Latar belakang
Perjuangan
Chaerul Saleh bersama Wikana, Sukarni dan beberapa pemuda lainnya, menculik
Soekarno dan Hatta dalam Peristiwa Rengasdengklok untuk mendesak kedua tokoh
itu segera menyatakan dan menyiarkan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia setelah
kekalahan Jepang dari Sekutu pada Agustus 1945.
Tokoh proklamasi bernama lengkap Chaerul Saleh Datuk Paduko Rajo, itu mengawali
pendidikan di Sekolah Rakyat (SR) di Medan dan kemudian diselesaikannya di
Bukittinggi (1924-1931). Kemudian dia melanjutkan ke HBS bagian B di Medan dan
diselesaikannya di Jakarta (1931-1937). Lalu melanjutkan lagi ke Fakultas Hukum di
Jakarta (1937-1942).
Chairul Saleh bergabung dalam kelompok Persatuan Perjuangan yang dibentuk atas
prakarsa Tan Malaka di Surakarta pada tanggal 4-5 Januari 1946. Semula kelompok
Persatuan Perjuangan itu bernama Volksfront. Hal mana pada tanggal 15-16 Januari
1946 dibentuk Badan Tetap bernama Persatuan Perjuangan (PP). Program utama PP
adalah menolak perundingan tanpa dasar pengakuan kemerdekaan 100%. Kala itu,
PP didukung KNIP dan semua ormas.
Di dalam sidang KNIP di Solo, 28 Februari - 2 Maret 1946, KNIP menolak kebijakan
Perdana Menteri Syahrir yang cenderung berunding dengan Belanda dengan hasil
yang merugikan Indonesia. Akibatnya, Kabinet Syahrir jatuh. Persatuan Perjuangan
mengharapkan Tan Malaka sebagai Perdana Menteri. Adam Malik mengajukan
permohonan agar mandat diserahkan ke Tan Malaka, tetapi ditolak Soekarno.
Bahkan, Soekarno menunjuk kembali Syahrir sebagai Perdana Menteri (Kabinet
Syahrir II) yang dibentuk 12 Maret 1946 dengan mengkompromikan sebagian
pendapat Persatuan Perjuangan.
Tetapi Persatuan Perjuangan tetap beroposisi. Kemudian pada 17 Maret 1946,
beberapa tokoh politik, terutama dari Persatuan Perjuangan, ditangkap dan ditahan.
Mereka antara lain Tan Malaka, Sukarni, Abikusno Cokrosuyoso, Chairul Saleh, M.
Yamin, Suprapto dan Wondoamiseno. PP pun dibubarkan pada 4 Juni 1946, tetapi
pengikut Tan Malaka tetap meneruskan oposisi. Tanggal 26 Juni 1946 pengikut Tan
Malaka menculik Syahrir. Lalu, 3 Juli 1946 memaksa Soekarno membentuk
pemerintahan sesuai konsep PP. Namun, Soekarno bergeming, tetap menunjuk
Syahrir sebagai Perdana Menteri (Kabinet Syahrir III) yang dilantik pada 2 Oktober
1946.
Pada 27 Juni 1947 Syahrir mengundurkan diri dan digantikan Amir Syarifuddin 3 Juli
1947. Namun tak sampai satu tahun, Kabinet Amir Syarifuddin jatuh karena
mengadakan Perjanjian Renville. Pada 23 Januari 1948, Amir menyerahkan
mandatnya. Sebagai penggantinya, Kabinet Hatta diumumkan 31 Januari 1948. Hatta
berusaha mengakomodasi koalisi Nasasos. Hatta menawarkan tiga kursi kepada
sayap kiri, tetapi mereka menuntut 4 kursi termasuk menteri pertahanan. Hatta
menolak dan akhirnya hanya memberikan satu kursi kepada sayap kiri yakni Supeno
atas nama perorangan sebagai Menteri Pembangunan dan Pemuda. Sisanya
diduduki oleh Masyumi, PNI, Parkindo dan Partai Katolik.
Ketika Agresi Militer Belanda II, Desember 1948, Murba bergerilya, Chairul Saleh
dengan Barisan Bambu Runcing di Jawa Barat, Sukarni dan kawan-kawan di Yogya
dan Jawa Tengah, Tan Malaka bergabung dengan batalion Mayor Sabaruddin di Jawa
Timur. Chairul Saleh turut bersama Divisi Siliwangi melakukan Long March dari
Yogyakarta ke Karawang dan Sanggabuana. Kemudian, dia bergabung dengan Divisi
Tentara Nasional 17 Agustus di bawah pimpinan Letnan Kolonel Wahidin Nasution.
Karena tidak setuju dengan adanya KMB, Chairul Saleh melarikan diri dari Jakarta ke
Banten bersama anggota kesatuan lainnya yang menyebabkan terjadinya Peristiwa
Banten Selatan. Bulan Februari 1950-1952, dia ditangkap dan dipenjarakan karena
dianggap sebagai pelanggar hukum Pemerintah RI. Kemudian, setelah bebas,
Soekarno memberangkatkannya melanjutkan sekolah di Fakultas Hukum Universitas
Bonn di Jerman Barat 1952-1955. Di Jerman, dia menghimpun para pelajar Indonesia
dan mendirikan Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI).
Pemerintahan
Pada bulan Desember 1956 sepulangnya dari Jerman, Chaerul ditunjuk oleh
pemerintah untuk menjadi Wakil Ketua Umum Legiun Veteran RI. Satu tahun
kemudian, ia masuk Kabinet Djuanda dan menjabat sebagai Menteri Negara Urusan
Veteran. Chaerul dikenal sebagai tokoh sosialis yang cemerlang. Karena
kepandaiannya itu ia beberapa kali menjadi orang kepercayaan Presiden Soekarno,
dan sebagai penyeimbang tokoh-tokoh PKI di kabinet. Pada tahun 1959, ia ditunjuk
sebagai Menteri Muda Perindustrian Dasar dan Pertambangan pada Kabinet Kerja I.
Di kabinet berikutnya, Kabinet Kerja II dan Kabinet Kerja III Chaerul menjadi Menteri
Perindustrian Dasar dan Pertambangan. Pada tahun 1960 hingga 1966, ia juga
menjabat sebagai Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara.
Tahun 1963 kariernya menanjak dan ia dipercaya sebagai Wakil Perdana Menteri III.
Pada bulan April 1964, Chaerul terlibat dalam intrik kekuasaan. Ia mencoba untuk
menduduki posisi Wakil Perdana Menteri I yang saat itu dijabat oleh Soebandrio.
Perhitungannya adalah jika Soekarno lengser maka ia yang akan naik menjadi
Perdana Menteri. Untuk menyingkirkan Soebandrio dari kedudukannya sebagai
Menteri Luar Negeri, ia juga akan menyodorkan Adam Malik. Selain berusaha
menggeser Soebandrio, ia juga membendung Hatta yang sewaktu-waktu bisa saja
naik menjadi Wakil Perdana Menteri I. Untuk itu ia menginstruksikan Selo Soemardjan
untuk membentuk organisasi intelijen yang mengkonsolidasi kedudukannya. Pada
masa itu selain orang-orang Murba, Angkatan Darat dan PKI juga memposisikan
dirinya sebagai pengganti Soekarno.
Untuk menjatuhkan wibawa PKI di mata Soekarno, pada sidang kabinet di akhir tahun
1964 Chaerul mengeluarkan sebuah dokumen yang menyatakan PKI akan melakukan
kudeta terhadap Presiden. Dokumen yang berjudul "Resume Program dan Kegiatan
PKI Dewasa Ini" itu, menyatakan bahwa revolusi Agustus 1945 telah gagal. Dan PKI
harus mengambil tindakan untuk merebut pimpinan revolusi. Pembahasan dokumen
itu terus berlanjut ke pertemuan partai politik di Bogor tanggal 12 Desember 1964.
Disitu pimpinan PKI DN Aidit menuduh Chaerul telah membuat berita bohong dan
sebagai antek-Nekolim. Dari pertemuan itu kemudian terbit Deklarasi Bogor yang
meminta partai-partai politik untuk tetap setia kepada pimpinan besar revolusi,
Soekarno.
Dalam Gerakan 30 September, semula nama Chaerul termasuk salah seorang tokoh
yang akan diculik. Namun Aidit mencoret namanya karena pada tanggal 30
September Chaerul sedang berada di Peking, China. Tanggal 18 Maret 1966, Chaerul
Saleh ditahan oleh Soeharto tanpa melalui proses peradilan. Ia dianggap sebagai
menteri yang mendukung kebijakan Soekarno yang pro-komunis. Ia meninggal pada
tanggal 8 Februari 1967 dengan status tahanan politik. Hingga sekarang tidak pernah
ada penjelasan resmi dari pemerintah mengenai alasan penahanannya.
Karya