Anda di halaman 1dari 10

Keterangan Medik untuk Pasien yang Berstatus Tahanan

Pendahuluan

Di dalam hukum peran dokter sangat dibutuhkan, salah satunya adalah pemeriksaan
kesehatan pasien yang berstatus tahanan. Pemeriksaan kesehatan pasien dengan status
sebagai tahanan memerlukan ijin dan beberapa prosedur. Hal ini dilakukan untuk mencegah
terjadinya hal yang tidak diinginkan seperti kabur dari tahanan. Sebagai seorang dokter untuk
membuat surat keterangan baik untuk rujukan ataupun keterangan lainnya harus tetap
dilakukan sesuai dengan standard operasionalnya yaitu harus benar-benar diperiksa apakah
seseorang tersebut membutuhkan surat itu atau tidak. Dalam memberikan keterangan, hal ini
diatur dalam etika, hukum dan disiplin kedokteran.

Skenario 4

Seorang laki-laki, pasien lama anda, datang ke tempat praktek anda. Ia menyapa
dengan baik seperti biasanya, dan kemudian meminta tolong kepada anda melakukan sesuatu.
Kakak kandungnya saat ini sedang diperiksa oleh kejaksaan karena diduga telah melakukan
tindak pidana korupsi, dengan status tahanan. Ia sebenarnya menderita penyakit jantung yang
telah lama dideritanya, penyakit lever, dan penyakit pada lutut kanannya ( osteochondritis
genu) sehingga ia mengalami hambatan dalam berjalan. Pasien lama anda tersebut
menunujukkan kepada anda data-data medik dari kakaknya. Pasien lama anda tersebut
mendegar bahwa dijepang terdapat seorang profesor ortopedi yang sangat mahir dalam
menangani penyakit lututnya. Oleh karena itu ia meminta kepada anda untuk dapat
membuatkan surat pengantar berobat ke profesor dijepang tersebut.

Aspek Hukum dan Medikolegal 1

Salah satu pekerjaan dokter yang membuatnya harus bersentuhan dengan hukum
adalah ketika dokter membuat surat keterangan mengenai orang yang diperiksanya. Dalam
persidangan, seorang saksi atau terdakwa harus dalam keadaan sehat secara fisik dan mental
dalam menyampaikan pernyataan atau pembelaannya. Ketika menghadapi persidangan dan
ditahan seorang terdakwa harus memenuhi unsur fitness to stand the trial dan fitness to be
detained. Dokter bisa membantu disini untuk menentukan apakah terdakwa layak maju
persidangan dan dihukum dari aspek medisnya. Hasil dari temuan dokter tersebut kemudian
dituangkan dalam surat keterangan dokter yang diterima sebagai surat keterangan ahli dalam
persidangan.

UU No. 36 tahun 2012 bab V menyebutkan mengenai pembukaan rahasia kedokteran. Isinya
antara lain sebagai berikut

Pasal 5 (1) Rahasia kedokteran dapat dibuka hanya untuk kepentingan kesehatan pasien,
memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka penegakkan hukum,
permintaan pasien sendiri, atau berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan

Pasal 7 ayat 1 disebutkan bahwa pembukaan rahasia kedokteran yang dilakukan untuk
memenuhi permintaan aparatur penegak hukum meliputi proses penyelidikan, penyidikan,
penuntutan, dan sidang pengadilan. Media apa yang digunakan untuk membuka rahasia
kedokteran tersebut. Dalam ayat 2 disebutkan bahwa pemberian data dan informasi dapat
berupa visum et repertum, keterangan ahli, keterangan saksi, dan/atau ringkasan medis.

Surat keterangan dokter termasuk keterangan ahli. Dalam surat keterangan dokter ini ada
beberapa hal yang perlu diperhatikan: yang pertama adalah surat keterangan tersebut pada
dasarnya merupakan potret sesaat yang menggambarkan kondisi kesehatan pasien pada hari
ia diperiksa, yang kedua adalah pengertian "sehat" atau "memenuhi syarat" dalam keterangan
tersebut bersifat spesifik sesuai dengan kepentingan pembuatan surat tersebut. Misalnya
dalam hal persidangan, sehat yang dimaksud adalah memenuhi unsur-unsur fitness to stand
trial dan fitness to detained.

Kode Etik Kedokteran Indonesia 2

Setiap dokter dibekali dengan peraturan etika, yaitu Kode Etik Kedokteran Indonesia
(KODEKI) yang berisi tentang nilai-nilai yang sepatutnya dipatuhi dan dijalankan oleh
seorang dokter. KODEKI inilah yang menjadi landasan setiap tindakan medis yang dilakukan
seorang dokter serta mengatur hubungan antara dokter dengan pasien, lingkungan
masyarakat, teman sejawat, dan diri sendiri.

Menjadi kewajiban dokter untuk melakukan pemeriksaan yang benar-benar cermat


sebelum membuat pemyataan atau keterangan semacam itu sesuai dengan Pasal 7 Kodeki
yang menyatakan bahwa Seorang dokter yang hanya memberi surat keterangan dan pendapat
yang telah diperiksa sendiri kebenarannya.
Kodeki yang mengatur mengenai etika dokter dalam membuat surat pernyataan terdapat
dalam Kodeki pasal 7 ayat 1,2, dan 8 disebutkan sebagai berikut :

(1) Dalam memberikan surat keterangan medis/ahli atau ekspertis dan pendapat ahli apapun
bentuk dan tujuannya, dokter wajib mendasarkan isinya pada fakta medis yang diyakininya
benar sesuai dengan pertanggungjawaban profesinya sebagai dokter.

(2) Surat keterangan dokter dan/atau pendapat/keterangan ahli wajib dibuat dengan penuh
kejujuran, kepatutan, ketelitian dan kehati- hatian berdasarkan sumpah jabatan, sesuai
ketentuan perundang- undangan dan sedapat mungkin bebas dari konflik kepentingan

(8) Seorang dokter dilarang memberikan pendapat mengenai pasien yang diperiksa oleh
sejawat lain tanpa permintaan dari pihak berwenang dan tanpa memeriksa atau melihat
sendiri

Pada penjelasan dan pedoman pelaksanaan KODEKI berikan pendapat yang objektif
dan logis serta dapat diuji kebenarannya. Dokter dianggap melanggar etik, apabila ia
mengetahui secara sadar menerbitkan surat keterangan yang tidak mengandung kebenaran. Di
dalam UU No.29 tahun 2004 memang tidak disebutkan secara rinci, bila dokter dianggap
tidak jujur dalam membuat surat sehat, tetapi dalam bab VIII pasal 55 disebutkan tugas
Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia adalah menegakkan disiplin bagi dokter-
dokter dan dokter gigi dalam menyelenggarakan praktik kedokteran kemudian menerima
pengaduan, memeriksa, dan memutuskan kasus pelanggaran disiplin dokter serta menyusun
pedoman dan tata cara penanganan kasus pelanggaran disiplin bagi dokter. Oleh karena itu,
MKDKI jika menerima pengaduan tertulis dari pihak yang dirugikan atas tindakan dokter
dalam menjalankan praktiknya dan ternyata pengaduan itu terbukti benar, maka MKDKI
dapat membetikan sanksi disiplin berupa surat peringatan tertulis, skorsing, sampai dengan
pencabutan ijin praktek, juga memberi kewajiban kepada dokter untuk mengikuti pendidikan
atau pelatihan di institusi pendidikan kedokteran.

Perbuatan dokter yang memberikan surat keterangan sakit kepada pasiennya dengan tidak
melakukan pemeriksaan yang sebenarnya dan pasiennya juga sebetulnya dalam kondisi yang
sehat juga telah melanggar hukum pidana. Apabila kita cermati dalam pasal 267 KUHP
disebutkan bahwa:

(1) Seorang dokter yang dengan sengaja memberi surat keterangan palsu tentang ada atau
tidaknya penyakit, kelemahan atau cacat diancam dengan pidana paling lama empat tahun;
(2) Jika keterangan diberikan dengan maksud untuk memasukkan seseorang ke dalam rumah
sakit gila atau menahannya disitu dijatuhkan pidana penjara paling lama delapan tahun enam
bulan.

(3) Diancam dengan pidana yang sama barang siapa dengan sengaja memakai surat
keterangan palsu itu seolah-olah isinya sesuai dengan kebenaran.

untuk melakukan penahanan terhadap tersangka paling lama 6 (enam) bulan.3

Penahanan Pasal 1 butir 21 KUHAP menjelaskan :

Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau
penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yangdiatur
dalam undang-undang ini.

Berdasarkan definisi tersebut terlihat semua instansi penegak hukum memiliki


wewenangdalam hal penahanan, tergantung dari tujuan penahanannya. Sebagai
contoh, untuk kepentingan penyidikan, penyidik atau penyidik pembantu atas perintah
penyidik berwenang melakukan penahanan.

Tidak semua pelaku kejahatan dapat dikenakan penahanan. Ditahannya seorang


pelakukejahatan atau tidak harus memenuhi dua syarat, yaitu syarat subjektif dan syarat
objektif.144Syarat subjektif adalah alasan terkait dengan pribadi tersangka,
sebagaimana dijelaskandalam Pasal 21 ayat (1) KUHAP yang menjelaskan penahanan
dilakukan terhadap seseorangtersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak
pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan
kekhawatiran tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan
barang bukti, mengulangi tindak pidana.

Adapun syarat materil seorang tersangka atau terdakwa ditahan adalah apabila
memenuhiketentuan dalam Pasal 21 ayat (4) KUHAP, yaitu melakukan tindak pidana yang
diancampidana penjara lima tahun atau lebih atau melakukan tindak pidana sebagaimana
diatur dalamPasal 21 ayat (4) huruf b KUHAP. Walaupun syarat objektif sudah dipenuhi
namun kalausyarat subjektif belum terpenuhi, maka tidak bisa dilakukan penahanan.
Ketentuan mengenai batas waktu penahanan dalam KUHAP dibagi berdasarkan instansimana
yang melakukan penahanan. Jika penahanan tersebut diberikan oleh penyidik, makabatas
waktu penahanannya paling lama dua puluh hari, dan dapat diperpanjang paling lama 40 hari.
Sehingga, maksimal penahanan atas perintah penyidikan adalah selamaenam puluh hari atau
sekitar dua bulan. 3Dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003, pengaturan tentang
penahanan hanya terdapatdalam satu pasal, yaitu Pasal 25 ayat (2) yang
menjelaskan sebagai berikut Untuk kepentingan penyidikan dan penuntutan,
penyidik diberi wewenang untuk melakukanpenahanan terhadap tersangka paling lama 6
(enam) bulan.. 3

Fitness to stand trial

Kompetensi untuk ditanya (Competence to be interviewed) dan kelayakan untuk diajukan di


sidang pengadilan (Fitness to stand trial)

Sidang yang dilaksanakan pengadilan harus bersifat tertib. Orang-orang yang berada
di ruang sidang tanpa terkecuali harus bersikap tenang, sopan, dan harus menaati peraturan
yang berlaku. Terperiksa baik dalam kedudukan sebagai terdakwa, penggugat, saksi ataupun
kedudukan yang lain harus pula mampu menaati peraturan tersebut dalam arti di dalam
sidang terperiksa harus mampu duduk tenang dan sopan selama waktu relatif lama serta harus
mampu berkomunikasi secara baik wajar dan sopan.

Sidang pengadilan merupakan tempat berkomunikasi dimana mereka yang terlibat saling
bertanya jawab. Tanya jawab harus berlangsung tertib dengan harapan hakim dapat
memperoleh informasi sebanyak-banyaknya dan sebaik-baiknya sehingga dapat mengambil
keputusan hukum yang tepat, objektif, dan adil.

Di lain pihak dimaklumi bahwa situasi sidang pengadilan bagi terperiksa sangat
menekan (stressful). Tidak diharapkan selama sidang atau setelah sidang, akibat rasa tertekan
terperiksa menjadi sakit atau penyakitnya menjadi lebih berat atau penyakit yang sudah
sembuh timbul kembali.

Apabila seseorang (terperiksa) akan diajukan ke sidang pengadilan, terlebih dulu harus
dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a. Apakah sidang dapat dilaksanakan (applicable)? Sidang dapat dilaksanakan apabila


terperiksa menaati peraturan ketertiban sidang. Sidang tidak mungkin dilaksanakan apabila
terperiksa gelisah, tidak dapat duduk tenang, harus dalam posisi berbaring, misalnya karena
cedera tulang punggung atau harus diinfus, atau terperiksa berbicara tidak terkendali.
b. Apakah sidang tidak berbahaya (harmful) bagi terperiksa? Sidang tidak dapat dilaksanakan
apabila suasana sidang terlalu menekan sehingga terperiksa dapat menjadi sakit atau bahkan
meninggal.

c. Apakah sidang bermanfaat (beneficial)? Sidang merupakan arena tanya jawab dimana
semua pihak berusaha mengemukakan informasi menurut visi mereka masing-masing agar
dapat dipergunakan hakim untuk mengambil keputusan. Diharapkan dalam tanya jawab,
terperiksa dapat mengerti apa yang ditanyakan padanya dan dapat mengemukakan pendapat
yang dapat dipahami oleh orang lain. Dengan demikian, pemeriksaan mengenai kemampuan
seseorang untuk diajukan di sidang pengadilan (fitness to stand trial) memerlukan
pemeriksaan tentang kemampuan terperiksa untuk menaati peraturan sidang bahwa sidang
tidak membahayakan bagi terperiksa.

Penentuan mengenai kecakapan untuk bertanya jawab (competence to be interviewed)


dapat dinilai dari kemampuan terperiksa memahami kedudukan dirinya dan memahami
situasi lingkungannya. Ia harus mengetahui kedudukannya dalam sidang (sebagai saksi,
terdakwa, atau penggugat). Ia juga harus mengetahui persoalan yang dihadapinya
(perkaranya) dan mampu mengusahakan pembelaan atau mampu minta pertolongan
seseorang untuk minta pembelaan persoalannya. Selain itu ia harus memahami situasi
lingkungannya. Dalam arti bahwa ia memahami ia berada di ruang sidang pengadilan
berhadapan dengan hakim, jaksa, penasihat hukum, dan lain-lain.

Dalam sidang, terperiksa harus mampu berkomunikasi dengan baik. Kemampuan


berkomunikasi ini dapat kita nilai dengan cara penilaian kemampuan mengemukakan ide,
atau pendapat yang dipahami oleh orang lain; serta dapat memahami pendapat atau ide orang
lain dengan wajar dan baik. Apabila terperiksa dapat memenuhi ketentuan-ketentuan tersebut
di atas, ia dianggap cakap dan layak untuk diajukan ke sidang pengadilan (competence and fit
to stand trial). Mungkin seseorang dianggap tidak cakap dan tidak layak yang dapat bersifat
permanen (menetap) atau temporer (sementara). Dalam keadaan tidak cakap dan tidak layak
yang bersifat sementara, maka terperiksa dapat lebih dulu diterapi dan diajukan ke sidang
pengadilan setelah sembuh. Sering pula terperiksa tidak menjadi sakit, tetapi dalam sidang
menjadi sangat tertekan sehingga tidak dapat berkomunikasi dengan baik. Dalam keadaan
seperti ini, terperiksa dapat didampingi oleh seseorang yang ditunjuk atau disetujui oleh
hakim.4

Fitness to be Detained
Kelayakan seseorang untuk ditahan atau suatu ukuran kemampuan seseorang secara
medis untuk menjalani penahanan. Pemeriksaan kelayakan pada kasus ini dapat diperiksa
oleh dokter kejaksaan atau dokter forensic baik melalui permintaan kejaksaan maupun
penasihat hukum kondisi kesehatannya layak untuk penahanan, maka tersangka akan ditahan
di tempat tahanan yang disiapkan, bila kondisi kesehatan tersangka tidak memungkinkan
untuk penahanan, maka tersangka akan dirawat di rumah sakit dengan pengawasan dari pihak
kepolisian dan atau kejaksaan.

Surat Rujukan Berobat untuk Tahanan 1

Memperhatikan semakin banyak tersangka/terdakwa perkara pidana umum maupun


khusus yang mengajukan ijin berobat ke luar negri dengan berbagai alasan dan ternyata ijin
berobat ke luar negri banyak disalahgunakan atau dimanfaatkan oleh tersangka/terdakwa
untuk menghindari proses penyidikan, penuntutan atau eksekusi putusan pengadilan, maka
dibuatlah surat edaran tahun 2004 oleh Kejaksaan Agung RI. Mengingat Pasal 33 Undang-
undang No.5 I Tahun 1991 tentang Kejaksaan RI, dan untuk mengantisipasi hal-hal diatas,
dengan ini diberikan petunjuk sebagai berikut:

(1) Pada prinsipnya seorang tersangka/terdakwa perkara tindak pidana (umum/ khusus) yang
perkaranya sedang dalam proses penyidikan atau penuntutan tidak diijinkan untuk berobat ke
luar negeri, karena rumah sakit rumah sakit di Indonesia pada umumnya telah dapat
mengobati semua jenis penyakit. Ijin berobat ke luar negeri hanya dapat diberikan terhadap
kondisi-kondisi dan jenis penyakit tertentu yang belum dapat diobati di rumah sakit-rumah
sakit di Indonesia

(2) Ijin berobat ke luar negeri bagi tersangka/terdakwa hanya dapat diberikan oleh Jaksa
Agung RI setelah memenuhi syarat-syarat tertentu.

(3) Ijin berobat ke luar negeri harus diajukan oleh tersangka/terdakwa atau keluarganya
setelah mendapatkan rekomendasi dari dokter spesialis penyakit yang bersangkutan, dan
dilengkapi surat keterangan resmi dari Rumah sakit Pemerintah yang ditunjuk untuk dapat
memberikan rujukan guna berobat ke luar negeri (Rumah Sakit Umum Pusat Cipto
MangunKusumo Jakarta) dengan penjelasan bahwa rumah sakit di Indonesia belum dapat
memberikan pelayanan medis / pengobatan terhadap penyakit yang diderita oleh
tersangka/terdakwa.
(4) Ijin berobat ke luar negeri diajukan kepada Jaksa Agung RI, melalui jalur berjenjang
(Kejaksaan Negeri, Kejaksaan Tinggi, Jaksa Agung Muda yang bersangkutan) dengan
menjelaskan nama dan alamat lengkap rumah sakit di luar negeri yang akan merawat
tersangka/terdakwa agar sewaktu-waktu dapat dihubungi.

(5) Harus ada jaminan dari tersangka/terdakwa dan keluarganya bahwa tersangka/terdakwa
yang bersangkutan akan segera kembali ke Indonesia setelah rumah sakit yang bersangkutan
memberikan keterangan bahwa tersangka/terdakwa dapat dirawat kembali di Indonesia.

(6) Kejaksaan yang menangani perkara tersangka/terdakwa yang berobat ke luar negeri wajib
memantau dan meminta perkembangan hasil pengobatan tersangka/terdakwa dari rumah sakit
di luar negeri yang bersangkutan, sekurang kurangnya I (satu ) bulan sekali, dan meminta
penjelasan masih perlu atau tidaknya tersangka/terdakwa dirawat di rumah sakit tersebut.
Laporan hasil pemantauan dikirim setiap bulan kepada Jaksa Agung RI., tembusan kepada
Jaksa Agung Muda Intelijen dan Jaksa Agung Muda yang bersangkutan.

Dalam surat edaran di atas disebutkan bahwa seorang terdakwa atau tahanan boleh
berobat ke luar negri asalkan telah menerima surat rekomendasi dari dokter spesialis yang
bersangkutan. Yang dimaksud dengan dokter yang bersangkutan adalah dokter yang telah
melakukan pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, serta pemeriksaan-pemeriksaan lain
terhadap terdakwa. Seorang dokter tidak boleh merujuk terdakwa hanya berdasarkan hasil
rekam medis terdakwa selama berobat ke dokter sebelumnya. Dokter ini harus bertemu
pasien langsung dan melakukan pemeriksaan-pemeriksaan dahulu sebelum yakin bahwa
pasien perlu dirujuk. Kodeki pasal 7 ayat 6 dan 8 menyatakan hal sebagai berikut :

(6) Seorang dokter wajib melakukan konsultasi atau melakukan rujukan ke sejawatnya yang
mempunyai kompetensi untuk memberikan keterangan yang lebih bermutu apabila kasus
yang dihadapi di luar kompetensinya.

(8) Seorang dokter dilarang memberikan pendapat mengenai pasien yang diperiksa oleh
sejawat lain tanpa permintaan dari pihak berwenang dan tanpa memeriksa atau melihat
sendiri pasien tersebut.

Ketika dokter telah melakukan pemeriksaan langsung terhadap pasien, yang dalam hal
ini merupakan tahanan kepolisian dan pasien sendiri meminta dirujuk ke luar negri, maka
langkah awal dokter adalah merujuk dahulu ke rumah sakit pemerintah. Jika memang tidak
ada dokter spesialis yang dapat menangani kasusnya, maka tertahan boleh dibawa berobat ke
luar negri

Pemeriksaan

Pemeriksaan fisik tahanan ditujukan untuk memeriksa apakah tahanan tersebut benar
dalam keadaan sakit dan membutuhkan pengobatan segera. Dalam hal ini dokter harus
memeriksa langsung tahanan tersebut. Selanjutnya dianalisis apakah penyakitnya harus
mendapat rujukan keluar negeri. Hal ini tergantung dengan keputusan hakim.

Interpretasi

Seseorang dapat ditahan dengan melakukan pemeriksaan kelayakan oleh dokter


kejaksaan atau oleh dokter kedokteran forensic baik melalui permintaan perjaksaan maupun
penasihat hukum tersangka. Para dokter penilai ini akan menilai kondisi kesehatan fisik dan
mental tersangka, bila secara medis kondisi kesehatan layak untuk penahanan, maka
tersangka akan ditahan di tempat tahanan yang disiapkan, bila kondisi kesehatan tersangka
tidak memungkinkan untuk penahanan, maka tersangka akan dirawat di rumah sakit dengan
pengawasan dari pihak kepolisian dan atau kejaksaan.

Seseorang layak menjalani persidangan kalau dia mampu memahami materi dan
maksud persidangan. Tanpa pemahaman materi dan maksud persidangan maka seseorang
tidak dapat dianggap hadir dalam suatu persidangan. Dalam kasus ini kelayakan dihubungkan
dengan kondisi medis tersangka, terutama kondisi mental tersangka. Mampu tidaknya
tersangka berkomunikasi dengan jelas dan rasional dengan penasihat hukum dan aparat
hukum menjadi patokan kelayakannya menjalani persidangan.

Pada kasus ini dokter tidak boleh memberikan surat keterangan dokter atau dalam hal
ini surat pengantar berobat ke Jepang karena tidak sesuai dengan Kode Etik Profesi
Kedokteran di Indonesia, dimana dokter tidak boleh memberikan surat keterangan dokter
tanpa melakukan pemeriksaan medis terlebih dahulu. Jika dia melakukan hal tersebut dan ada
pihak ketiga yang dirugikan maka dokter dan orang yang menggunakan surat keterangan
tersebut bisa dikenakan sanksi pidana.

Kesimpulan
Dokter tidak boleh memberikan surat pengantar berobat ke Jepang untuk kakak pasien yang
tertuduh sebagai tindak pidana korupsi. Pembuatan surat rujukan ke luar negri bagi seorang
tahanan harus dipastikan benar-benar apakah sangat membutuhkan atau tidak. Ini dapat
dilakukan pemeriksaan secara terperinci langsung oleh dokte dahulu sehingga kebenarannya
dapat dibuktikan.

Daftar Pustaka

1. Isnoviana M. Akibat hukum pemberian surat keterangan sakit terhadap pasien.


Perspektif : X(1) ;2006
2. Safitry O. Kompilasi peraturan perundang-undangan terkait praktik kedokteran.
Jakarta; Departemen Ilmu Kedoketran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2014
3. Sunaryo E. Buku Pedoman Pelaksanaan Tugas Bintara Polri di Lapangan. Jakarta:
Kepolisian Negara Republik Indonesia Markas Besar; 2006.)
4. Wirasutta IMAG. Pengantar menuju ilmu forensik. Bali: Departemen of Pharmacy
Udayana University; 2009.

Anda mungkin juga menyukai