Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN KASUS

REGIONAL ANESTESI DENGAN TEKNIK SPINAL PADA PASIEN


LAKI- LAKI 41 TAHUN DENGAN HEMOROID INTERNA GRADE IV

Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

Kepaniteraan Klinik Ilmu Anestesi

Pembimbing:

dr. E. Cendra Permana Widyanaputra, Sp. An

Diajukan Oleh:

Nur Anadya Berlianawati J 510 165 012

Dwi Ayu Metasari J 510 165 088

KEPANITERAAN KLINIK ANESTESIOLOGI DAN REANIMASI


RSUD SUKOHARJO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2016
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN KASUS

REGIONAL ANESTESI DENGAN TEKNIK SPINAL PADA PASIEN


LAKI- LAKI 41 TAHUN DENGAN HEMOROID INTERNA GRADE IV

Disusun Oleh:

Nur Anadya Berlianawati J 510 165 012

Dwi Ayu Metasari J 510 165 088

Telah disetujui dan disahkan oleh bagian Program Pendidikan Profesi


Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta

Pada hari..................tanggal..........................2016

Pembimbing :
dr. E. Cendra, Sp. An (.............................................)

Dipresentasikan dihadapan :
dr. E. Cendra, Sp. An (.............................................)

Disahkan Ka Program Profesi :


dr. Dona Dewi Nirlawati (.............................................)

LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. B I
Umur : 41 tahun
Jenis Kelamin : Laki laki
Alamat : Combongan Sukoharjo
Agama : Islam
Status Perkawinan : Belum Kawin
No. RM : 263XXX
Tanggal Masuk RS : 27 Oktober 2016
Tanggal Operasi : 31 Oktober 2016

B. ANAMNESIS
1. Keluhan utama :
Keluar benjolan dari anus
2. Keluhan tambahan : Tidak ada
3. Riwayat penyakit sekarang :
4. Pasien datang dengan keluhan terdapat benjolan yang keluar dari anus.
Keluhan dirasakan pasien sejak kelas 5 SD dan semakin membesar. Pada
tahun 2014 pernah keluar darah segar pada saat BAB. Keluhan memberat
3 bulan terakhir, ukuran benjolan sebesar ujung jari dan Benjolan keluar
dari anus namun tidak bisa masuk kembali secara spontan. Lendir darah
saat defekasi (+) banyak. Pasien tidak mengalami kesulitan BAB, feses
terasa keras, dan diperlukan mengedan yang kuat saat defekasi. Pasien
jarang mengkonsumsi sayuran dan buah. Keluhan disertai penurunan nafsu
makan, penurunan berat badan, maupun badan lemas.
5. Riwayat penyakit dahulu:
o Riwayat penyakit darah tinggi : Disangkal
o Riwayat penyakit DM : Disangkal
o Riwayat penyakit alergi : Disangkal
o Riwayat penyakit asma : Diakui
o Riwayat operasi sebelumnya : Disangkal
6. Riwayat penyakit keluarga :
o Riwayat penyakit darah tinggi : Disangkal
o Riwayat penyakit DM : Disangkal
o Riwayat penyakit alergi : Disangkal
7. Anamnesis sistem:
o Sistem serebrospinal : nyeri kepala (-), pusing (-), demam
(-)
o Sistem respirasi : batuk (-), pilek (-), sesak nafas (-)
o Sistem kardiovaskuler : nyeri dada (-), berdebar-debar (-)
o Sistem pencernaan : mual (-), muntah (-), nyeri perut (-)
o Sistem urogenital : BAK dalam batas normal
o Sistem musculoskeletal : nyeri sendi dan otot (-), ROM
normal
o Sistem integumentum : ikterik (-), sianosis (-), akral hangat
(+)

C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Status Generalis
Keadaan Umum :Baik
Kesadaran : Compos Mentis
2. Vital Sign
Tekanan darah :120/80mmHg
Respirasi :16kali/menit
Nadi :88x/menit
Suhu : 36,60C
3. Keadaan Umum
Kepala :
Bentuk : mesosefal, simetris, deformitas (-), tanda trauma(-)
Rambut : hitam, distribusi rata, tidak mudah dicabut
Mata : konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-)
Mulut : tidak ada gangguan dalam membuka
rahang, tampak arkus faring, uvula dan
palatum molle, darah (-), susunan gigi baik
Leher
Pembesaran KGB (-)
Thorax : tanda trauma (-)
Jantung
Inspeksi : iktus kordis tidak tampak
Palpasi : iktus kordis tidak kuat angkat
Perkusi : batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : bunyi jantung I-II regular, bising (-)
Pulmo
Inspeksi : simetris, tanda trauma (-) ketinggalan gerak (-),
retriksi (-)
Palpasi : fremitus kanan = kiri
Perkusi : dalam batas normal
Auskultasi : vesikuler (+), suara tambahan (-)
Abdomen : tanda trauma (-)
Inspeksi : simetris, sejajar dengan dinding thorax, sikatrik (-)
Auskultasi : peristaltic (+) meningkat
Palpasi : nyeri tekan (-)
Perkusi : timpani, pekak beralih (-)
Ekstremitas
Akral hangat
Edema (-/-), sianosis (-/-), deformitas (-/-)

D. HASIL LABORATORIUM
Pemeriksaan Nilai Nilai Rujukan
Leukosit 6,3 103/ul 3,8 -10,6
Eritrosit 4,26 106 / mm3 4,4-5,9
Hemoglobin 11,9 g/dL 13, 2 17,3
Trombosit 319 103/ul 150-450
Hematokrit 36,8 % 40-52
Glukosa 98 mg/dl 70-120
PT (Pasien) 10,20 detik 9,40-11,30
APTT (Pasien) 33,60 detik 26,40-37,50
Golongan Darah B
HBsAg Non reaktif

E. DIAGNOSIS
Hemoroid interna grade IV
F. TERAPI
Pasien ini dilakukan Hemoroidektomi dengan stapler dengan regional
anastesi
G. KESIMPULAN
Berdasarkan status fisik pasien praanastesi, pasien tersebut
diklasifikasikan dalam status fisik ASA II. Operasi hemoroidektomi
dengan regional anastesi.
H. DURANTE OPERASI
1. Pre operatif
Informed consent / persetujuan tindakan operasi dan anestesi
Pasien puasa 8 jam pre operatif, untuk mencegah aspirasi lambung
dari regurgitasi dan muntah
Keadaan umum dan vital sign baik (TD 120/80 mmHg, N 88x/menit,
RR 16 x/menit, S 36,6C)
Resusitasi cairan : Infus RL
Preloading cairan (pasien 55 kg):
= 10 x BB
= 10 x 55
= 550 cc
Pengganti puasa (PP)
= 2 cc x BB/jam
= 2 x 55
= 110 cc/jam
= 880 cc/ 8jam
Stresss operatif (SO) (jenis operasi besar) :
= 8 x BB/jam
= 8 x 55
= 440 cc
Maitenance (M)

= 2xBB/jam

= 2x55

= 110 cc/ jam

2. Kronologi jalannya operasi :


a. Pasien masuk ke ruang OK, diposisikan di atas meja operasi, di ukur
kembali tekanan darah nadi dan saturasi.
TD : 122/77 mmHg, N : 84 x/menit, Saturasi O2 : 100%
b. Persiapan obat yang digunakan :
- Bupivacaine HCl 0,5 %
- Ketorolac 30 mg
- Ondancetron 4 mg
c. Premedikasi
Pasien diberikan premedikasi berupa injeksi ondansetron 4 mg dan
ketorolac 30 mg.

d. Induksi
Pasien diminta untuk duduk dan membungkuk agar tulang belakang
lebih menonjol. Dilakukan tindakan aseptik pada daerah yang akan
diinjeksi. Dilakukan spinal anestesi menggunakan jatum spinal ukuran
25 G dalam ruang sub arachnoid di antara daerah vertebra L2-L3,
setelah cairan LCS tampak keluar melalui jarum, maka diinjeksikan
bupivacine HCl 0,5 %. Setelah jarum dicabut, bekas injeksi ditutup
dengan plester, kemudian pasien diminta untuk tidur terlentang diatas
meja operasi dengan kepala di atas bantal. Setelah pasien tidak
memberikan respon sensorik msupun motorik, maka tindakan operasi
dapat dilakukan.
e. Untuk mempertahankan oksigenasi, pasien diberikan oksigen 2L/menit.
f. Selama tindakan berlangsung, tekanan darah dan nadi diawasi setiap 5
menit. Pada pasien ini, tekanan darah berada dalam kondisi yang relatif
stabil dikisaran 100-130 mmHg, nadi berada dikisaran 60-80 kali/menit
dengan saturasi oksigen 98-100%. Selama operasi berlangsung terjadi
perdarahan yang tidak terlalu masif.
g. Operasi berjalan 40 menit.
3. Post operatif
a. Setelah operasi, pasien dipindahkan ke recovery room
b. Monitoring keadaan umum pasien dengan Bromage score, jika skor
<3 pasien boleh keluar dari recovery room.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. ANESTESI REGIONAL
A. Definisi
Anestesi regional adalah hambatan impuls nyeri suatu bagian tubuh
sementara pada impuls syaraf sensorik, sehingga impuls nyeri dari satu
bagian tubuh diblokir untuk sementara (reversibel). Fungsi motorik dapat
terpengaruh sebagian atau seluruhnya. Tetapi pasien tetap sadar.
B. Pembagian anestesi regional
Blok sentral (blok neuroaksial), yaitu meliputi blok spinal, epidural, dan
kaudal. Tindakan ini sering dikerjakan.
Blok perifer (blok saraf), misalnya blok pleksus brakialis, aksiler,
analgesia regiona intravena, dan lainnya
2. ANESTESI SPINAL/SUBARAKNOID
A. Definisi
Anestesi spinal atau disebut juga subarachnoid block adalah teknik
anestesi regional dengan menyuntikkan obat analgetik lokal ke dalam
ruang subarachnoid di daerah antara vertebrae L2-L3 / L3-4 (obat lebih
mudah menyebar ke kranial) atau L4-5 (obat lebh cenderung berkumpul
di kaudal). Indikasi penggunaan teknik anestesi spinal adalah untuk
pembedahan pada daerah abdominal bawah dan inguinal, anorektal dan
genitalia eksterna, serta ekstremitas inferior.
Anastesi spinal dengan ukuran jarum (spinocan) 22-29 dengan
Pencil point atau Quincke point. insersi dilakukan dengan
menyuntikkan jarum sampai ujung jarum mencapai ruang subarachnoid
yanag ditandai dengan keluarnya cairan LCS.

B. Indikasi
Bedah ekstremitas bawah
Bedah panggul
Tindakan sekitar rektum perineum
Bedah obstetrik-ginekologi
Bedah urologi
Bedah abdomen bawah
Pada bedah abdomen atas dan bawah pediatrik biasanya dikombinasikan
dengan anesthesia umum ringan.
C. Kontra indikasi
Kontra indikasi pada teknik anestesi subaraknoid blok terbagi menjadi dua
yaitu kontra indikasi absolut dan relative
Kontra indikasi absolut :
Infeksi pada tempat suntikan. : Infeksi pada sekitar tempat suntikan
bisa menyebabkan penyebaran kuman ke dalam rongga subdural.
Hipovolemia berat karena dehidrasi, perdarahan, muntah ataupun
diare. : Karena pada anestesi spinal bisa memicu terjadinya
hipovolemia.
Koagulapatia atau mendapat terapi koagulan.
Tekanan intrakranial meningkat. : dengan memasukkan obat kedalam
rongga subaraknoid, maka bisa makin menambah tinggi tekanan
intracranial, dan bisa menimbulkan komplikasi neurologis
Fasilitas resusitasi dan obat-obatan yang minim : pada anestesi spinal
bisa terjadi komplikasi seperti blok total, reaksi alergi dan lain-lain,
maka harus dipersiapkan fasilitas dan obat emergensi lainnya
Kurang pengalaman tanpa didampingi konsulen anestesi. : Hal ini
dapat menyebabkan kesalahan seperti misalnya cedera pada medulla
spinalis.
Pasien menolak.
Kontra indikasi relatif :
Infeksi sistemik : jika terjadi infeksi sistemik, perlu diperhatikan
apakah diperlukan pemberian antibiotic. Perlu dipikirkan
kemungkinan penyebaran infeksi.
Infeksi sekitar tempat suntikan : bila ada infeksi di sekitar tempat
suntikan bisa dipilih lokasi yang lebih kranial atau lebih kaudal.
Kelainan neurologis : perlu dinilai kelainan neurologis sebelumnya
agar tidak membingungkan antara efek anestesi dan deficit neurologis
yang sudah ada pada pasien sebelumnya.
Kelainan psikis
Bedah lama : Masa kerja obat anestesi local adalah kurang lebih 90-
120 menit, bisa ditambah dengan memberi adjuvant dan durasi bisa
bertahan hingga 150 menit.
Penyakit jantung : perlu dipertimbangkan jika terjadi komplikasi kea
rah jantung akibat efek obat anestesi local.
Hipovolemia ringan : sesuai prinsip obat anestesi, memantau
terjadinya hipovolemia bisa diatasi dengan pemberian obat-obatan
atau cairan
Nyeri punggung kronik : kemungkinan pasien akan sulit saat
diposisikan. Hal ini berakibat sulitnya proses penusukan dan apabila
dilakukan berulang-ulang, dapat membuat pasien tidak nyaman
D. Anatomi
Susunan anatomis pada bagian yang akan dilakukan anestesi spinal.
Kutis
Subkutis : Ketebalannya berbeda-beda, akan lebih mudah meraba ruang
intervertebralis pada pasien yang memiliki lapisan subkutis yang tipis.
Ligamentum Supraspinosum: Ligamen yang menghubungkan ujung
procesus spinosus.
Ligamentum interspinosum
Ligamentum flavum : Ligamentum flavum cukup tebal, sampai sekitar 1
cm. Sebagian besar terdiri dari jaringan elastis. Ligamen ini berjalan
vertikal dari lamina ke lamina. Ketika jarum berada dalam ligamen ini,
akan terasa sensasi mencengkeram dan berbeda.
Epidural : Ruang epidural berisi pembuluh darah dan lemak. Jika darah
yang keluardari jarum spinal bukan CSF, kemungkinan vena epidural telah
tertusuk. Jarum spinal harus maju sedikit lebih jauh.
Duramater
Subarachnoid : merupakan tempat menyuntikkan obat anestesi spinal.
Pada ruangan ini akan dijumpai likuor sereberospinalis (LCS) pada
penusukan.
E. Persiapan anestesi spinal
Persiapan yang dibutuhkan untuk melakukan anestesi spinal adalah ;
Informed consent : Pasien sebelumnya diberi informasi tentang tindakan
ini (informed consent) meliputi tindakan anestesi, kemungkinan yang
akan terjadi selama operasi tindakan ini dan komplikasi yang mungkin
terjadi.
Pemeriksaan fisik : Pemeriksaan fisik dilakukan meliputi daerah kulit
tempat penyuntikan untuk menyingkirkan adanya kontraindikasi
seperti infeksi. Perhatikan juga adanya gangguan anatomis seperti
scoliosis atau kifosis,atau pasien terlalu gemuk sehingga tonjolan
processus spinosus tidak teraba.
Pemeriksaan laboratorium anjuran: Pemeriksaan laboratorium yang
perlu dilakukan adalah penilaian hematokrit, Hb , masa protrombin
(PT) dan masa tromboplastin parsial (PTT) dilakukan bila diduga
terdapat gangguan pembekuan darah.

Persiapan yang dibutuhkan setelah persiapan pasien adalah persiapan alat


dan obat-obatan. Peralatan dan obat yang digunakan adalah :
1. Satu set monitor untuk memantau tekanan darah, Pulse oximetri, EKG.
2. Peralatan resusitasi / anestesia umum.
3. Jarum spinal. Jarum spinal dengan ujung tajam (ujung bambu runcing,
quincke bacock) atau jarum spinal dengan ujung pinsil (pencil point
whitecare), dipersiapkan dua ukuran. Dewasa 26G atau 27G
4. Betadine, alkohol untuk antiseptic.
5. Kapas/ kasa steril dan plester.
6. Obat-obatan anestetik lokal.
7. Spuit 3 ml dan 5 ml.
8. Infus set.

F. Obat-obat pada anestesi spinal


Obat-obat anestesi lokal yang digunakan pada pembedahan harus
memenuhi syarat-syarat yaitu blokade sensorik dan motorik yang adekuat,
mula kerja yang cepat, tidak neurotoksik, dan pemulihan blokade motorik
yang cepat pascaoperasi sehingga mobilisasi lebih cepat dapat dilakukan dan
risiko toksisitas sistemik yang rendah.
Obat anestesi lokal yang digunakan dibagi ke dalam dua macam, yakni
golongan ester seperti kokain, benzokain, prokain, kloroprokain, ametokain,
tetrakain dan golongan amida seperti lidokain, mepivakain, prilokain,
bupivakain, etidokain, dibukain, ropivakain, levobupivakain. Perbedaannya
terletak pada kestabilan struktur kimia. Golongan ester mudah dihidrolisis
dan tidak stabil dalam cairan, sedangkan golongan amida lebih stabil.
Golongan ester dihidrolisa dalam plasma oleh enzim pseudo-kolinesterase
dan golongan amida dimetabolisme di hati. Di Indonesia golongan ester yang
paling banyak digunakan ialah prokain, sedangkan golongan amida tersering
ialah lidokain dan bupivakain.
Jenis anestesi lokal

Prokain Lidokain Bupivakain

Golongan Ester Amida Amida

Mula kerja 2 menit 5 menit 15 menit

Lama kerja 30-45 menit 45-90 menit 2-4 jam

Metabolisme Plasma Hepar Hepar

Dosis maksimal 12 6 2
(mg/kgBB)

Potensi 1 3 15

Toksisitas 1 2 10

Anestetik lokal yang paling sering digunakan

Anestetik lokal Berat jenis Sifat Dosis

Lidokain

2% plain 1.006 Isobarik 20-100 mg (2-5 ml)

5% dalam 1.033 Hiperbarik 20-50 mg (1-2 ml)


dekstrosa 7,5%

Bupivakain
0.5% dalam air 1.005 Isobarik 5-20 mg (1-4 ml)

0.5% dalam 1.027 Hiperbarik 5-15 mg (-3 ml)


dekstrosa 8.25%

G. Teknik anestesi spinal


Posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan pada garis
tengah ialah posisi yang paling sering dikerjakan. Biasanya dikerjakan di atas
meja operasi tanpa dipindah lagi dan hanya diperlukan sedikit perubahan posisi
pasien.

Posisi Lateral pada Spinal Anestesi

Posisi Duduk pada Spinal Anestesi


Teknik penusukan bisa dilakukan dengan dua pendekatan yaitu median
dan paramedian. Pada teknik medial, penusukan dilakukan tepat di garis tengah
dari sumbu tulang belakang. Pada tusukan paramedial, tusukan dilakukan 1,5cm
lateral dari garis tengah dan dilakukan tusukan sedikit dimiringkan ke kaudal.

Tusukan Medial dan Paramedial


Setelah melakukan penusukan, tindakan berikutnya adalah melakukan
monitoring. Tinggi anestesi dapat dinilai dengan memberikan rangsang pada
dermatom di kulit. Penilaian berikutnya yang sangat bermakna adalah fungsi
motoric pasien dimana pasien merasa kakinya tidak bisa digerakkan, kaki terasa
hangat, kesemutan, dan tidak terasa saat diberikan rangsang. Hal yang perlu
diperhatikan lagi adalah pernapasan, tekanan darah dan denyut nadi. Tekanan
darah bisa turun drastis akibat spinal anestesi, terutama terjadi pada orang tua
yang belum diberikan loading cairan.

H. Faktor distribusi anestesi lokal


Distribusi anestetik lokal pada ruang subarahnoid atau cairan
serebrospinal dipengaruhi oleh beberapa faktor sebagai berikut:
1. Faktor utama
Berat jenis atau barisitas dan posisi pasien.
Barisitas merupakan faktor utama yang menentukan penyebaran
lokal anestetik di ruang subarakhnoid dan dipengaruhi juga oleh
gravitasi serta posisi pasien. Larutan hipobarik ialah larutan yang
lebih ringan dari cairan serbrospinal bersifat melawan gravitasi,
larutan isobarik ialah larutan yang sama berat dengan cairan
serbrospinal bersifat menetap pada tingkat daerah penyuntikkan,
larutan hiperbarik ialah larutan yang lebih berat daripada cairan
otak bersifat mengikuti gravitasi setelah pemberian. Larutan
hiperbarik biasanya menghasilkan tingkat blok yang lebih tinggi.
Dosis dan volume anestetik local
Semakin besar jumlah dan kadar konsentrasi dari anestetik lokal,
maka akan semakin tinggi juga area hambatan.
2. Faktor tambahan
Umur
Umur pasien berpengaruh terhadap level analgesi spinal. Ruang
arakhnoid dan epidural menjadi lebih kecil dengan bertambahnya
umur yang membuat penyebaran obat analgetika lokal lebih besar
atau luas, dengan hasil penyebaran obat analgetika lokal ke
cephalad lebih banyak sehingga level analgesia lebih tinggi dengan
dosis sama dan tinggi badan sama. Sehingga dosis hendaknya
dikurangi pada umur tua.
Tinggi badan
Makin tinggi tubuh makin panjang medula spinalisnya, sehingga
penderita yang tinggi memerlukan dosis lebih banyak daripada
yang pendek.
Berat badan
Kegemukan berhubungan dengan penumpukan lemak dalam
rongga epidural yang akan mengurangi volume cairan
serebrospinal. Pengalaman klinis mengindikasikan bahwa
kegemukan berpengaruh sedikit terhadap penyebaran obat
anastetik lokal dalam cairan serebrospinal.
Anatomi kolumna vertebralis
Lekukan kolumna vertebralis akan mempengaruhi penyebaran obat
anastetik lokal dalam cairan serebrospinal. Ini akan tampak pada
cairan yang bersifat hiperbarik atau hipobarik pada posisi
terlentang horizontal. Penyuntikkan di atas L3 dengan posisi pasien
supinasi setelah penyuntikkan akan membuat penyebaran anestetik
lokal kearah cephalad dan mencapai kurvatura T4.
Arah penyuntikkan
Bila anestetik lokal disuntikkan kearah kaudal maka pennyebaran
oat akan terbatas dibandingkan dengan penyuntikkan kearah
cephalad.
Barbotase atau kecepatan penyuntikkan
Kecepatan penyuntikan yang lambat menyebabkan difusi lambat
dan tingkat analgesia yang dicapai rendah.

I. Komplikasi anestesi spinal


1. Komplikasi Kardiovaskular
Insiden terjadi hipotensi akibat anestesi spinal adalah 10-40%.
Hipotensi terjadi karena vasodilatasi, akibat blok simpatis, yang
menyebabkan terjadi penurunan tekanan arteriola sistemik dan vena,
makin tinggi blok makin berat hipotensi. Cardiac output akan
berkurang akibat dari penurunan venous return. Hipotensi yang
signifikan harus diobati dengan pemberian cairan intravena yang
sesuai dan penggunaan obat vasoaktif seperti efedrin atau fenilefedrin.
Henti jantung bisa terjadi tiba-tiba biasanya karena terjadi bradikardia
yang berat walaupun hemodinamik pasien dalam keadaan yang stabil.
Pada kasus seperti ini,hipotensi atau hipoksia bukanlah penyebab
utama dari cardiac arrest tersebut tapi ia merupakan dari mekanisme
reflek bradikardi dan asistol yang disebut reflek Bezold-Jarisch.
Pencegahan hipotensi dilakukan dengan memberikan infuse cairan
kristaloid (NaCl, Ringerlaktat) secara cepat sebanyak 10-15ml/kgbb
dalam 10 menit segera setelah penyuntikan anesthesia spinal. Bila
dengan cairan infuse cepat tersebut masih terjadi hipotensi harus
diobati dengan vasopressor seperti efedrin intravena sebanyak 19 mg
diulang setiap 3-4 menit sampai mencapai tekanan darah yang
dikehendaki. Bradikardia dapat terjadi karena aliran darah balik
berkurang atau karena blok simpatis,dapat diatasi dengan sulfas
atropine 1/8-1/4mg IV.
2. Blok Tinggi atau Total
Anestesi spinal tinggi atau total terjadi karena akibat dari kesalahan
perhitungan dosis yang diperlukan untuk satu suntikan. Komplikasi
yang bisa muncul dari hal ini adalah hipotensi, henti nafas, penurunan
kesadaran, paralisis motor, dan jika tidak diobati bisa menyebabkan
henti jantung.
3. Nyeri Kepala (Puncture Headache)
Nyeri kepala ini bisa terjadi selepas anestesi spinal atau tusukan
pada dural pada anestesi epidural. Insiden terjadi komplikasi ini
tergantung beberapa faktor seperti ukuran jarum yang
digunakan.Semakin besar ukuran jarum semakin besar resiko untuk
terjadi nyeri kepala. Selain itu, insidensi terjadi nyeri kepala juga
adalah tinggi pada wanita muda dan pasien yang dehidrasi. Nyeri
kepala post suntikan biasanya muncul dalam 6 48 jam selepas
suntikan anestesi spinal. Nyeri kepala yang berdenyut biasanya
muncul di area oksipital dan menjalar ke retroorbital, dan sering
disertai dengan tanda diplopia, mual, dan muntah. Tanda yang paling
signifikan nyeri kepala spinal adalah nyeri makin bertambah bila
pasien dipindahkan atau berubah posisi dari tiduran/supinasi ke posisi
duduk, dan akan berkurang atau hilang total bila pasien tiduran. Terapi
konservatif dalam waktu 24 48 jam harus dicoba terlebih dahulu
seperti tirah baring, rehidrasi (secara cairan oral atau intravena),
analgesic. Tekanan pada vena cava akan menyebabkan terjadi
perbendungan dari plexus vena pelvik dan epidural, seterusnya
menghentikan kebocoran dari cairan serebrospinal dengan
meningkatkan tekanan extradural. Jika terapi konservatif tidak efektif,
terapi yang aktif seperti suntikan salin ke dalam epidural untuk
menghentikan kebocoran.
4. Nyeri punggung
Komplikasi yang kedua paling sering adalah nyeri punggung akibat
dari tusukan jarum yang menyebabkan trauma pada periosteal atau
ruptur dari struktur ligament dengan atau tanpa hematoma
intraligamentous. Nyeri punggung akibat dari trauma suntikan jarum
dapat di obatisecara simptomatik dan akan menghilang dalam
beberapa waktu yang singkat saja.
5. Retensi urin
Ini terjadi akibat blokade saraf S2-4 yang menurunkan tonus otot
kandung kemih dan menghambat refleks berkemih. Pemasangan
kateter urin bermanfaat pada pembedahan yang cukup lama. Penilaian
postoperatif terhadap retensi urin sangat berguna karena bila terdapat
retensi urin yang lama merupakan tanda adanya kerusakan saraf yang
serius.
6. Komplikasi neurologis
Insidensi defisit neurologi berat dari anestesi spinal adalah rendah.
Komplikasi neurologik yang paling benign adalah meningitis aseptik.
Sindrom ini muncul dalam waktu 24 jam setelah anestesi spinal
ditandai dengan demam, rigiditas nuchal dan fotofobia. Meningitis
aseptic hanya memerlukan pengobatan simptomatik dan biasanya
akan menghilang dalam beberapa hari. Sindrom cauda equina muncul
setelah regresi dari blok neuraxial. Sindrom ini mungkin dapat
menjadi permanen atau bisa regresi perlahan-lahan setelah beberapa
minggu atau bulan. Ia ditandai dengan defisit sensoris pada area
perineal, inkontinensia urin dan fekal, dan derajat yang bervariasi
pada defisit motorik pada ekstremitas bawah. Komplikasi neurologic
yang paling serius adalah arachnoiditis adesif. Reaksi ini biasanya
terjadi beberapa minggu atau bulan setelah anestesi spinal dilakukan.
Sindrom ini ditandai oleh defisit sensoris dan kelemahan motorik pada
tungkai yang progresif. Pada penyakit ini terdapat reaksi proliferatif
dari meninges dan vasokonstriksi dari vasculature korda spinal.
Infeksi spinal sangat jarang kecuali dari penyebaran bakteri secara
hematogen yang berasal dari fokal infeksi di tempat lain. Jika anestesi
spinal diberikan kepada pasien yang mengalami bakteriemia, terdapat
kemungkinan terjadi penyebaran bakteri ke medulla spinalis. Maka
penggunaan anestesi spinal padapasien dengan bakteremia merupakan
kontra indikasi relatif.
Jika infeksi terjadi di dalam ruang subaraknoid, akan menyebabkan
araknoiditis. Tanda yang paling menonjol pada komplikasi ini adalah
nyeri punggung yang berat, nyeri lokal, demam, leukositosis, dan
rigiditas nuchal. Oleh karena itu, tidak diperbolehkan jika
menggunakan anestesi regional pada pasien yang mengalami infeksi
kulit lokal pada area lumbal atau yang menderita selulitis.

3. HEMOROID
Plexus hemoroid merupakan pembuluh darah normal yang terletak pada
mukosa rektum bagian distal dan anoderm. Gangguan pada hemoroid terjadi
ketika plexus vaskular ini membesar. Sehingga kita dapatkan pengertiannya
dari hemoroid adalah dilatasi varikosus vena dari plexus hemorrhoidal
inferior dan superior.
Hemoroid adalah kumpulan dari pelebaran satu segmen atau lebih vena
hemoroidalis di daerah anorektal. Hemoroid bukan sekedar pelebaran vena
hemoroidalis, tetapi bersifat lebih kompleks yakni melibatkan beberapa unsur
berupa pembuluh darah, jaringan lunak dan otot di sekitar anorektal.
Klasifikasi Hemoroid Hemoroid diklasifikasikan berdasarkan asalnya,
dimana dentate line menjadi batas histologis. Klasifikasi hemoroid yaitu:
a. Hemoroid eksternal, berasal dari dari bagian distal dentate line dan dilapisi
oleh epitel skuamos yang telah termodifikasi serta banyak persarafan
serabut saraf nyeri somatik.
b. Hemoroid internal, berasal dari bagian proksimal dentate line dan dilapisi
mukosa.
c. Hemoroid internal-eksternal dilapisi oleh mukosa di bagian superior dan
kulit pada bagian inferior serta memiliki serabut saraf nyeri (Corman, 2004)

2.6. Derajat Hemoroid Internal


Menurut Person (2007), hemoroid internal diklasifikasikan menjadi beberapa
tingkatan yakni:
a. Derajat I, hemoroid mencapai lumen anal canal.
b. Derajat II, hemoroid mencapai sfingter eksternal dan tampak pada saat
pemeriksaan tetapi dapat masuk kembali secara spontan.
c. Derajat III, hemoroid telah keluar dari anal canal dan hanya dapat masuk
kembali secara manual oleh pasien.
d. Derajat IV, hemoroid selalu keluar dan tidak dapat masuk ke anal canal
meski dimasukkan secara manual.

Pembedahan yang sering dilakukan yaitu:


1. Skleroterapi. Teknik ini dilakukan menginjeksikan 5 mL oil phenol 5 %,
vegetable oil, quinine, dan urea hydrochlorate atau hypertonic salt solution.
Lokasi injeksi adalah submukosa hemoroid. Efek injeksi sklerosan tersebut
adalah edema, reaksi inflamasi dengan proliferasi fibroblast, dan trombosis
intravaskular. Reaksi ini akan menyebabkan fibrosis pada sumukosa hemoroid.
2. Rubber band ligation. Ligasi jaringan hemoroid dengan rubber band
menyebabkan nekrosis iskemia, ulserasi dan scarring yang akan menghsilkan
fiksasi jaringan ikat ke dinding rektum. Komplikasi prosedur ini adalah nyeri
dan perdarahan.

3. Infrared thermocoagulation. Sinar infra merah masuk ke jaringan dan berubah


menjadi panas. Manipulasi instrumen tersebut dapat digunakan untuk mengatur
banyaknya jumlah kerusakan jaringan. Prosedur ini menyebabkan koagulasi,
oklusi, dan sklerosis jaringan hemoroid. Teknik ini singkat dan dengan
komplikasi yang minimal.

4. Cryotherapy. Teknik ini dilakukan dengan menggunakan temperatur yang


sangat rendah untuk merusak jaringan. Kerusakan ini disebabkan kristal yang
terbentuk di dalam sel, menghancurkan membran sel dan jaringan. Namun
prosedur ini menghabiskan banyak waktu dan hasil yang cukup
mengecewakan. Cryotherapy adalah teknik yang paling jarang dilakukan untuk
hemoroid (American Gastroenterological Association, 2004).

KESIMPULAN
KESIMPULAN
Seorang laki-laki usia 54 tahun, dengan diagnosis hemoroid interna grade
iv. Berdasarkan status fisik pasien pra-anestesi menurut American Society of
Anesthesiologist, pasien digolongkan dalam ASA II.
Pasien diberikan premedikasi ketorolac dan Ondansetron intravena.
Selama operasi dilakukan monitoring perioperasi untuk membantu ahli anestesi
mendapatkan informasi fungsi organ vital selama perioperasi, supaya dapat
bekerja dengan aman. Monitoring secara elektronik membantu ahli anestesi
mengadakan observasi pasien lebih efisien
.Dalam kasus ini selama operasi berlangsung tidak ada hambatan yang
berarti baik dari segi anestesi maupun dari tindakan operasinya. Selama di ruang
pemulihan juga tidak terjadi hal yang memerlukan penanganan serius. Secara
umum pelaksanaan operasi dan penanganan anestesi berlangsung dengan
baik.Pada makalah ini disajikan kasus penatalaksanaan anestesi spinal pada
operasi hernioraphy pada penderita laki-laki.
DAFTAR PUSTAKA

Aitkenhead A, Smith G, Rowbotham D. Texbook of anaesthesia. Fifth


edition. United Kingdom: Churchill livingstone elsevier; 2007.
Medscape Reference [Internet] Subarachnoid Spinal Block [Updated on
Aug, 5, 2013] Available at
http://emedicine.medscape.com/article/2000841-overview.
Netter, H Franks, Interactive Digital Atlas Anatomy [Digital E-Book],
Vertebral Column, Section. Icon Learning System, Rochester : Section
#146.
Said A, Kartini A, Ruswan M. Petunjuk praktis anestesiologi: anestetik lokal
dan anestesia regional. Edisi ke-2. Jakarta: Fakultas Kedokteran UI; 2002.
S, Kristanto, Anestesia Regional; Anestesiologi.- Bagian Anestesiologi dan
Terapi Intensif, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta : CV.
Infomedika, 2004; 125-8
University of Pittsburgh Online Reference [Internet] Subarachnoid spinal
block anesthesia. [Last Update Jan 2013]. Available at
http://www.pitt.edu/~regional/Spinal/Spinal.htm.
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN.................................................................................. ii
DAFTAR ISI........................................................................................................iii
A. ANAMNESIS.................................................................................................1
B. IDENTITAS PASIEN.....................................................................................1
C. PEMERIKSAAN FISIK................................................................................2
D. HASIL LABORATORIUM............................................................................4
E. DIAGNOSIS..................................................................................................4
F. TERAPI..........................................................................................................4
G. KESIMPULAN..............................................................................................4
H. DURANTE OPERASI...................................................................................4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA........................................................................................7
1. ANESTESI REGIONAL.............................................................................7
2. ANESTESI SPINAL/SUBARAKNOID.....................................................7
A.Anatomi....................................................................................................7
B.Persiapan anestesi spinal..........................................................................7
C.Obat-obat pada anestesi spinal.................................................................9
D.Teknik anestesi spinal............................................................................10
E.Faktor distribusi anestesi lokal...............................................................11
F. Obat-obat pada anestesi spinal
G.
H.Komplikasi anestesi spinal.....................................................................12
I.
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................

Anda mungkin juga menyukai