Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN KASUS

PENATALAKSANAAN RUPTUR ARTERI CAROTIS


EXTERNA e.c. TRAUMA TEMBUS REGIO COLLI
DEXTRA

Oleh :

Nama : Matheis J. Tanati

NIM : 06 703 305

Pembimbing :

Dr. James W. Gedy, Sp.B

DEPARTEMEN PENDIDIKAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS CENDERAWASIH
2014

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur Penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat
dan perkenaan-Nya sehingga penulisan tinjauan kepaustakaan ini dapat diselesaikan dengan
baik.

Penyusunan tinjauan kepustakaan ini disusun dalam rangka memenuhi salah satu
prasyarat dibagian Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Cenderawasih Jayapura
sebelum mengikuti ujian akhir stase. Penulis menyadari bahwa penyusunan tinjauan
kepustakaan ini tidak terlepas dari dukungan dan bantuan dari berbagai pihak, baik secara
moral maupun spiritual, karena itu pada kesempatan ini Penulis ingin mengucapkan terima
kasih kepada:

1 dr.James W. Gedy, Sp.B selaku pembimbing I


2 Teman teman kelompok KKM Ilmu Bedah, yang banyak memberikan masukan
dalam penyusunan laporan ini
sangat mengharapkan kritik dan saran dari berbagai pihak guna menyempurnakan
penyusunan laporan kegiatan ini. Akhirnya semoga hasil dari laporan ini dapat bermanfaat
bagi siapa saja yang membacanya

Jayapura, Oktober 2014

Penulis

2
Daftar Isi

Halaman Judul ......................................................................................................... i

Daftar Isi ......................................................................................................... ii

Daftar Gambar ......................................................................................................... iii

BAB I. PENDAHULUAN ................................................................................. 1

BAB II. TINJAUAN KEPUSTAKAAN ..................................................................... 2

1 Anatomi ..................................................................................................................... 2
2 Klasifikasi ..................................................................................................................... 4
3 Gambaran Klinis ............................................................................................. 4
4 Penatalaksanaan ............................................................................................. 6
5 Komplikasi ......................................................................................................... 9

BAB III. LAPORAN KASUS ................................................................................. 10

BAB IV. PEMBAHASAN ............................................................................................. 17

Daftar Pustaka

3
BAB I

PENDAHULUAN

Trauma tembus leher merupakan keadaan gawat darurat yang bersifat mengancam
nyawa. Dikatakan trauma tembus leher apabila trauma menembus otot platisma. Trauma ini
memerlukan penanganan yang segera. Di leher terdapat struktur-struktur vital yang
memungkinkan mengalami cedera pada trauma tembus leher karena organ-organ ini tidak
dilindungi oleh tulang. Kasus trauma tembus leher terjadi antara 5% - 10% dari seluruh
trauma. Di berbagai kepustakaan dilaporkan luka tembak merupakan penyebab terbanyak
diikuti luka tusuk/ luka sayat. Hal ini menyebabkan pembicaraan luka tembus leher sering
dikaitkan dengan balistik. 1
Struktur vital di leher dapat dibedakan secara umum menjadi empat kelompok yaitu
saluran nafas (trakea , laring dan faring), pembuluh darah (arteri karotis, vena jugularis, arteri
subclavia, arteri innominata, arkus aorta), traktus digestif (faring dan esophagus) dan organ
neurologis (medula spinalis, pleksus brakhialis, saraf perifer dan saraf kranial). Dalam
penatalaksanaan trauma di leher harus memperhatikan keterlibatan struktur-struktur ini.1
Untuk memprediksi jenis cedera dan rencana penatalaksanaan, daerah leher dibagi
secara horizontal menjadi tiga zona. Zona I (dasar leher), Zona II (leher bagian tengah) dan
Zona III (leher atas). 1
Penatalaksanaan trauma tembus leher mengalami perubahan dari waktu ke waktu, hal
ini disebabkan kemajuan teknologi dan hasil evaluasi perbandingan dari berbagai protokol
penataksanaan yang pernah ada serta perubahan penyebab ke arah trauma bukan akibat
perang (trauma non militer). Keberhasilan penatalaksanaan trauma tembus leher tergantung
pada waktu mulai mendapat pertolongan, ketepatan diagnosis dan ketepatan penanganan. 2

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi
Pemahaman yang lengkap tentang anatomi leher sangat penting untuk melalukan
penatalaksanaan yang optimal. Leher merupakan suatu daerah yang kompleks, yang
mengandung struktur-struktur vital dan disekat-sekat oleh fasia menjadi beberapa bagian. Hal
ini membuat cedera terhadap pembuluh darah leher dan jaringan-jaringan sekitarnya
cenderung lebih sulit dievaluasi.2
Terdapat dua metode pembagian daerah leher dari luar yaitu segitiga dan zona. Secara
anatomi leher dibagi menjadi dua segitiga, anterior dan posterior. Segitiga anterior berisi
struktur utama leher seperti laring, trakea, faring, esofagus dan struktur-struktur vital lain,
segitiga ini dibatasi di bagian anterior oleh garis tengah leher, di posterior oleh otot
sternokleidomastoid dan superior oleh pinggir bawah mandibula. Segitiga anterior
selanjutnya dibagi menjadi segitiga karotis, segitiga digastrik, segitiga submental dan segitiga
muskular.1,2
Segitiga leher posterior merupakan daerah yang dibatasi oleh otot
sternokleidomastoid di anterior, klavikula di bagian inferior serta pinggir depan otot trapezius
di bagian posterior, selanjutnya dibagi oleh otot omohioid venter inferior menjadi segitiga
ossipital di bagian atas dan segitiga supraklavikula di bawah (gambar 1). Prognosis trauma
segitiga posterior relatif lebih baik kecuali jika mengenai medula spinalis, karena lebih
sedikit mengandung struktur vital.2

Gambar 1. Anatomi leher

5
Berbagai kepustakaan mengenai trauma saat ini lebih sering membagi leher menjadi
tiga zona yaitu zona I, II dan III (Gambar 2). Pembagian ini tidak hanya untuk kepentingan
anatomi saja tapi juga berimplikasi terhadap penatalaksanaan trauma tembus leher. Zona I
disebut juga dasar leher (base of neck) atau leher bagian bawah merupakan zona horizontal
yang berada superior dari fossa suprasternal dan klavikula sampai bagian bawah kartilago
krikoid, pada zona ini terdapat apeks paru, trakea, esofagus, a. karotis komunis, v. jugularis
interna, a. subklavia, a. Innominata, a. vertebralis, fleksus brakhialis, tiroid dan medula
spinalis. Zona ini terlindungi oleh sternum dan klavikula yang menghalangi saat ekplorasi.3
Zona II (midneck/ leher bagian tengah) yaitu daerah antara bagian bawah kartilago
krikoid sampai angulus mandibula. Merupakan bagian leher yang paling terpapar, sehingga
merupakan zona yang paling sering mengalami trauma tembus (60-75%). Pada zona ini
terdapat laring, trakea, esofagus, a. karotis, v. jugularis interna, a. vertebralis, medula spinalis,
n.laringeus rekuren dan saraf kranial. 2,3

Gambar 2. Zona horizontal leher.


Zona III (leher atas) terletak antara angulus mandibula sampai dasar tengkorak.
Struktur penting yang terdapat pada zona ini adalah a. Karotis interna bagian distal, v.
Jugularis interna, a. vertebralis, cabang-cabang a. karotis eksterna, faring, kelenjar parotis,
2,3
medula spinalis dan saraf kranial IX - XII.
Strukrur-struktur ini dibungkus oleh dua lapis fasia, fasia superfisial dan fasia servikal
profunda (dalam). Fasia superfisial menutupi otot platisma yang berada langsung di bawah
kulit. Fasia servikal dalam dibagi menjadi tiga bagian; lapisan investing, lapisan pretrakea

6
dan lapisan prevertebra. Lapisan pretrakea mempunyai makna klinis yang penting, karena
lapisan ini berhubungan dari leher sampai ke bagian anterior mediastinum. Lapisan ini
melekat erat dengan kartilago krikoid dan tiroid dan berjalan ke kaudal di belakang sternum
dan memasuki perikardium anterior, sehingga cedera aerodigestif yang tidak terdeteksi dapat
menimbulkan mediastinitis. Selubung karotis (carotid sheath) dibentuk dari ketiga lapisan
fasia servikal dalam. Otot platisma menutupi anterolateral dari leher. Hal ini mempunyai
makna klinis yang penting karena lokasinya yang superfisial dan berhubungan erat dengan
struktur-struktur penting di leher, sehingga penilaian trauma di leher harus memperhatikan
adanya kerusakan pada otot ini.3
2.2. Klasifikasi
Trauma leher dapat berupa trauma tumpul dan trauma tembus (tajam). Trauma tembus
leher dapat diklasifikasikan berdasarkan lokasi anatomi yang mengalami cedera dan stabilitas
pasien. Berdasarkan anatomi, trauma tembus leher dibagi menjadi tiga zona yaitu zona I, II
dan III, seperti telah diuraikan pada pembahasan mengenai anatomi. 2
Sedangkan berdasarkan stabilitas pasien, trauma tembus leher dibagi menjadi stabil
(tidak mengancam nyawa) dan tidak stabil (mengancam nyawa). Pasien yang tidak stabil
ditandai dengan perdarahan masif, hematom yang luas, hemodinamik yang tidak stabil,
hemomediastinum, hemotoraks, syok hipovolemik, defisit neurologi, gangguan respirasi dan
jalan nafas serta memerlukan operasi eksplorasi segera. 3
Trauma tembus leher yang stabil datang dengan gejala yang lebih bervariasi dan
biasanya masih cukup waktu untuk mendapatkan riwayat dan pemeriksaan yang lengkap
serta tidak memerlukan operasi eksplorasi segera. 4
2.3. Gambaran Klinis
Trauma tembus leher dapat berdiri sendiri tapi tidak jarang bersamaan dengan trauma
pada bagian tubuh lain, dilaporkan terdapat sekitar 30% kasus trauma tembus leher bersaman
dengan cedera di luar daerah leher, sehingga pemeriksaan organ di luar leher juga harus
dilakukan. 4
Gambaran klinis trauma tembus leher sangat bervariasi, tergantung pada mekanisme
trauma, berat ringannya trauma dan lokasi/ zona serta struktur yang terlibat.
Dari review berbagai laporan, pada trauma tembus leher, insiden cedera terhadap
pembuluh darah mencapai lebih dari 20% kasus, 9% mengenai vena jugularis interna, 9%
mengenai arteri karotis, 2% pembuluh subklavia dan hanya 1% mencederai arteri vertebralis.
Cedera terhadap laringotrakeal 10,1%, faringoesofagus 9,6%, cedera terhadap medula

7
spinalis 3%, struktur saraf lainnya mencapai 3,4% dan dari 1275 pasien yg diamati tidak
ditemukan cedera terhadap duktus torasikus. 3,4
Berdasarkan struktur yang terlibat, gejala dan tanda yang dapat muncul seperti pada
tabel
Pada trauma zona I, cedera terhadap pembuluh darah merupakan keadaan yang paling
sering terjadi, lebih kurang 30% pasien yang tanpa gejala sebenarnya mengalami cedera
pembuluh darah pada zona.3
Trauma Zona I juga berisiko terjadi cedera pada trakea dan esofagus. Berbeda dengan
trauma esofagus pada zona II, yang akan menimbulkan gejala beberapa jam setelah kejadian,
cedera esofagus pada zona I tidak menimbulkan gejala sampai terjadi komplikasi yang serius
berupa mediastinitis atau sepsis.
Tabel 1. Gejala dan tanda trauma tembus leher
berdasarkan struktur yang terlibat. 2
Gejala dan Tanda
Struktur yang
Terlibat
Cedera pembuluh Syok
darah Hematoma
Perdarahan
Nadi lemah atau hilang
Defisit neurologi
Bruit atau thrill di leher
Cedera Emfisema subkutis
laringotrakea Sumbatan jalan nafas
Sucking wound
Hemoptisis
Dyspnea
Stridor
Suara serak/ disfoni
Cedera Emfisema subkutis
faringoesofagus Hematemesis
Disfagia atau odinofagia

Disamping berdasarkan struktur yang terlibat, manifestasi klinis yang muncul juga
dipengaruhi beratnya trauma. Pasien trauma yang tidak stabil datang dengan keadaan yang
dramatis seperti defisit neurologi (penurunan kesadaran, paralise), gangguan respirasi yang
berat akibat hemotoraks atau pneumotoraks, syok, perdarahan yang masif, dan hematom yang
luas.1,3

8
Trauma tembus leher yang stabil datang dengan gejala yang lebih bervariasi dan
biasanya masih cukup waktu untuk mendapatkan riwayat dan pemeriksaan yang lengkap.
Gejala dapat berupa nyeri, disartria, suara serak, disfagia, odinofagia, hemoptisis, drooling
dan demam. Kadang-kadang pasien juga mengeluhkan hilangnya sensoris daerah wajah. 2
Pemeriksaan fisik yang teliti biasanya dapat memprediksi luasnya trauma. Seperti
bervariasinya gejala, tanda klinis yang mungkin timbul juga bervariasi, tergantung struktur
yang terlibat. Cedera pembuluh darah akan menimbulkan hematom leher atau orofaring, nadi
halus, takikardia, hipotensi, carotid bruit atau thrill. Trauma jalan nafas atas akan
menimbulkan stridor, emfisema subkutis dan adanya gelembung udara dari luka terbuka.
Adanya kelumpuhan saraf kranial, sindoma Horner, hemiplegi dan kuadriplegi berhubungan
dengan cedera terhadap jaringan saraf, yaitu saraf kranial, pleksus brakhialis, saraf simpatis
dan medula spinalis.2,3
2.4. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan awal pasien trauma tembus leher sesuai dengan prinsip Advanced
Trauma Life Support (ATLS), yaitu evaluasi terhadap jalan nafas, pernafasan, sirkulasi dan
status neurologis. 2
Penanganan jalan nafas harus merupakan prioritas utama pada pasien trauma tembus
leher. Kegawatan jalan nafas terjadi pada 10% kasus, dan membutuhkan intubasi atau
trakeostomi. Keadaan ini biasanya terjadi akibat trauma terhadap jalan nafas itu sendiri,
perdarahan masif yang masuk jalan nafas, penekanan akibat hematom di leher atau emfisema
masif di sekitar leher. Bantuan ventilasi dengan menggunakan bag-valve-mask harus sangat
hati-hati, karena udara dapat terdorong ke jaringan yang cedera yang dapat menimbulkan
emfisema subkutis yang masif atau emboli udara.2,3
Bila jalan nafas sudah stabil, evaluasi terhadap pernafasan harus dilakukan untuk
menentukan ada tidaknya hemotoraks atau pneumo- toraks.3,4
Menstabilkan status kardio- vaskuler dengan melakukan pemeriksaan hemodinamik,
pemeriksaan nadi, tekanan darah, pemasangan jalur intravena dan penekanan langsung pada
sumber perdarahan. Resusitasi cairan dan tranfusi darah kadang-kadang diperlukan.
Hipotensi yang tidak disertai takikardia merupakan tanda kecurigaan adanya cedera medula
spinalis. 2,4
Servikal harus diproteksi sampai dapat dipastikan tidak terdapat trauma pada servikal
secara klinis dan radiologi tulang servikal, meskipun keadaan ini jarang terjadi. Pemeriksaan
status neurologis (tingkat kesadaran) juga diperlukan. (demam )2

9
Selanjutnya dilakukan pemeriksaan kepala dan leher, terutama terhadap tanda-tanda
trauma. Inspeksi terhadap luka dilakukan tanpa menelusuri luka, karena akan menyebabkan
lepasnya bekuan darah yang dapat menimbulkan perdarahan yang hebat dan emboli udara.
Inspeksi luka dilakukan untuk menentukan kedalaman luka dan hubungannya dengan otot
platisma. Mengingat lapisan fasia servikal profunda yang melindungi struktur-struktur vital
berada di bawah platisma, sehingga cedera terhadap platisma harus dicurigai adanya cedera
terhadap struktur vital, dan membutuhkan evaluasi lebih lanjut. 3,4
Pemeriksaan pada bagian tubuh di luar kepala dan leher juga harus dilakukan untuk
menyingkirkan kemungkinan adanya trauma multipel. 1,2
Pemeriksaan laboratorium darah rutin dilakukan termasuk hemoglobin dan hematokrit
untuk menentukan perlunya tranfusi segera dan sebagai data awal untuk perbandingan
dengan keadaan pasien tersebut selanjutnya. 2
Pasien memerlukan pemeriksaan radiologi berupa foto polos toraks dan servikal untuk
menilai adanya cedera tulang servikal, adanya sisa benda asing, emfisema dan mendeteksi
pneumotorak, hemotorak atau pneumo-mediastinum. 4
Untuk penatalaksanaan selanjutnya, pada kasus yang tidak stabil/ mengancam nyawa,
para ahli sepakat untuk melakukan operasi eksplorasi segera. Sedangkan pada kasus yang
stabil, terdapat perbedaan pendapat mengenai kapan suatu trauma harus dilakukan eksplorasi.
Secara umum para ahli sepakat pada prinsip selektif untuk melakukan terapi konservatif.
Beberapa kepustakaan mengusulkan algoritma/ alur penatalaksanaan trauma tembus leher
seperti pada Gambar 5.

10
Gambar 5. Algoritma penatalaksanaan trauma tembus leher
Khusus pada zona I, kerusakan yang sering terjadi adalah cedera pembuluh darah.
Sekitar 30% pasien trauma tembus leher yang tanpa gejala perdarahan, sebenarnya terdapat
cedera pembuluh darah pada zona I. Angiografi merupakan pemeriksaan yang sensitif dan
spesifik untuk menilai adanya cedera pembuluh darah. Pemeriksaan ini dapat menilai luas
trauma vaskuler dan membantu perencanaan pendekatan operasi yang akan dilakukan.2
Bila pada pasien yang asimtomatik terdeteksi adanya cedera pembuluh darah dari
pemeriksaan angiografi, maka diperlukan tindakan eksplorasi. Pasien asimtomatik yang pada
angiografi tidak ditemukan kelainan, berbagai penelitian melaporkan cukup aman dengan
hanya melakukan observasi dengan hasil yang baik.1,3
Beberapa ahli tidak merekomendasi pemeriksaan ini karena alasan biaya dan tindakan
yang invasif. Akhir-akhir ini penggunaan color doppler sonography digunakan sebagai
pemeriksaan yang aman dan lebih murah untuk menggantikan angiografi dengan sensitivitas
dan spesifitas lebih dari 90%, namun alat ini belum selalu tersedia di pusat layanan
kesehatan. 2
Pada cedera laringotrakeal sering disertai cedera pada esophagus. Cedera esofagus
pada zona I biasanya baru akan menimbulkan gejala setelah terjadi komplikasi. Hal ini
menyebabkan pemeriksaan terhadap traktus aerodigestif harus dilakukan pada trauma zona I,
namun pemeriksaan yang dilakukan untuk evaluasi keadaan esofagus masih perdebatan. Baik
pemeriksaan esofagografi maupun esofagoskopi memperlihatkan sensitivitas antara 80

11
sampai 90% untuk mendeteksi cedera esofagus. Kombinasi kedua pemeriksaan ini
meningkatkan sensitivitasnya mendekati 100%. Sebagian pusat layanan kesehatan
menggabungkan kedua modalitas ini, sementara pusat yang lain menggabungkan satu
pemeriksaan dengan pemeriksaan klinis yang teliti. 3
Pemeriksaan laringoskopi fleksibel (di IGD) perlu dilakukan pada trauma tembus
leher zona I. Pemeriksaan ini untuk menilai adanya paralisis pita suara serta adanya darah
atau edema pada jalan nafas atas. Sedangkan pemeriksaan laringoskopi intra-operatif dan
trakeoskopi serta bronkoskopi dilakukan jika ditemukan kelainan pada pemeriksaan
laringoskopi fleksibel.3
Sebagian penulis lebih merekomendasi eksplorasi pada kasus stabil yang secara klinis
terdapat kecurigaan cedera struktur vital sekalipun pada pemeriksaan penunjang negatif.
Risiko akibat tindakan eksplorasi lebih rendah daripada risiko komplikasi yang timbul bila
terdapat cedera struktur vital yang tidak terdeteksi. Beberapa laporan lain, seperti dikutip
Gale mengusulkan untuk melakukan pemeriksaan angiografi, bronkoskopi serta esofagoskopi
dan/atau esofagografi pada semua pasien trauma tembus leher yang tidak membutuhkan
operasi eksplorasi segera. Hal ini tentu akan menghabiskan biaya yang banyak disamping
bersifat invasif dengan risiko komplikasi.2
Penggunaan CT scan helical/ multidetector dengan kontras dilaporkan cukup efektif
dan aman untuk mendeteksi cedera struktur vital pada trauma tembus leher, namun tidak
untuk cedera esofagus yang kecil akibat luka tusuk.3
2.5. Komplikasi
Komplikasi trauma tembus leher yang terjadi dapat akibat langsung dari trauma dan
dapat juga sebagai akibat keterlambatan penatalaksanaan atau tidak terdeteksi saat
pemeriksaan.1,4
Komplikasi yang mungkin timbul dapat berupa perdarahan yang persisten,
pseudoaneurisma, fistel esofagokutan, fistel esofagotrakeal, fistel trakeokutan, fistel
venoarterial, infeksi yang dapat menyebabkan pembentukan abses leher, sepsis, mediastinitis,
stenosis dari stuktur berlumen seperti trakea dan esofagus serta defisit neurologi.2,3
Cara terbaik untuk mencegah terjadinya komplikasi adalah melakukan evaluasi yang
lengkap dan teliti serta follow-up ketat pasca tindakan serta pemberian antibiotika.2

12
BAB III
LAPORAN KASUS

1. Identitas
Nama : Tn. N.M
Umur : 55 Thn
Suku/bangsa : Makassar
Pekerjaan : Buruh Kontainer
Alamat : APO Bengkel
Tanggal & Jam MRS : 16 11 2014 / 16.00 wit
Tanggal & Jam Kejadian : 16 11 2014 / 08.00 wit
Tempat Kejadian : Pasar lama Sentani

2. Mekanisme of Injury
Pasien terkena sengatan kabel listrik di atas container pada daerah punggung
dan kaki kemudian pasien terlempar ke arah pinggir container dan terjatuh dengan
arah belakang punggung membentur ke tanah pertama kali dan diikuti oleh badan dan
kaki.

3. Primary Survey
Airway = Bebas ; pasien dapat berbicara jelas
Breathing = Dada simetris, jejas (-), retraksi (-), R = 24 x/m; JVP (-),
Deviasi Trakea (-)
Circulasi = Nadi = 86x/m; TD = 120/70 mmHg; CRT < 2
Disabillity = Kesadaran = Alert
Exposure = Regio Thoracal Posterior . Look : Deformitas (-), Edema (+),
tampak Vulnus laceratum (+), vulnus ekskoriatum (+). Feel :
Nyeri (+), ,hangat (+), Hipostesi setinggi C-6 ; Move: terbatas
karena nyeri

4. Secondary Survey
Keluhan Utama : Luka pada pungggung dan kaki akibat terkena sengatan listrik
R.P.S : Pasien datang dengan keluhan luka pada punggung dan kaki
akibat terkena sengatan listrik sejak 8 jam SMRS. Awalnya pasien sedang bekerja
mengantar barang menggunakan truk container menuju sebuah pertokoan di
daerah Sentani. Kemudian saat melewati sebuah jalan terdapat kabel listrik yang
melintas di atas truk kontainer yang diikuti pasien sehingga membuat pasien naik
ke atas truk kontainernya untuk memindahkan kabel listrik yang menghalangi

13
container tersebut. Saat hendak memindahkan kabel listrik tersebut terdapat
sebuah lilitan kaber telanjang yang mengenai punggung pasien. Pasien terkena
sengatan listrik kemudian pasien terlempar ke arah pinggir container dan terjatuh
ke tanah dengan posisi punggung pertama kali membentur tanah diikuti oleh
anggota badan lainnya. Pasien sadar namun sulit menggerakan tangan dan kaki
kanannya. Pasien sempat dibawa ke rumah sakit Yowari kemudian di pasang infus
RL dan diberikan salep pada luka bekas sengatan listrik kemudian pasien dirujuk
ke Rumah Sakit Dok 2 untuk mendapatkan terapi lebih lanjut .

a. Status Generalis
Pemeriksaan kepala
Rambut : warna hitam, mudah terabut
Mata : CA -/-, SI -/-, pupil isokor, Refleks cahaya +/+
Hidung : tidak ada secret, tidak ada deviasi.
Bibir : mukosa bibir kering, sianosis (-)
Gigi : caries (-)

Pemeriksaan leher:
Tidak ada pembesaran KGB, thyroid dan tidak ada peningkatan JVP

Pemeriksaan thoraks
Paru-paru :
Inspeksi : simetris +/+
Palpasi : vokal fremitus normal +/+
Perkusi : Sonor di seluruh lapang paru.
Auskultasi : vesikuler +/+. Rh -/-, wh -/-
Jantung :
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak.
Palpasi : tidak teraba ictus cordis
Perkusi : batas jantung : normal, tidak ada pembesaran
Auskultasi : BJ I dan II murni reguler

Pemeriksaan abdomen

14
Inspeksi : datar
Auskultasi : Bising usus normal.
Palpasi : Supel, tidak teraba massa, defans muscular(-), nyeri tekan(+) , hepar dan
lien tidak teraba
Perkusi : Tympani seluruh lapang abdomen

Pemeriksaan ekstremitas

- Kekuatan otot : 5 5
55

- Sensibilitas : Hipostesi setinggi C-6


- Edema : (-/-)

b. Status Lokalis
Regio Thoracal Posterior . Look : Deformitas (-), Edema (+), tampak Vulnus
laceratum (+), vulnus ekskoriatum (+). Feel : Nyeri (+), ,hangat (+), Hipostesi
setinggi C-6 ; Move: terbatas karena nyeri.
Regio plantar Pedis (D) : Tampak vulnus Ekskoriatum (+),

5. Konsultasi
Konsul dr. Santi Sp.B
Konsul dr. Fendy

6. Jawaban Konsul
- Resusitasi cairan (IVFD RL 1000 cc)
- Maintanance RL : D5 (2:2) /24 jam
- Inj. Ceftriaxone 2 x 1 gr (IV)
- Inj. Ketorolac 3 x 1 amp (IV)
- Inj. Ranitidin 2 x 1 amp. (IV)
- Inj. Piracetam 3 x 3 gr (IV)
- Inj. Citicoline 2 x 250 mg (IV)
- Methycobal 3 x 1 amp. (IV)
- Cuci luka dengan Nacl
- Oles Burnazin pada daerah luka
- Tutup luka dengan daryantul dan balut dengan kasa
- Pro EKG, Foto thoracolumbal AP/LAT, Cervical AP/LAT, Lumbosacral AP/
LAT.

7. Pemeriksaan Penunjang

15
Jenis pemeriksaan Hasi l
Darah lengkap :
- HB - 13,7 g/dl
- Leukosit - 10,72 mm3
- Trombosit - 117 mm3
- CT - 430
- BT - 200
- Croschek gol. Darah - B
- GDS - 75 mg/dl

8. Tindakan
Jam 23.00 wit persiapan pasien sudah lengkap.
Vital sign terakhir : TD =- 140/80 mmHg; N = 98x/m; R = 26x/m; SB = 36,5
Jam 23.15 wit dilakukan anestesi pasien
Jam 23.30 wit operasi dimulai, laporan operasi :
- Pasien tidur dalam posisi supine dibawah pengaruh G.A
- Dilakukan aseptik antiseptik lapangan operasi
- Regio colli sinistra tampak luka terbuka dengan ukuran 2-3 cm
- Luka diperluas , tampak bekuan darah, bekuan darah dikeluarkan tampak
perdarahan dari cabang a. Carotis externa dextra
- Lakukan ligasi arteri karotis externa hingga perdarahan stop
- Cuci luka dengan NaCl
- Pasang drine, kontrol perdarahan
- Jahit tutup luka
- Operasi selesai

16
Gambar Proses Exporasi di O.K

17
18
19
BAB IV
PEMBAHASAN

Untuk menentukan suatu diagnosis pada kasus trauma leher, membutuhkan ketelitian
saat memeriksaan awal ketika pasien datang, hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik yang
baik akan membantu menentukan keberhasilan dari tindakan yang akan diambil. Dari
anamnesis yang dilakukan terhadap istri dan pasien sendiri didapatkan bahwa pasien
mengalami trauma tembus oleh parang didaerah leher sebelah kanan. Dan saat kejadian,
menurut keluarga pasien terjadi banyak perdarahan dari luka tersebut. Teori mengatakan
bahwa kasus trauma tembus leher merupakan suatu keadaan yang mengancam nyawa karena
kemungkinan trauma tersebut dapat mencederai struktur-struktur vital yang ada dileher
seperti saluran pernafasan, saluran pencernaan, pembuluh darah besar dan saraf. Keluhan
yang disampaikan pasien sejak awal trauma dan keadaan fisik pasien menentukan pasien

20
tergolong pada cedera tembus leher yang stabil atau yang tidak stabil. Saat jatuh, pasien
mengaku mengalami banyak perdarahan, namun pasien masih bisa menggerakkan lehernya
meskipun nyeri. Pasien juga mengatakan bahwa pasien tidak pingsan, mual, muntah, atau
mengalami kesulitan bernafas tiba-tiba atau kehilangan suara mendadak atau suara parau.
Keluarga pasien mengaku perdarahan yang terjadi masih terus berlangsung saat pasien
dibawah ke puskesmas terdekat di tempat tinggalnya pasien (puskesmas arso III) pasien
adalah warga arso III. Saat tiba di puskesmas dilakukan penjahitan luka namun karena masih
terjadi perdarahan pasien lalu dirujuk kerumah sakit Kwaingga. Dirumah sakit kwaingga saat
dilakukan pemasangan infus 2 jalur, dilakukan pemasangan kateter dan pasien lalu dirujuk ke
R.S dok 2. Keluhan mual muntah yang ditanyakan diatas bertujuan menentukan apakah
pasien ini mengalami cedera kepala atau tidak.
Pemeriksaan fisik yang dilakukan dimulai dari dinilai keadaan umum pasien tampak
sakit sedang, kesadaran compos mentis (GCS = E4V5M6), vital sign TD = 130/90 mmHg, N
= 88x/m, R = 22 x/m. Saat pasien tiba di dok 2. Dilakukan primary survey dan dapat dinilai
jalan nafas pasien masih dalam batas normal, respirasi 24x/m, suara nafas dan gerak dinding
dada masih dalam batas normal, sirkulasi : nadi teraba 76x/m kuat angkat, TD = 120/70
mmHg, CRT < 2 detik, SB = 36,2 0c Pasein sadar, GCS = E4V5M6, Keadaan umum pasien
tampak lemas. Produksi urin = 600 cc.
Dilihat dari anemnesis dan pemeriksaan fisik, maka dapat dikatakan bahwa
kemungkinan besar cedera yang dialami pasien ini tidak mengenai struktur organ pernafasan,
dan juga jaringan saraf. Tinjauan pustaka telah menunjukkan secara jelas tentang gejala yang
mungkin akan timbul pada pasien berdasaarkan lokasi atau struktur apa yang mengalami
trauma. Jika kita berpikir terjadi cedera pada pembuluh darah, maka yang harus kita cari dari
pasien adalah adanya syok, hematoma, perdarahan, nadi lemah atau hilang, defisit neurologis,
dan bruit atau thrill pada leher. Selanjutnya cedera pada laringotrakea harus dicari ada
tidaknya gejala seperti emfisema subkutis, sumbatan jalan nafas, sucking wound, hemoptosis,
dyspnea, stridor, dan suara serak. Cedera pada faringoesophagus dapat menunjukan gejala
klinis atau pada pemeriksaan fisik pasien ditemukan emfidema subkutis, haematemesis, dan
dysfagia.
Pada pasien ini dari anamnesis ditemukan adanya perdarahan aktif , dan pada
pemeriksaan fisik ditemukan hematoma, tidak ditemukan gejala cedera pada laringotrakea
ataupun faringoedophagus. Hal ini menunjukan bahwa luka tusuk yang dialami pasien ini
mengenai struktur pembuluh darah yang ada di leher, namun saat tiba di dok 2 pada luka di
leher pasien sudah terpasang klem, dan perdarahan sudah tidak terlihat, namun disamping

21
luka tersebut tampak udema dan nyeri. Vital sign pasien yang tertera pada rujukan
menunjukan bahwa hemodinamik pasien masih dalam batas normal, dimana kemungkinan
perarahan yang terjadi masih kurang dari 750 ml ataukah mungkin keadaan syok pasien
sudah teratasi setelah dipasang cairan dan dihentikan sumber perdarahan dengan klem yang
terpasang.
Penanganan awal yang dilakukan pada pasien ini sudah sesuai dengan prinsip
penatalaksanaan trauma tembus leher yang tertulis pada beberapa literatur, yang menuliskan
bahwa penanganan trauma tembus leher harus dimulai dari primary survey dan dievaluasi
dengan cepat karena kemungkinan cedera pada struktur vital yang ada di daerah leher dapat
mungkin terjadi yang dapat mengancam nyawa pasien. Trauma tembus pada leher dibagi
menjadi 3 zona seperti yang telah dijelaskan pada tinjauan pustaka di atas. Pada pasien ini
luka tusuk terletak pada zona II (midneck/ leher bagian tengah) yaitu daerah antara bagian
bawah kartilago krikoid sampai angulus mandibula. Merupakan bagian leher yang paling
terpapar, sehingga merupakan zona yang paling sering mengalami trauma tembus (60-75%).
Pada zona ini terdapat laring, trakea, esofagus, a. karotis, v. jugularis interna, a. vertebralis,
medula spinalis, n.laringeus rekuren dan saraf kranial.
Ditunjang dengan hasil laboratorium dan kondisi pasien yang masih stabil, maka
pasien ini dibutuskan untuk dilakukan tindakan explorasi segera dikamar operasi dengan
persiapan yang baik, tindakan ini tentunya tidak asal dilakukan, namun pada literatur
dituliskan bahwa kemungkinan cedera pada struktur saluran pencernaan, dan juga
perdararahan yang tersembunyi akan dapat diatasi dengan tindakan ini. Cedera pada laring,
trakea, ataupun esofagus mungkin tidak memberikan gejala segera, namun akan
membahayakan pasien jika kerusakan tersebut tidak diketahui oleh sebab itu tindakan
explorasi segera sangat penting untuk menilai struktur organ yang lebih dalam.
Jika dilihat dari hasil anamnesis mengenai sifat perdarhan maka dapat disimpulkan
nahwa kasus ini tergolong dalam kasus trauma leher yang tidak stabil namun
hemodinamiknya telah teratasi dengan resusitasi cairan yang diberikan sejak awal. Pada
pemeriksaan fisik pasien tidak ditemukan tanda-tanda multipel trauma.
Selanjutnya Saat dilakukan tindakan explorasi di kamar operasi dengan membuka
luka lebih lebar dan memindahkan bekuan darah pada lokasi cedera, ditemukan sumber
perdarahan yaitu adanya ruptur pada cabang arteri carotis externa dextra. Selanjutnya
dilakukan tindakan ligasi cabang arteri carotis tersebut. Selanjutnya dilakukan kontrol
perdarahan untuk membuktikan tidak adanya sumber perdarahan dari struktur pembuluh
darah yang lain.

22
Pada pasien juga diberikan antibiotik untuk mencegah kemungkinan infeksi post
operasi yang mungkin dapat menjadi komplikasi sebagai contoh mediastinitis yang dapat
membahayakan pasien, pada pasien juga diberikan obat antiperdarahan agar meminimalkan
cedera dan perdarahan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Reksoprawiro S, dkk. Kepala dan Leher. Dalam : Sjamsuhidajad R, dkk. 2010.


Buku Ajar Ilmu Bedah (edisi 3). Jakarta : EGC. hal 455 461

2. Rahman S, Novialdi. Penatalaksanaan Trauma Tembus Leher. Bagian Telinga


Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher (THT-KL) Fakultas Kedokteran
Universitas Andalas Padang. (online ) tanggal 14 10 2014. Diakases dari
(http://repository.unand.ac.id/16689/1/Trauma_Tembus_Leher.pdf)

3. Britt DL, dkk. Management OF Acute Neck Injuries. Dalam : Feliciano, dkk.
2008. Trauma (6 th. edition). Copyright McGraw-Hill . page 468 472

23
4. Gargjito W, dkk. Trauma leher. Dalam : Sjamsuhidajad R, dkk. 2004.
Buku Ajar Ilmu Bedah (edisi 2). Jakarta : EGC. hal 370 380

24

Anda mungkin juga menyukai