Anda di halaman 1dari 3

BAB I

PENDAHULUAN

Hidung merupakan salah satu organ pelindung tubuh terpenting terhadap lingkungan
yang tidak menguntungkan. Rongga hidung kaya dengan pembuluh darah. Pada rongga bagian
depan, tepatnya pada sekat yang membagi rongga hidung kita menjadi dua, terdapat anyaman
pembuluh darah yang disebut pleksus Kiesselbach. Pada rongga bagian belakang juga terdapat
banyak cabang-cabang dari pembuluh darah yang cukup besar antara lain dari arteri
sphenopalatina.(1)
Epistaksis adalah perdarahan yang keluar dari lubang hidung, rongga hidung dan
nasofaring. Penyakit ini disebabkan oleh kelainan lokal maupun sistemik dan sumber perdarahan
yang paling sering adalah dari pleksus Kiessel-bachs. Epistaksis bukan suatu penyakit,
melainkan gejala dari suatu kelainan yang mana hampir 90 % dapat berhenti sendiri. Epistaksis
terbanyak dijumpai pada usia 2-10 tahun dan 50-80 tahun, sering dijumpai pada musim dingin
dan kering.(1,2)
Seringkali epistaksis timbul spontan tanpa diketahui penyebabnya, kadang-kadang jelas
disebabkan karena trauma. Epistaksis dapat disebabkan oleh kelainan lokal pada hidung atau
kelainan sistemik. Kelainan lokal misalnya trauma,kelainan anatomi,kelainan pembuluh
darah,infeksi lokal, benda asing,tumor,pengaruh udara lingkungan. Kelainan sistemik seperti
penyakit kardiovaskuler,kelainan darah,infeksi sistemik, perubahan tekanan atmosfir, kelainan
hormonal dan kelainan kongenital.(2)

EPIDEMIOLOGI
Frekuensi epistaksis sulit ditentukan karena sebagian besar kejadiannya sembuh dengan
perawatan oleh diri sendiri sehingga tidak terlaporkan. Tetapi, ketika beberapa sumber ditinjau,
angka kejadian epistaksis dalam populasi umum sekitar 60%, dengan kurang dari 10% yang
mencari pertolongan medis.Distribusi umur bersifat bimodal, dengan puncak pada anak kecil (2-
10 tahun) dan individu usia lanjut (50-80 tahun). Epistaksis jarang pada bayi yang tanpa penyakit
koagulopati atau patologi nasal (atresia koanal, neoplasma). Trauma lokal (mengorek hidung)
tidak terjadi hingga nanti pada usia balita. Anak yang lebih tua dan remaja juga memiliki angka
kejadian yang rendah. Harus dipikirkan penggunaan kokain pada anak remaja. Prevalensi
epistaksis cenderung lebih tinggi pada laki-laki (58%) daripada wanita (42%).(3)
PENCEGAHAN

Ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk mencegah terjadinya epistaksis antara
lain :(4)

a. Gunakan semprotan hidung atau tetes larutan garam, yang keduanya dapat dibeli, pada kedua
lubang hidung dua sampai tiga kali sehari. Untuk membuat tetes larutan ini dapat mencampur
1 sendok the garam ke dalam secangkir gelas, didihkan selama 20 menit lalu biarkan sampai
hangat kuku.
b. Gunakan alat untuk melembabkan udara di rumah.
c. Gunakan gel hidung larut air di hidung, oleskan dengan cotton bud. Jangan masukkan cotton
bud melebihi 0,5 0,6cm ke dalam hidung.
d. Hindari meniup melalui hidung terlalu keras.
e. Bersin melalui mulut.
f. Hindari memasukkan benda keras ke dalam hidung, termasuk jari.
g. Batasi penggunaan obat obatan yang dapat meningkatkan perdarahan seperti aspirin atau
ibuprofen.
h. Konsultasi ke dokter bila alergi tidak lagi bisa ditangani dengan obat alergi biasa.
i. Berhentilah merokok. Merokok menyebabkan hidung menjadi kering dan menyebabkan
iritasi.

KOMPLIKASI

Dapat terjadi langsung akibat epistaksis sendiri atau akibat usaha penanggulangannya.
Akibat pemasangan tampon anterior dapat timbul sinusitis (karena ostium sinus tersumbat), air
mata yang berdarah (bloody tears) karena darah mengalir secara retrograd melalui duktus
nasolakrimalis dan septikemia. Akibat pemasangan tampon posterior dapat timbul otitis media,
haemotympanum, serta laserasi palatum mole dan sudut bibit bila benang yang dikeluarkan
melalui mulut terlalu kencang ditarik.(1,2,4)

Sebagai akibat perdarahan hebat dapat terjadi syok dan anemia. Tekanan darah yang
turun mendadak dapat menimbulkan iskemia otak, insufisiensi koroner dan infark miokard dan
akhirnya kematian. Harus segera dilakukan pemberian infus atau transfusi darah(5).
DAFTAR PUSTAKA

1. Adam GL, Boies LR, Higler PA. (eds) Buku Ajar Penyakit THT, Edisi Keenam, Philadelphia
: WB Saunders, 1989. Editor Effendi H. Cetakan III. Jakarta, Penerbit EGC, 1997.
2. Iskandar N, Supardi EA. (eds) Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorokan. Edisi
Keempat, Jakarta FKUI, 2000; 91, 127-31.
3. Nguyen, Quoc A. Epistaxis. Medscape. http : / /emedicine/medscape .com / article /
863220-overview.

4. Schlosser RJ. Epistaxis. New England Journal Of Medicine [serial online] 2009 feb 19 [cited
2009 feb 28] Available from: http://content.nejm.org/cgi/content/full/360/8/784
5. Anias CR. Epistaxis. Otorrhinolaryngology [serial online] cited 2009 Mar 4 Available from
:http://www.medstudents.com.br/otor/otor3.htm

Anda mungkin juga menyukai