A. Pendahuluan
Islam tidak berasal dari Indonesia, seperti agama Hindu dan Buddha, melainkan
dari Jazirah Arabia. Rasulullah Muhammad SAW mendakwahkan agama ini di kota
dagang Makkah dan Madinah, yang merupakan jalur perdagangan Yaman-Syiria,
pada abad ke enam.1
Ada setidaknya dua pendapat berbeda tentang kapan Islam masuk ke Indonesia.
Pendapat pertama disampaikan oleh Prof Hamka, Dr. MD Mansur, H. Moh. Said,
Dr. Tujimah, dan D.Q. Nasution, Abdullah bin Nuh, dan Dr. Shahab biasanya
berbicara berdasarkan catatan berita yang ditulis oleh para musafir Tiongkok.
Menurut Risalah Seminar Sedjarah Masuknya Islam ke Indonesia di Medan tahun
1963, Islam masuk ke wilayah Nusantara (Indonesia) pada abad pertama Hijriyyah
atau abad ke tujuh dan delapan Masehi. Sebuah kerajaan Hindu bernama Holing
(Kalingga) atau Keling berdiri di pulau Jawa pada abad ke-7 Masehi, diperintah oleh
seorang ratu bernama Shima. Raja Ta-Chih mendengar berita tentang kerajaan ini,
dan dia mengirim utusan ke sana. Sebutan Cina untuk orang Arab adalah Ta-Chih.
Kedua, ada pendapat yang menyatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad
ke-13 M, menurut Prof. Snouck Hurgronye, W.F. Strutterheim, dan Bernard H.M.
Vlekke.86 Pendapat ini didasarkan pada fakta bahwa Raja Malik as Sholeh, yang
dianggap sebagai raja Islam pertama di Samudera Pasai, meninggal pada tahun 1297
M.2
Islam di Indonesia sangat kompleks secara historis dan sosiologis; ada banyak
masalah tentang sejarahnya dan perkembangan awalnya. Harus diakui bahwa
penulisan sejarah Indonesia dimulai oleh orientalis, yang sering berusaha untuk
mengurangi peran Islam. Selain itu, para sarjana Muslim yang berusaha
menunjukkan fakta sejarah yang lebih adil juga berpartisipasi. Faktanya, kedatangan
Islam ke Indonesia dilakukan dengan aman. Tidak seperti penyebaran Islam di timur
tengah, yang terkadang disertai dengan pendudukan wilayah militer. Para pedagang
menyebarkan Islam, yang kemudian diikuti oleh para Da'i dan pengembara sufi.
Orang-orang yang terlibat dalam dakwah pertama itu biasanya hanya melakukan
1 Ahwan Mukarrom, SEJARAH ISLAM INDONESIA I Dari Awal Islamisasi Sampai Periode Kerajaan-
Kerajaan Islam Nusantara, 1st ed. (Surabaya: Library UIN Sunan Ampel Surabaya, 2014), hal. 17.
2 Ibid., 62.
1
tugas tanpa pamrih, sehingga nama mereka hilang. Ada perbedaan pendapat tentang
kapan, dari mana, dan di mana Islam pertama kali datang ke Indonesia, mengingat
wilayah Indonesia sangat luas dan ada perbedaan kondisi dan situasi.3
Sejak awal abad pertama SM, telah ada rute perdagangan dan pelayaran antara
pulau atau antara wilayah. Selama bertahun-tahun, kepulauan India Timur dan pesisir
selatan Cina memiliki hubungan dengan dunia Arab melalui perdagangan. Pedagang
Arab menggunakan jalur laut untuk mencapai Nusantara. Mulai dari Aden, mereka
menyusuri pantai menuju Maskat, Raisut, Siraf, Guadar, Daibul, Pantai Malabar
yang terdiri dari Gujarat, Keras, Quilon, dan Kalicut. Kemudian mereka pergi ke
Chitagong (pelabuhan terbesar di Bangladesh), Akyab (sekarang wilayah Myanmar),
Selat Malaka, Peureulak (Aceh Timur), Lamno (pantai barat Aceh), Barus, Padang,
Banten, Cirebon, Demak. Penyebaran Islam di berbagai wilayah Indonesia tidak
terjadi pada saat yang sama.Banyak pendapat tentang proses masuknya Islam ke
Indonesia. Para tokoh yang menyatakan pendapat itu beberapa dari mereka memiliki
pemahaman langsung tentang bagaimana budaya dan ajaran Islam masuk ke
Indonesia. Ada pula yang melakukan penelitian dalam berbagai cara, seperti yang
dilakukan oleh orang Barat (eropa) yang datang ke Indonesia karena pekerjaan atau
dipekerjakan oleh pemerintahnya.
Di antara beberapa teori yang mendukung masuknya Islam di Indonesia adalah:
1. Teori Arab
Krawfurl, Keijzer, Nieman, de Hollender, J. C. Van Leur, Thomas W. Arnold,
al-Attas, HAMKA, Djajadiningrat, Mukti Ali, dan Naquib al-Attas adalah orang
yang paling gigih mendukung teori ini. Teori ini juga menyatakan bahwa Islam
pertama kali datang ke Indonesia dari pedagang Arab pada tahun 674 Masehi.
Menurut Juneid Parinduri, wilayah Barus Tapanuli (Barus-Sibolga kecamatan
TAPTENG). Ini dibuktikan dengan adanya tulisan di makam Ha- Mim yang
menunjukkan tahun 670 M.10 seminar tentang sejarah Islam: masuknya Islam ke
Indonesia (1963); sejarah Islam di Minangkabau (1969); sejarah Islam Riau
(1975); dan sejarah masuknya Islam ke Kalimantan (1976). Selain itu, teori ini
dibahas dalam seminar pendahuluan sejarah Islam di Indonesia. Teori ini
mengatakan bahwa Islam pertama kali muncul dari Arab ketika pedagang Arab
datang ke Barus pada abad pertama hijriah. Penemuan arkeologi menunjukkan
bahwa pedagang muslim Arab pertama kali datang ke Barus. Hanya tiga puluh
delapan buah dari banyak batu nisan yang ditemukan memiliki tulisan. 36 buah
ada di Kompleks Makam Ibrahim, Kompleks Makam Ambar, Kompleks Makam
Maqdum, Kompleks Makam Mahligai, dan Kompleks Makam Papan Tinggi,
sedangkan dua lagi ada di Museum Medan.4
2. Teori Gujarat India
Para sarjana dari Belanda berpendapat bahwa Islam di nusantara berasal dari
anak benua India, Gujarat, dan Malabar. Pojnappel membangun teori ini,
mengatakan bahwa orang Arab bermazhab Syafi'i yang berimigrasi ke India dan
menetap kemudian membawa Islam ke sana.nasional. Snouck Hurgronje
3 IsmailPane, “Peradaban Islam Di Indonesia Keywords : Corresponding Author :” 3, no. 1 (2023): hal.
16.
4 Fauziah Nasution, “Kedatangan Dan Perkembangan Islam Di Indonesia” 11, no. 1 (2020): hal. 32.
2
kemudian mengembangkan teori ini, mengatakan bahwa ulama-ulama
Gujaratlah yang menyebarkan Islam pertama di nusantara, baru kemudian orang-
orang Arab.Meskipun dia tidak menyebutkan secara eksplisit kapan Islam
pertama kali masuk ke nusantara, dia percaya bahwa abad ke-12 adalah waktu
yang paling mungkin untuk penyebaran Islam di nusantara.
3. Teori Turki
Teori perkembangan ini diajukan oleh Martin van Bruinessan, menurutnya
selain orang Arab dan Cina, orang Indonesia juga menerima Islam dari orang-
orang Kurdi dari Turki. Alasan yang diajukannya adalah: 1) Banyak Ulama Kurdi
yang berperan aktif dalam dakwah Islam di Indonesia; 2) Kitab karangan Ulama
Kurdi menjadikan rujukan yang berpengaruh luas; 3) Pengaruh Ulama Ibrahim
al-Kuarani, seorang Ulama Turki di Indonesia melalui tarekat Syatariyah.; 4)
Tradisi Barzanji popular di Indonesia.5
4. Teori Persia
Tidak seperti teori-teori sebelumnya, teori Persia lebih berfokus pada aspek
bahasa, yang menunjukkan bahwa bahasa telah diserap seiring dengan
kedatangan Islam di Nusantara. Salah satu contohnya adalah bahwa istilah
"Abdas" yang digunakan oleh orang Sunda berasal dari bahasa Persia, yang
berarti wudhu. Contoh lain dari pengaruh bahasa Persia adalah bahasa Arab yang
digunakan oleh orang-orang di Nusantara, seperti bagaimana kata-kata yang
berakhiran dengan "h" (misalnya, shalātun) dibaca sebagai "shalah", sementara
dalam bahasa Nusantara, kata-kata seperti salat, zakat, tobat.6
5. Teori China
Teori ini menjelaskan bagaimana etnis Muslim Cina memainkan peran penting
dalam penyebaran agama Islam di Nusan-tara. Hubungan antara Muslim Arab
dan Cina sudah ada sejak Abad Pertama Hijriah, seperti yang disebutkan
sebelumnya dalam teori Arab. Oleh karena itu, Islam masuk ke Cina melalui jalur
perdagangan yang terhubung dari barat ke Nusantara. Islam tiba di Cina di
Canton (Guangzhou) pada masa pemerintahan Tai Tsung (627-650) dari Dinasti
Tang. Kemudian mereka tiba di Nusantara di Sumatera pada masa kekuasaan
Sriwijaya, dan tiba di pulau Jawa pada tahun 674 M ketika utusan raja Arab
bernama Ta cheh atau Ta shi datang ke kerajaan Kalingga yang diperintah oleh
Ratu Sima. Dari uraian di atas, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa Islam
datang ke Nusantara bersama dengan Cina. Namun, teori di atas tidak
menjelaskan kapan Islam pertama kali datang ke Nusantara, jadi kita dapat
menemukan bukti bahwa Islam datang ke Nusantara pada awal abad pertama
Hijriah.7
Kedatangan Islam ke Indonesia dan penyebarannya kepada bangsawan dan
rakyat umumnya dilakukan secara pelan-pelan, halus, dan damai. Menurut Uka
Tjandrasasmita, setidaknya ada enam cara Islamisasi berkembang di Indonesia,
yaitu:
1. Saluran Perdagangan
5 Ibid., 36.
6 Achmad Syafrizal, Abi Thalib, and Bani Umayah, “Sejarah Islam Nusantara,” Islamuna 2 (2015): hal.
238.
7 Ibid.
3
Perdagangan adalah salah satu jalur awal Islamisasi di Indonesia. Hal ini sesuai
dengan arus perdagangan yang aktif dari abad ke-7 hingga abad ke-16, yang
melibatkan perdagangan antara negara-negara di bagian barat, tenggara, dan
timur benua Asia, dan di mana pedagang Muslim (Arab, Persia, dan India) turut
berpartisipasi dalam perdagangan Indonesia.
2. Saluran Perkawinan
Ikatan perkawinan merupakan ikatan lahir batin, dengan pernikahan
terbentuklah sebuah keluarga kecil yang akhirnya menjadi cikal bakal
masyarakat besar, dalam hal ini berarti membentuk masyarakat muslim.
3. Saluran Tasawuf
Tasawuf termasuk kategori media yang berfungsi dan membentuk kehidupan
sosial di Indonesia, seperti yang ditunjukkan oleh banyak naskah yang dibuat
antara abad ke-13 dan ke-18 M. Tidak jarang, ajaran tasawuf ini disesuaikan
dengan ajaan mistik lokal yang sudah dibentuk oleh kebudayaan Hindu-Budha.
Mereka berkomitmen untuk menggunakan elemen-elemen dari budaya sebelum
Islam untuk menyebarkan Islam. Misalnya, A. H. Johns mengatakan bahwa
ajaran Jawa dipertahankan sementara karakter diberi nama Islam. Ini terlihat
dalam cerita Bimasuci yang diadaptasi menjadi Hikayat Syech Maghribi.
Kelompok mistik abad ke-19 seperti Sumarah, Sapta Dharma, Bratakesawa, dan
pangestu juga menganut ajaran mistik semacam itu.
4. Saluran Pendidikan
Para ulama, kiai, guru-guru agama, dan seorang raja berperan besar dalam
proses Islamisasi DI Indonesia, mereka menyebarkan agama Islam melalui
pendidikan yaitu dengan mendirikan pondok-pondok pesantren sebagai tempat
pengajaran agama Islam bagi para santri.
5. Saluran Politik
Kekuasaan memainkan peran penting dalam proses Islamisasi Indonesia. Ketika
seorang raja memeluk agama Islam, rakyatnya akan mengikuti jejaknya, dan
mereka sangat patuh kepada raja mereka, bahkan menjadi tauladan bagi mereka.
Oleh karena itu, pengaruh politik raja sangat membantu penyebaran Islam di
wilayah tersebut.
6. Saluran Kesenian
Misalnya, seni bangunan, seni pahat atau ukir, seni tari, musik, dan seni sastra
adalah bagian dari genre seni ini. Masjid Agung Banten, Baiturrahman di Aceh,
Ternate, dan sebagainya. Pertunjukan wayang kulit adalah contoh tambahan.
Nilai Islam ditanamkan dalam cerita wayang ini. Dengan demikian, masyarakat
secara bertahap menerima Islam, baik dengan ajakan maupun secara alami.8
B. Pembahasan
Sebelum daerah jajahan datang, beberapa kerajaan Islam telah muncul di
8 Madrasah Diniyah et al., “Teori Dan Proses Islamisasi Di Indonesia,” in Prosiding Pascasarjana IAIN
Kediri Volume, 2020, hal. 296.
4
kepulauan tersebut, mengembangkan sistem pendidikan Islam. Sistem
pendidikan ini berbeda dengan sistem pendidikan orang asing, terutama yang di
Belanda. Islam mulai berkembang pada masa perdagangan dan kemudian selama
beberapa abad berikutnya. Kerajaan Islam kemudian didirikan. Misalnya,
Samudera Pasai, Aceh, serta Minangkabau. Demak, Paran, Mataram, Cirebon,
dan Banten adalah kerajaan Islam Jawa. Sebagai pengganti delapan model
Saiyang, model pembentukan budaya Islam digunakan. Samudera Pasai
menunjukkan banyak tanda nasionalisme baru sejak awal.
Pemerintahan ini tidak hanya menghadapi faksi internal yang belum ditaklukkan
dan beragama Islam, tetapi juga menghadapi konflik keluarga dan politik yang
sudah lama berlangsung. Samudera Pasai menjadi pusat pendidikan agama saat
menjadi negara yang tersentralisasi. Reputasinya sebagai pusat keagamaan terus
berlanjut.9
9 Abdurrahman, “Jurnal Pendidikan Islam,” Jurnal Pendidikan Islam 13, no. 1 (2023): 33,
https://doaj.org/article/1e8aebf063e94d09a7eb93f04cf4b8fd.
10 Arki Auliahadi and Doni Nofra, “Tumbuh Dan Berkembangnya Kerajaan-Kerajaan Islam Di
Sumatera Dan Jawa,” Majalah Ilmiah Tabuah: Ta`limat, Budaya, Agama dan Humaniora 23, no. 1
5
b. Kerajaan Aceh
Kesultanan Aceh Darussalam muncul pada abad ke-15 M. Kesultanan ini
berbeda dari yang lain karena berdiri di atas agama islam. Dengan demikian,
kesultanan Aceh Darussalam tidak terikat dengan tradisi atau kebiasaan lama,
tetapi muncul sebagai kesultanan dengan tradisi unik meskipun mengikuti
tradisi lama. Kesultanan Aceh Darussalam berkembang menjadi negara Islam
terbesar kelima di dunia dan terbesar di Nusantara sekitar abad ke-15,
Kesultanan Aceh Darussalam berkembang menjadi negara Islam terbesar
kelima di dunia dan terbesar di Nusantara sekitar abad ke-15, menurut
Siripudin Tippe dalam Helmiyati (2014:41). AH Johns juga berpendapat
bahwa antara abad ke-15 dan ke-17, Aceh dan Malaka adalah negara kota
Islam yang paling penting di dunia Melayu. Kerajaan ini mencapai puncaknya
pada abad ke-17. Ini terkait erat dengan kehancuran kekuasaan Portugis di
Malaka. Salah satu bukti ini adalah fakta bahwa para pedagang Muslim yang
sebelumnya berdagang dengan Malaka beralih ke Aceh setelah Malaka
diambil oleh Portugis pada tahun 1511 M. Ketika Malaka ditaklukkan pada
tahun 1511, wilayah atau kerajaan yang berada di bawah kekuasaan Malaka
mulai terpisah. Menurut Azyumardi Azra dalam Helmiyati (2014:54), peran
Aceh dalam pertumbuhan Islam sangat penting. Pemikiran keagamaan dan
dakwah Islam telah berkembang seiring dengan perkembangan
dan kemakmurannya di bidang budaya, ekonomi, dan politik. Menjadi pusat
ajaran Islam di Aceh menunjukkan kemajuan agama kerajaan Aceh.
Melahirkan para pemikir dan cendekiawan muslim terkemuka, seperti Hamza
Fansuri (meninggal 1600), Syamsuddin al-Sumatrani (meninggal 1630),
Nuruddin al-Raniri (wafat 1657), dan Abdul Rauf al-Sinkili (wafat 1660).
Sejarah keagamaan kesultanan dipengaruhi oleh keempat tokoh ini. Aceh
pada abad ke-17 dan ke-18. Dua nama terakhir, al-Raniri dan al-Sinkili,
adalah dua dari tiga penghubung utama jaringan ulama di wilayah Melayu-
Indonesia dan Timur Tengah.
Mereka berkontribusi besar pada reformasi agama dan penyebaran tradisi
Islam yang signifikan ke wilayah Melayu-Indonesia sambil melawan
kecenderungan kuat tradisi lokal untuk mempengaruhi Islam. Sejak
berdirinya, kesultanan Islam tumbuh menjadi pemain penting dalam
perdagangan bebas global. Kekayaan kesultanan ini berdampak besar pada
penyebaran agama Islam di seluruh Asia Tenggara. Aceh berkembang
menjadi pusat pembelajaran di Asia Tenggara.11
(2019): 37.
11 KusnadiMahasiswa Program Doktor Pascasarjana UIN Alauddin Makassar, Bahaking Rama, and
Muhammad Rusydi Rasyid UIN Alauddin Makassar, “Proses Perkembangan Islam Di Nusantara, Teori
Masuknya Dan Pusat Pendidikan Islam Masa Awal Di Asia Tenggara,” Jurnal Ilmu Pendidikan dan
Kearifan Lokal (JIPKL) 2, no. 2 (2022): hal.83–84.
6
c. Kerajaan Minangkabau
Ahli pubakala Poerbatjaraka mengatakan bahwa kata Minanga (Tamwan)
berarti Minangkabau. Mereka percaya bahwa banyak orang Minangkabau
pergi ke perang dan berhenti di Jambi sebelum pergi ke Palembang, di mana
mereka menang dan membuat kota yang disebut Sriwijaya (Marwati Djoened
Poesponegoro, 1992). Jika apa yang dijelaskan Poerbatjaraka benar, sebuah
kerajaan yang kuat di Minangkabau sudah ada pada abad ke-7, tetapi Dipunta
Hyang memindahkan pusat kekuasaannya ke Palembang. Pemindahan pusat
pemerintahan ke tempat yang lebih strategis dalam kaitannya dengan jalur
perdagangan internasional mungkin menjadi dasar pemindahan ini. Menurut
dokumen tertulis, Aditiyawarman adalah raja berikutnya di Minangkabau
yang memerintah dari tahun 1347 hingga 1375. Dia berasal dari keluarga
rantau yang bercampur antara Minang dan Majapahit (Jawa), yang pindah ke
Minangkabau pada tahun 1339. Di nagari-nagari, sistem pemerintahan yang
independen di bawah penghulu sudah mapan pada saat itu. Sepeninggal
Adityawarman, raja-raja Pagaruyung memeluk agama Islam dan mulai
membangun kerajaan yang kokoh. Raja Alam berada di Pagaruyung dan
bertanggung jawab atas semua kekuasaan. Dua orang raja membantu Raja
Alam untuk urusan adat dan agama. Yang pertama dikenal sebagai Raja Adat
berada di Buo, dan yang kedua dikenal sebagai Raja Ibadat berada di
Sumpurkudus. Orang biasanya menyebut ketiga raja itu "Raja Tiga Selo".
Dengan menambahkan elemen pemerintahan seperti Tuan Kadi dan beberapa
istilah yang berkaitan dengan Islam, Islam juga memengaruhi struktur
pemerintahan Pagaruyung. Penamaan Nagari Sumpur Kudus, yang berasal
dari kata "kudus", sebagai tempat Rajo Ibadat, dan Limo Kaum, yang berasal
dari kata "qaum", menunjukkan pengaruh dari bahasa Arab atau Islam. Selain
itu, istilah seperti Imam, Katik (Khatib), Bila (Bilal), dan Malin (Mu'alim)
muncul dalam perangkat adat untuk menggantikan istilah-istilah yang
mengarah pada Hindu dan Buddha yang telah digunakan sebelumnya.12
a. Kerajaan Demak
Kerajaan Demak didirikan oleh Sultan Fatah yang masih keturunan dari
Majapahit. Raden Fatah yang dikenal juga dengan nama Pangeran Jimbun
merupakan putra Raja Majapahit Kertabumi Brawijaya V dengan ibunya
Putri Champa keturunan Cina (beragama Islam). Saat Raden Fatah (Jimbun)
dewasa, dia pergi ke Ampel Denta untuk belajar Islam kepada Raden Rahmat
(Sunan Ampel), dan adiknya, Raden Husain, pergi ke Majapahit untuk
mengabdi kepada Brawijaya V. Pada akhirnya, Raden Fatah menikah dengan
Nyai Ageng Malaka, putri Sunan Ampel. Raden Fatah menerima perintah
Sunan Ampel untuk menyebarkan dakwa Islam di Glagahwangi, yang akan
12 Arif
Rahim, “Kerajaan Minangkabau Sebagai Asal-Usul Kesultanan Jambi,” Jurnal Ilmiah Universitas
Batanghari Jambi 21, no. 1 (2021): hal. 406.
7
menjadi tempat berdirinya Kerajaan Demak, setelah pengetahuan tentang
Islam dianggap cukup matang.Kerajaan Demak terletak di Jawa Tengah. Saat
itu, letak Demak sangat menguntungkan untuk perdagangan dan pertanian.
Pada masa lalu, wilayah Demak berada di tepi selat antara Pegunungan Muria
dan Jawa. Selat itu tampak agak lebar dan dapat dilayari dengan baik,
sehingga kapal dagang dari Semarang dapat pergi ke Rembang dengan
mudah. Namun, sejak abad ke-17, jalan pintas itu tidak dapat digunakan lagi.
15 Ibid., 61–63.
9
cepat setelah berdirinya Kerajaan Mataram.16
Datangnya Islam mengubah banyak hal, terutama gambaran raja. Raja
tidak lagi dianggap sebagai representasi dewa; mereka sekarang dianggap
sebagai perwakilan Allah di dunia . Gelar yang digunakan oleh Panembahan
Senopati, "Senopati ing Alaga Sayidin Panatagama", menunjukkan bahwa
raja memiliki otoritas atas agama dan pemerintahan. Meskipun Senapati
bukan sultan atau susuhunan, dia hanya menggunakan gelar panembahan.
Suatu gelar baru, Kalifatullah (dari kata kalifah), diberikan pada
pemerintahan berikutnya untuk mengubah gagasan lama. Gelar ini baru
digunakan pertama kali oleh Amangkurat IV (1719-1724 M), dan setelah
Perjanjian Giyanti, sultan Yogyakarta, termasuk Pangeran Diponegoro,
menggunakannya secara resmi. Raja Mataram Islam kemudian memilih para
ulama di wilayahnya untuk menjadi penasihat dan pendidiknya. Bersamaan
dengan itu, orang percaya bahwa Sunan Kalijaga, bersama dengan Senapati
Kediri, memulai pembangunan dinding kerajaan.Wali dan tokoh agama
memiliki kekuatan yang luar biasa, sehingga nasihat dan dorongan mereka
sangat penting bagi mereka yang akan menjabat sebagai pemimpin. Para wali
dan kyai mendukung dan mendukung Panembahan Senapati selama
pemerintahannya sebagai raja Kerajaan Mataram Islam. Masyarakat Jawa
dipenuhi dengan semangat baru ketika Islam tiba. Ini memberikan inspirasi
dan keinginan untuk membangun kembali masyarakat dan negara, terutama
dalam hal hubungan sosial antar warga dan hubungan antara negara dan
masyarakat. Di tempat ini, Islam tidak hanya berkaitan dengan masalah
peribadatan khusus seperti syahadat, shalat, puasa, zakat, dan haji, tetapi juga
memberikan arahan dan inspirasi untuk kemajuan ilmu pengetahuan dan tata
kehidupan manusia secara keseluruhan. Para wali dan tokoh agama Islam
tidak dapat berdiam diri terhadap keadaan negara dan masyarakatnya karena
pandangan agama ini. 17
d. Kerajaan Cirebon
Pada awalnya, Cirebon termasuk dalam wilayah Kerajaan Pajajaran.
Ketika Sunan Gunung Jati menyebarkan agama Islam di Jawa Barat dan
menjadi pemimpin di Cirebon, status Cirebon berubah. Sunan Gunung Jati
dengan tegas memotong hubungan dengan Kerajaan Pajajaran, yang masih
menganut agama Hindu. Kedudukan dan kharisma Cirebon pada masa Sunan
Gunung Jati hingga Panembahan Ratu sangat dihormati oleh Banten dan
Mataram.Keberadaan Kesultanan Cirebon dijadikan barometer Islamisasi di
Jawa Barat sehingga Cirebon sangat dituakan oleh dua kesultanan tersebut.
Kedudukan Kesultanan Cirebon juga disamakan dengan Kesultanan Demak
yang merupakan Kerajaan Islam pertama di Jawa serta pusat islamisasi di
Jawa Tengah. Eksistensi Kerajaan Islam Cirebon di Jawa Barat dipengaruhi
secara signifikan oleh kematian Sunan Gunung Jati sebagai penguasa. Selain
itu, setelah meninggalnya Panembahan Ratu II pada tahun 1677, Kesultanan
16 U
I N Sunan and Kalijaga Yogyakarta, “Sejarah Agama Islam Di Kerajaan Mataram Pada Masa
Panembahan Senapati , 1584-1601” 2, no. 2 (2018): 157–158.
17 Ibid., 159–160.
10
Cirebon terbagi menjadi beberapa kesultanan. Setelah kesultanan runtuh,
Cirebon tidak lagi menjadi satu kesatuan, karena masing-masing sultan dan
pemimpin berebut posisi dan menginginkan wilayah kekuasaan.18
19 Wahab Syakhrani, “Islam Di Tanah Banjar ,” Stai Rakha Amuntai 5, no. 1 (2022): 787–795.
11
Tumenggng, semua itu menunjukkan bahwa agama Islam sudah masuk ke
kalimantan Selatan melalui para pedagang jauh sebelum bantuan dan
Penghulu yang dikirimkan Sultan Demak sampai di Banjarmasin.20
20 Ibid., 796–800.
21 DI Kerajaan Gowa-tallo and Muhaeminah Makmur, “Jejak Orang Melayu Sebagai Penyebar Agama
Islam Di Kerajaan Gowa-Tallo” (2015): 375–376.
12
makam kuno yang menunjukkan penyebaran agama Islam oleh orang Melayu
di wilayah Kerajaan Gowa-Tallo, seperti yang dicatat dalam naskah lontara
sukkukna ri Wajo dan patturiolong ri tu Gowaya. Temuan menunjukkan
bahwa orang Melayu menguasai beberapa wilayah di Kabupaten Gowa,
termasuk Barombong dan Taeng, serta Kelurahan Melayu di Kecamatan
Wajo di sebelah utara Benteng Ujung Pandang (Fort Rotterdam) dan
Kelurahan Kalukubodoa di Kecamatan Tallo.22
22 Ibid., 385.
23 Rusdiyanto, “Kesultanan Ternate Dan Tidore,” JURNAL AQLAM -- Journal of Islam and Plurality 3
(2018): hal. 48–50.
13
waktu itu. Mereka telah menjalin hubungan kuat dengan kerajaan Islam lain,
terutama Demak, Banten, dan Melayu.24
b. Kesultanan Tidore
Berkaitan dengan keberadaan Kesultanan Tidore, telah digambarkan
sebelumnya, bahwa pulau tetangga Ternate di sebelah selatan, yakni Pulau
Tidore, adalah lokasi berdirinya Kesultanan Tidore yang menggunakan nama
yang sama dengan pulaunya. Wilayahnya meliputi, sebagian dari Pulau
Halmahera, Pulau Raja Ampat dan semenanjung New Guinea, sebagaimana
dari lukisan yang digambarkan olehJohannes Vingsboon untuk atlas Laurens
van der Hens, bersama dengan Pulau Motir dan Pulau Mare (pulau tempayan,
tembikar) yang menjadi wilayah Ternate, sedangkan Pulau Mitara di sisi lain,
merupakan wilayah milik Tidore . Setidaknya sejak abad ke-17, Kota Tidore
berkembang menjadi pusat kekuasaan Kesultanan Tidore. Ini ditunjukkan
oleh jejak arkeologis adanya Kedaton Tidore, masjid, makam, dan bagian
kota lainnya seperti pasar dan pelabuhan. Pada awal berdirinya sebagai pusat
kekuasaan Islam, kota Tidore juga menjadi pemukiman. Di wilayah Teluk
Waru, Seram Bagian Timur, ada indikasi pengaruh budaya yang berasal dari
Kesultanan Tidore. Masyarakat percaya bahwa naskah Bebeto menceritakan
tentang perjalanan syiar Islam Baba Ito, sultan Tidore. Informasi arkeologi
seperti artefak alat "debus" dan mantranya dapat dikaitkan dengan penyiaran
Islam karena pengenalan sufi.25
Kota Tidore adalah pusat kekuasaan Islam, seperti yang ditunjukkan oleh
peninggalan monumental seperti Masjid Kuno, Kedaton, kompleks makam
kesultanan, pasar, dan pelabuhan. Selain itu, sebagai kota kesultanan, ia terus
berkembang selama periode kolonial Eropa. Benteng-benteng di pesisir Pulau
Tidore menunjukkan pertumbuhan dan perkembangan kota yang semakin
pesat. Selain itu, bukti adanya kedaton Tidore, tempat Sultan tinggal dan
mengelola pemerintahan, menunjukkan bahwa Kota Tidore adalah pusat
pemerintahan Islam. Setelah itu, kekuasaan Islam Tidore menyebar ke
wilayah lain di seberang Pulau Tidore. Ada catatan sejarah dan tradisi lisan
yang menunjukkan bahwa wilayah-wilayah tersebut merupakan bagian dari
kekuasaan Islam Kesultanan Tidore. Bukti fisik dan arkeologi menunjukkan
bahwa Kesultanan Tidore meluaskan pengaruhnya ke budaya Islam, politik,
dan jaringan bisnis (ekonomi).26
C. Kesimpulan
Kondisi Islam pada masa kerajaan sangat bervariasi tergantung pada kerajaan
dan wilayahnya. Pada umumnya, Islam masuk ke Nusantara melalui
24 Ibid., 52.
25 Wuri Handoko et al., “PUSAT KEKUASAAN ISLAM DAN PENGARUHNYA DI WILAYAH PERIFERI 1
THE SULTANATE OF TIDORE : THE EVIDENCE OF ARCHAEOLOGY AS ISLAMIC CENTER AND
INFLUENCE IN” (2018): hal. 21–25.
26 Ibid., 34.
14
perdagangan dan perkawinan dengan pedagang Arab dan India. Kerajaan-
kerajaan Islam pertama di Indonesia adalah Samudera Pasai di Aceh dan
Kesultanan Demak di Jawa.Pada masa kerajaan, Islam berkembang pesat di
Indonesia dan menjadi agama mayoritas di beberapa wilayah. Para raja dan
bangsawan juga memeluk Islam dan membangun masjid-masjid sebagai pusat
kegiatan keagamaan dan sosial. Namun, ada juga kerajaan-kerajaan yang masih
mempertahankan agama Hindu-Buddha seperti Majapahit dan Bali.Selain itu,
pada masa kerajaan terdapat juga perbedaan dalam praktik keagamaan Islam
antara satu kerajaan dengan kerajaan lainnya. Ada kerajaan yang menganut Islam
yang lebih konservatif dan ada juga yang lebih liberal. Namun, pada umumnya,
Islam yang berkembang di Indonesia pada masa kerajaan adalah Islam yang
moderat dan toleran terhadap keberagaman.Kesimpulannya, kondisi Islam pada
masa kerajaan sangat bervariasi tergantung pada kerajaan dan wilayahnya.
Namun, secara umum, Islam berkembang pesat dan menjadi agama mayoritas di
beberapa wilayah, serta menjadi agama yang moderat dan toleran terhadap
keberagaman
15
D. Daftar Pustaka
Abdurrahman. “Jurnal Pendidikan Islam.” Jurnal Pendidikan Islam 13, no. 1 (2023): 16–
34. https://doaj.org/article/1e8aebf063e94d09a7eb93f04cf4b8fd.
Auliahadi, Arki, and Doni Nofra. “Tumbuh Dan Berkembangnya Kerajaan-Kerajaan
Islam Di Sumatera Dan Jawa.” Majalah Ilmiah Tabuah: Ta`limat, Budaya, Agama
dan Humaniora 23, no. 1 (2019): 35–46.
Chinanti Safa Camila, Hudaidah. “SEJARAH KESULTANAN PAJANG MASA
PEMERINTAHAN SULTAN HADIWIJAYA (1549-1582) Chinanti.” SiNDANG
ISSN-P: 2684-8872 JURNAL PENDIDIKAN SEJARAH DAN KAJIAN SEJARAH 4,
no. 1 (2022): 65.
Diniyah, Madrasah, Mitahul Mubtadiin, Kab Nganjuk, and Jawa Timur. “Teori Dan
Proses Islamisasi Di Indonesia.” In Prosiding Pascasarjana IAIN Kediri Volume,
287–301, 2020.
Gowa-tallo, D I Kerajaan, and Muhaeminah Makmur. “Jejak Orang Melayu Sebagai
Penyebar Agama Islam Di Kerajaan Gowa-Tallo” (2015): 375–386.
Handoko, Wuri, Balai Arkeologi Maluku, Balai Arkeologi, and Sulawesi Selatan.
“PUSAT KEKUASAAN ISLAM DAN PENGARUHNYA DI WILAYAH
PERIFERI 1 THE SULTANATE OF TIDORE : THE EVIDENCE OF
ARCHAEOLOGY AS ISLAMIC CENTER AND INFLUENCE IN” (2018): 17–38.
Long, Ahmad Sunawari, and Muhammad Roy Purwanto. “Vol. 2 (1) FEB. 2020.” Jejak
Peradaban dan Hukum Islam Masa Kerajaan Demak Glagahwangi, 2, no. 1 (2020).
Mahasiswa Program Doktor Pascasarjana UIN Alauddin Makassar, Kusnadi, Bahaking
Rama, and Muhammad Rusydi Rasyid UIN Alauddin Makassar. “Proses
Perkembangan Islam Di Nusantara, Teori Masuknya Dan Pusat Pendidikan Islam
Masa Awal Di Asia Tenggara.” Jurnal Ilmu Pendidikan dan Kearifan Lokal (JIPKL)
2, no. 2 (2022): 75–91.
Mukarrom, Ahwan. SEJARAH ISLAM INDONESIA I Dari Awal Islamisasi Sampai
Periode Kerajaan-Kerajaan Islam Nusantara. 1st ed. Surabaya: Library UIN Sunan
Ampel Surabaya, 2014.
Nasution, Fauziah. “Kedatangan Dan Perkembangan Islam Ke Indonesia.” Mawa’Izh:
Jurnal Dakwah Dan Pengembangan Sosial Kemanusiaan 11, no. 1 (2020): 26–46.
Pane, Ismail. “Peradaban Islam Di Indonesia.” Journal of Education and Culture 3, no. 1
(2023): 15–20.
Rahim, Arif. “Kerajaan Minangkabau Sebagai Asal-Usul Kesultanan Jambi.” Jurnal
Ilmiah Universitas Batanghari Jambi 21, no. 1 (2021): 399.
Rozi, Bahru, and Ahmad Misbah. “Sejarah Kesultanan Cirebon Dan Problematikanya
Tahun 1677-1752” 1 (2022): 21–39.
Rusdiyanto. “Kesultanan Ternate Dan Tidore.” JURNAL AQLAM -- Journal of Islam and
Plurality 3 (2018): 45–53.
Sunan, U I N, and Kalijaga Yogyakarta. “Sejarah Agama Islam Di Kerajaan Mataram
Pada Masa Panembahan Senapati , 1584-1601” 2, no. 2 (2018): 154–165.
Syafrizal, Achmad, Abi Thalib, and Bani Umayah. “Sejarah Islam Nusantara.” Islamuna
2 (2015): 236–253.
Wahab Syakhrani. “Islam Di Tanah Banjar .” Stai Rakha Amuntai 5, no. 1 (2022): 792–
802.
16
17