Anda di halaman 1dari 2

Malam semakin larut, 

angin semilir lembut seakan ingin berhenti sama sekali untuk memberikan
hormat dan mengucapkan salam kepada negeri tercinta yang memiliki berjuta-juta keindahan.

Saat sejenak lampu kita padamkan, tampak tebaran bintang dilangit  laksana permata beraneka
warna.

Kita teringat masa kecil yang indah, disaat terang bulan, kita berlari kesana-kemari, bernyanyi,
bercanda dan tertawa tanpa beban.

Teringat pula, kita sering berjalan dipematang sawah diwaktu sore sambil menikmati semilirnya angin
dan gemericiknya air di kali. Jika senja datang, kita turun ke sungai dan mandi di belikyang airnya
bening.

Di kala malam menjelang, dalam gendongan Ibu,  kita mendengarkan cerita turun temurun bahwa
dilangit sana ada “Lintang Gubug Penceng, Lintang Luku, Lintang Panjer-Wengi”, dan sesekali
ada “Lintang Kemukus” yang mendebarkan.

Disaat lain, orang tua kita juga sering bercerita bahwa negeri ini pernah mengalami masa-masa pahit
dan penuh kesengsaraan saat bumi persada ini ada dalam genggaman penjajah.

Waktu itu, kakek-nenek yang masih semuda kita, dan leluhur-leluhur dusun ini  tidak sempat berlama-
lama menikmati indahnya malam bulan purnama karena mereka hidup dalam suasana penuh rasa
takut, khawatir dan tidak menentu.

Mana mungkin mereka bisa bertamasya bermandi cahaya bulan dan menari-nari dibawah
gemerlapnya bintang  sementara seharian mereka tidak makan  dan tubuhnya terasa gatal karena
diserbu kutu yang bersarang di “karung goni” yang mereka kenakan.

Begitu lama mereka harus berjuang dan bertahan hidup di masa penjajahan.

Alhamdulillah, dengan berbekal ketabahan dan keikhlasan, perjuangan mereka akhirnya dikabulkan
Tuhan.  Jum’at, 17 Agustus 1945 Sukarno-Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia, meski
setelah itu “Jabang Bayi RI” masih harus mengalami jatuh bangun untuk menjaga agar Sang Merah-
Putih tetap berkibar di angkasa dan “Sang Rajawali” Garuda Pancasila terbang dilangit Nusantara.

-oOo-

Kini kita telah menikmati kemerdekaan. Sebuah kemerdekaan yang diraih melalui perjuangan panjang
para pendahulu kita, para pejuang, dan para pahlawan  yang pusaranya bertebaran menghiasi
persada negeri. Mereka semua telah ikut menegakkan panji-panji kebesaran negeri ini. Mereka telah
berkorban dengan pikiran, tenaga, harta, darah dan bahkan nyawanya, demi berkibarnya “Sang
Merah-Putih”.

Betapa mahalnya tebusan untuk berkibarnya bendera kebanggaan kita, dan betapa ikhlasnya para
pendahulu kita dalam menegakkan kedaulatan negeri ini.

Marilah, marilah di malam yang sunyi ini kita hening sejenak untuk sekedar mengingat dan
mendoakan mereka yang telah ada di-haribaan Tuhan.

Mereka tidak menuntut kita untuk memanggul senjata, mereka tidak meminta kita untuk siang-malam
berkeliaran mengintai musuh, mereka juga tidak menghendaki kulit dan daging kita tergores oleh
senjata hingga darah menetes ke bumi.

Mereka terlalu sayang pada kita, mereka telah banyak berbuat demi kehidupan kita yang aman,
damai dan bermartabat tanpa diusik oleh bangsa lain yang sengaja akan menjajah negeri ini.

Sepantasnya kita merenung dan bercermin, sudahkah kita mampu mempersembahkan karya bhakti


bagi mereka dan bagi negeri ini?

Jangan-jangan, malam ini  sementara kita bergembira dan tertawa-ria, arwah mereka justru sedang
menangis, meratapi tingkah kita yang jauh dari harapan para pendahulunya?
Harus kita akui, mata dan telinga kita sering tertutup oleh gemerlapnya dunia yang serba
memukau sehingga mata hati kita dibutakan, dan kita menjadi tak pandai melihat tanda-tanda
kemunduran dan kerusakan tatanan kehidupan di sekitar kita, di negeri ini.

Tentu kita semua berharap, semoga disekitar kita sudah tidak ada  “Orang tua yang mengabaikan
masa depan anaknya” atau  “Menelantarkan keluarganya”.

Semoga tak ada pula diantara kita yang muda ini,  setiap saat memaksakan kehendak  karena
menganggap bahwa diri kita lebih hebat dari orang lain.

Dan semoga tak ada pula diantara kita, menyalah-gunakan kepercayaan orang tua dengan melakukan
tindakan tak terpuji,  sementara Bapak-Ibu membanting tulang, mencari nafkah demi keberhasilan kita.

Mari kita tanyakan pada nurani kita,  apakah kita akan membiarkan diri kita tersesat dan menyerah
untuk diperbodoh atau dijajah kembali?

Jika demikian, apa artinya Sultan Agung menggempur Batavia, Nyi Ageng Serang membentengi Bumi
Menoreh, Pangeran Diponegoro mengobarkan Perang-Jawa, dan Bung Tomo menggelorakan
semangat arek-arek Surabaya melawan tentara Sekutu?

Apa pula artinya selama ini kita bergembira dengan mengadakan lomba-lomba yang penuh tawa dan
tepuk tangan serta pentas-pentas yang penuh dentuman musik dan sorot lampu warna-warni?

Apakah semua itu justru sekedar sebagai kamuflase karena kita tidak bisa berbuat sesuatu yang
berarti untuk kejayaan negeri ini?

Marilah kita sadari, ternyata kita telah menjadi bangsa yang lemah, bangsa yang manja dan
takmenghargai warisan jiwa ksatria dari para pendahulu kita.

Mestinya kita malu karena ternyata  kita sering mengkhianati diri sendiri, kedua orang tua , leluhur  dan
para pahlawan negeri tercinta Indonesia.

-oOo-

Perjalanan kita masih panjang, dan negeri ini masih selalu menanti dharma-bhakti para pemudanya.

Esok pagi, saat matahari bersinar diufuk timur, itulah waktunya kita berbenah diri, menggelorakan
semangat dan menyingsing-kan lengan baju untuk berbuat lebih banyak bagi
Nusantara, negeri nan indah laksana bentangan permadani dengan untaian permata diKhatulistiwa.

Ikatkan pita merah-putih di kepala, kibarkan Sang Dwi Warna, melangkahlah dengan tegap penuh
percaya diri.

Melompatlah tinggi kelangit, raihlah bintang-bintang untuk dipersembahkan pada Ibu Pertiwi


demi kejayaan dan ke-emasan Republik Idonesia tercinta.

Dan nanti akan datang saatnya  dimana semua bangsa akan tergetar manakala lagu Indonesia
Raya dikumandangkan dan menggema diseluruh penjuru dunia.

Tersenyumlah pahlawanku, semboyan maha sakti akan selalu bergelora di-dada.

MERDEKA ! ....., MERDEKA !! ....., MERDEKA !!!!!

Anda mungkin juga menyukai