Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

Infeksi primer oleh virus varicella-zoster (VVZ) ditandai dengan ruam


yang menyebar dan menetap dibeberapa ganglia sensoris, virus ini mengalami
masa laten seumur hidup. Herpes zoster disebabkan oleh reaktivasi laten virus
varicella-zoster di saraf pusat atau akar ganglia dorsalis, dengan penyebaran virus
sepanjang saraf sensorik sampai ke dermatom.6
Infeksi virus varicella-zoster di dalam sel mononuklear darah tepi biasanya
terjadi pada fase reaktif. Penyebab reaktifasi tidak sepenuhnya diketahui tetapi
diperkirakan terjadi pada kondisi gangguan imunitas selular. Faktorfaktor yang
berpotensi menyebabkan reaktifasi adalah pajanan virus varicella-zoster
sebelumnya (cacar air, vaksinasi), berusia lebih dari 50 tahun, keadaan imunitas
yang lemah, obatobatan imunosupresif, HIV/AIDS, transplantasi sumsum tulang
atau organ, keganasan, terapi steroid jangka panjang, stres psikologis, trauma, dan
tindakan pembedaan.12
Faktor resiko utama terkena herpes zoster adalah pertambahan usia.
Seseorang yang terinfeksi oleh varicella akan mengalami penurunan kekebalan sel
T untuk antibodi virus varicella-zoster. Hal ini menyebabkan sel T membutuhkan
antibodi lain untuk melawan herpes zoster. Resiko ini lebih tinggi terjadi pada
perempuan daripada laki-laki, lebih tinggi pada orang berkulit putih daripada
berkulit hitam, dan lebih tinggi pada orang yang memiliki riwayat keluarga herpes
zoster daripada mereka yang tidak.6
Lebih dari 53% dokter mendapat kesulitan dalam mendiagnosis herpes
zoster sebelum muncul erupsi kulit, sehingga memperlambat pengobatan herpes
zoster. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan pengetahuan tentang diagnosis
dini pada primary health care atau puskesmas sangat diperlukan. Tenaga
kesehatan juga perlu memberi informasi dan edukasi kepada pasien tentang
penyakit herpes zoster dan komplikasinya sehingga dapat berobat ke dokter sedini
mungkin.12

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Herpes Zoster adalah penyakit neurokutan dengan manifestasi erupsi
vesikuler berkelompok dengan dasar eritematosa disertai nyeri radikular
unilateral yang umumnya terbatas di satu dermatom. Dan merupakan
manifestasi reaktivasi infeksi laten endogen virus varisela zoster di dalam
neuron ganglion sensoris radiks dorsalis, ganglion saraf kranialis atau
ganglion saraf autonomik yang menyebar ke jaringan saraf dan kulit dengan
segmen yang sama.10

Gambar 1. Herpes zoster

B. EPIDEMIOLOGI
Ada lebih dari satu juta kasus herpes zoster di Amerika Serikat setiap
tahun, dengan perbandingan tiga sampai empat kasus per seribu orang. Studi
tersebut menunjukkan bahwa kejadian herpes zoster meningkat. Orang yang
hidup sampai usia 85 tahun memiliki resiko sebesar 50% terkena herpes zoster
apabila tidak divaksinasi. Sebanyak 3% dari pasien dengan penyakit ini perlu
dirawat inap. Resiko meningkat dengan pertambahan usia (terutama setelah
usia 50 tahun) dan juga meningkat pada orang yang sakit parah diawal terkena
herpes zoster atau dengan ruam parah dan lesi yang menyebar.6
Virus varicella-zoster yang menyebar di dalam rahim atau masa awal
kehidupan bayi di saat sistem kekebalan selular yang tidak sepenuhnya
matang dapat menyebabkan terjadinya herpes zoster di masa kecil.6

2
Vaksin zoster dapat mengurangi rasa nyeri pada penyakit herpes zoster
terkait dengan ADL di dalam vaksin.6
Neuralgia postherpetic atau rasa sakit setelah ruam disembuhkan (sering
didefinisikan secara khusus sebagai nyeri yang menetap selama 90 hari atau
lebih setelah onset ruam), merupakan komplikasi yang ditakuti dari herpes
zoster. Neuralgia postherpetic menyerang 10-50% dari penderita herpes
zoster. Rasa sakit dapat bertahan selama berbulan-bulan atau bahkan bertahun-
tahun. Apabila sampai mengganggu tidur dan aktivitas sehari-hari, yang
mengakibatkan anoreksia, penurunan berat badan, kelelahan, depresi, menarik
diri dari kegiatan sosial dan pekerjaan, dan kehilangan hidup mandiri
merupakan akibat dari neuralgia postherpetic.6

C. ETIOLOGI
Herpes zoster, disebut juga shingles, adalah kondisi yang disebabkan
reaktifasi virus varicella-zoster, yang tinggal dorman pada ganglia sensoris
setelah infeksi primer.7

D. PATOFISOLOGI
Selama infeksi primer dari virus varizella zoster, virus menyebar melalui
aliran darah menuju ke seluruh tubuh termasuk ganglion sensoris dimana
umumnya pada daerah yang diinervasi oleh saraf oftalmikus dari saraf
trigeminus dan ganglion sensoris spinal dari T1 sampai L2. Sesudah infeksi
primer tersebut virus varicella-zoster menetap dan laten didalam ganglion
sensoris dorsalis.14
Virus varicella-zoster yang laten tersebut sewaktu-waktu bisa saja aktif
kembali (reaktifasi), mekanisme reaktifasi yang dapat terjadi belum diketahui
dengan jelas, akan tetapi berhubungan dengan kondisi seperti stres emosional,
sinar UV, demam, trauma lokal dan imunosupresi.14,3
Imunoglobin anti virus varicella-zoster yang terbentuk berperan protektif
mengatasi penyakit, begitu pula dengan sel T sitotoksik yang terbentuk dua
sampai tiga hari setelah awitan varicella membantu dalam mengurang tingkat
keparahan penyakit. Pencegahan reaktifasi virus varicella-zoster sangat

3
ditentukan oleh kondisi imunitas selular, misalnya apabila imunitas selular
spesifik terhadap virus varicella-zoster terjadi penurunan seiring
bertambahnya usia maka memicu reaktivasi virus dari ganglion turun ke sel
epitel bereplikasi dan menyebabkan zoster dermatomal melalui axon saraf,
sedangkan pada ganguan imun berat dapat terjadi zoster deseminata atau
kondisi ditemukannya lebih dari 20 lesi diluar lokasi dermatom yang
terkena.7,5

E. GAMBARAN KLINIS
Herpes zoster dapat dimulai dengan timbulnya gejala prodormal berupa
sensasi abnormal atau nyeri otot lokal, nyeri tulang, pegal, parastesia
sepanjang dermatom, gatal, rasa terbakar dari ringan sampai berat. Nyeri dapat
menyerupai sakit gigi, pleuritis, infark jantung, nyeri duodenum, kolesistitis,
kolik ginjal atau empedu, apendisitis. Dapat juga dijumpai gejala konstitusi
misalnya, sakit kepala, malaise, dan demam. Gejala prodormal dapat
berlangsung beberapa hari (1-10 hari, rata-rata dua hari).4
Setelah gejala prodormal, timbul erupsi kulit yang biasanya gatal atau
nyeri terlokalisata (terbatas di satu dermatom) berupa makula kemerahan.
Kemudian berkembang menjadi papul, vesikel jernih berkelompok selama 3-5
hari. Selanjutnya isi vesikel tersebut berubah menjadi keruh dan akhirnya
pecah menjadi krusta (berlangsung selama 7-10 hari). Erupsi kulit mengalami
involusi setelah 2-4 minggu. Sebagian besar kasus herpes zoster, erupsi
kulitnya menyembuh secara spontan tanpa gejala sisa.4
Pada sejumlah kecil pasien dapat terjadi komplikasi berupa kelainan mata
(10-20% penderita) bila menyerang di daerah mata, infeksi sekunder, dan
neuropati motorik. Kadang-kadang dapat terjadi meningitis, ensefalitis, atau
mielitis.10
Dikenal beberapa variasi klinis herpes zoster antara lain zostersine herpete
bila terjadi nyeri segmental yang tidak diikuti dengan erupsi kulit. Herpes
zoster abortif bila erupsi kulit hanya berupa eritema dengan atau tanpa vesikel
yang langsung mengalami resolusi sehingga perjalanan penyakitnya
berlangsung singkat. Disebut herpes zoster aberans bila erupsi kulitnya

4
melalui garis tengah. Bila virusnya menyerang nervus fasialis dan nervus
auditorius terjadi sindrom Ramsay Hunt yaitu erupsi kulit timbul di liang
telinga luar atau membran timpani disertai paresis fasialis, gangguan
lakrimasi, gangguan pengecap 2/3 bagian depan lidah; tinitus, vertigo, dan
tuli.10
Terjadi herpes zoster oftalmikus bila virus menyerang cabang pertama
nervus trigeminus. Bila mengenai anak cabang nasosiliaris (timbul vesikel di
puncak hidung yang dikenal sebagai tanda Hutchinson) kemungkinan besar
terjadi kelainan mata. Walaupun jarang dapat terjadi keterlibatan organ
dalam.10

F. DIAGNOSIS
Pada stadium sebelum erupsi, nyeri prodromal herpes zoster sering
dibingungkan dengan penyebab nyeri terlokalisir lainnya. Ketika erupsi
muncul, karakter dan lokasi dermatom ruam, bersama dengan nyeri
dermatomal atau abnormalitas sensoris lainnya, biasanya membuat diagnosis
menjadi jelas.8
Kumpulan vesikel, biasanya dekat dengan mulut atau genital, dapat
mewakili herpes zoster, tetapi hal ini juga bisa merupakan infeksi virus herpes
simpleks yang kambuh. Zosteriform herpes simpleks sering tidak mungkin
dapat dibedakan dengan hespes zoster berdasakan klinis. Riwayat
kekambuhan berkali kali pada lokasi yang sama sering terjadi pada herpes
simpleks tetapi tidak terjadi pada herpes zoster tanpa adanya defisiensi imun
yang parah dan jelas secara klinis.8

G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1 Tzanck Smear
Preparat diambil dari discraping dasar vesikel yang masih baru,
kemudian diwarnai dengan pewarnaan yaitu hematoxylin-eosin,
Giemsas, Wrights, toluidine blue ataupun Papanicolaous.
Dengan menggunakan mikroskop cahaya akan dijumpai
multinucleated giant cells.
Pemeriksaan ini sensitifitasnya sekitar 84%.

5
Test ini tidak dapat membedakan antara virus varicella zoster
dengan herpes simpleks virus.9
2 Direct fluorescent assay (DFA)
Preparat diambil dari scraping dasar vesikel tetapi apabila sudah
berbentuk krusta pemeriksaan dengan DFA kurang sensitif.
Hasil pemeriksaan cepat.
Membutuhkan mikroskop fluorescence.
Test ini dapat menemukan antigen virus varicella zoster.
Pemeriksaan ini dapatmembedakan antara VZV dengan herpes
simpleks virus.9
3 Polymerase chain reaction (PCR)
Pemeriksaan dengan metode ini sangat cepat dan sangat sensitif.
Dengan metode ini dapat digunakan berbagai jenis preparat seperti
scraping dasar vesikel dan apabila sudah berbentuk krusta dapat
juga digunakan sebagai preparat, dan CSF.
Sensitifitasnya berkisar 97 - 100%.
Test ini dapat menemukan nucleic acid dari virus varicella zoster.9
4 Biopsi kulit
Hasil pemeriksaan histopatologis tampak vesikel intraepidermal
dengan degenerasi sel epidermal dan acantholysis. Pada dermis bagian atas
dijumpai adanya lymphocytic infiltrate.9

H. DIAGNOSIS BANDING
1. Herpes Simpleks

Herpes zoster yang timbul di daerah genitalia mirip dengan herpes


simpleks. Karena effloresensi yang didapatkan berupa vesikel yang
berkelompok diatas kulit yang sebab dan eritematosa, berisi cairan jernih
dan kemudian menjadi seropurulen dan bila pecah menjadi krusta. Serta
diawali dengan gejala prodromal seperti demam, malaise dan nyeri.10

6
Gambar 2. Lesi pada penderita herpes simpleks 3

2. Dermatitis kontak

Gambar 3. Lesi pada penderita dermatitis kontak alergi 3

Pada dermatitis kontak alergi ditemukan pula effloresensi eritema


papul dan vesikel.3

3. Gigitan serangga

Herpes zoster juga bisa didiagnosa dengan gigitan serangga.


Sebagai contoh, penyakit kulit dermatitis marin menyerupai gejala
yang dimiliki oleh herpes zoster. Lesi dermatitis marin ini sering
didapatkan sesudah mandi di laut. Lesi mula timbul dalam waktu 4
hingga 24 jam selepas terpapar dengan air laut dengan gejala seperti
eritema, papula, macula dan urtikaria yang disertai dengan rasa nyeri
dan sensasi panas.8

4. Luka bakar

7
Luka bakar merupakan trauma yang berdampak paling berat
terhadap fisik maupun psikologis, dan mengakibatkan penderitaan
sepanjang hidup seseorang, dengan angka mortalitas dan morbiditas
yang tinggi. Kegawatan psikologis tersebut dapat memicu suatu
keadaan stress pasca trauma atau post traumatic stress disorder
(PTSD).11
Luka bakar dibedakan menjadi: derajat pertama, kedua superfisial,
kedua dalam, dan derajat ketiga. Luka bakar derajat satu hanya
mengenai epidermis yang disertai eritema dan nyeri. Luka bakar
derajat kedua superfisial meluas ke epidermis dan sebagian lapisan
dermis yang disertai lepuh dan sangat nyeri. Luka bakar derajat kedua
dalam meluas ke seluruh dermis. Luka bakar derajat ketiga meluas ke
epidermis, dermis, dan jaringan subkutis, seringkali kapiler dan vena
hangus dan darah ke jaringan tersebut berkurang.13

Gambar 4 Lesi pada penderita yang mengalami luka bakar 8

I. PENATALAKSANAAN
Prinsip dasar pengobatan herpes zoster adalah menghilangkan nyeri
secepat mungkin dengan cara membatasi replikasi virus, sehingga
mengurangi kerusakan saraf lebih lanjut.1
1. Sistemik
a. Obat antiviral

8
Terbukti menurunkan durasi lesi herpes zoster dan derajat
keparahan nyeri herpes zoster akut. Adapun golongan antiviral
yaitu asiklovir dewasa 5 x 800 mg/hari selama 7 10 hari,
valasiklovir 3 x 1000 mg/hari selama 7 hari, dan famsiklovir 3 x
500 mg/hari selama 7 hari. Pada pemberian antivirus masih dapat
diberikan setelah 72 jam bila masih timbul lesi baru/terdapat
vesikel yang muncul <3 hari. Bila disertai keterlibatan organ
visceral diberikan asiklovir intravena 10 mg/kgBB 3x per hari
selama 5-10 hari. Asiklovir dilarutkan dalam 100 cc NaCl 0,9%
dan diberikan tetes selama satu jam. Untuk wanita hamil diberikan
asiklovir. Dan untuk herpes zoster dengan paralisis fasial/kranial,
polyneuritis, dan keterlibatan SSP dikombinasikan dengan
kortikosteroid walaupun keuntungannya belum dievaluasi secara
sistematis.12

Pengobatan antivirus pada pasien imunokompromais


diberikan asiklovir dewasa 4-5 x 800 mg/hari, valasiklovir 3 x 1
gram/hari, dan famsiklovir untuk dewasa 3 x 500 mg/hari. Pada
kasus yang hebat selain pemberian IV asiklovir ditambahkan
interferon Alpha 2a. pengobatan dapat dilanjutkan dengan terapi
supresi terutama bila gejala klinik belum menghilang : berikan
asiklovir 2 x 400 mg/hari atau valasiklovir 500 mg/hari.
Peningkatan sistem imun dengan pemberian imunomodulator
seperti interferon dan Isoprinosine.12

b. Kortikosteroid

Prednison yang dikombinasi dengan asiklovir dapat


mengurangi nyeri akut. Hal ini disebabkan penurunan derajat
neuritis akibat infeksi virus dan menurunkan derajat kerusakan
pada saraf yang terlibat. Tetapi obat kortikosteroid tidak
bermanfaat untuk mencegah NPH (neuralgia pasca herpes).
Sehingga Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin

9
FKUI/RSCM tidak menganjurkan pemberian kortikosteroid pada
herpes zoster.10

c. Analgetik

Golongan analgetik yang digunakan pada nyeri ringan


adalah NSAID atau paracetamol , dan kombinasi opioid ringan
(tramadol, kodein, morfin, atau oksikodon) untuk pasien dengan
nyeri kronik hebat.10,12

d. Anti depresan dan antikonvulsan

Kombinasi terapi asiklovir dengan antidepresan trisiklik


atau gabapentin sejak awal mengurangi prevalensi NPH.10

2. Topikal

Selama fase akut herpes zoster, penerapan kompres dingin,


calamine lotion, tepung maizena, atau baking soda dapat membantu
untuk meringankan gejala lokal dan mempercepat pengeringan
vesikular lesi. Salep yang oklusif, krim, atau losen yang mengandung
glukokortikoid tidak boleh diaplikasikan pada lesi herpes zoster.(1)
Penambahan glukokortikoid terapi antivirus belum terbukti
mengurangi timbulnya neuralgia post herpes.5

a. Kompres

Kompres terbuka dengan solusio Burowi dapat digunakan pada


lesi akut untuk mengurangi nyeri dan pruritus. Kompres dilakukan
4-6 kali/hari selama 30-60 menit.10

b. Antiinflamasi nonsteroid

Asam asetil salisilat topical dalam pelembab lebih efektif


dibandingkan aspirin oral dalam memperbaiki nyeri akut. Aspirin
dalam etil eter atau kloroform dilaporkan aman dan bermanfaat
menghilangkan nyeri untuk beberapa jam. Krim indometasin sama

10
efektifnya dengan aspirin, dan aplikasinya lebih nyaman. Tetaapi
penggunaan pada area yang luass dapat menyebabkan gangguan
gastrointestinal akibat absorbsi per kutan.10

3. Anestetik lokal
Pemberian anestetik lokal pada berbagai lokasi sepaanjang
jaras saraf yang terlibat dalam herpes zoster telah banyak
dilakukan untuk menghilangkan nyeri.infiltrasi lokal subkutan,
blok saraf perifer, ruang paravertebral atau epidural, dan blok
simpatis untuk nyeri yang berkepanjangan sering digunakan. Akan
tetapi, efikasi blok saraf terhadap pencegahan NPH belum terbukti
dan berpotensi menimbulkan risiko.10
4. Kortikosteroid
Krim/losio yang mengandung kortikosteroid tidak
digunakan pada lesi akut herpes zoster dan juga tidak dapat
mengurangi risiko terjadinya NPH.10

J. KOMPLIKASI
Komplikasi pada herpes zoster beragam dan beberapa ditentukan dengan
lokasi dermatom yang terlibat, misalnya pada saraf trigeminal cabang pertama
(oftalmikus) dapat berkomplikasi pada hilangnya penglihatan, nyeri menetap
lama, dan/atau luka parut. Reaktivasi virus di ganglion genikulata saraf fasialis
dapat berkomplikasi herpes zoster Optikus atau Sindrom Ramsay Hunt.
Komplikasi kutaneus dapat berupa infeksi sekunder dan gangren superfisialis
yang dapat menghambat penyembuhan. Sedangkan pada organ viseral dapat
terjadi hepatitis, miokarditis, pericarditis, arttitis meskipun hal tersebut jarang
terjadi.12
Neuralgia post herpes (NPH) merupakan komplikasi yang sering terjadi
yaitu sekitar 10-40% dari kasus herpes zoster. Neuralgia post herpes ialah
nyeri yang menetap di dermatom terlibat tiga bulan setelah erupsi herpes
zoster menghilang atau telah mengalami resolusi. Komplikasi lain yang
mungkin terjadi adalah scar sarcoid, infeksi bakteri pada kulit yang rusak,
encephalitis, acute retinal necrosis syndrome, Guillain-Barre Syndrom dan
myelitis.2,6

11
K. PENCEGAHAN
Usia lanjut merupakan salah satu faktor herpes zoster di Amerika
diperkirakan pada satu juta kasus herpes zoster baru setiap tahunnya yang
teridiri orang yang berumur 60 tahun keatas lebih 50% dan bertambah sesuai
dengan bertambahnya umur populasi. Booster vaksin varisela strain Oka untuk
orang tua meningkatkan kekebalan spesifik virus varicella-zoster.6,8
Vaksin herpes zoster mampu mengurangi angka kejadian Herpes Zoster
hingga sebesar 64% pada kelompok usia 60-69 tahun dan menurun seiring
dengan pertambahan usia. Vaksin ini empat belas kali lebih viron dari vaksin
varisela yang digunakan pada anak-anak.12
Sediaan Sediaan bentuk serbuk terlipofilisasi virus varicella
hidup yang dilemahkan dari strain Oka/Merck
yang diambil dari anak yang terkena varicella
secara alamiah.
Saat akan digunakan direkonstitusi/dilarutkan
dengan pelarut yang disediakan di kemasan
Indikasi Yang Zostavax diindikasikan untuk imunisasi individu
Disetujui di usia 50 tahun atau lebih
BPOM Pencegahan herpes zoster (shingles)
Indonesia -Pencegahan postherpetic neuralgia (PHN)
(Tidak dipakai untuk pengobatan HZ dan NPH)
Kontraindikasi Riwayat reaksi anafilaksis/anakfilatoid terhadap
gelatin, neomisin atau komponen lain dari vaksin
Imunosupresi atau imunodefisiensi
Tuberkulosis aktif yang tidak diterapi
Kehamilan
Rekomendasi Laki-laki dan perempuan usia 50 tahun keatas
pemberian dari (dengan atau tanpa episode zoster
SATGAS sebelumnya)
Imunisasi Immunokompeten
Dewasa
Pemberian SC, pada lengan atas
Diberikan dalam 30 menit sejak vaksin

12
dilarutkan
Tunda Vaksinasi Zostavax bila ada demam >
38,5oC
Dosis Dosis tunggal, 0.65 ml/dosis, satu kali injeksi,
tidak butuh booster
Penyimpanan 28oC, masa kadaluarsa 18 bulan
Kejadian Ikutan Eritema, nyeri, pembengkakan, hematoma, pruritus,
Pasca Imunisasi panas, reaksi lokal (inflamasi di tempat injeksi)
yang sering
ditemukan
Interaksi obat Hentikan pemberian antiviral 24 jam sebelum
vaksinasi dan 14 hari sesudah vaksinasi.
Bisa diberikan bersamaan dengan vaksin influenza
trivalent inaktif dan vaksin pneumokokal
polisakarida
Tabel 1. Ringkasan Profil Vaksin Herpes Zoster [Oka/Merck]
(Zostavax).12

L. PROGNOSIS
Pada lesi yang menyerang organ viseral terutama pada kemoterapi,
mortalitas mencapai 30 %. Apalagi kalau jumlah limfosit menurun menjadi
<500/mikroliter.12 Lesi kutaneus harus tetap mengering dan bersih untuk
mengurangi resiko superinfeksi oleh bakteri.4 Varisela pneumoni dapat muncul
37 hari setelah serangan infeksi kulit, berlangsung selama 24 minggu. Gejala
CNS muncul 48 hari setelah infeksi kulit dan akan memberikan
prognosa jelek.12 Terapi obat dimulai dengan analgetik dan antivirus, setelah
dua minggu pasien akan menunjukkan penyembuhan yang signifikan.4

13
BAB III
RESUME
Herpes Zoster adalah penyakit neurokutan dengan manifestasi erupsi
vesikuler berkelompok dengan dasar eritematosa disertai nyeri radikular unilateral
yang umumnya terbatas di satu dermatom. Dan merupakan manifestasi reaktivasi
infeksi laten endogen virus varisela zoster di dalam neuron ganglion sensoris
radiks dorsalis, ganglion saraf kranialis atau ganglion saraf autonomik yang
menyebar ke jaringan saraf dan kulit dengan segmen yang sama.
Resiko meningkat dengan pertambahan usia (terutama setelah usia 50
tahun) dan juga meningkat pada orang yang sakit parah diawal terkena herpes
zoster atau dengan ruam parah dan lesi yang menyebar.
Herpes zoster dapat dimulai dengan timbulnya gejala prodormal berupa
sensasi abnormal atau nyeri otot lokal, nyeri tulang, pegal, parastesia sepanjang
dermatom, gatal, rasa terbakar dari ringan sampai berat. Neuralgia postherpetic
atau rasa sakit setelah ruam disembuhkan (sering didefinisikan secara khusus
sebagai nyeri yang menetap selama 90 hari atau lebih setelah onset ruam),
merupakan komplikasi yang ditakuti dari herpes zoster.
Diagnosis banding yang termasuk adalah herpes simpleks, dermatitis
kontak, gigitan serangga, dan luka bakar.
Vaksin herpes zoster mampu mengurangi angka kejadian Herpes Zoster
hingga sebesar 64% pada kelompok usia 60-69 tahun dan menurun seiring dengan
pertambahan usia. Vaksin ini empat belas kali lebih viron dari vaksin varisela
yang digunakan pada anak-anak.
Pada lesi yang menyerang organ viseral terutama pada kemoterapi,
mortalitas mencapai 30 %. Apalagi kalau jumlah limfosit menurun menjadi
<500/mikroliter. Lesi kutaneus harus tetap mengering dan bersih untuk
mengurangi resiko superinfeksi oleh bakteri. Terapi obat dimulai dengan
analgetik dan antivirus, setelah dua minggu pasien akan menunjukkan
penyembuhan yang signifikan.

14
DAFTAR PUSTAKA

1. Alexander K, Benjamin B. Herpes Zoster In Chilhood. Open journal of


pediatrics. March 2015. p : 39-44 http://www.scirp.org/journal/ojped
http://dx.doi.org/10.4236/ojped.2015.51008
2. Burn, T, dkk. (2010). Rooks Tekbook of Dermatology. Wiley-Blacwell:
Vol.1, Ed.8.
3. Bolognia, J. L, dkk. (2008). Second edition Dermatology. Elsevier
Limited: vol. 1, ed.2).
4. Chhimwal P, dkk. (2015). Herpes Zoster: A Case Report. Journal of Dental
& Oro-facial Research Vol 11, Issue 1. Vadodara.
5. Cohen, Jeffery I. (2013). Herpes Zoster. New England Journal of
Medicine. Page 255
6. Djuanda, Adhi, Hamzah Mochtar, Aisah Siti. Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. Edisi 6. FK UI. Jakarta.
7. Donahue, J. G. dkk. (2010). Herpes Zoster And Exposure To Varicella
Zoster Virus In An Era Of Varicella Vaccination. American Journal of
Public Health. Vol 100, No. 6. Belongia.
8. Goldsmith, L. A. (2012). Fitzpatrick's. 8th ed. New York [etc.]: McGraw-
Hill Medical. Page 2390-2395
9. Lubis RD. (2008). Varicella dan Herpes Zoster. Departemen Ilmu
Kesehatan Kulit Kelamin FK USU. Sumatera Utara.
10. Menaldi SL, Bramono K, Indriatmi W. (2015). Ilmu penyakit kulit dan
kelamin. Ed:7. FKUI; Jakarta. Halaman 121-123
11. Purwaningsih L. A, Rosa E. M. (2015). Respon Adaptasi Fisiologis dan
Psikologis Pasien Luka Bakar yang Diberikan Kombinasi Alternative
Moisture Balance Dressing dan Seft Terapi di RSUP Dr. Sardjito
Yogyakarta. Jurnal MJN Vol.2 No.2. Yogyakarta.
12. Pusponegoro E H D, Nilasari H, Lumintang H, Niode N J, Daili S F,
Djauzi S. (2014). Buku Panduan Herpes Zoster di Indonesia. FK UI.
Jakarta. Halaman 26
13. Rahayuningsih T. (2012). Penatalaksanaan Luka Bakar (Combustio).
Akper Poltekkes Bhakti Mulia Sukoharjo. Jawa Tengah.
14. Schmader, K. E. (2011). Status and Health-Related Quality of Life
Measures in Older Adults Effect of a Zoster Vaccine on Herpes Zoster-

15
Related Interference with Functional. J Am Geriatr Soc. 2010 September ;
58(9): 16341641. doi:10.1111/j.1532-5415.2010.03021.x. Oxman.

16

Anda mungkin juga menyukai