Anda di halaman 1dari 29

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM LAPORAN KASUS

FAKULTAS KEDOKTERAN JUNI 2017


UNIVERSITAS HASANUDDIN

GASTROESOPHAGEAL REFLUKS DISEASE

(GERD)

OLEH :

SAFITRI C111 13 322

ANGGRENI SAFITRI C111 13 331

BELINDA STEFANI TENDEANAN C111 13 335

PEMBIMBING :

dr. Ivan Tanawal

DIBAWAKAN DALAM RANGKA


TUGAS KEPANITRAAN KLINIK
BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN

1
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertandatangan di bawah ini, menyatakan bahwa :

Safitri C111 13 322

Anggreni Safitri C111 13 331

Belinda Stefani Tendeanan C111 13 335

Judul laporan kasus : Gastroesophageal Refluks Disease (GERD)

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepanitraan klinik pada bagian Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.

Makassar, 02 Juni 2017

Pembimbing

dr. Ivan Tanawal

2
DAFTAR ISI

SAMPUL........................................................................................................ 1

HALAMAN PENGESAHAN............................................................................ 2

DAFTAR ISI.................................................................................................... 3

DAFTAR TABEL ........................................................................................... 4

DAFTAR GAMBAR........................................................................................ 5

BAB 1 LAPORAN KASUS.............................................................................. 6

BAB 2 DISKUSI..............................................................................................

2.1. DEFINISI..................................................................................... 12

2.2. EPIDEMOLOGI........................................................................... 13

2.3. ETIOLOGI..................................................................................... 13

2.4. PATOFISIOLOGI.......................................................................... 14

2.5. GEJALA KLINIS............................................................................ 16

2.6. DIAGNOSIS................................................................................... 17

2.7. PENATALAKSANAAN................................................................. 21

2.8. DIAGNOSIS BANDING.................................................................. 28

2.9. PROGNOSIS................................................................................. 29

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 30

DAFTAR TABEL

3
Tabel 1. .................................................................................................... 16

Tabel 2...................................................................................................... 17

Tabel 3...................................................................................................... 22

DAFTAR GAMBAR

4
Gambar 1. .................................................................................................... 12

Gambar 2.................................................................................................... 13

Gambar 3.................................................................................................... 17

Gambar 4.................................................................................................... 18

Gambar 5.................................................................................................... 19

Gambar 6.................................................................................................... 20

5
BAB 1

LAPORAN KASUS

A. Identitas Pasien
Nama : Tn. K
Tanggal Lahir : 01 Juli 1976
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Luwu Timur
Suku : Bali
No.Hp : 085342674650
No.Rekam Medik : 801161
Tanggal Pemeriksaan : 26 Mei 2017
Dokter Yang Memeriksa : dr. Rahmat Hidayah
Dokter Muda :

B. Subjektif
Anamnesis
Keluhan utama: rasa panas di dada
Anamnesis Terpimpin : pasien datang ke poli GEH RSWS dengan keluhan
rasa panas di dada yang dirasakan hilang timbul selama 2 bulan terakhir dan
memberat 1 hari yang lalu di malam hari (1 hari sebelum ke poli). Rasa panas
dirasakan naik ke dada bagian atas. Pasien juga merasakan asam pada mulut, mual
tetapi tidak sampai muntah, rasa cepat kenyang saat makan serta mengeluhkan nyeri
ulu hati. Pada saat tidur kadang-kadang pasien terbangun karena bersendawa. Pasien
tidak mempunyai riwayat hipertensi, diabetes mellitus dan alergi. Tidak ada keluarga
pasien yang memiliki keluhan yang sama dengan pasien. BAB dan BAK lancar.
Pasien memiliki pola makan yang tidak teratur karena sibuk dengan pekerjaannya
sebagai kepala dusun. Pasien kadang terlambat makan malam sehingga setelah
makan, pasien langsung beristirahat (tidur). Pasien menyukai makanan pedas,
merokok 6-8 batang per hari. Pasien memiliki riwayat mengkonsumsi alkohol saat
remaja. Pasien tidak suka menggunakan pakaian ketat dan tidak ada penurunan berat
badan yang drastis. Pasien mengaku sempat mengkonsumsi jamu untuk meredakan
rasa tidak nyaman di dada namun tidak berpengaruh sehingga segera dihentikan.

C. Status Pasien
Pemeriksaan fisis :
Sakit ringan
Gizi baik BB : 80 kg TB : 170 cm IMT : 27,68 (obes 1)
Kesadaran : komposmentis
Tanda vital :
- Tekanan darah : 120/80 mmHg
- Nadi : 84x/menit

6
- Pernapasan : 20x/menit Tipe : thorakal
- Suhu : 36C

Kepala :

Ekspresi : normal deformitas : tidak ada

Simetris muka : simetris kiri dan kanan rambut : sulit dicabut

Mata :

Eksoptalmus/enoptalmus : tidak ada gerakan : normal

Tekanan bola mata : normal

Kelopak mata : normal

Konjungtiva : anemi - kornea : normal +/+

Sclera : ikterus - pupil : normal +/+

Telinga :

Tophi - pendengaran : normal

Nyeri tekan di prosesus mastoideus -

Hidung :

Pendarahan - sekret -

Mulut :

Bibir : tidak ada sianosis tonsil : tidak ada peradangan

Gigi geligi : karies tidak ada faring : tidak ada peradangan

Gusi : tidak ada perdarahan lidah : tidak ada lidah kotor, peradangan

Leher :

- Kelenjar getah bening : tidak teraba pembesaran


- Kelenjar gondok : tidak teraba pembesaran
- DVS : R+1 cm H2O
- Pembuluh darah : normal

7
- Kaku kuduk : negatif

Thoraks :

- Inspeksi :
Bentuk : simetris kiri dan kana
Pembuluh darah : normal
Buah dada : normal
Sela iga : tidak ada pelebaran sela iga
Lain-lain : tidak ada kelainan
Paru
- Palpasi :
Fremitus raba : kiri sama dengan kanan
Nyeri tekan : tidak ada
- Perkusi :
Paru kiri : sonor
Paru kanan : sonor
Batas paru-hepar : ICS VI dextra
Batas paru belakang kanan : V. th.IX
Batas paru belakang kiri : V. th.X
- Auskultasi : BP vesikuler. Ronkhi dan wheezing tidak ada

Jantung :

- Inspeksi : iktus cordis tidak tampak


- Palpasi : iktus cordis teraba
- Perkusi : batas kanan jantung ICS IV linea parasternal dextra
Batas kiri jantung ICS V linea midclavicularis sinistra
- Auskultasi : BJ I/II : murni regular
Bunyi tambahan : murmur -, gallop -

Abdomen :

- Inspeksi : simetris, tidak ada kelainan


- Auskultasi : peristaltik ada, kesan normal
- Palpasi : supel, nyeri tekan epigatrium. Massa tumor tidak ada.
Hati : tidak ada pembesaran
Limpa : tidak teraba
Ginjal : balotement
Lain-lain : tidak ada
- Perkusi : timpani, undulasi -

Alat kelamin : tidak ada kelainan

Anus dan rectum : tidak ada kelainan

8
Punggung :

Palpasi : nyeri tekan -, massa tumor

Nyeri ketok : tidak ada

Auskultasi : BP vesikuler, ronkhi dan wheezing tidak ada

Gerakan : dalam batas normal

Lain-lain : tidak ada kelainan

Ekstremitas : tidak ada edema dan tanda-tanda inflamasi

Laboratorium : 16 Mei 2017

1. Darah rutin :
- WBC : 7,3x103/Ul
- RBC : 5,57x106/uL
- HGB : 15,0 g/dl
- HCT : 44%
- MCV : 80 um3
- MCH : 27 pg
- MCHC : 34 g/dl
- PLT : 285 x 103/Ul
2. Fungsi ginjal :
- Ureum : 15 mg/dL
- Kreatinin : 1,10mg/dL
3. Fungsi hati :
- AST/SGOT : 24 U/L
- ALT/SGPT : 20 U/L
4. Kimia darah :
- GDS : 92 mg/dL

Pemeriksaan penunjang lainnya : endoskopi

Resume :

Seorang pria 41 tahun datang ke poli GEH RSWS dengan keluhan rasa panas
di dada yang dirasakan hilang timbul selama 2 bulan terakhir dan memberat 1 hari
yang lalu di malam hari (1 hari sebelum masuk rumah sakit). Rasa panas di dada
dirasakan naik ke dada bagian atas. Pasien juga merasakan asam pada mulut, mual
tetapi tidak sampai muntah, rasa cepat kenyang saat makan serta mengeluhkan nyeri
ulu hati. Pada saat tidur kadang-kadang pasien terbangun karena bersendawa. Pasien
tidak mempunyai riwayat hipertensi, diabetes mellitus dan alergi. Tidak ada keluarga
9
pasien yang memiliki keluhan yang sama dengan pasien. BAB dan BAK lancer.
Pasien memiliki pola makan yang tidak teratur karena sibuk dengan pekerjaannya
sebagai kepala dusun. Pasien kadang terlambat makan malam sehingga setelah
makan, pasien langsung beristirahat (tidur). Pasien menyukai makanan pedas,
merokok 6-8 batang per hari. Pasien memiliki riwayat mengkonsumsi alcohol saat
remaja. Pasien tidak suka menggunakan pakaian ketat dan tidak ada penurunan berat
badan yang drastis. Pasien mengaku sempat mengkonsumsi jamu untuk meredakan
rasa ketidaknyamanan di dada namun tidak berpengaruh sehingga segera dihentikan.
Pada pemeriksaan fisis didapatkan nyeri tekan pada epigastrium.
D. Assessment
Refluks gastroesofageal (GERD)
E. Planning
- Pengobatan :
Non farmakologi : penurunan berat badan
Menaikkan posisi kepala ketika tidur
Menghindari makan terlalu malam
Farmakologi : penghambat pompa proton - lansoprazole 30 mg 2x1
Prokinetik - sotatik (metoclopramide) 10 mg 3x1
- Rencana pemeriksaan : -
F. Prognosis
- Ad functionam : bonam
- Ad sanationam : bonam
- Ad vitam : bonam

10
BAB 2

DISKUSI

2.1. Definisi

Penyakit Refluks Gastroesofageal adalah keadaan ketika cairan lambung refluks ke


dalam esofagus dan menyebabkan gejala yang mengganggu atau tanpa gejala namun
ditemukan komplikasi struktural seperti esofagitis, perdarahan striktur, esofagitis Barret
hingga adenokarsinoma.(1) Penyakit refluks gastroesofageal diklasifikasikan menjadi dua
kelompok berdasarkan Konsensus Montreal tahun 2006, yaitu sindrom esofageal dan sindrom
ekstraesofageal.

Sindrom simtomatik adalah refluks esofageal tanpa adanya lesi struktural atau belum
dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk menilai kerusakan struktural. Dua keluhan klasik
pasien dengan sindrom simtomatik adalah nyeri pada dada (heart burn) dan regurgitasi.
Sedangkan sindrom dengan lesi esofagus terdiri atas esofagitis refluks, striktur, esofagitis
Barret, dan adenokarsinoma esofagus. Kejadian esofagitis ditemukan paling banyak terjadi
dimana kurang dari 50% pasien Grefluks esofageal mengalami esofagitis. Striktur sendiri

11
hanya terjadi pada kurang dari 5% pasien. Esofagus Barret adalah keadaan epitel skuamosa
esofagus digantikan oleh metaplasia kolumnar. Esofagus Barret merupakan faktor risiko
utama adenokarsinoma esofagus.(3)

Perlangsungan refluks gastroesofageal dalam jangka waktu lama dapat menimbulkan


keluhan ekstraesofageal, baik yang telah diketahui hubungan sebab-akibatnya maupun yang
belum dapat dijelaskan secara pasti. Pajanan asam lambung pada esofagus, laring dan mulut
menyebabkan batuk, laringitis, asma dan erosi dental, baik melalui kontak langsung atau
refleks neural.(3)

2.2. Epidemiologi

Prevalensi refluks gastroesofageal di Asia, termasuk Indonesia, relatif rendah


dibanding negara maju. Di Amerika hampir 7% populasi mempunyai keluhan heartburn, dan
20%-40% diantaranya diperkirakan menderita refluks gastroesofageal. Prevalensi egofagitis
di negara barat berkisar antara 10%-20%, sedangkan di Asia hanya 3%-5% (kecuali Jepang
dan Taiwan). Hal ini diduga dipengaruhi pola diet tinggi lemak dan alkohol di negara-negara
maju. (3)

Tidak ada predileksi gender pada refluks gastroesofageal, laki-laki dan perempuan
memiliki risiko yang sama besarnya, namun esofagitis ditemukan lebih banyak pada laki-laki
(2-3:1), begitu pula esofagus Barret lebih banyak dijumpai pada laki-laki daripada perempuan
(10:1). (2)

2.3. Etiologi

Ada dua mekanisme yang meningkatkan frekuensi refluks adalah peningkatan


tekanan intra abdomen dan tekanan Lower esophageal sphincter/LES yang menurun. Faktor
risiko mencakup obesitas, kehamilan, merokok, hernia hiatus, penyakit paru seperti asma dan
PPOK, konsumsi alkohol dan penggunaan terapi pengganti hormon esterogen. (2)

Walaupun penurunan tonus spingter bagian bawah terjadi pada bayi dengan GERD
dan kelainan dismotilitas, akan tetapi ada satu faktor yang belakangan diakui sebagai
pathogenesis terpenting pada GERD adalah terjadinya relaksasi transien spingter esophagus
bawah secara berulang. Faktor yang meningkatkan waktu pengosongan esophagus termasuk

12
didalamnya interaksi antara postur dan gravitasi, ukuran dan isi makanan yang dimakan,
pengosongan lambung abnormal, dan kelainan peristalsis esophagus.(2)

2.4. Patofisiologi

GERD merupakan penyakit multifaktorial, di mana esofagitis dapat terjadi sebagai akibat
dari refluks kandungan lambung ke dalam esofagus apabila :

1. Terjadi kontak dalam waktu yang cukup lama antara bahan refluksat dengan mukosa
esofagus.
2. Terjadi penurunan resistensi jaringan mukosa esofagus, walaupun waktu kontak
antara bahan refluksat dengan esofagus tidak cukup lama.
3. Terjadi gangguan sensitivitas terhadap rangsangan isi lambung, yang disebabkan oleh
adanya modulasi persepsi neural esofageal baik sentral maupun perifer.(1)

Gambar. 1 patofisiologis GERD

Pathogenesis penyakit refluks gastroesofageal meliputi ketidakseimbangan antara


faktor ofensif dan faktor defensive dari bahan refluksat. Yang termasuk faktor defensive
antara lain disfungsi sfingter esophagus bawah (LES), bersihan asam dari lumen esophagus,
dan ketahanan epitel esophagus. Bentuk anatomi LES yang melipat berbentuk sudut, dan
kekuatan menutup dari sfingter, menjadikan LES berperan penting dalam mekanisme anti
refluks. Peningkatan tekanan intraabdomen (misalnya saat batuk), proses gravitasi saat
berbaring, dan kelainan anatomis sepertio sliding hernia hiatal mempermudah terjadinya
refluks. Bersihan asam dari lumen esophagus adalah kemampuan esophagus untuk

13
membersihkan dirinya dari refluksat. Kemampuan esophagus ini berasal dari peristaltic
esophagus primer, peristaltic esophagus sekunder (saat menelan), dan produksi saliva yang
optimal. Sementara faktor ofensif adalah peningkatan asam lambung, dilatasi lambung,
beberapa kondisi patologis yag mengakibatkan berkurangnya kemampuan pengosongan
lambung seperti obstruksi gastrik outlet dan delayed gastric emptying.(6)

Beberapa tingkat refluks gastroesophageal terjadi secara normal pada kebanyakan individu.

Gambar.2 Tingkat refluks GERD

Pertahanan esofagus meliputi sfingter esofagus bagian bawah, mekanisme bersihan


esofagus, dan epitel esofagus.

- Sfingter esofagus bagian bawah (Lower esophageal sphincter/LES)


Esofagus dan lambung dipisahkan oleh LES bertekanan tinggi berlokasi di
gastroesofageal junction yang mencegah aliran retrogad dari lambung ke esofagus.
LES bersifat dinamik untuk memproteksi refluks dalam berbagai situasi seperti
menelan dan ketegangan perut. Dalam system pencernaan yang normal, relaksasi dari
LES terjadi jika esophagus berkontraksi untuk membiarkan makanan masuk ke gaster.
Kontraksi dari LES akan menyebabkan regurgitasi dari gaster ke esophagus. Pada fase
istirahat, LES mempertahankan tekanan 15-30 mmHg di atas tekanan intragastrik.
Pada refluks gastroesofageal fungsi LES terganggu baik karena relaksasi LES transien

14
atau karena turunnya tekanan LES (<3 mmHg) secara menetap akibat penggunaan
obat-obatan, makanan, faktor hormonal, nikotin, atau kelainan strukrural seperti
hiatus hernia. TLESR adalah penyebab yang paling sering ditemui, yaitu relaksasi
yang berlangsung singkat (<5 detik), spontan (tidak didahului proses menelan), dan
berulang. TLESR dapat terjadi akiat stimulasi dari nervus vagal dan nervus motorik
sebagai respon dari distensi gaster.(3)
- Mekanisme bersihan esofagus
Terdiri dari faktor gravitasi, gaya peristaltik esofagus, bersihan saliva, dan bikarbonat
dalam saliva yang dapat menetralisir suasana asam. Pada GERD terjadi proses
pembersihan asam dari esophagus yang berlangsung 2-3 kali lebih lama dari waktu
normalnya ( peristaltik 60kali per jam). Bila peristaltik esofagus terganggu, saliva dan
bikarbonat berkurang, esofagus akan terpajan lebih lama dengan cairan lambung yang
lama-kelamaan dapat menyebabkan esofagitis. Dapat juga terjadi karena peningkatan
volume refluks dari gaster. Refluks di malam hari lebih berbahaya karena posisi tidur
berbaring menyebabkan tidak ada pengaruh gravitasi dan bersihan esofagus menurun
di malam hari sehingga pajanan terhadap cairan lambung lebih lama.(3)
- Pertahanan epitel esofagus
Pertahanan epitel esofagus terdiri dari (1) membran sel, (2) intercellular junction yang
membatasi difusi H+ ke dalam jaringan esofagus, (3) aliran darah yang membersihkan
ion H+ dan mensuplai nutrisi, oksigen, bikarbonat, dan (4) kemampuan mengangkut
ion H+ ke dalam sel dan sebagai gantinya mengeluarkan Na + dan bikarbonat ke
ruang ekstrasel. Usia dan status nutrisi mempengaruhi kemampuan dari mukosa
esophagus. Selain itu, konsumsi alkohol dan nikotin juga dapat merusak pertahanan
epitel esofagus karena mengurangi kemampuan sel epitel melakukan pertukaran ion
dan permeabilitas jaringan esofagus terhadap H+ meningkat.(3)

Sementara itu faktor yang memicu terjadinya refluks cairan lambung adalah (1)
distensi lambung dan pengosongan lambung yang terlambat, (2) peningkatan tekanan
intragastrik, (3) serta keadaan yang menyebabkan tekanan intraabdomen meningkat, seperti
hamil, obesitas, dan pakaian yang terlalu ketat.

2.5. Manifestasi Klinis

Dua gejala khas refluks esofagus adalah heartburn dan regurgitasi. Heartburn adalah
gejala tersering berupa rasa terbakar di daerah ulu hati yang naik hingga ke retrosternal atau
di belakang tulang dada. Biasanya terjadi 30-60 menit setelah makan. Heartburn terjadi

15
karena adanya stimulasi asam di nervus sensoris di epitel esophagus. Paparan yang lama
terhadap asam akan mengiritasi esophagus dan menimbulkan sensasi seperti terbakar.
Regurgitasi menyebabkan pasien merasakan sensasi asam atau pahit di dalam mulut. Kedua
gejala ini biasanya terjadi setelah makan atau saat berbaring. Selain itu, pasien juga sering
merasa kembung, mual, cepat kenyang, bersendawa, dan hipersalivasi. Disfagia yang
progresif dan mengganggu sugestif terhadap striktur esofagus. Odinofagi lebih sering terjadi
pada kasus infeksi, namun dapat dikeluhkan pasien dengan ulserasi esofagus yang berat. (3)

Gejala lain adalah nyeri di epigastrium yang mirip pada dispepsia atau ulkus
peptikum. Dapat pula terjadi nyeri dada non-kardiak yang sering disalahartikan sebagai
penyakit jantung iskemik. Refluks cairan lambung dapat memicu terjadinya sindrom
ekstraesofageal seperti batuk kronis, asthma dan laringitis yang menyebabkan suara serak
terutama di pagi hari pada kasus kronik. Jika refluks terjadi hingga ke mulut dapat
menyebabkan karies pada gigi, gingivitis, halitosis. Namun, perlu diingat bahwa sindrom-
sindrom tersebut jarang terjadi tanpa disertai gejala refluks tipikal seperti heartburn dan
regurgitasi. Oleh karena itu, bila keadaan ini muncul tanpa gejala tipikal lain, maka diagnosis
lain harus dipikirkan. (3)

Pada pemeriksaan fisis didapatkan berat badan yang berlebih, dapat pula ditemukan
suara mengi pada asthma yang diinduksi refluks, ronkhi basah pada pneumonia dan
bronkiektasis, inflamasi laring, atau erosi dentin gigi.(3)

Komplikasi tersering yang dapat terjadi yaitu esofagitis dapat dimulai dengan
manifestasi berupa eritem pada pemeriksaan endoskopi hingga erosi atau ulserasi pada kasus
yang lebih berat. Komplikasi yang lebih berat dapat menyebabkan obstruksi karena striktur
esophagus atau Barretts esophagus. (2)

2.6. Diagnosis

Gejala spesifik untuk GERD adalah heartburn dan/atau regurgitasi yang timbul
setelah makan. Meskipun demikian, harus ditekankan bahwa studi diagnostik untuk gejala
heartburn dan regurgitasi sebagian besar dilakukan pada populasi Kaukasia. Di Asia keluhan
heartburn dan regurgitasi bukan merupakan penanda pasti untuk GERD. Namun, terdapat
kesepakatan dari para ahli bahwa kedua keluhan tersebut merupakan karakteristik untuk
GERD.(1) Disamping anamnesis dan pemeriksaan fisik yang seksama, beberapa pemeriksaan
penunjang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis GERD, yaitu :

16
1. GERD Scoring

Tabel.1 GERD Scoring

2. Endoskopi saluran cerna bagian atas


Merupakan standar baku untuk diagnosis GERD dengan ditemukannya mucosal
break di esofagus (esofagitis refluks). Dengan melakukan pemeriksaan ini, dapat
dinilai perubahan makroskopik dari mukosa esofagus, serta dapat menyingkirkan
keadaan patologis lain yang dapat menimbulkan gejala GERD. Jika tidak ditemukan
mucosal break pada pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas pada pasien
dengan gejala khas GERD, keadaan ini disebut non-erosive reflux disease (NERD).

17
Ditemukannya kelainan esofagitis pada pemeriksaan endoskopi yang dipastikan
dengan pemeriksaan histopatologi (biopsi), dapat mengkonfirmasi bahwa gejala
heartburn atau regurgitasi tersebut disebabkan oleh GERD.(2)
Tabel 2. Klasifikasi Los Angeles

Derajat
Gambaran endoskopi
kerusakan

A Erosi kecil-kecil pada mukosa esofagus dengan diameter <5 mm

Erosi pada mukosa/lipatan mukosa dengan diameter >5 mm tanpa


B
saling berhubungan

Lesi yang konfluen tetapi tidak mengenai/mengelilingi seluruh


C
lumen

Lesi mukosa esofagus yang bersifat sirkumferensial (mengelilingi


D
seluruh lumen esofagus)

3. Pemantauan pH 24 jam

Gambar 3. pH monitoring

18
Gambar 4. Continous pH monitoring; A. Refluks fisiologis; B. Refluks patologis
Episode refluks gastroesofageal menimbulkan asidifikasi bagian distal
esofagus. Episode ini dapat dimonitor dan direkam dengan menempatkan
mikroelektroda pH pada bagian distal esofagus. Pengukuran pH pada esofagus bagian
distal dapat memastikan ada tidaknya refluks gastroesofageal. pH dibawah 4 pada
jarak 5 cm di atas LES dianggap diagnostik untuk refluks gastroesofageal. (2)(4)
4. Tes Bernstein
Mengukur sensitivitas mukosa dengan memasang selang transnasal dan
melakukan perfusi bagian distal esofagus dengan HCl 0,1 M dalam waktu kurang dari
1 jam. Tes ini bersifat pelengkap terhadap monitoring pH 24 jam pada pasien-pasien
dengan gejala yang tidak khas. Bila larutan ini menimbulkan rasa nyeri dada seperti
yang biasanya dialami oleh pasien , sedangkan larutan NaCl tidak menimbulkan rasa
nyeri, maka tes ini dianggap positif. (2)
5. Manometri esofagus
Tes ini akan memberi manfaat yang berarti jika pada pasien-pasien dengan
gejala nyeri epigastrium dan regurgitasi yang nyata didapatkan esofagografi barium
dan endoskopi yang normal.(3)
6. Sintigrafi gastroesofageal
Menggunakan cairan atau campuran makanan cair dan padat yang dilabel
dengan radioisotop yang tidak diabsorpsi, biasanya technetium. Selanjutnya sebuah
penghitung gamma eksternal akan memonitor transit dari cairan/makanan yang
dilabel tersebut. Sensitivitas dan spesifisitas tes ini masih diragukan.(3)
7. Tes penghambat pompa proton
Tes ini merupakan terapi empirik untuk menilai gejala dari GERD dengan
memberikan PPI dosis tinggi selama 1-2 minggu sambil melihat respon yang terjadi.
Tes ini terutama dilakukan jika tidak tersedia modalitas diagnostik seperti endoskopi,

19
pH metri dan lain-lain. Tes ini dianggap positif jika terdapat perbaikan dari 50%-75%
gejala yang terjadi. Dewasa ini terapi empirik/PPI test merupakan salah satu langkah
yang dianjurkan dalam algoritme tatalaksana GERD pada pelayanan kesehatan lini
pertama untuk pasien-pasien yang tidak disertai dengan gejala alarm (berat badan
menurun, anemia, hematemesis/melena, disfagia, odinofagia, riwayat keluarga dengan
kanker esofagus/lambung dan umur >40 tahun).(2)

2.7. Penatalaksanaan

Yang dimaksud dengan penatalaksanaan adalah tindakan yang dilakukan oleh dokter
yang menangani kasus GERD, meliputi tindakan terapi non-farmakologik, farmakologik,
endoskopik, dan bedah. Pada dasarnya terdapat 5 target yang ingin dicapai dan harus selalu
menjadi perhatian saat merencanakan, merubah, serta menghentikan terapi pada pasien
GERD. Kelima target tersebut adalah menghilangkan gejala/keluhan, menyembuhkan lesi
esofagus, mencegah kekambuhan, memperbaiki kualitas hidup, dan mencegah timbulnya
komplikasi. Pedoman penatalaksanaan ini diharapkan dapat digunakan pada layanan primer,
sekunder, dan tersier.(1)

Gambar.5

Pendekatan klinik penatalaksanaan GERD meliputi pengobatan GERD (NERD dan


ERD), GERD refrakter dan non-acid GERD. Pada lini pertama, diagnosis GERD lebih
banyak ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan kuesioner GERD berdasarkan gejala.(1)

20
Gambar.6

Pengobatan GERD dapat dimulai dengan PPI setelah diagnosis GERD ditegakkan. Dosis
inisial PPI adalah dosis tunggal per pagi hari sebelum makan selama 2 sampai 4
minggu. Apabila masih ditemukan gejala sesuai GERD (PPI failure), sebaiknya PPI diberikan
secara berkelanjutan dengan dosis ganda sampai gejala menghilang. Umumnya terapi dosis
ganda dapat diberikan sampai 4-8 minggu. Apabila kondisi klinis masih belum menunjukkan
perbaikan harus dilakukan pemeriksaan endoskopi untuk mendapatkan kepastian

21
adanya kelainan pada mukosa saluran cerna atas. Pengobatan selanjutnya dapat diberikan
sesuai dengan ringan-beratnya kerusakan mukosa.33 Untuk esofagitis ringan dapat
dilanjutkan dengan terapi on demand. Sedangkan untuk esofagitis berat dilanjutkan dengan
terapi pemeliharaan kontinu, yang dapat diberikan sampai 6 bulan

Untuk NERD, pengobatan awal dapat diberikan PPI dosis tunggal selama 4-8 minggu.
Setelah gejala-gejala klinis menghilang, terapi dapat dilanjutkan dengan PPI on demand.
Penggunaan on demand ini disarankan untuk memaksimalkan supresi asam lambung,
diberikan 30-60 menit sebelum makan pagi. GERD yang refrakter terhadap terapi PPI
(tidak berespons terhadap terapi PPI dua kali sehari selama 8 minggu) harus dikonfirmasi
untuk reevaluasi diagnosis GERD dengan pemeriksaan endoskopi dalam rangka memastikan
adanya esofagitis. Apabila tidak ditemukan esofagitis, dilanjutkan dengan pemeriksaan pH-
metri. Dari hasil pemeriksaan pH-metri akan dapat ditentukan keterlibatan dominan
refluks asam lambung oleh faktor hiperasiditas atau oleh faktor patologi anatomik (gangguan
SEB, hiatus hernia, dsb). Apabila kesimpulan pHmetri menunjukkan adanya dominan faktor
patologi anatomik dengan tetap ditemukan gejala klinis, maka dapat dipertimbangkan
tindakan diagnostik esophageal impedance dan pH untuk memastikan langkah terapeutik
berikutnya (langkah terapi tersier) .(1)

Penatalaksanaan diberikan berdasarkan diagnosis klinis. Penatalaksanaan GERD terdiri


dari modifikasi gaya hidup, terapi medikamentosa, terapi bedah serta akhir-akhir ini mulai
dilakukan terapi endoskopi.

A. Modifikasi Gaya Hidup(5)


Modifikasi gaya hidup merupakan salah satu bagian dari penatalaksanaan GERD
namun bukan merupakan pengobatan primer. Hal-hal yang perlu dilakukan dalam
modifikasi gaya hidup:
1. Penurunan berat badan direkomendasikan untuk pasien yang memiliki berat badan
berlebih dan hindari pakaian ketat untuk mengurangi tekanan intraabdominal.
2. Kepala ditinggikan saat tidur dan hindari makan 2-3 jam sebelum tidur sangat
direkomendasikan untuk pasien yang mengalami nocturnal GERD.
3. Hindari makanan yang dapat meningkatkan refluks (cokelat, kafein, alkohol,
makanan asam, peppermint, minuman bersoda, dan makanan pedas.
4. Berhenti merokok dan konsumsi alkohol karena keduanya dapat menurunkan
tonus LES sehingga secara langsung mempengaruhi sel-sel epitel
5. Mengurangi konsumsi lemak serta mengurangi jumlah yang dimakan karena
keduanya dapat menimbulkan distensi lambung.

22
6. Jika memungkinkan hindari obat-obatan yang dapat menurunkan tonus LES
seperti anti kolinergik, teofilin, diazepam, opiate, antagonis kalsium, agonist beta
adrenergic, progesterone.
B. Terapi Medikamentosa(1)(4)(5)
Pengobatan PPI selama 8 minggu merupakan pilihan terapi yang dapat
mengurangi gejala dan menyembuhkan erosi esophagitis. Tidak ada perbedaan yang
mencolok dalam efisiensi obat dari golongan PPI. Golongan PPI secara umum
dikonsumsi 30-60 menit sebelum makan untuk memaksimalkan kontrol pH. Golongan
PPI terbaru lebih relatif fleksibilitasnya untuk diminum pada waktu makan. Terapi
sebaiknya diberikan sekali dalam sehari sebelum makan. Untuk pasien yang kurang
memiliki respon terhadap terapi ini, dosisnya bisa ditingkatkan menjadi dua kali
dalam sehari dan sebaiknya diberikan pada pasien dengan gejala yang timbul pada
malam hari, atau keluhan gejala pada waktu tertentu dan memiliki gangguan tidur.
Penambahan dosis menjadi dua kali atau mengubah ke golongan PPI lainnya dapat
menghilangkan gejala tambahan lainnya. Terapi maintenance PPI diberikan pada
pasien dengan gejala yang berlanjut setelah PPI diberhentikan dan pada pasien yang
memiliki komplikasi erosif esophagitis dan Barrets esophagus. Untuk pasien dengan
pengobatan yang lama, diberikan dalam dosis efektif yang terendah, bila perlu atau
diberikan intermiten terapi.
H2 reseptor antagonis terapi dapat digunakan untuk pilihan maintenance
pasien tanpa erosif dengan keluhan heartburn yang sudah menurun. Terapi GERD
lainnya seperti prokinetik tidak diberikan pada pasien tanpa evaluasi diagnostic. Tidak
diberikan sucralfat pada pasien GERD yang tidak sedang hamil. PPI lebih aman
diberikan pada pasien yang hamil jika terdapat gejala.

Tabel 3

Dari semua obat-obatan tersebut di atas, PPI paling efektif dalam


menghilangkan gejala serta menyembuhkan lesi esofagitis pada GERD. PPI terbukti
lebih cepat menyembuhkan lesi esofagitis serta menghilangkan gejala GERD

23
dibanding golongan antagonis reseptor H2 dan prokinetik. Apabila PPI tidak tersedia,
dapat diberikan H2RA.(1)

Berikut ini adalah obat-obatan yang dapat digunakan dalam terapi medikamentosa
GERD (4)

Antasid. Golongan obat ini cukup efektif dan aman dalam menghilangkan gejala
GERD tetapi tidak menyembuhkan lesi esofagitis. Selain sebagai buffer terhadap HCl,
obat ini dapat memperkuat tekanan sfingter gastroesofagus bagian bawah. Kelemahan
golongan obat ini adalah rasanya kurang menyenangkan, dapat menimbulkan diare
terutama yang mengandung magnesium serta konstipasi terutama antasida yang
mengandung aluminium, dan penggunaannya sangat terbatas pada pasien dengan
gangguan fungsi ginjal. Obat golongan ini digunakan sebagai alat diagnostik untuk
memberikan bantuan gejala pada bayi. Dosis : sehari 4 x 1 sendok makan.

Aluminium hidroksida (ALternaGEL, Amphojel). Aluminium hidroksida


meningkatkan pH lambung untuk lebih besar dari 4 dan menghambat aktivitas
proteolitik pepsin, mengurangi gangguan pencernaan asam. Antasida awalnya dapat
digunakan dalam kasus-kasus ringan. Obat ini tidak berpengaruh pada frekuensi
refluks, tetapi mereka mengurangi keasamannya.

Magnesium hidroksida. Magnesium hidroksida digunakan sebagai antasid untuk


meredakan gangguan pencernaan. Ini juga menyebabkan retensi osmotik cairan, yang
distends usus besar dan meningkatkan aktivitas peristaltik yang memberikan efek
pencahar. In vivo, membentuk magnesium klorida setelah bereaksi dengan asam
lambung klorida.

Antagonis Reseptor H2. Yang termasuk golongan obat ini adalah simetidine,
ranitidine, famotidine, nizatidine. Sebagai penekan sekresi asam, golongan obat ini
efektif dalam pengobatan penyakit refluks gastroesofageal jika diberikan dosis 2 kali
lebih tinggi dan dosis untuk terapi ulkus. Golongan obat ini hanya efektif pada
pengobatan esofagitis derajat ringan sampai sedang serta tanpa komplikasi. Dosis
pemberian : Simetidine 2 x 800 mg, Ranitidine 4 x 150 mg, Famotidine 2 x 20 mg,
Nizatidine 2 x 150 mg.

24
Obat-obatan Prokinetik. Secara teoritis obat ini paling sesuai untuk pengobatan
GERD karena penyakit ini dianggap lebih condong ke arah gangguan motilitas.
Namun, pada prakteknya, pengobatan GERD sangat bergantung kepada penekanan
sekresi asam. Beberapa contoh obat-obatan pro kinetik :

Metoklopramid, bekerja sebagai antagonis reseptor dopamin. Efektivitasnya rendah


dalam mengurangi gejala serta tidak berperan dalam penyembuhan lesi di esofagus
kecuali dalam kombinasi dengan antagonis reseptor H2 atau penghambat pompa
proton. Karena melalui sawar darah otak, maka dapt tumbuh efek terhadap susunan
saraf pusat berupa mengantuk, pusing, agitasi, tremor. Dosis 3x 10 mg
Domperidon. Golongan obat ini adalah antagonis reseptor dopamin dengan efek
samping yang lebih jarang dibanding metoklopramid karena tidak melalu sawar darah
otak. Golongan obat ini diketahui dapat meningkatkan tonus LES serta mempercepat
pengosongan lambung. Dosis 3 x 10 20 mg sehari.
Cisapride. Sebagai suatu antagonis reseptor 5 HT4, obat ini dapat mempercepat
pengosongan lambunng serta meningkatkan tekanan tonus LES. Efektifitasnya dalam
menghilangkan gejala serta penyembuhan lesi esofagus lebih baik dibandingkan
domperidon. Dosis 3 x 10 mg sehari.
Sukralfat (Aluminium hidroksida + sukrosa oktasulfat). Berbeda dengan antasida
dan penekan sekresi asam, obat ini tidak memiliki efek langsung terhadap asam
lambung. Obat ini bekerja dengan cara meningkatkan pertahanan mukosa esofagus,
sebagai buffer terhadap HCl di esofagus serta dapat mengikat pepsin dan garam
empedu. Golongan opat ini cukup aman diberikan karena bekerja secara topikal
(sitoproteksi). Dosis 4 x 1 gram

Penghambat Pompa Proton (PPI/Proton Pumb Inhibitor). Golongan obat ini


merupakan pilihan utama dalam pengobatan GERD. Inhibitor pompa proton (PPI)
menghambat sekresi asam lambung dengan menghambat sistem + / K + H enzim
ATPase dalam sel parietal lambung. Pilihan termasuk omeprazole (Prilosec),
lansoprazole (Prevacid), rabeprazole (Aciphex), dan esomeprazole (Nexium). PPI
merupakan obat yang paling kuat yang tersedia untuk mengobati GERD. Agen ini
harus digunakan hanya ketika kondisi ini telah didokumentasikan secara objektif.
Mereka memiliki efek samping sedikit dan ditoleransi dengan baik untuk penggunaan
jangka panjang. Namun, data menunjukkan bahwa PPI dapat mengganggu

25
homeostasis kalsium dan memperburuk cacat konduksi jantung. Obat golongan ini
juga bertanggung jawab untuk patah tulang pinggul pada wanita menopause.

Golongan obat ini bekerja secara langsung pada pompa proton sel parietal dengan
mempengaruhi enzim H, K-ATPase yang dianggap tahap akhir sebagai proses
pembentukan asam lambung. Obat-obatan ini sangat efektif dalam menghilangkan
keluhan serta penyembuhan lesi esofagus, bahkan pada esofagitis erosif derajat berat
serta yang refrakter dengan golongan antagonist reseptor H2. Dosis yang diberikan
untuk GERD adalah dosis penuh, yaitu : Omeprazole 2 x 20 mg, Lansoprazole 2 x 30
mg, Pantoprazole 2 x 40mg, Rebeprazole 2 x 10 mg, Esomeprazole 2 x 40 mg.
Umumnya pengobatan diberikan selama 6 8 minggu (terapi inisial) yang dapat
dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan (maintenance therapy) selama 4 bulan atau on
demand therapi tergantung dari derajat esofagitisnya.

C. Terapi Bedah
Terapi bedah merupakan terapi alternatif yang penting jika terapi medikamentosa
gagal, atau pada pasien GERD dengan striktur berulang. Umumnya pembedahan yang
dilakukan adalah fundoplikasi. Fundoplikasi dapat meringankan gejala dan
menyembuhkan esofagitis. (2)
D. Terapi Endoskopi
Akhir-akhir ini mulai dikembangkan pilihan terapi endoskopi pada pasien GERD
yaitu:
a. Penggunaan energi radiofrekuensi
b. Plikasi gastrik endoluminal
c. Implantasi endoskopis, yaitu dengan menyuntikkan zat implant di bawah
mukosa esophagus bagian distal, sehingga lumen esophagus bagian distal
menjadi lebih kecil.(2)
E. Terapi terhadap komplikasi
Komplikasi yang paling sering terjadi adalah striktur dan perdarahan. Sebagai dampak
adanya rangsangan kronik asam lambung terhadap mukosa esophagus, dapat terjadi
perubahan mukosa esophagus dari skuama menjadi epitel kolumnar yang metaplastik.
Keadaan ini disebut sebagai esophagus barrets dan merupakan suatu keadaan
premaligna. Risiko terjadinya karsinoma pada Barrets esophagus adalah sampai 30-
40 kali dibandingkan populasi normal. (2)
a. Striktur esophagus
Jika pasien mengeluh disfagia dengan diameter striktur kurang dari 13 mm,
dapat dilakukan dilatasi busi. Jika dilatasi busi gagal maka dapat dilakukan
operasi. (2)

26
b. Esophagus barret
Esophagus barret dapat diobati secara medikamentosa dengan PPI.(2)
c. Terapi bedah
Beberapa keadaan dapat menyebabkan gagalnya terapi medikamentosa, yaitu :
1. Diagnosis tidak benar, 2. Pasien GERD sering disertai gejala-gejala lain
seperti rasa kembung, cepat kenyang dan mual-mual yang sering tidak
memberikan respon dengan pengobstsn PPi serta menutupi perbaikan gejala
refluksnya. 3. Pada beberapa pasien, diperlukan waktu yang lebih lamauntuk
menyembuhkan esofagitisnya. 4. Kadang-kadang beberapa kasus barrets
esophagus tidak memberikan respon terhadap terapi PPI. Begitu pula halnya
dengan adenokarsinoma. 5. Terjadi striktur, 6. Terdapat statis lambung dan
disfungsi LES. Terapi bedah merupakan terapi alternative yang penting jika
terapi medikamentosagagal, atau pada pasien GERD dengan striktur berulang.
Umumnya pembedahan yang dilakukan adalah fundoplikasi.(2)

2.8. Diagnosis Banding

1. Dyspepsia
Definisi Rome III menyebutkan dyspepsia adalah suatu keadaan yang ditandai
oleh salah satu atau lebih gejala utama area gastroduodenal berikut : keluhan rasa
penuh setelah maka, cepat kenyang, nyeri ulu hati dan rasa terbakar di
epigastrium. Keluhan ini terjadi selama 3 bulan dalam waktu 6 bulan terakhir
sebelum diagnosis ditegakkan. (2)
2. Ulkus peptik
Keluhan yang paling sering dirasakan adalah rasa nyeri di epigastrium, baik
pada ulkus gaster dan ulkus duodenum. Nyeri pada ulkus gaster terjadi segera
setelah makan, sementara nyeri pada ulkus duodenum terjadi 2-3 jam sesudah
makan atau saat lapar dan membaik setelah makan dan minum antasida. Baku
emas diagnosis ulkus peptikum adalah esofagogastroduodenoskopi (EGD) karena
dapat langsung memvisualisasi mukosa gastroduodenum dan melakukan biopsy
untuk pemeriksaan histopatologi dan identifikasi infeksi H.pylori.(2)
3. Akhalasia esophagus
Gejala klinis subjektif yang terutama ditemukan adalah disfagia, baik untuk
makanan padat maupun cair yang didapatkan pada lebih dari 90% kasus. Gejala
lain yaitu regurgitasi 70% dari kasus yang didapatkan. Gejala lain penurunan berat
badan dan nyeri dada. Untuk menegakkan diagnosis perlu dilakukan beberapa

27
pemeriksaan penunjang seperti radiologi, endoskopi saluran cerna atas dan
manometri.(2)
4. Angina pectoris
Angina pectoris adalah rasa tidak enak di dada sebagai akibat dari suatu
iskemik miokard tanpa adanya infark. Pada pemeriksaan fisik didapat pada
auskultasi terdengar derap atrial atau ventrikel dan murmur sistolik di daerah
apeks. Dan dilakukan pemeriksaan EKG untuk konfirmasi masalah dari
jantung atau bukan.(2)
5. Gastritis
Gastritis adalah proses inflamasi pada mukosa dan submukosa lambung.
Gejala klinis yang ditemukan hamper sma dengan GERD yaitu nyeri panas dan
pedih di ulu hati disertai mual kadang-kadang sampai muntah. Diagnosis gastritis
ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan endoskopi dan histopatologi di mana di
dapatkan gambaran eritema, eksudatif, flat-erosion, raised erosion, perdarahan
dan edematous rugae.(2)

2.9. Prognosis

Prognosis sangat baik pada sebagian besar pasien, namun kekambuhan sering terjadi
dan membutuhkan terapi pemeliharaan jangka panjang atau prosedur bedah. Pasien dengan
komplikasi struktural yang menjalani operasi bedah memiliki prognosis sangat baik. Pasien
dengan adenokarsinoma memiliki prognosis yang buruk. Angka ketahan hidup 5 tahun pada
pasien dengan lesi terbatas pada mukosa esofagus sebesar 80%, dengan ekstensi pada
submukosa sebesar 50%, ekstensi ke muskulus propria sebesar 20%, ekstensi ke struktur
sekitar esofagus menjadi hanya 7%. Pasien dengan metastasis memiliki angka ketahanan
hidup 5 tahun kurang dari 3%.

28
DAFTAR PUSTAKA

1. Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia (PGI). Revisi Konsensus Nasional


Penatalaksanaan Penyakit Reuks Gastroesofageal (Gastroesophageal Reflux
Disease/GERD) di Indonesia. Jakarta 2013
2. Makmun, D. Penyakit Refluks Gastroesofageal. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid I edisi VI. Jakarta: Interna Publishing. 2014.
3. Lilihata G, Syam AF. Penyakit Refluks Gastroesofageal. Kapita Selekta
Kedokteran Edisi 4. Jakarta : Media Aesculapius. 2014.
4. Philip O, Lauren B, Gerson. Guidelines for the Diagnosis and Management of
Gastroesophageal Refluks Disease. The American Journal of
Gastroenterology. Vol : 108. March 2013.
5. Bestari MB, Penatalaksanaan Gastroesophageal Reflux Disease (GERD).
Divisi Gastroentero-Hepatologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Padjajaran. Vol. 38 no. 7. November 2011.
6. Ndraha Suzanna. Penyakit Refluks Gastroesofageal. Departemen Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Krida Wacana Jakarta. Medicinus. Vol
27 no.1. April 2014.

29

Anda mungkin juga menyukai