LISA NURLYENI
Peta Penyebaran Islam di Nusantara
Proses Islamisasi di setiap daerah di Indonesia dilakukan secara bertahap. Daerah yang
pertama mendapat pengaruh Islam adalah daerah Indonesia bagian Barat. Daerah ini
merupakan jalur perdagangan internasional sehingga pengaruh dapat dengan cepat tumbuh di
sana. Daerah pesisir itu nantinya menumbuhkan pusat-pusat kerajaan Islam seperti Samudera
Pasai, Pidie, Aceh, Banten, Demak, Banjarmasin, Goa Makasar, Gresik, Tuban, Cirebon,
Ternate dan Tidore sebagai pusat kerajaan Islam yang berada disekitar pesisir. Kota-kota
pelabuhan seperti Jepara, Tuban, Gresik, Sedayu adalah kota-kota Islam di Pulau Jawa. Di
Jawa Barat telah tumbuh kota-kota Islam seperti Cirebon, Jayakarta, dan Banten
Ada beberapa pendapat mengenai proses Islamisasi di Indonesia. Menurut Ricklefs,
proses Islamisasi dilakukan dengan dua proses. Pertama, penduduk pribumi berhubungan
dengan agama Islam dan kemudian menganutnya. Kedua, orang-orang asing (Arab, India,
Persia, dan lain-lain) yang telah memeluk agama Islam bertempat tinggal secara permanen di
suatu wilayah Indonesia, melakukan perkawinan campuran dan mengikuti gaya hidup lokal
sehingga ajaran Islam dengan mudah masuk dalam kehidupan pribumi (orang Indonesia).
Perkembangan berikutnya penyebaran Islam dilakukan melalui pertunjukan kesenian,
diplomasi politik dengan penguasa setempat, membuka lembaga-lembaga pendidikan seperti
pesantren, dan tasawuf.
Para sejarawan Indonesia berpendapat bahwa proses Islamisasi di Indonesia sudah
dimulai pada abad pertama Hijriyah atau abad ke-7 Masehi. Pendapat ini berdasarkan bukti
bahwa pada abad ke-7 di pusat kerajaan Sriwijaya telah dijumpai perkampungan-
perkampungan pedagang Arab. Pendapat lain dikemukan oleh Mouquette (Ilmuwan Belanda)
yang menyatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia sekitar abad ke-13-14 Masehi. Penentuan
waktu itu berdasarkan tulisan pada batu nisan yang ditemukan di Pasai. Batu nisan itu berangka
tahun 17 Djulhijah 831 atau 21 September 1428 M dan identik dengan batu nisan yang
ditemukan di makam Maulana Malik Ibrahim (822 H atau 1419 M) di Gresik, Jawa Timur.
Begitu juga dengan ditemukannya batu nisan Malik al-Saleh (raja Samudera Pasai) yang
berangka tahun 698 H atau 1297 M. Selain sumber batu nisan, sumber lainnya didapat dari
tulisan Marcopolo (pedagang Venesia) yang singgah di Sumatera dalam perjalanan pulangnya
dari Cina pada tahun 1292. Di sana disebutkan bahwa Perlak merupakan kota Islam.
Adanya interaksi antara pedagang dari penjuru dunia dengan intensitas yang tinggi,
memunculkan beragam teori mengenai siapakah sebenarnya yang memperkenalkan Agama
Islam kepada penduduk Nusantara. Proses masuk dan berkembangnya agama Islam di
Nusantara menurut Ahmad Mansur Suryanegara dalam bukunya Menemukan sejarah, wacana
pergerakan Islam di Indonesia, terdapat tiga teori waktu masuknya Islam ke Nusantara, asal
negara dan tentang pelaku penyebar atau pembawa agama Islam ke Nusantara. Adapun ketiga
teori tersebut yang menjelaskan mengenai masuknya Islam ke Nusantara antara lain sebagai
berikut :
a. Islam datang dari Arab (Teori Mekah)
b. Islam datang dari Gujarat (Teori Gujarat)
c. Islam datang dari Persia (Teori Persia)
Hoessein Djajadiningrat
Dari faktor penyebab tersebut, agama Islam dapat diterima oleh bangsa Indonesia tidak terlepas
dari:
Tokoh ulama yang besar perannya dalam penyebaran agama islam di Nusantara
terutama kelompok Walisongo yang memusatkan kegiatannya di Demak. Walisongo terdiri
dari:
1. Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim)
Sunan Gresik disebut juga "Maulana Maghribi". Dikalangan rakyat kecil beliau
terkenal sebagai ulama yang berbudi luhur dan sangat dermawan. Beliau berperan
menyebarkan Islam di Gresik dan sekitarnya. Beliau juga ahli pertanian, ahli tata negara dan
Islam masuk ke Indonesia dibawa pedagang dari Gujarat, Arab, dan Persia. Adapun
kota pelabuhan dagang yang berperan besar dibidang penyebaran agama Islam diabad ke-16
adalah Malaka. Saat para pedagang muslim menunggu perubahannya arah angin untuk menuju
tempat tertentu dalam berlayar, mereka memanfaatkan waktu luangnya untuk menyebarkan
Islam kepada para pedagang dari daerah lain, termasuk pedagang Indonesia.
Jatuhnya Malaka ketangan Portugis 1511, semakin mendorong perkembangan Islam di
Nusantara, sebab Portugis menerapkan perdagangan monopoli, yang menyebabkan pedagang
Islam memindahkan kegiatannya. Diantaranya ke Aceh, Banten, Banjarmasin, Goa dll. Dari
pusat-pusat perdagangan yang ada ditepi pantai, agama Islam kemudian tersebar kedaerah-
daerah pedalaman.
Perkawinan juga memegang penting dalam penyebaran agama Islam. Banyak pedagang
Arab, Persia dan Gujarat menikah dengan wanita Indonesia, terutama putri bangsawan atau
raja. Misalnya Syeh Maulana Ishak menikahi Dewi Sekardadu, putri raja Blambangan yang
menurunkan Sunan Giri. Sunan Ampel menikahi Nyai Ageng Manila, putri Tumenggung
Majapahit yang berkuasa di Tuban, menurunkan Sunan Bonang dan Sunan Drajat, dsb. Dengan
cara ini, banyak yang ikut memeluk Islam.
1. Kerajaan Perlak
Kesultanan Perlak merupakan kerajaan Islam pertama di Indonesia yang berdiri pada
tanggal 1 Muharam 225 H atau 804 M. Kesultanan ini terletak di wilayah Perlak, Aceh Timur,
Nangroe Aceh Darussalam, Indonesia.
Silsilah
Sebelum berdirinya Kesultanan Perlak, di wilayah Negeri Perlak sudah ada rajanya, yaitu
Meurah Perlak Syahir Nuwi. Namun, data tentang raja-raja Negeri Perlak secara lengkap belum
ditemukan. Sedangkan daftar nama sultan yang pernah berkuasa di Kesultanan Pelak adalah
sebagai berikut:
1. Sultan Alaiddin Syed Maulana Abdul Azis Shah (840-864)
2. Sultan Alaiddin Syed Maulana Abdul Rahim Shah (864-888)
3. Sultan Alaiddin Syed Maulana Abbas Shah (888-913)
4. Sultan Alaiddin Syed Maulana Ali Mughat Shah (915-918)
5. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Kadir Shah Johan Berdaulat (928-932)
6. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin Shah Johan Berdaulat (932-956)
7. Sultan Makhdum Alaiddin Abdul Malik Shah Johan Berdaulat (956-983)
8. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim Shah Johan Berdaulat (986-1023)
9. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Mahmud Shah Johan Berdaulat (1023-1059)
10. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Mansur Shah Johan Berdaulat (1059-1078)
11. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdullah Shah Johan Berdaulat (1078-1109)
12. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ahmad Shah Johan Berdaulat (1109-1135)
13. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Mahmud Shah Johan Berdaulat (1135-1160)
14. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Usman Shah Johan Berdaulat (1160-1173)
15. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Shah Johan Berdaulat (1173-1200)
16. Sultan Makhdum Alaiddin Abdul Jalil Shah Johan Berdaulat (1200-1230)
17. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin Shah II Johan Berdaulat (1230-1267)
18. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Aziz Johan Berdaulat (1267-1292)
Catatan: Sultan-sultan di atas dibagi menurut dua dinasti, yaitu dinasti Syed Maulana Abdul
Azis Shah dan dinasti Johan Berdaulat, yang merupakan keturunan dari Meurah Perlak asli
(Syahir Nuwi).
Periode Pemerintahan
Sultan Perlak ke-17, Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin Shah II Johan
Berdaulat, melakukan politik persahabatan dengan negeri-negeri tetangga. Ia menikahkan dua
orang puterinya, yaitu: Putri Ratna Kamala dinikahkan dengan Raja Kerajaan Malaka, Sultan
Wilayah Kekuasaan
Sebelum bersatu dengan Kerajaan Samudera Pasai, wilayah kekuasaan Kesultanan
Perlak hanya mencakup kawasan sekitar Perlak saja. Saat ini, kesultanan ini terletak di pesisir
timur daerah aceh yang tepatnya berada di wilayah Perlak, Aceh Timur, Nangroe Aceh
Darussalam, Indonesia.
Kehidupan Sosial-Budaya
Perlak dikenal dengan kekayaan hasil alamnya yang didukung dengan letaknya yang
sangat strategis. Apalagi Perlak sangat dikenal sebagai penghasil kayu perlak, yaitu jenis kayu
yang sangat bagus untuk membuat kapal. Kondisi semacam inilah yang membuat para
pedagang dari Gujarat, Arab, dan Persia tertarik untuk datang ke daerah ini. Masuknya para
pedagang tersebut juga sekaligus menyebarkan ajaran Islam di kawasan ini. Kedatangan
mereka berpengaruh terhadap kehidupan sosio-budaya masyarakat Perlak pada saat itu. Sebab,
ketika itu masyarakat Perlak mulai diperkenalkan tentang bagaimana caranya berdagang. Pada
awal abad ke-8, Perlak dikenal sebagai pelabuhan niaga yang sangat maju.
Model pernikahan percampuran mulai terjadi di daerah ini sebagai konsekuensi dari
membaurnya antara masyarakat pribumi dengan masyarakat pendatang. Kelompok pendatang
bermaksud menyebarluaskan misi Islamisasi dengan cara menikahi wanita-wanita setempat.
Sebenarnya tidak hanya itu saja, pernikahan campuran juga dimaksudkan untuk
mengembangkan sayap perdagangan dari pihak pendatang di daerah ini.
Ada beberapa raja yang pernah memerintah Samudera Pasai, antara lain:
1) Sultan Malik al Saleh (1290 - 1297)
2) Muhammad Malik az Zahir (1297 – 1326)
3) Mahmud Malik az Zahir (1326 – 1345)
4) Mansur Malik az Zahir (…. – 1346)
5) Ahmad Malik az Zahir (1346 – 1383)
6) Zain al Abidin Malik az Zahir (1383 – 1405)
7) Nahrasiyah (1405 – 1412)
8) Sallah ad Din (1412 - …)
9) Abu Zaid Malik az Zahir (… - 1455)
10) Mahmud Malik az Zahir (1455 – 1477)
11) Zain al Abidin (1477 – 1500)
12) Abdullah Malik az Zahir (1501 – 1513)
13) Zain al Abidin (1513 – 1524)
Kehidupan politik yang terjadi di Kerajaan Samudera Pasai dapat dilihat pada masa
pemerintahan raja-raja berikut ini:
1. Sultan Malik al Saleh
Sultan Malik al Saleh merupakan raja pertama di Kerajaan Samudera Pasai. Dalam
menjalankan pemerintahannya, Beliau berhasil menyatukan dua kota besar di Kerajaan
Samudera Pasai, yakni kota Samudera dan kota Pasai, serta menjadikan masyarakatnya
sebagai umat Islam. Setelah beliau mangkat pada tahun 1297, jabatan beliau diteruskan oleh
3. Kerajaan Aceh
Pendiri kerajaan ini ialah Ali Mughayat Syah (1513-1528 M). Pada masa
pemerintahannya, Aceh menyatukan kerajaan-kerajaan disekitarnya, seperti Kesultanan
Samudra Pasai, Perlak, Lamuri, Benua Tamiang dan Indera Jaya. Raja berikutnya Sultan
Alauddin Riayat Syah (1537-1568 M). Dalam masa kekuasaannya, Aceh terus berusaha
mengusir Portugis yang berkeinginan menguasai wilayahnya dan menyerang Johor yang
bersekutu dengan Portugis. Usaha membangun kebesaran Aceh lainnya adalah menjalin
hubungan dengan Turki, Persia, India dan Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa.
Kerajaan Aceh mencapai kejayaannya dibawah Pemerintahan Sultan Iskandar Muda
(1607-1636 M). Pada masa kekuasaanya, wilayah Aceh semakin luas yaitu dari pesisir barat
samudra sampai Bengkulu, pesisir timur Sumatera sampai Siale, Johar, Pahang dan Pattani.
Sultan Iskandar Muda kemudian digantikan oleh Sultan Iskandar Thani (1636-1641 M). Pada
masa kekuasaannya, ia lebih memperhatikan pengembangan dalam negeri ketimbang politik
ekspansi, berkembangnya studi Islam masa pemerintahan Sultan Iskandar Thani karena
didukung oleh kehadiran Nuruddin ar Raniri (seorang ahli tasawuf yang berasal dari Gujarat,
India. Nuruddin ar Raniri pernah singgah di Aceh sekitar tahun 1637 – 1644 M. Nuruddin ar
Raniri banyak menulis buku tasawuf. Hasil karyanya yang terkenal adalah Bustanus Salatin
yang berisi sejarah Aceh). Setelah Sultan Iskandar Thani wafat, kerajaan Aceh mulai
mengalami kemunduran.
4. Kerajaan Malaka
Kerajaan Malaka didirikan oleh Parameswara antara tahun 1380-1403 M. Parameswara
berasal dari Sriwijaya, dan merupakan putra Raja Sam Agi. Saat itu, ia masih menganut agama
Hindu. Ia melarikan diri ke Malaka karena kerajaannya di Sumatera runtuh akibat diserang
Majapahit. Pada saat Malaka didirikan, di situ terdapat penduduk asli dari Suku Laut yang
hidup sebagai nelayan. Mereka berjumlah lebih kurang tiga puluh keluarga. Raja dan
pengikutnya adalah rombongan pendatang yang memiliki tingkat kebudayaan yang jauh lebih
tinggi, karena itu, mereka berhasil mempengaruhi masyarakat asli. Kemudian, bersama
penduduk asli tersebut, rombongan pendatang mengubah Malaka menjadi sebuah kota yang
ramai. Selain menjadikan kota tersebut sebagai pusat perdagangan, rombongan pendatang juga
Keadaan Politik
Dalam menjalankan dan menyelenggarakan politik negara, ternyata para sultan
menganut paham politik hidup berdampingan secara damai (co-existence policy) yang
dijalankan secara efektif. Politik hidup berdampingan secara damai dilakukan melalui
hubungan diplomatik dan ikatan perkawinan. Politik ini dilakukan untuk menjaga keamanan
internal dan eksternal Malaka. Dua kerajaan besar pada waktu itu yang harus diwaspadai adalah
Cina dan Majapahit. Maka, Malaka kemudian menjalin hubungan damai dengan kedua
Hang Tuah
Hang Tuah lahir di Sungai Duyung Singkep. Ayahnya bernama Hang Machmud dan
ibunya bernama Dang Merdu. Kedua orang tuanya adalah rakyat biasa yang hidup sebagai
petani dan penangkap ikan. Keluarga Hang Tuah kemudian pindah ke Pulau Bintan. Di sinilah
ia dibesarkan. Dia berguru di Bukit Lengkuas, Bintan Timur. Pada usia yang masih muda, Hang
Silsilah
Raja/Sultan yang memerintah di Malaka adalah sebagai berikut:
1. Permaisura yang bergelar Muhammad Iskandar Syah (1380—1424)
2. Sri Maharaja (1424—1444)
3. Sri Prameswara Dewa Syah (1444—1445)
4. Sultan Muzaffar Syah (1445—1459)
5. Sultan Mansur Syah (1459—1477)
6. Sultan Alauddin Riayat Syah (1477—1488)
7. Sultan Mahmud Syah (1488—1551)
Periode Pemerintahan
Setelah Parameswara masuk Islam, ia mengubah namanya menjadi Muhammad
Iskandar Syah pada tahun 1406, dan menjadi Sultan Malaka I. Kemudian, ia kawin dengan
putri Sultan Zainal Abidin dari Pasai. Posisi Malaka yang sangat strategis menyebabkannya
cepat berkembang dan menjadi pelabuhan yang ramai. Akhir kesultanan Malaka terjadi ketika
wilayah ini direbut oleh Portugis yang dipimpin oleh Alfonso d’albuquerque pada tahun 1511.
Saat itu, yang berkuasa di Malaka adalah Sultan Mahmud Syah.
Usia Malaka ternyata cukup pendek, hanya satu setengah abad. Sebenarnya, pada tahun
1512, Sultan Mahmud Syah yang dibantu Dipati Unus menyerang Malaka, namun gagal
merebut kembali wilayah ini dari Portugis. Sejarah Melayu tidak berhenti sampai di sini. Sultan
Wilayah Kekuasaan
Dalam masa kejayaannya, Malaka mempunyai kontrol atas daerah-daerah berikut:
1. Semenanjung Tanah Melayu (Patani, Ligor, Kelantan, Trenggano, dan sebagainya).
2. Daerah Kepulauan Riau.
3. Pesisir Timur Sumatra bagian tengah.
4. Brunai dan Serawak.
5. Tanjungpura (Kalimantan Barat).
Sedangkan daerah yang diperoleh dari Majapahit secara diplomasi adalah sebagai berikut.
1. Indragiri.
2. Palembang.
3. Pulau Jemaja, Tambelan, Siantan, dan Bunguran.
5. Kerajaan Inderapura
Kerajaan Inderapura merupakan kerajaan yang berada di wilayah Kabupaten Pesisir
Selatan sekarang, di dekat perbatasan dengan provinsi Bengkulu. Secara resmi kerajaan ini
merupakan bawahan (vazal) Kerajaan Pagaruyung. Pada prakteknya Inderapura berdiri sendiri
serta bebas mengatur urusan dalam dan luar negerinya. Kerajaan ini pada masa jayanya
meliputi wilayah pantai barat Sumatera mulai dari Padang di utara sampai Sungai Hurai di
selatan. Produk terpenting Inderapura adalah lada, dan juga emas.
Pemerintahan
Pada akhir abad ketujuh belas pusat wilayah Inderapura, yang mencakup lembah sungai
Airhaji dan Batang Inderapura, terdiri atas dua puluh koto. Masing-masing koto diperintah oleh
seorang menteri, yang berfungsi seperti penghulu di wilayah Minangkabau lainnya. Daerah
Anak Sungai, yang mencakup lembah Manjuto dan Airdikit (disebut sebagai Negeri Empat
Belas Koto), dan Muko-muko (Lima Koto). Sistem pemerintahan di sini tak jauh berbeda. Di
bagian paling selatan pemerintahan dilakukan sesuai dengan adat Sumatera Selatan. Desa-desa
berada di bawah wewenang peroatin (kepala yang bertanggung jawab menyelesaikan sengketa
Pada penghujung abad ketujuh belas para peroatin masih berfungsi sebagai kepala wilayah.
Namun tugas-tugas menteri mulai bergeser seiring dengan proses terlepasnya Inderapura
menjadi kerajaan terpisah dari Pagaruyung. Menteri Dua Puluh Koto di Inderapura bertindak
sebagai penasihat kerajaan. Menteri Empat Belas Koto bertugas mengatur rumah tangga istana,
sedangkan Menteri Lima Koto bertanggung jawab atas pertahanan.
6. Kerajaan Demak
Kerajaan Demak merupakan kerajaan islam pertama di Jawa. Pendirinya ialah Raden
Fatah (1478 – 1518 M). Kerajaan ini memiliki wilayah yang luas dan membentang di pesisir
8. Kerajaan Cirebon
Awalnya Cirebon merupakan bagian dari kerajaan Pajajaran. Pada abad ke- 16, Cirebon
berkembang menjadi pelabuhan yang ramai dan pusat perdagangan di pantai Jawa Barat bagian
utara. Setelah jumlah pedagang semakin banyak dan proses Islamisasi berkembang terus,
Sunan Gunung Jati segera membentuk pemerintahan kerajaan Islam Cirebon.
Cirebon dan Demak memiliki hubungan dekat. Secara ekonomi, pelabuhan Banten
dijadikan sebagai pelabuhan bagi perkembangan ekonomi Demak di wilayah Cirebon, sebelum
pelabuhan ini berdiri sendiri sebagai kerajaan. Adapun secara politik dan budaya, hubungannya
terjadi melalui perkawinan. Pada tahun 1524 M, Sunan Gunung Jati menikahi saudara
perempuan raja Demak. Dari perkawinan tersebut, Sunan Gunung Jati memperoleh anak
bernama Hasanuddin yang kemudian dinobatkan sebagai Sultan Banten, setelah Demak
merebut Banten dari penguasa Pajajaran. Adapun Sunan Gunung Jati, setelah meletakkan
dasar-dasar pemerintahan kesultanan Banten segera membentuk pemerintahan di Cirebon pada
tahun 1552 M. Masih ada perbedaan pendapat mengenai apakah Sunan Gunung Jati dengan
Fatahillah sama orangnya atau berbeda ? Selama ini terdapat dua versi mengenai tokoh
tersebut. Versi pertama dikemukakan oleh sejarawan Hoesien Djajadiningrat (1913) yang
merujuk pada sumber-sumber yang dikemukakan oleh catatan sejarah bangsa Portugis dan
sumber-sumber lainnya mengatakan bahwa Sunan Gunung Jati ialah sama dengan Fatahillah,
Falatehan, Tagaril, atau Syarif Hidayatullah. Versi kedua dikemukakan oleh sejarawan Atja
(1972) dan Edi S. Ekadjati (2000) mengatakan bahwa Fatahillah dan Sunan Gunung Jati ialah
dua orang yang berbeda, walaupun keduanya ialah sama-sama tokoh penyebar Islam di
Cirebon. Versi kedua ini didukung oleh Babad Cirebon dan naskah Carita Purwaka Caruban
Nagari.
9. Kerajaan Banten
Hasanuddin sebagai anak dari Sunan Gunung Jati dianggap sebagai raja dari
Kerajaan/Kesultanan Banten yang pertama. Adapun Sunan Gunung Jati dianggap sebagai
pendiri kerajaan Banten. Seperti halnya ayahnya, Hasanuddin memiliki hubungan keluarga
1. Masjid
Dalam bidang arsitektur atau seni bangun, peninggalan yang sangat berharga, yaitu
arsitektur bangunan masjid yang merupakan perpaduan antara seni bangun dari berbagai
kawasan dunia Islam dan kebudayaan setempat. Contoh bangunan Masjid Agung Cirebon,
Masjid Agung Banten dan Menara Kudus yang mengadopsi kebudayaan setempat. Contoh
lainnya, bentuk bangunan gerbang Masjid Sumenep yang mengadopsi gaya Portugis. Adapun
gaya India dan Eropa tampak pada arsitektur Masjid Penyengat dan Masjid Baiturrahman.
Ciri khas dari bangunan masjid kuno di nusantara adalah sebagai berikut :
1. Disekitar masjid (kecuali bagian barat) biasanya terdapat tanah lapang (alun-alun).
2. Letak masjid tepat ditengah-tengah kota atau dekat dengan istana.
3. Dikiri kanan masjid terdapat menara sebagai tempat menyerukan panggilan shalat.
4. Didalam masjid terdapat barisan tiang yangmengelilingi tiang induk yang disebut
soko guru.
5. Atap masjid awalnya beratap tumpeng
6. Halaman masjid dikelilingi pagar tembok dengan satu atau dua pintu gerbang.
7. Mesjid mempunyai denah bujur sangkar.
3. Batu Nisan
Batu nisan adalah bangunan terbuat dari batu yang berdiri di atas makam. Nisan
berfungsi sebagai tanda adanya suatu makam seseorang yang sudah meninggal. Bentuk nisan
juga bermacam-macam. Nisan-nisan yang bercorak Islam biasanya dihiasi dengan tulisan Arab
dalam bentuk kaligrafi.
Batu Nisan Makam Sultan Malik Al-Saleh Batu Nisan Makam Fatimah binti Mamun
5. Seni Sastra
Peninggalan karya sastra bercorak Islam di Nusantara dapat dibagi ke dalam empat
kelompok, yaitu:
a. Hikayat c. Syair
b. Babad d. Suluk