Anda di halaman 1dari 14

1.

Patofisiologi
Penelitian terbaru pada model tikus percobaan khusus menunjukkan
peranan yang kompleks dari Toll-like receptor(TLR) pada patogenesis terjadinya
abses. Hal yang menarik adalah bahwa TLR2 memiliki pengaruh yang terbatas
dalam respon imun innate pada fase akut pembentukan abses yang diinduksi oleh
staphylococcus aureus, tetapi berpengaruh dalam adaptasi imunitas. Di lain pihak,
tikus dengan defisiensi MyD88-molekul adaptor sentral yaitu TLR, IL-1R dan IL-
18 R, menunjukkan defek yang cukup berat pada imunitas innate disertai dengan
kerusakan jaringan yang semakin memburuk.2,7
Pada kasus abses otak yang di induksi oleh staphylococcus aureus,
patogen menginduksi mikroglia dan mengaktivasi astrosit melalui keterlibatan
beberapa Toll-like receptor (TLR) dan reseptor yang lain, yang disertai pelepasan
mediator-mediator pro inflamasi. Respon ini bersamaan dengan respon inisial
terhadap patogen mengakibatkan nekrosis yang luas pada parenkim yang
terinfeksi. Berdasarkan pada kerusakan jaringan, TLR juga dapat mengenali
produk auto antigen sebagai hasil dari nekrosis melalui serangkaian peristiwa
yang dikenal dengan pathogen-necrosis-autoantigen triad.2,7
Gambar 1. Imunopatogenesis Abses Otak. Dikutip dari Kielian T.
Immunopathogenesis of Brain Abscess. J Neuroinflammation 2004;1:16

Gambar 2. Trias Patogen-nekrosis-autoantigen.


Dikutip dari: Esen N, Kielian T. Toll-Like Receptors in Brain Abscess. Current
topics in Microbiology and Immunology 2009; 336:41-61.

Marker lain yang memerlukan penelitian lebih lanjut adalah perihal


pentingnya peran interleukin-17(IL-17) dalam proses perkembangan abses otak.
Namun hal yang paling penting adalah hubungan netralisasi IL-17 dengan efek
kompensasi dari peningkatan cytokine/chemokine pada tikus percobaan dengan
abses otak yang telah dilakukan inaktifasi terhadap Toll-like receptor . Secara
garis besar, kelompok molekul famili TLR memberikan pengaruh yang sangat
signifikan terhadap respon inflamasi pada proses pembentukan abses, baik dalam
hal sistem imunitas innate maupun adaptif. 2,7

1.1. Infeksi per kontinuitatum


Abses dapat merupakan komplikasi dari otitis dan sinusitis, dimana adanya
cholesteatoma meningkatkan faktor resiko. Umumnya penyebaran kuman
diakibatkan oleh phlebitis petrosus yang mencapai otak melalui sinus petrosus
superior atau inferior, atau ekstensi langsung sebagai akibat dari osteomyelitis
dinding posterior sinus. Fokus infeksi biasanya tetap terlokalisir pada tulang,
tetapi dapat menyebar ke rongga epidural melalui proses granulasi dan proses
supurasi atau disertai septic thrombosis di daerah vena yang melibatkan struktur
tulang dan meningen. Umumnya abses timbul di daerah temporal atau serebelum,
tetapi jarang melibatkan keduanya . Infeksi sinus, terutama di daerah sinus
frontalis, sering menyebabkan epidural atau subdural empiema. Pada anak dan
remaja komplikasi intrakranial umumnya disebabkan oleh sinusitis akut,
sedangkan pada dewasa lebih sering disebabkan oleh sinusitis kronis.3,4,5
Penyebab lain dari abses otak adalah infeksi pada wajah dan lesi patologis
pada gigi. Meningitis sekunder yang bukan disebabkan oleh infeksi
perkontituinatum jarang menyebabkan abses, kecuali pada anak-anak. Pada
Neonatus, bakteri proteus, seratia, salmonella dan citrobacter sangat sering
mengakibatkan terjadinya abses, dimana insidensinya mencapai 77%.5,6

1.2. Infeksi Hematogenik


Bila infeksi per kontinuinatum menyebar ke jaringan otak melalui sistem
vena, maka infeksi hematogenik menyebar melalui sistem arteri. Lokasi abses
hematogenik sesuai dengan aliran pembuluh darah arteri ke otak, dimana arteri
serebri media paling sering terlibat. Abses pada basal ganglia, thalamus dan
batang otak merupakan penyebaran yang khas dari infeksi hematogenik. Kelainan
jantung bawaan pada anak merupakan penyebab yang paling sering, terutama
Tetralogy of Fallot dan transposisi pembuluh darah besar. Hipoksia kronis yang
disebabkan oleh polisitemia merupakan lingkungan yang baik bagi pertumbuhan
anaerob pada jaringan otak.1,8,9,10
Keadaan yang sama dapat dijumpai pada pulmonary AV-fistula. Pasien
dengan infeksi paru juga rentan menyebabkan abses otak, terutama abses paru dan
bronkiektasis. Beberapa dekade belakangan ini, dengan luasnya penggunaan
antibiotik, angka kejadiannya cenderung menurun.1,8
Endokarditis bakterialis dengan sepsis secara mengejutkan menunjukkan
insidensi yang rendah terhadap pembentukan abses otak. Tidak terjadinya pintasan
kardiopulmoner dan hipoksia kemungkinan dapat menerangkan angka kejadian
yang cukup rendah. Mikro abses umumnya dijumpai pada kasus kasus terminal.
dimana faktor hipoksia memegang peranan penting. 1,8

1.3. Trauma dan infeksi pasca bedah


Cedera kepala terbuka, terutama dengan keterlibatan rongga orofacial
meningkatkan resiko terjadinya abses otak, terutama bila disertai dengan adanya
corpus alienum. Pecahan kayu dan beberapa materi lain sulit di visualisasi secara
radiologis dan dapat menjadi nidus infeksi. Tidak seperti yang diperkirakan
semula, ternyata pecahan tulang jarang menyebabkan abses.1,11,12
Paradigma penanganan debridement trauma terbuka telah berubah dari
yang sebelumnya mengekstraksi seluruh fragmen tulang, menjadi hanya
mengevakuasi fragmen yang dapat dijangkau secara aman. Fragmen metal seperti
peluru dan pecahan granat sangat jarang menyebabkan abses karena umumnya
sudah tersterilisasi oleh derajat suhu yang tinggi. Abses umumnya di jumpai 3-5
minggu pasca trauma, meskipun pernah dilaporkan abses yang terjadi setelah 47
tahun pasca trauma. 1,11,12
Abses juga dapat timbul pada trauma kranioserebral tertutup, terutama
pada trauma dasar tulang tengkorak dengan kebocoran likuor. Oleh karena itu,
penanganan yang serius penting pada kasus kebocoran likuor terutama untuk
mencegah komplikasi meningitis dan abses. Abses yang timbul setelah operasi
bedah saraf umumnya disebabkan oleh kontaminasi intraoperatif pada jaringan
otak maupun flap tulang. Periode laten pembentukan abses pada kasus pasca
bedah sama seperti pada kasus trauma terbuka. Pengangkatan flap tulang dan
debridement penting dilakukan untuk mengatasi infeksi tersebut. Beberapa
penyebab lain yang mungkin menyebabkan terjadinya abses otak adalah
penggunaan pin fiksator tengkorak, cervical traction tongs, selang shunt dan
elektroda intraserebral. Selain itu juga pernah dilaporkan kasus abses otak yang
terjadi 4 tahun pasca tindakan embolisasi pada kasus AVM otak. 1,11,12

1.4. Immunocompromised
Penderita dengan status immunocompromised mengalami peningkatan
resiko terjadinya abses otak. Penderita pasca transfusi, kemoterapi dan penderita
AIDS memiliki pola kuman yang berbeda, meskipun umumnya di dominasi oleh
jamur dan parasit.1,13

2. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis dari abses otak sangat bervariasi dan bergantung pada
ukuran, lokasi dan virulensi dari mikroorganisme penyebab. Gejala dan tanda
klinis yang umum dijumpai pada abses otak adalah nyeri kepala. Nyeri kepala
yang semakin memburuk disertai meningismus merupakan keadaan mencurigakan
yang mungkin diakibatkan pecahnya kapsul abses ke dalam rongga ventrikel.
Gejala dan tanda klinis lain yang juga sering dijumpai pada kasus abses otak
adalah demam, defisit neurologis fokal. perubahan tingkat kesadaran, kejang,
mual dan muntah, kaku kuduk dan papil edema. Lokasi dari abses otak juga
memberikan gejala dan tanda klinis yang bervariasi sesuai dengan gangguan
fungsi pada area otak yang terinfeksi.1,11,14,15
Gejala-gejala dan tanda klinis berupa:19,20,21,22
- Hampir seluruh penderita abses didapati keluhan sakit kepala (70-
90%)
- Muntah-muntah (25-50%)
- Kejang-kejang (30-50%)
- Gejala-gejala pusing, vertigo, ataxia (pada penderita abses
cerebelli)
- Gangguan bicara (19,6%), hemianopsia (31%).Unilateral midriasis
(20,5%) yang meruopakan indikasi terjadinya herniasi tentorial
(pada penderita abses temporal)
- Gejala fokal (61%) (pada penderita abses supratentorial)

Gambar . manifestasi klinis Abses Otak. Dikutip dari : Brain Abscess. Risk
Factors and Pathophysiology. Available at : http://www. docstoc.
com/docs/85178757/Brain-Abscess- Brain on 06/02/2017

Manifestasi klinis dari abses otak mungkin juga ditentukan oleh jenis
mikroorganisme yang menginfeksi. Sebagai contoh, pasien dengan abses otak
akibat aspergillus dapat memiliki gejala berupa sindrom stroke sebagai akibat dari
lesi iskemik dan atau perdarahan intraserebral.1
3. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, gambaran klinik,
pemeriksaan laboratorium disertai pemeriksaan penunjang lainnya.Selain itu
penting juga untuk melibatkan evaluasi neurologis secara menyeluruh, mengingat
keterlibatan infeksinya.Perlu ditanyakan mengenai riwayat perjalanan penyakit,
onset, faktor resiko yang mungkin ada, riwayat kelahiran, imunisasi, penyakit
yang pernah diderita, sehingga dapat dipastikan diagnosisnya.
Pada pemeriksaan neurologis dapat dimulai dengan mengevaluasi status
mental, derajat kesadaran, fungsi saraf kranialis, refleks fisiologis, refleks
patologis, dan juga tanda rangsang meningeal untuk memastikan keterlibatan
meningen.
Pemeriksaan motorik sendiri melibatkan penilaian dari integritas sistem
musculoskeletal dan kemungkinan terdapatnya gerakan abnormal dari anggota
gerak, ataupun kelumpuhan yang sifatnya bilateral atau tunggal.
Pada pemeriksaan laboratorium, terutama pemeriksaan darah perifer yaitu
pemeriksaan lekosit dan laju endap darah; didapatkan peninggian lekosit dan laju
endap darah.Pemeriksaan cairan serebrospinal pada umumnya memperlihatkan
gambaran yang normal. Bisa didapatkan kadar protein yang sedikit meninggi dan
sedikit pleositosis, glukosa dalam batas normal atau sedikit berkurang, kecuali
bila terjadi perforasi dalam ruangan ventrikel.
Foto polos kepala memperlihatkan tanda peninggian tekanan intrakranial,
dapat pula menunjukkan adanya fokus infeksi ekstraserebral; tetapi dengan
pemeriksaan ini tidak dapat diidentifikasi adanya abses.Pemeriksaan EEG
terutama penting untuk mengetahui lokalisasi abses dalam hemisfer.EEG
memperlihatkan perlambatan fokal yaitu gelombang lambat delta dengan
frekuensi 13 siklus/detik pada lokasi abses. Pnemoensefalografi penting terutama
untuk diagnostik abses serebelum.Dengan arteriografi dapat diketahui lokasi abses
di hemisfer.Saat ini, pemeriksaan angiografi mulai ditinggalkan setelah digunakan
pemeriksaan yang relatif noninvasif seperti CT scan.Dan scanning otak
menggunakan radioisotop tehnetium dapat diketahui lokasi abses; daerah abses
memperlihatkan bayangan yang hipodens daripada daerah otak yang normal dan
biasanya dikelilingi oleh lapisan hiperderns.CT scan selain mengetahui lokasi
abses juga dapat membedakan suatu serebritis dengan abses. Magnetic Resonance
Imaging saat ini banyak digunakan, selain memberikan diagnosis yang lebih cepat
juga lebih akurat.
Keberadaan CT Scan, yang diperkenalkan pada tahun 1970 telah
memegang peranan yang sangat dominan dalam penegakan diagnosis abses otak.
Penurunan mortalitas dari 40-50% menjadi 12-14% terutama disebabkan
ketersediaan sarana CT Scan. Penggunaan zat kontras telah membantu penegakan
diagnosis pada lesi yang tidak terdeteksi pada CT polos. Prinsip klinis fase
perkembangan abses otak sesuai dengan penelitian eksperimental pada hewan
percobaan yang dilakukan oleh Britt dan Enzman.1,11,16

Gambar. Gambaran awal cerebritis. Dikutip dari : Critical Steps for Diagnosing
Brain Infections . Medscape Reference. Available at : http://reference. medscape.
com/features/slideshow/brain-infections on 06/09/2012

Pada CT scan kepala, fase serebritis awal memberikan gambaran hipodens


yang menyangat pada pemberian zat kontras. Proses evolusi lebih lanjut akan
memberikan gambaran klasik ring enhancement yang berhubungan dengan
maturitas abses otak. Meskipun pola gambaran scan memberikan kesan
pembentukan kapsul perifer, hal tersebut juga dapat terjadi pada fase serebritis,
yang belum disertai akumulasi pus yang bermakna. Pada kasus dengan sangkaan
serebritis, pemeriksaan CT berulang (yang dilakukan 30-60 menit kemudian)
dapat menunjukkan gambaran filling in dari area hipodens sentral setelah
pemberian zat kontras. Lesi ini menunjukkan proses serebritis, yang kemudian
akan menuju terbentuknya area sentral nekrosis.1,11
Masalah utama dalam interpretasi imejing kasus abses otak adalah dalam
hal membedakannya dengan lesi tumor metastase. Abses otak umumnya
berlokalisasi di daerah water shed disekitar distribusi vaskular distal. Tampilan
abses otak umumnya berupa lesi hipodens sentral dikelilingi oleh kapsul tipis
yang tidak terlalu tebal dan regular dengan area penyangatan di perifer. Setelah
pemberian kontras, massa tumor umumnya memberikan gambaran area irregular
dengan penyangatan difus.1
Meskipun seorang ahli radiologi dapat memberikan prediksi berdasarkan
tampilan CT scan, suatu tumor otak dapat sangat menyerupai tampilan khas abses
otak sehingga dibutuhkan konfirmasi patologi untuk penegakan diagnosa. Tidak
jarang didapati kasus dengan diagnosa high grade astrocytoma yang telah
menerima terapi radiasi, ternyata adalah kasus multiple brain abscsess.1

Gambar. Gambaran klasik CT Scan soliter dan multipel abses. Dikutip dari
koleksi kasus Departemen Ilmu Bedah Saraf FK. USU-RSUP.H. Adam Malik
Gambar. Perbandingan antara CT scan kasus abses(atas) dan high grade
astrocytoma(bawah)
Dikutip dari koleksi kasus Departemen Ilmu Bedah Saraf FK.USU RSUP.H.Adam
Malik

Meskipun pada saat ini teknologi dan teknik imejing berkembang sangat
pesat(misalnya aplikasi advance MRI), keberadaan CT scan terutama dalam hal
pemeriksaan serial tetap menjadikan CT-scan sebagai prosedur pemeriksaan
standar. Pada setiap kasus ring enhancement pada imejing, diagnosa banding
harus meliputi glioblastoma, cerebral limfoma, hematom yang diresorbsi, proses
akut demielinisasi, granuloma dan berbagai kasus jarang lainnya. Salah satu
keuntungan tambahan pemeriksaan MRI adalah penggunaan DWI (diffuse weight
image) melalui penghitungan apparent diffusion coefficient, yang bernilai rendah
pada kasus abses dan meningkat pada tumor kistik, meskipun prinsip difusi air
tidak spesifik untuk kasus abses otak. Tampilan multi planar dan ketebalan kapsul
dan hubungannya dengan sistem ventrikel sangat membantu dalam proses
penentuan diagnosa banding. 29, 30
Karakteristik imejing konvensional pada kasus abses otak:17,18
- Sentral abses umumnya hipointense pada T1 dan hiperintense pada T2 ,
vasogenik edema yang mengelilingi kapsul juga memiliki karakteristik
yang sama
- Kapsul abses memberikan gambaran penyangatan kontras
- Sesuai dengan maturitas abses, kapsul abses menunjukkan penurunan
sinyal pada T2
- DWI akan memberikan gambaran hiperintens, yang mengindikasikan
pengurangan difusi dari air. Hal ini diakibatkan proses sekunder terhadap
peningkatan viskositas pus yang mengandung selain debris dan bakteri
juga molekul besar seperti fibrinogen, yang akan mengikat molekul air dan
meningkatkan efek restriksi cairan.
- Hal ini dapat dikonfirmasi menggunakan ADC (Apparent Diffusion
Coeficient) mapping, yang menunjukkan sinyal yang rendah.
- DWI dan ADC mapping merupakan parameter penting dalam
membedakan toxoplasma dan Limfoma pada penderita AIDS

MR Spectroscopy adalah imejing yang merefleksikan gambaran kimiawi


jaringan. Pada kasus abses, peningkatan asetat, suksinat dan asam amino, akan
memberikan pola yang berbeda dibandingkan pada kasus tumor otak.1,18
Abses piogenik dan tuberculosis dapat dibedakan berdasarkan pola
metabolik, dengan karakteristik peningkatan asam amino, asetat dan suksinat pada
kasus abses piogenik dan peningkatan kadar lipid pada abses tuberkulosis. Untuk
membedakan kasus fungal dan non fungal abses sebaiknya menggunakan
kombinasi pencitraan konvensional. DWI dan PMRS (Proton MR Spectroscopy).
Karakteristik dari ungal abses berupa lesi heterointens dengan ring enhancement
pada T2 dengan gambaran dinding dan kavitas irregular, serta ADC yang rendah,
tanpa penyangatan kontras.17,18

Tabel 1. Fase pembentukan abses otak berdasarkan imaging / Britts Staging.


Dikutip dari Frazier JL, Ahn ES, Jallo GI. Management of brain abscesses in
children. Neurosurg Focus 2008;24:1-10
Gambar . Tampilan MRI T1 & T2 abses otak.
Dikutip dari koleksi kasus Departemen Ilmu Bedah Saraf FK. USU-RSUP H.
Adam Malik

Gambar. Tampilan Metastase yang menyerupai gambaran


Abses. Desprechins B, Stadnik T, Koerts G, Shabana W, et al. Use of
diffusion-weighted MR imaging in differential diagnosis between intracerebral
necrotic tumors and cerebral abscesses. Am J Neuroradiol 1999;20:1252-1257

Daftar Pustaka
1. Rappaport Z. H, Vajda J. Intra Cranial Abscess:Current Concept in
Management. Neurosurgery Quaterly 2002;12:238-250
2. Kielian T, Phulwani NK, Esen N, Syed MM, Haney AC, McCastlain K,
Johnson J. MyD88-dependent signals are essential for the host immune
response in experimental brain abscess. J Immunol 2007;178:45284537
3. Hsu CW, Lu CH, Chuang MJ, Huang CR, Chuang YC, Tsai NW et al.
Cerebellar Bacterial Brain Abscess: Report of Eight Cases. Acta Neurol
Taiwan 2011;20:47-52
4. Ashoor AA, Fachartzt FHNO. Otogenic Brain Abscess Management.
Bahrain Medical Bulettin 2005;27:1-5
5. Atiq M, Ahmed US, Allana SS, Chishti KN. Brain Abscess in Children.
Indian J Pediatr 2006;73:401-422.
6. Auvichayapat N, Auvichayapat P, Aungwarawong S. Brain Abscess in
Infants and Children: A Retrospective Study of 107 Patients in Northeast
Thailand. J Med Assoc Thai 2007;90:1601-1607
7. Kielian T, Haney A, Mayes PM, Garg S, Esen N. Toll-like receptor 2
modulates the proinflammatory milieu in Staphylococcus aureus-induced
brain abscess. Infect Immun 2005;73:74287435.
8. Atiq M, Syed AU, Allana SS, Khalid CN. Clinical features and outcome of
cerebral abscess in congenital heart disease. J Ayub Med Coll Abbottabad
2006;18:21-25
9. Setia Jaya H, Aditya Agus Y, Riadi D. Multiple Brain Abscess in A
Newborn Following an Umbilical Infection. Medicine 2009;3:18-22
10. Erdogan E, Izci Y, Dizer U, Baysefer A. Multiple Brain Abscess in A Baby
: Case Report and Review of the Literature. Annals of Neurosurgery
2002;2:1-6
11. Tunkel AR, Scheld WM. Brain Abses. In: Winn HR,ed. Youmans
Neurological Surgery, 6th edn.Vol.1. Philadelphia: Elsevier Saunders
2011.p.588-599
12. Khattak A, Rehman RU, Anayatullah WA. Etiological Factors of Brain
Abscess. J Pak Med Sci 2010;18(4):194-196.
13. Delfino D, De Hoog S, Polonelli L, Galatiotos S, Benecchi M, Cusumano
V. Survival of a neglected case of brain abscess caused by
Cladophialophora bantiana. Medical Mycology 2006;44:651-654
14. Rad MF, Samini F. Clinical Features and Outcome of 83 Adult Patients
with Brain Abscess. Arch Iranian Med 2007;10:379-382
15. Isono M, Wakabayashi Y, Nakano T, Fujiki M, Mori T, Hori S, Treatment
of Brain Abscess Associated with Ventricular Rupture. Neurol Med Chir
(Tokyo) 1997;37:630-636
16. Moorthy RK, Rajshekhar V. Management of Brain Abscess : An Overview.
Neurosurg Focus 2008;24:1-6
17. Cartes-Zumelzu, Stavrou I, Castilo M, Eisenhuber E, Knosp E, Thurnher
MM. Diffusion-Weighted Imaging in the Assessment of Brain Abscesses
Therapy. Am J Neuroradiol 2004;8:1310-1317
18. Luthra G et al. Comparative Evaluation of Fungal. Tubercular and
Pyogenic Brain Abses with Conventional and Diffusion MRI and Proton
MRS. Am J Neuroradiol, 2008; 28:1332-1339
19. Britt, Richard H : Brain Abscess, J. Neurosurg. 1985; vol 3.
20. Yang, SY: Brain Abscess; A review of 400 cases, J. Neurosurg, 1981.
21. Hakim A.a. Pengamatan pengelolaan abses otak di RSUD Dr. Soetomo
Surabaya; 1984-1986
22. Richard J., Setti S. Rengachary: Brain Abscess; Neurosurg. McGraw-
Hill Company, New York, 1985, vol 1.

Anda mungkin juga menyukai