Anda di halaman 1dari 4

TEKS RENUNGAN MALAM TIRAKATAN

HUT KEMERDEKAAN REPUBLIK INDONESIA KE-69

Malam semakin larut, angin semilir lembut seakan ingin berhenti sama sekali untuk
memberikan hormat dan mengucapkan salam kepada negeri tercinta yang memiliki berjuta-
juta keindahan.

Saat sejenak lampu kita padamkan, tampak tebaran bintang dilangit laksana permata
beraneka warna.

Kita teringat masa kecil yang indah, disaat terang bulan, kita berlari kesana-kemari,
bernyanyi, bercanda dan tertawa tanpa beban.

Teringat pula, kita sering berjalan dipematang sawah diwaktu sore sambil menikmati
semilirnya angin dan gemericiknya air di kali. Jika senja datang, kita turun ke sungai dan
mandi di belik yang airnya bening.

Di kala malam menjelang, dalam gendongan Ibu, kita mendengarkan cerita turun temurun
bahwa dilangit sana ada Lintang Gubug Penceng, Lintang Luku, Lintang Panjer-Wengi,
dan sesekali ada Lintang Kemukus yang mendebarkan.

Disaat lain, orang tua kita juga sering bercerita bahwa negeri ini pernah mengalami masa-
masa pahit dan penuh kesengsaraan saat bumi persada ini ada dalam genggaman penjajah.

Waktu itu, kakek-nenek yang masih semuda kita, dan leluhur-leluhur dusun ini tidak sempat
berlama-lama menikmati indahnya malam bulan purnama karena mereka hidup dalam
suasana penuh rasa takut, khawatir dan tidak menentu.

Mana mungkin mereka bisa bertamasya bermandi cahaya bulan dan menari-nari dibawah
gemerlapnya bintang sementara seharian mereka tidak makan dan tubuhnya terasa gatal
karena diserbu kutu yang bersarang di karung goni yang mereka kenakan.
Begitu lama mereka harus berjuang dan bertahan hidup di masa penjajahan.

Alhamdulillah, dengan berbekal ketabahan dan keikhlasan, perjuangan mereka akhirnya


dikabulkan Tuhan. Jumat, 17 Agustus 1945 Sukarno-Hatta memproklamirkan kemerdekaan
Indonesia, meski setelah itu Jabang Bayi RI masih harus mengalami jatuh bangun untuk
menjaga agar Sang Merah-Putih tetap berkibar di angkasa dan Sang Rajawali Garuda
Pancasila terbang dilangit Nusantara.

-oOo-

Kini kita telah menikmati kemerdekaan. Sebuah kemerdekaan yang diraih melalui perjuangan
panjang para pendahulu kita, para pejuang, dan para pahlawan yang pusaranya bertebaran
menghiasi persada negeri. Mereka semua telah ikut menegakkan panji-panji kebesaran negeri
ini. Mereka telah berkorban dengan pikiran, tenaga, harta, darah dan bahkan nyawanya, demi
berkibarnya Sang Merah-Putih.

Betapa mahalnya tebusan untuk berkibarnya bendera kebanggaan kita, dan betapa ikhlasnya
para pendahulu kita dalam menegakkan kedaulatan negeri ini.

Marilah, marilah di malam yang sunyi ini kita hening sejenak untuk sekedar mengingat dan
mendoakan mereka yang telah ada di-haribaan Tuhan.

Mereka tidak menuntut kita untuk memanggul senjata, mereka tidak meminta kita untuk
siang-malam berkeliaran mengintai musuh, mereka juga tidak menghendaki kulit dan daging
kita tergores oleh senjata hingga darah menetes ke bumi.

Mereka terlalu sayang pada kita, mereka telah banyak berbuat demi kehidupan kita yang
aman, damai dan bermartabat tanpa diusik oleh bangsa lain yang sengaja akan menjajah
negeri ini.

Sepantasnya kita merenung dan bercermin, sudahkah kita mampu mempersembahkan karya
bhakti bagi mereka dan bagi negeri ini?
Jangan-jangan, malam ini sementara kita bergembira dan tertawa-ria, arwah mereka justru
sedang menangis, meratapi tingkah kita yang jauh dari harapan para pendahulunya?

Harus kita akui, mata dan telinga kita sering tertutup oleh gemerlapnya dunia yang serba
memukau sehingga mata hati kita dibutakan, dan kita menjadi tak pandai melihat tanda-tanda
kemunduran dan kerusakan tatanan kehidupan di sekitar kita, di negeri ini.

Tentu kita semua berharap, semoga disekitar kita sudah tidak ada Orang tua yang
mengabaikan masa depan anaknya atau Menelantarkan keluarganya.

Semoga tak ada pula diantara kita yang muda ini, setiap saat memaksakan kehendak karena
menganggap bahwa diri kita lebih hebat dari orang lain.

Dan semoga tak ada pula diantara kita, menyalah-gunakan kepercayaan orang tua dengan
melakukan tindakan tak terpuji, sementara Bapak-Ibu membanting tulang, mencari nafkah
demi keberhasilan kita.

Mari kita tanyakan pada nurani kita, apakah kita akan membiarkan diri kita tersesat dan
menyerah untuk diperbodoh atau dijajah kembali?

Jika demikian, apa artinya Sultan Agung menggempur Batavia, Nyi Ageng Serang
membentengi Bumi Menoreh, Pangeran Diponegoro mengobarkan Perang-Jawa, danBung
Tomo menggelorakan semangat arek-arek Surabaya melawan tentara Sekutu?

Apa pula artinya selama ini kita bergembira dengan mengadakan lomba-lomba yang penuh
tawa dan tepuk tangan serta pentas-pentas yang penuh dentuman musik dan sorot lampu
warna-warni?

Apakah semua itu justru sekedar sebagai kamuflase karena kita tidak bisa berbuat sesuatu
yang berarti untuk kejayaan negeri ini?
Marilah kita sadari, ternyata kita telah menjadi bangsa yang lemah, bangsa yang manja dan
tak menghargai warisan jiwa ksatria dari para pendahulu kita.

Mestinya kita malu karena ternyata kita sering mengkhianati diri sendiri, kedua orang tua ,
leluhur dan para pahlawan negeri tercinta Indonesia.

-oOo-

Perjalanan kita masih panjang, dan negeri ini masih selalu menanti dharma-bhakti para
pemudanya.

Esok pagi, saat matahari bersinar diufuk timur, itulah waktunya kita berbenah diri,
menggelorakan semangat dan menyingsing-kan lengan baju untuk berbuat lebih banyak bagi
Nusantara, negeri nan indah laksana bentangan permadani dengan untaian permata
di Khatulistiwa.

Ikatkan pita merah-putih di kepala, kibarkan Sang Dwi Warna, melangkahlah dengan tegap
penuh percaya diri.

Melompatlah tinggi kelangit, raihlah bintang-bintang untuk dipersembahkan pada Ibu Pertiwi
demi kejayaan dan ke-emasan Republik Idonesia tercinta.

Dan nanti akan datang saatnya dimana semua bangsa akan tergetar manakala laguIndonesia
Raya dikumandangkan dan menggema diseluruh penjuru dunia.

Tersenyumlah pahlawanku, semboyan maha sakti akan selalu bergelora di-dada.

MERDEKA ! ....., MERDEKA !! ....., MERDEKA !!!!!

Anda mungkin juga menyukai