kalangan masyarakat Islam Indonesia yang dirasakan mempunyai
persamaan dengan Persia.Kesamaan kebudayaan itu antara lain
Peringatan 10 Muharram atau Asyura sebagai hari peringatan syiah
atas kematian Husain. Biasanya diperingati dengan membuat bubur
Syura. Di Minangkabau bulan Muharram disebut juga bulan Hasan-
Husain.
Adanya kesamaan ajaran antara ajaran Syaikh Siti Jenar dengan ajaran
Sufi Iran Al-Hallaj, sekalipun Al-Hallaj telah meninggal pada
310H/922M, tetapi ajarannya berkembang terus dalam bentuk puisi,
sehingga memungkinkan Syaikh Siti Jenar yang hidup pada abad ke-
16 dapat mempelajarinya.

Penggunan istilah bahasa Iran dalam sistem mengeja huruf Arab, untuk
tanda-tanda bunyi harakat dalam pengajian Al-Quran tingkat awal.
Teori Persia mendapat tentangan dari berbagai pihak, karena bila kita
berpedoman kepada masuknya agama Islam pada abad ke-7, hal ini
berarti terjadi pada masa kekuasaan Khalifah Umayyah. Sedangkan, saat
itu kepemimpinan Islam di bidang politik, ekonomi dan kebudayaan
berada di Mekkah, Madinah, Damaskus dan Baghdad. Jadi, belum
memungkinkan bagi Persia untuk menduduki kepemimpinan dunia Islam
saat itu.Namun, beberapa fakta lainnya menunjukkan bahwa para
pedagang Persia menyebarkan Islam dengan beberapa bukti antar lain:
1. Gelar Syah bagi raja-raja di Indonesia.
2. Pengaruh aliran Wihdatul Wujud (Syeh Siti Jenar).
3. Pengaruh madzab Syiah (Tabut Hasan dan Husen).
Teori lainnya menyatakan bahwa Islam juga berasal dari Cina. Teori ini
sangat lemah, namun kemungkinan membawa Islam ke Indonesia sangat
besar. Jika diketahui penyebar Islam adalah banyak mereka para
wirausahawan, hubungan dagang antara Cina, Arab dan lainnya. Bahkan
ketika Cina dipimpin Kubilai Khan, (akhir abad 13) Islam dijadikan agama
resmi. Sedangkan Cheng Ho merupakan duta Cina untuk mengembalikan
nama besar Cina setelah dipermalukan oleh Mongol. Ada 36 negara yang
dikunjungi Cheng Ho, dan salah satunya adalah Indonesia.

Bukti lain yang cukup memperkuat bahwa Islam berasal dari Cina antar
lain :

1. Gedung Batu di semarang (masjid gaya China).


2. Beberapa makam Cina muslim.
3. Beberapa wali yang kemungkinkan keturunan China.
Dari beberapa bangsa yang membawa Islam ke Indonesia pada umumnya
menggunakan pendekatan kultural, sehingga terjadi dialog budaya dan
pergaulan sosial yang penuh toleransi (Umar kayam:1989).

Anda mungkin juga menyukai