Anda di halaman 1dari 7

I.

Pendahuluan

SBY atau Susilo Bambang Yudhoyono adalah presiden pertama Indonesia yang dipilih
melalui pemilihan umum (pemilu). SBY memenangkan pemilihan umum dua periode
berturut-turut. Pertama, 2004-2009 SBY berpasangan dengan Jusuf Kalla (JK). Dan periode
kedua, 2009-2014 SBY berpasangan dengan Boediono.

Didalam masa kepemerintahannya SBY mendapatkan berbagai macam hambatan yang


terjadi, seperti masalah ekonomi, politik, sosial budaya maupun dibidang pertahanan dan
keamanan. Didalam bidang pertahanan dan keamanan isu yang hangat dibicarakan pada saat
itu adalah isu terorisme. Pada saat itu, di Indonesia sedang marak terjadinya kasus terorisme,
banyak sekali teroris yang masuk ke Indonesia, misalnya Amrozi, Imam Samudra dan lain-
lain. Di dunia Internasional kasus terorisme bukanlah hal yang baru lagi. Kasus terorisme di
dunia Internasional yang sering untuk dibicarakan adalah peristiwa World Trade Center
(WTC) di New York, Amerika Serikat, yang terjadi pada tanggal 11 September 2001.

Sedangkan di Indonesia pada era SBY kasus terorisme yang menjadi berita aktual yang
sering dibicarakan adalah bom yang terjadi di Kedutaan Besar Australia pada tahun2004,
bom yang terjadi Bali pada tahun 2005 dan bom yang terjadi di Cirebon pada tahun 2011.
Dengan adanya berbagai serangan teror yang dilakukan oleh para terorisme tersebut,
pemerintah membentuk satuan kesatuan khusus yang dinamakan Detasemen Khusus 88 atau
Densus 88. Densus 88 adalah satuan khusus Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk
penanggulangan teroris di Indonesia. pasukkan khusus berompi merah ini dilatih khusus
untuk menangani segala macam teror, termasuk teror bom.

Terdapat beberapa faktor yang dapat menyebabkan terbentuknya terorisme, yaitu:

1. Faktor ekonomi
Faktor ekonomi merupakan motif utama bagi para terorisme dalam menjalankan misi
mereka. Keadaan yang semakin tidak menentu dan kehidupan sehari-hari yang
semakin membuat resah manusia untuk melakukan apapun. Dengan demikian
pemerintah harus bekerja keras untuk merumuskan rehabilitasi masyarakatnya.
Kemiskinan membuat manusia melakukan perbuatan yang tidak seharusnya
dilakukan, seperti membunuh, mengancam orang, bunuh diri dan sebagainya.

2. Faktor sosial
Keadaan lingkungan dimana kita tinggal juga dapat menjadi salah satu faktor
terbentuknya terorisme. Dalam kehidupan sehari-hari yang kita jalani terdapat
pranata sosial yang membentuk pribadi kita menjadi sama. Misalnya saja
dilingkungan tempat kita tinggal terdapat kelompok radikal atau garis keras, maka
secara tidak langsung kepribadian dan tujuan hidup kita akan ikut terbentuk
berdasarkan kepribadian dan tujuan hidup kelompok radikal tersebut.
3. Faktor Ideologi
Faktor ideologi menjadikan seseorang yakin dengan apa yang diperbuatnya.
Perbuatan yang mereka lakukan berdasarkan dengan apa yang sudah disepakati dari
awal dalam perjanjian. Dalam setiap kelompok mempunyai visi dan misi masing-
masing yang tidak terlepas dengan ideologi yang dianutnya. Dalam hal ini terorisme
yang ada di Indonesia dengan keyakinannya yang berdasarkan Jihad yang mereka
miliki.

II. Pembahasan
Hubungan diplomatik antara Indonesia dengan Amerika Serikat (AS) telah terbina sejak
sebelum Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada tahun 1945. Secara resmi,
hubungan diplomatik kedua negara ditandai dengan pembukaan Kedutaan Besar di masing-
masing negara. Pada tanggal 28 Desember 1949, Amerika Serikat membuka Kedutaan Besar
di Jakarta dan menunjuk Duta Besar AS pertama untuk Indonesia yaitu Horace Merle
Cochran. Pada tanggal 20 Februari 1950, Indonesia menunjuk Dr. Ali Sastroamidjojo sebagai
Duta Besar RI pertama untuk AS.

Dalam hubungan diplomatik dengan Amerika Serikat, banyak terjalin kerjasama di


berbagai aspek yang salah satunya adalah dalam aspek pertahanan dan keamanan. Aspek ini
mencakup upaya Indonesia dan Amerika dalam memberantas kasus terorisme. Pada era
kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Indonesia dan Amerika
menjalin sejumlah kerjasama diplomatik yang ternyata membuahkan hasil positif untuk
kedua belah pihak.

Secara garis besar, Amerika memberikan sejumlah bantuan peralatan dan pelatihan kepada
Indonesia dalam memberantas terorisme. Strategi Amerika Serikat bukan sekedar menangani
ancaman nyata. Yang lebih tandas dari itu adalah mengalahkan sumber ancaman itu. Namun,
sayangnya, fokus yang amat terarah ke garis depan dalam memerangi terorisme membuat
orang sulit memahami strategi Amerika Serikat. Walau Pemerintah Amerika Serikat
tampaknya berhasil mengembangkan strategi kebijakan luar negeri yang masuk akal, tak
mudah membuat orang mengerti kebijakan tersebut.

Kerjasama keamanan antara Indonesia dengan Amerika Serikat dikukuhkan melalui


penandatanganan LoI between INP and FBI on Mutual Cooperation in Capacity Building
and Combating Transnational Crimes pada bulan Maret 2011 yang melandasi kerjasama
Badan Penyelidik Federal (FBI) AS dengan Polri (Densus 88) dalam pemberantasan
terorisme. Serta pada tahun 2012, program Bantuan Anti-terorisme dari Departemen Luar
Negeri Amerika Serikat memberikan pelatihan dan peralatan kepada 545 anggota Polri. Para
lulusan program ini hingga kini memberikan pelatihan kepada rekan-rekan mereka dalam hal
kemampuan menangkal terorisme, seperti tanggap krisis, anjing pelacak (K-9), dan
penyelidikan ledakan.

Sebelumnya, pihak Amerika Serikat telah memberikan bantuan kepada beberapa perwira
polisi di beberapa Polda yang diwujudkan dalam bentuk International Criminal Investigative
Training Assistance Programs (ICITAP) atau Program Bantuan Pelatihan Investigasi
Kriminal Internasional pada tahun 2004. Sekitar 1.500 perwira Polri mengikuti acara
pelatihan dengan dididik oleh 13 instruktur asing (AS) dari ICITAP dan beberapa instruktur
lokal Polri.

Program Office of Overseas Prosecutorial Development Assistance and Training (OPDAT)


dari Departemen Kehakiman, yang juga mendapat dana dari Departemen Luar Negeri
memberikan bantuan aturan hukum, seperti pelatihan bagi jaksa kasus terorisme, mendukung
program keamanan pengadilan, serta memberikan nasihat dalam penyitaan aset,
pemberantasan pencucian uang, dan legislasi pembiayaan terorisme. Dana U.S. Foreign
Military Financing (FMF) dan International Military Education and Training (IMET) juga
digunakan untuk melatih profesionalisme dan keahlian teknis militer Indonesia, seraya
meningkatkan kemampuan operasional secara keseluruhan.

Dalam hal ini Indonesia dan Amerika Serikat saling bertukar pengalaman dalam
memberantas terorisme di negara masing-masing, lalu menggabungkannya menjadi suatu
kekuatan baru. Amerika yang memiliki trauma dengan kejadian 9/11 kemudian memiliki
gerakan anti-terorisme. Begitu pula dengan Indonesia yang sudah merasakan teror bom di
beberapa wilayah domestik, contohnya adalah bom Bali 2 dan bom di Cirebon.

Dalam hal menanggulangi penyebaran terorisme di Indonesia, Amerika Serikat dan


Indonesia telah mengadakan kerja sama melalui IMET dan Garuda Shield untuk melatih TNI
menghadapi bahaya terorisme di kawasan Asia Pasifik. Pembukaan kembali hubungan
Amerika Serikat dengan Kopasus juga didasari bahwa kopasus merupakan pasukan khusus
Indonesia yang menangani permasalahan terorisme, sehingga cepat atau lambat pemerintah
Amerika Serikat harus kembali melanjutkan hubungan. Pemasangan instalasi radar di
wilayah Indonesia juga telah dilakukan oleh Amerika Serikat. Pemasangan radar di di lepas
pantai Sulawesi dan Selat Malaka bertujuan untuk meningkatkan jangkauan pengawasan
Indonesia terhadap tindakan-tindakan terorisme yang terjadi di wilaya Tri-Border Region
antara Indonesia Malaysia dan Filipina.

Selain pelatihan, Amerika Serikat yang merupakan negara pemberi bantuan terbesar dalam
hal kekuatan keamanan nasional Indonesia terkait terorisme juga memberikan bantuan berupa
persenjataan lengkap (alutsista). Tujuan Amerika Serikat dalam memberikan bantuan alutsista
ini adalah agar Indonesia mampu mencegar masuknya aksi teror dari luar negeri.
Berikut daftar beberapa alutsista milik Indonesia pada era kepemimpinan Presiden SBY
yang merupakan bantuan dari Amerika Serikat:

1. F-16C Block 25+ Fighting Falcon (24)


2. AH-64D Apache Longbow fully armed (24)
3. Oliver Hazard Perry frigates (7)
4. C-130H-30 Hercules (28)
5. M-198 155mm howitzer system (160)
6. M113 APC (220)
7. F-16C Block 52 Fighting Falcon (36)
8. F-35A Lightning II (20)
9. M1A1 Abrams MBT (280)

III. Kesimpulan

Indonesia dan Amerika Serikat menjalin hubungan diplomatik dalam banyak aspek sejak
masa awal kemerdekaan, salah satunya dalam aspek pertahanan dan keamanan. Dalam
gerakan anti-teroris, Indonesia dan Amerika Serikat membagi pengalaman masing-masing
dalam menangani terorisme dan menggabungkannya untuk mendapat kekuatan baru. Hal ini
dicapai dengan cara pelatihan yang diberikan Amerika Serikat kepada Indonesia.

Tercatat bahwa ada sekitar 1.500 perwira Polri yang mengikuti acara pelatihan tersebut
dengan dididik oleh 13 instruktur asing (AS) dari ICITAP dan beberapa instruktur lokal Polri.
Tidak hanya itu, program OPDAT dari Departemen Kehakiman juga memberikan bantuan
aturan hukum, seperti pelatihan bagi jaksa kasus terorisme, mendukung program keamanan
pengadilan, serta memberikan nasihat dalam penyitaan aset, pemberantasan pencucian uang,
dan legislasi pembiayaan terorisme.

Selain bantuan pelatihan militer, Amerika Serikat juga memberikan bantuan berupa
alutsista untuk mencegah masuknya ancaman teror dari luar wilayah domestik Indonesia. Dan
juga dalam hal menanggulangi penyebaran terorisme di Indonesia, Amerika Serikat dan
Indonesia telah mengadakan kerja sama melalui IMET dan Garuda Shield untuk melatih TNI
menghadapi bahaya terorisme di kawasan Asia Pasifik.

Daftar Pustaka

http://indonesian.jakarta.usembassy.gov/news/pr_09032012.html

http://education.embassyofindonesia.org/2013/10/hubungan-amerika-serikat-dengan-
indonesia-sebulum-dan-sesudah-embargo-senjata-dikaji-dalam-didang-militer/
http://www.kompasiana.com/noorkholis_ridho/peran-amerika-serikat-dalam-memerangi-
terorisme-di-indonesia_55006ae5a333111773510bb8

http://jakartagreater.com/list-penawaran-dan-rencana-pengadaan-alutsista-dari/

Hubungan Diplomatik Indonesia dan Amerika


Serikat dalam Menangani Terorisme
Disusun Oleh:
Ega Rani Aprilia (201422058)
Fazrinie Ali (201422064)

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik


Universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama)
Jakarta, 2016

Anda mungkin juga menyukai