Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

Malnutrisi merupakan masalah kesehatan utama di negara yang sedang berkembang.


Keadaan ini berpengaruh pada tingginya angka kematian balita. Menurut WHO, lebih dari 50%
kematian bayi dan anak terkait dengan gizi kurang dan gizi buruk. Salah satu cara untuk
menanggulangi masalah gizi kurang dan gizi buruk adalah dengan menjadikan tatalaksana gizi
buruk sebagai upaya menangani setiap kasus yang ditemukan. Gizi buruk dengan komplikasi
(anoreksia, pneumonia berat, anemia berat, dehidrasi berat, demam tinggi dan penurunan
kesadaran) harus dirawat di rumah sakit, puskesmas perawatan, Pusat Pemulihan Gizi (PPG) atau
Therapeutic Feeding Center (TFC), sedangkan gizi buruk tanpa komplikasi dapat dilakukan
rawat jalan.1

Prevalensi gizi buruk meningkat dilihat dari angka prevalensi nasional tahun 2007 (18,4 %)
dan tahun 2010 (17,9 %) yang terlihat meningkat. Untuk mengantisipasi masalah di atas,
diperlukan upaya pencegahan dan penanggulangan secara terpadu di setiap tingkat pelayanan
kesehatan, termasuk pada sarana kesehatan seperti Rumah Sakit, Puskesmas perawatan,
Puskesmas, Balai Pengobatan, Puskesmas Pembantu, Pos Pelayanan Terpadu, dan Pusat
Pemulihan Gizi yang disertai peran aktif masyarakat.1,2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Gizi Buruk

Gizi buruk adalah keadaan dimana seseorang anak tampak sangat kurus, ditandai dengan
BB/PB < -3 SD dari median WHO child growth standard, dan atau didapatkan edema, dan atau
terlihat sangat kurus, dan atau Lingkar Lengan Atas (LLA) < 11,5 cm pada anak umur 6-59
bulan. Gizi buruk merupakan keadaan kurang gizi yang disebabkan oleh rendahnya konsumsi
energi dan protein dalam makanan shari-hari sehingga tidak memenuhi angka kecukupan gizi.
Gizi buruk dibagi menjadi 3 yaitu: marasmus, kwashiorkor, dan marasmus-
kwashiorkor. Marasmus merupakan bentuk malnutrisi protein kalori, terutama akibat
kekurangan kalori berat dan kronis, paling sering terjadi selama tahun pertama kehidupan,
disertai retardasi pertumbuhan serta atrofi lemak subkutan dan otot. Kwashiorkor merupakan
bentuk malnutrisi dengan edem yang disebabkan oleh kekurangan asupan protein, dapat disertai
dengan defisiensi kalori, namun bisa juga terjadi pada anak dengan kalori yang
tercukupi. Sedangkan Marasmic – Kwashiorkor merupakan kombinasi dari tanda klinis
marasmus dan kwashiorkor yaitu suatu keadaan defisiensi kalori dan protein, disertai penyusutan
jaringan yang hebat, hilangnya lemak subkutan, dan biasanya dehidrasi.1,3

Kriteria Anak Gizi Buruk

1. Gizi Buruk Tanpa Komplikasi

Adanya 1 atau lebih dari tanda-tanda berikut: BB/TB < -3SD, terlihat sangat kurus, adanya
edema, LLA < 115 mm untuk anak 6-59 bulan.1

2. Gizi Buruk Dengan Komplikasi

Gizi buruk dengan tanda-tanda tersebut diatas disertai salah satu atau lebih dari tanda
komplikasi medis berikut: anoreksia, pneumonia berat, anemia berat, dehidrasi berat, demam
tinggi, penurunan kesadaran.1
Epidemiologi

Secara nasional, prevalensi berat-kurang pada tahun 2013 adalah 19,6 persen, terdiri dari
5,7 persen gizi buruk. Jika dibandingkan dengan angka prevalensi nasional tahun 2007 (18,4 %)
dan tahun 2010 (17,9 %) terlihat meningkat. Perubahan terutama pada prevalensi gizi buruk
yaitu dari 5,4 persen tahun 2007, 4,9 persen pada tahun 2010, dan 5,7 persen tahun 2013.
Diantara 33 provinsi di Indonesia,18 provinsi memiliki prevalensi gizi buruk-kurang di atas
angka prevalensi nasional yaitu berkisar antara 21,2 persen sampai dengan 33,1 persen.1

Etiologi

Ada 2 faktor penyebab yang mempengaruhi gizi buruk diantaranya penyebab langsung
dan tidak langsung. Penyebab langsung dapat dikarenakan kurangnya jumlah dan kualitas
makanan yang dikonsumsi, menderita penyakit infeksi, cacat bawaan dan menderita penyakit
kanker. Sedangkan penyebab tidak langsung dapat berupa ketersediaan pangan rumah tangga,
perilaku, pelayanan kesehatan.4

Secara garis besar gizi buruk disebabkan oleh karena asupan makanan yang kurang, anak
sering sakit, atau terkena infeksi. Asupan makanan yang kurang disebabkan oleh berbagai faktor,
antara lain tidak tersedianya makanan secara adekuat, anak tidak mendapatkan makanan bergizi
seimbang yang cukup, dan pola makan yang salah.

Alur Pemeriksaan dan Penemuan Kasus

Berikut penjelasan alur pemeriksaan yang dapat digunakan untuk menentukan langkah-
langkah yang dapat dilakukan dalam menangani penemuan kasus anak gizi buruk:1

 Penemuan anak gizi buruk dari hasil penimbangan anak di posyandu, menggunakan hasil
pemeriksaan di fasilitas kesehatan (puskesmas dan jaringannya, rumah sakit dan dokter/
bidan praktek swasta), dan hasil laporan masyarakat (media massa, LSM dan organisasi
kemasyarakatan lainnya).
 Penapisan anak gizi buruk, anak yang dibawa oleh orangtuanya atau anak yang berdasarkan
hasil penapisan LLA < 12,5 cm, atau semua anak yang dirujuk dari posyandu maka
dilakukan pemeriksaan antropometri dan tanda klinis, semua anak diperiksa tanda-tanda
komplikasi (anoreksia, pneumonia berat, anemia berat, dehidrasi berat, demam sangat tinggi,
penurunan kesadaran), lalu diperiksa nafsu makan dengan cara tanyakan kepada orang tua
apakah anak mau makan atau tidak mau makan minimal dalam 3 hari terakhir berturut-turut.
 Bila dalam pemeriksaan pada anak didapatkan satu atau lebih tanda berikut: tampak sangat
kurus, edema minimal pada kedua punggung kaki atau tanpa edema, BB/PB atau BB/TB < -3
SD, LLA < 11,5 cm (untuk anak usia 6-59 bulan), nafsu makan baik, maka anak
dikategorikan gizi buruk tanpa komplikasi dan perlu diberikan penanganan secara rawat
jalan.
 Bila hasil pemeriksaan anak ditemukan tanda-tanda sebagai berikut: tampak sangat kurus,
edema pada seluruh tubuh, BB/PB atau BB/TB < -3 SD, LLA < 11,5 cm (untuk anak usia 6-
59 bulan) dan disertai dari salah satu atau lebih tanda komplikasi medis sebagai berikut:
anoreksia, pneumonia berat, anemia berat, dehidrasi berat, demam sangat tinggi, penurunan
kesadaran, maka anak dikategorikan gizi buruk dengan komplikasi sehingga perlu
penanganan secara rawat inap.
 Bila hasil pemeriksaan anak ditemukan tanda-tanda sebagai berikut: BB/TB < -2 s/d -3 SD,
LLA 11,5 s/d 12,5 cm, tidak ada edema, nafsu makan baik, tidak ada komplikasi medis,
maka anak dikategorikan gizi kurang dan perlu diberikan Program Makan Tambahan (PMT)
Pemulihan.
 Bila kondisi anak rawat inap sudah membaik dan tidak lagi ditemukan tanda komplikasi
medis, tanda klinis membaik (edema kedua punggung tangan atau kaki), dan nafsu makan
membaik maka penanganan anak tersebut dilakukan melalui rawat jalan.
 Bila kondisi anak rawat inap sudah tidak lagi ditemukan tanda-tanda komplikasi medis, tanda
klinis baik dan status gizi kurang, nafsu makan baik maka penanganan anak dengan
pemberian PMT pemulihan.
 Anak gizi buruk yang telah mendapatkan penanganan melalui rawat jalan dan PMT
pemulihan, jika kondisinya memburuk dengan ditemukannya salah satu tanda komplikasi
medis, atau penyakit yang mendasari sampai kunjungan ketiga berat badan tidak naik
(kecuali anak dengan edema), timbulnya edema baru, tidak ada nafsu makan maka anak perlu
penanganan secara rawat inap.

Kekurangan Energi Protein


Disebabkan oleh konsumsi energi dan protein yang kurang dalam makanan sehari-hari
sehingga menyebabkan keadaan kurang gizi. Bisa juga disebabkan gangguan penyakit tertentu
sehingga tidak memenuhi angka kecukupan gizi. KEP memiliki morbiditas yang tinggi pada
anak usia dibawah 5 tahun. KEP ada dua yaitu primer dan sekunder, dimana primer biasanya
disebabkan oleh faktor sosial atau ekonomi sehingga berakibat kekurangan asupan makanan.
Sedangkan KEP sekunder disebabkan oleh kondisi yang menyebabkan peningkatan kebutuhan
kalori seperti infeksi, trauma, kanker; atau peningkatan kehilangan kalori seperti malabsorpsi,
dan asupan kalori yang kurang seperti anoreksia, kanker, pembatasan asupan oral, dan faktor
sosial.5
Tipe KEP yang pertama adalah (1) marasmus dengan gejala utama yaitu berat badan
kurang dari 70% dari berat badan ideal menurut tinggi badan dan berkurangnya cadangan
lemak tubuh. Terdapat kehilangan massa otot dan cadangan lemak subkutan yang didapatkan
dari pemeriksaan antropometrik. Ukuran kepala sesuai dengan tinggi badan tetapi mungkin
tampak lebih besar. Tidak ditemukan edema, melainkan kulit tipis dan kering, rambut juga
tipis, jarang, dan mudah dicabut. Keadaan umumnya tampak apatis dan lemah. Malnutrisi
berat memberi gejala klinis bradikardia dan hipotermia yang dapat mengancam jiwa. Sering
dijumpai atrofi papila filiformis lidah dan juga stomatitis moniliasis.2,5
Tipe KEP yang kedua adalah (2) kwashiorkor yaitu malnutrisi yang disertai edema dan
hipoalbuminemia. Kwashiorkor mempunya gejala pitting udem yang dimulai dari ekstremitas
bawah lalu meluas ke atas sesuai dengan derajat keparahan. Biasanya dimulai dari punggung
kaki dengan pitting udem ringan, sampai edema generalisata sampai mengenai kelopak mata
dan skrotum. Kwashiorkor disebabkan oleh kurangnya asupan protein sedangkan asupan
kalori cukup atau mendekati cukup. Selain itu, dapat juga disebabkan oleh infeksi akut,
toksin, ketidakseimbangan asam amino, dan toksin. Gejala utamanya adalah berat badan
menurut usia 60%-80%. Namun berat badan saja tidak dapat menjadi indikator akurat karena
edema. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan masih ada jaringan lemak tetapi didapatkan
atrofi massa otot; rambutnya jarang, mudah dicabut, tampak kusam, warnanya bervariasi dari
coklat, merah, hingga pirang. Pada kulit, umum nya dijumpai perubahan kulit bervariasi mulai
dari hiperkeratosis hiperpigmentasi sampai ruam makular eritematosa pada punggung dan
ekstremitas, dan yang terberat terjadi deskuamasi superfisial bila kulit ditekan. Muka
membulat disebabkan oleh pembesaran kelenjar parotis dan edema wajah. Dapat ditemukan
pembesaran hati dengan konsistensi lunak dengan batas tidak tegas, dan juga atrofi jaringan
limfatik serta distensi abdomen dengan bising usus menurun. Pada paru dapat ditemukan
rhonki basah di basal paru.2,5
Kombinasi dari keduanya adalah tipe ketiga yang disebut marasmus-kwashiorkor dengan
kumpulan gejela klinis dari 2 tipe KEP.

Patofisiologi
Adapun energi dan protein yang diperoleh dari makanan kurang, padahal untuk
kelangsungan hidup jaringan, tubuh memerlukan energi yang didapat, dipengaruhi oleh
makanan yang diberikan sehingga harus didapat dari tubuh sendiri, sehingga cadangan protein
digunakan juga untuk memenuhi kebutuhan energi tersebut.
Patofisiologi gizi buruk pada balita adalah anak sulit makan atau anorexia bisa terjadi
karena penyakit akibat defisiensi gizi, psikologik seperti suasana makan, pengaturan makanan
dan lingkungan. Rambut mudah rontok dikarenakan kekurangan protein, vitamin A, vitamin C
dan vitamin E. Karena keempat elemen ini merupakan nutrisi yang penting bagi rambut.
Turgor atau elastisitas kulit jelek karena sel kekurangan air (dehidrasi). Sedangkan,
hepatomegali terjadi karena kekurangan protein. Jika terjadi kekurangan protein, maka terjadi
penurunan pembentukan lipoprotein. Hal ini membuat penurunan HDL dan LDL. Karena
penurunan HDL dan LDL, maka lemak yang ada di hepar sulit ditransport ke jaringan-
jaringan, pada akhirnya penumpukan lemak di hepar.
Tanda khas pada penderita kwashiorkor adalah pitting edema. Pitting edema adalah
edema yang jika ditekan, sulit kembali seperti semula. Pitting edema disebabkan oleh
kurangnya protein, sehingga tekanan onkotik intravaskular menurun. Jika hal ini terjadi, maka
terjadi ekstravasasi plasma ke intertisial. Plasma masuk ke intertisial, tidak ke intrasel, karena
pada penderita kwashiorkor tidak ada kompensansi dari ginjal untuk reabsorpsi natrium.
Padahal natrium berfungsi menjaga keseimbangan cairan tubuh. Pada penderita kwashiorkor,
selain defisiensi protein juga defisiensi multinutrien. Ketika ditekan, maka plasma pada
intertisial lari ke daerah sekitarnya karena tidak terfiksasi oleh membran sel dan
mengembalikannya membutuhkan waktu yang lama karena posisi sel yang rapat. Edema
biasanya terjadi pada ekstremitas bawah karena pengaruh gaya gravitasi, tekanan hidrostatik
dan onkotik.
Penyebab utama marasmus adalah kurang kalori protein yang dapat terjadi karena : diet
yang tidak cukup, kebiasaan makan yang tidak tepat seperti hubungan orang tua dengan anak
terganggu, karena kelainan metabolik atau malformasi kongenital. Keadaan ini merupakan
hasil akhir dari interaksi antara kekurangan makanan dan penyakit infeksi. Selain faktor
lingkungan ada beberapa faktor lain pada diri anak sendiri yang dibawa sejak lahir, diduga
berpengaruh terhadap terjadinya marasmus.

Manifestasi Klinis
1. Kwashiorkor
Wajah membulat, perubahan mental sampai apatis, anemia, perubahan warna dan tekstur
rambut seperti rambut jagung, mudah dicabut, gangguan gastrointestinal, pembesaran
hati, perubahan kulit, atrofi otot, edema seluruh tubuh terutama punggung kaki.2
2. Marasmus:
Penampilan seperti orang tua, terlihat sangat kurus, perubahan mental, cengeng, kulit
kering, dingin, mengendor, dan keriput, lemak subkutan menghilang hingga turgor kulit
berkurang, iga gambang, atrofi otot sehingga kontour tulang terlihat jelas.2
3. Marasmik-Kwashiorkor:
Gambaran klinik merupakan campuran dari beberapa gejala klinik Kwashiorkor dan
Marasmus.2

Pemeriksaan Fisik

Dilakukan pemeriksaan antropometri untuk menentukan status gizi anak tersebut.


Dilakukan dengan pengukuran berat badan dan tinggi badan / panjang badan, kemudian pada
anak 0-5 tahun dikategorikan menggunakan grafik WHO 2006 dan untuk anak 5 tahun keatas
menggunakan grafik CDC 2000.5
Tabel 1. Klasifikasi Status Gizi5

Status Gizi BB/TB (% median) BB/TB WHO 2006


Obesitas > 120 > +3 SD
Overweight > 110 > +2 SD hingga +3 SD
Normal > 90 +2 SD hingga -2 SD
Gizi kurang 70-90 < -2 SD hingga -3 SD
Gizi buruk < 70 < -3 SD
Selain pengukuran berat badan dan panjang badan, dapat juga dilakukan pengukuran
lingkar lengan atas. Lingkar lengan atas juga indikator yang paling unggul untuk skrinning gizi
buruk. Lingkar lengan atas lebih sederhana dilakukan, karena pengukuran berat badan dan
panjang badan harus menghitung matematika dan menggunakan banyak tabel sehingga
menimbulkan kesalahan. Anak juga lebih bersedia diukur lingkar lengan atasnya daripada BB
dan PB sehingga memudahkan pekerjaan. Alat yang digunakan juga murah, praktis, tingkat
ketelitiannya tinggi karena tidak dipengaruhi oleh hidrasi dan isi perut, dan biaya perawatannya
lebih murah dibandingkan dengan biaya alat pengukuran BB dan PB, serta biaya kalibrasinya.
Serta memiliki sensitivitas dan spesifisitas lebih tinggi, dan juga memiliki nilai prediktor terbaik
terhadap kematian. Namun LLA hanya dapat digunakan pada anak usia 6-59 bulan dan
mempunyai PB/TB antara 65-110 cm, karena ukurannya relatif sama. Interpretasi hasilnya
adalah, jika hasilnya dibawah 115 mm maka anak itu disebut malnutrisi akut berat yaitu pada
pita berwarna merah, jika pada pita berwarna kuning disebut malntrisi akut global.3
Jika skrining yang digunakan hanya dengan LLA dan atau BB/TB maka yang terjaring hanyalah
penderita marasmus, sementara penderita kwashiorkor hanya sedikit terjaring. Oleh karena itu
penderita gizi buruk sebaiknya menggunakan tanda klinis yaitu sangat kurus (marasmus) dan
edema (kwashiorkor) serta pemeriksaan LLA dan atau BB/TB.3

Sebaiknya diamati apakah anak tampak sangat kurus/edema/pembengkakan pada kedua


punggung kaki, tanda-tanda syok: tangan dan kaki dingin, nadi lemah dan kesadaran menurun,
suhu tubuh: Hipotermia atau demam, frekuensi dan tipe pernafasan: gejala pneumonia / gagal
jantung, hepatomegali, apakah adanya perut kembung, tanda infeksi di telinga,mulut dan
tenggorokan : tampilan tinja (konsistensi, darah, lendir).6,7

Tatalaksana
Malnutrisi akut berat (MAB) dikategorikan menjadi dua yaitu malnutrisi berat dengan
komplikasi dan tanpa komplikasi. Kriteria dari malnutrisi berat dengan komplikasi yaitu :5
1. Edema pitting bilateral derajat 3 (edema berat) atau
2. LLA < 115 mm dan edema pitting bilateral derajat 1-2 atau
3. LLA < 115 mm atau pitting edema bilateral derajat 1-2,
dan ditambah 1 komplikasi antara lain : anoreksia, pneumonia berat, anemia berat, demam
tinggi, dehidrasi berat, letargis, hipotermia, dan hipoglikemia. MAB dengan komplikasi harus
dirawat inap di RS atau Puskesmas. Anoreksia menjadi indikasi rawat untuk penderita gizi
buruk karena anoreksia akan mempengaruhi asupan nutrisi, sehingga dapat terjadi
hipoglikemia atau berdampak terhadap kesembuhan penderita. Idealnya, setiap penderita gizi
buruk dilakukan appetite test dengan cara penderita diberi makanan siap saji/ ready to use
therpeutic formula (RUTF) dengan dosis 200 kkal/kgbb/hari. Jika penderita tidak dapat
menghabiskan 75% (< 150 kkal/kgBB/hari), penderita dianggap anoreksia, jadi penderita di
rawat inap. Sedangkan kriteria malnutrisi berat tanpa komplikasi yaitu:4
1. LILA < 115 mm dan nafsu makan baik, secara klinis baik, sadar,
2. LILA ≥ 115 mm dengan edema pitting bilateral derajat 1-2 dan nafsu makan baik, klinis
stabil, dan sadar.
MAB tanpa komplikasi tidak perlu dirawat inap. Melainkan hanya tetap di rumah masing-
masing, kemudian seminggu sekali mereka datang ke tempat pemantauan status nutrisi dan
kesehatannya serta mendapat makanan khusus. Tatalaksana MAB dengan rawat jalan ini
disebut dengan Outpatient Therapeutic Program (OTP) yang bertujuan untuk mengurangi
dampak rawat inap bagi penderita maupun keluarganya. 3
Tatalaksana gizi buruk di rumah sakit dibagi menjadi dua tahap yaitu fase stabilisasi dan fase
rehabilitasi yang terdiri atas 10 langkah utama, yaitu: 1) Atasi / cegah hipoglikemia, 2) Atasi/
cegah hipotermia, 3) Atasi/ cegah dehidrasi, 4) Koreksi ketidakseimbangan elektrolit, 5)
Atasi/ cegah infeksi, 6) Koreksi defisiensi mikronutrien, 7) Memulai pemberian makan, 8)
Mengupayakan tumbuh-kejar, 9) Memberikan stimulasi sensoris dan dukungan emosional,
10) Mempersiapkan untuk tindak lanjut pasca perbaikan. Pada fase stabilisasi penderita
dianjurkan dirawat di ruang khusus non-infeksi dengan suhu ruangan yang cukup (tidak
dingin) karena anak kekebalannya sangat terganggu dan reaksi tubuh kacau. Dapat terjadi
hipotermi dan leukopeni ketika anak terinfeksi. Segera beri makanan berupa Formula 75
(F75) setiap 2-3 jam sekali dan pada 2 jam pertama F75 diberikan ¼ dari jumlah yang
dibutuhkan setiap 30 menit.3
1. Mengatasi / mencegah hipoglikemia.
Semua anak gizi buruk berisiko untuk terjadi hipoglikemia (kadar gula darah < 3 mmol/dl
atau < 54 mg/dl), yang seringkali merupakan penyebab kematian pada 2 hari pertama
perawatan. Pemberian makanan dengan frekuensi sering (setiap 2-3 jam) sangat penting
dalam mencegah hipoglikemia dan hipotermia. Hipoglikemia dapat terjadi karena adanya
infeksi berat atau anak tidak mendapat makanan selama 4-6 jam. Bila anak sadar dan
dapat minum dapat diberikan bolus 50 ml larutan Glukosa 10% atau sukrosa 10% (1
sendok teh penuh gula dengan 50 ml air), baik per oral maupun dengan pipa nasogastrik.
Kemudian mulai pemberian F75 setiap 2 jam saing dan malam, untuk 2 jam pertama
berikan ¼ dari dosis makanan setiap 30 menit. Kemudian diberi antibiotik spektrum luas.
Bila anak tidak sadar, diberikan gl,ukosa 10% intravena (5ml/kg BB), diikuti dengan 50
ml Glukosa 10% atau sukrosa lewat pipa NGT. Kemudian mulai pemberian F75 setiap 2
jam, untuk 2 jam pertama berikan ¼ dari dosis makanan setiap 30 menit dan diberikan
antibiotik spektrum luas.3,7,8
Tabel 1. Tatalaksana Hipoglikemia pada Anak Tidak Sadar dan Anak Sadar yang Dapat Minum3
Bila anak sadar dan dapat minum Bila anak tidak sadar
 Bolus 50 ml larutan Glukosa 10% atau Glukosa 10% intra vena (5ml/kg BB),
sukrosa 10% (1 sendok teh penuh gula dengan diikuti dengan 50 ml Glukosa 10% atau
50 ml air), baik per oral maupun dengan pipa sukrosa lewat pipa NGT. Kemudian mulai
nasogastrik. Kemudian mulai pemberian F75 pemberian F75 setiap 2 jam, untuk 2 jam
setiap 2 jam, untuk 2 jam pertama berikan ¼ pertama berikan ¼ dari dosis makanan
dari dosis makanan setiap 30 menit setiap 30 menit
 Antibiotik spektrum luas  Antibiotik spektrum luas
 Pemberian makan per 2 jam, siang dan malam  Pemberian makanan per 2 jam, siang
dan malam

2. Mengatasi / mencegah hipotermia.


Anak disebut hipotermia jika suhu aksila <35,00C atau suhu rektal <35,50C. Untuk
mengatasi hal ini dapat diberikan makanan secara langsung atau rehidrasi. Lalu anak
dihangatkan dengan memberikan pakaian tertutup dan anak diselimuti sampai kepala tapi
tidak menutupi wajah. Bisa juga menempatkan anak di dekat penghangat atau lampu atau
menempelkan anak di dada ibu dengan cara kanguru lalu selimuti keduanya. Anak
dihindarkan dari paparan udara dan dijaga agar tetap kering. Makanan F75 / F100 dilanjut
setiap dua jam, dan anak dimonitor suhunya setiap 30 menit hingga suhu mencapai diatas
36,50C. Setiap terjadi hipotermia, dicari apakah terjadi hipoglikemia.3,7,8
3. Mengatasi / mencegah dehidrasi.
Tidak mudah menentukan adanya dehidrasi pada anak gizi buruk karena tanda dan gejala
dehidrasi seperti turgor kulit dan mata cekung sering didapati pada gizi buruk walaupun
tidak dehidrasi. Diagnosis pasti adanya dehidrasi dengan pengukuran berat jenis urin dan
didapati hasilnya >1.030. Selain tanda dan gejala klinis khas bila ada, antara lain rasa
haus dan mukosa mulut kering. Pada anak gizi buruk keadaan dehidrasi walau ringan
dapat menimbulkan komplikasi lain diantaranya hipoglikemia, letargi. Penatalaksanaan
dehidrasi pada gizi buruk dapat diberikan larutan ReSoMal yaitu rehydration solution for
malnutrition. Karena tanda-tandanya tidak jelas, maka anak dengan diare cair dianggap
mengalami dehidrasi dan diberikan ReSoMal 5ml/kg setiap 30 menit selama dua jam
pertama, baik per oral maupun lewat NGT. Kemudian, dilanjutkan dengan 5-10
ml/kg/jam selama 4-10 jam berikutnya, jumlah yang seharusnya diberikan pada anak
ditentukan oleh berapa banyak anak mau minum, dan jumlah diare dan muntah. Ganti
dosis ReSoMal pada jam ke 4, 6, 8 dan 10 dengan F75 bila rehidrasi masih dibutuhkan.
Selanjutnya, bila sudah rehidrasi, hentikan pemberian ReSoMal dan lanjutkan F75 setiap
2 jam. Bila masih diare, beri ReSoMal setiap anak diare: anak < 2 tahun: 50-100 ml dan
anak > 2 tahun: 100-200 ml. ReSoMal mengandung Na 37,5 mmol, K 40 mmol, dan Mg
3 mmol pada setiap liternya. Caranya adalah mencampur oralit WHO 1 sachet atau
sebanyak 200 ml dengan gula pasir 10 g, ditambah larutan mineral-mix 8 ml, lalu
ditambah air hingga menjadi 400ml. Terapi ini perlu dimonitur setiap 30 menit sekali
pada dua jam pertama, dan satu jam sekali untuk 6-12 jam setelahnya. Jika rehidrasi
berhasil, maka akan muncul tanda adanya air mata, mukosa mulut yang lembab, mata dan
fontanella yang sudah tidak cekung dan perbaikan turgor kulit. Namun dapat juga tidak
muncl tanda-tanda rehidrasi meskipun anak sudah terehidrasi. Jika terjadi over rehidrasi
maka akan ditmukan frekuensi napas dan nadi yang tetap cepat. Namun hal ini juga dapat
ditemukan jika anak terinfeksi. Jika tanda over rehidrasi muncul maka pemberian cairan
dihentikan dan anak dimonitor ulang 1 jam kemudian.3,7,8
4. Koreksi Gangguan Keseimbangan Elektrolit.
Anak dengan malnutrisi berat mengalami kelebihan natrium meskipuna kadar natrium
serum rendah, disertai dengan defisiensi kalium dan magnesium. Ketidakseimbangan ini
dapat menyebabkan edema. Penatalaksaannya edema bukan diberi diuretik. Koreksi
defisiensi kalium dan magnesium membutuhkan waktu dua minggu dengan
memberikancairan rendah natrium misalnya ReSoMal dengan ekstra kalium 3-4
mmol/kg/hari dan ekstra kalium 0,4-0,6 mmol/kg/hari. Anak juga mengkonsumsi
makanan tanpa garam.3,7,8
5. Mengobati atau Mencegah Infeksi.
Tanda umum infeksi pada malnutrisi berat seing tidak muncul sehingga dilakukan terapi
rutin antibiotik spektum luas dan vaksin campak jika anak berusia diatas 6 bulan tetapi
belum mendapan imunisasi. Imunisasi campak ditunda jika kondisi anak buruk atau
dalam keadaan syok. Jika pada anak tidak terdapat komplikasi atau infeksi tidak nyata,
beri kotrimoksasol 5 ml per oral dua kali sehari selama 5 hari (2,5 ml jika berat < 6 kg).
Jika anak terlihat sangat sakit seperti keadaan umum apatis atau letargi atau terdapat
komplikasi seperti hipoglikemi, hipotermi, dermatosis, infeksi traktus respiratorius atau
urinarius, beri ampisilin 50 mg/kg IM/IV per 6 jam untuk 2 hari, kemudian dilanjutkan
dengan amoksisilin per oral 15 mg/kg per 8 jam untuk 5 hari. Jika amoksisilin tidak
tersedia, lanjutkan dengan ampisilin per oral 50 mg/kg per 6 jam ditambah dengan:
gentamisin 7,5 mg/k IM/IV sekali sehari selama 7 hari. Jika anak tidak ada perbaikan
klinis dalam waktu 48 jam, tambahkan kloramfenikol 25 mg/kg IM/IV per 8 jam selama
5 hari. Jika infeksi spesifik teridentifikasi, tambahkan: antibiotik spesifik yang sesuai.
Jika anoreksia tetap ada setelah 5 hari pemberian antibiotika, lanjutkan sampai 10 hari.3,7,8
6. Koreksi Defisiensi Mikronutrien
Anak malnutirisi berat juga kekurangan vitamin dan mineral.umunya terdapat anemia,
tetapi preparat besi tidak boleh diberikan pada awal-awal sampai anak nafsu makannya
baik kembali dan berat badan mulai meningkat karena dapat memperburuk keadaan
infeksi dan juga reaksi oksidatif oleh besi bebas dapat merusak membran sel. Pada hari
pertama diberikan vitamin A per oral dengan dosis 200.000 SI untuk anak usia 12 bulan,
dosis 100.000 SI untuk anak berusia 6-12 bulan, dosis 50.000 IU untuk anak berusia 0-5
bulan, namun jika kondisi klinis buruk maka pemberiannya akan ditunda. Selain vitamin
A, juga dibeerkan asam folat 5 mg per oral. Lalu dilanjutkan denegan pemberian
suplemen multivitamin, asam folat 1mg/hari, zinc 2mg/kgBB/hari, copper 0,3
mg/kgBB/hari, preparat besi 3mg/kg/hari (pada fase rehabilitasi) selama 2 minggu.3,7,8
7. Pemberian Makanan
Pada fase stabilisasi diperlukan pendekatan yang hati-hati karena kondisi fisiologis anak
yang rapuh dan berkurangnya kapasitas homeostatis. Pemberian makan sebaiknya
dimulai sesegera mungkin setelah pasien masuk dan harus dirancang untuk memenuhi
kebutuhan energi dan protein secukupnya untuk mempertahankan proses fisiologi dasar.
Gambaran hal-hal penting dalam pemberian makan pada fase stabilisasi adalah makanan
diberikan dengan porsi kecil dan sering dengan osmolaritas rendah dan rendah laktosa
(F75) yang diberikan melalui oral atau lewat pipa nasogastrik dan tidak diberikan secara
parenteral dengan energi sebanyak 80-100 kcal/kgBB/hari, protein 1-1,5 g/kgBB/hari,
dan cairan 130 ml/kgBB/hari. Jika anak mengalami edema berat dapat diberikan cairan
dengan dosis 100 ml/kgBB/hari. Setelah terapi formula dihabiskan, dapat dilanjutkan
pemberian ASI. Formula F75 mengandung 75 kcal/100 ml dan 0,9 gram protein/ 100 ml
cukup memenuhi kebutuhan bagi sebagian besar anak. Berikan dengan menggunakan
cangkir atau sendok. Anak yang sangat lemah, mungkin perlu diberikan dengan sendok
atau secara drop atau dengan spuit. Jadwal yang direkomendasikan, dimana volume
secara bertahap ditingkatkan dan frekuensi secara bertahap dikurangi. Pada hari ke 1-2
F75 diberikan tiap 2 jam dengan volume 11cc/kgBB tiap pemberian dengan total volume
130/kgBB/hari. Pada hari ke 3-5 diberikan tiap 3 jam sebanyak 16cc/kgBB tiap
pemberian dengan total volume yang sama dengan hari ke 1-2. Pada hari ke 6-7 dan
selanjutnya diberikan tiap 4 jam dengan volume tiap pemberian 22c/kgBB hingga total
volume hariannya sama dengan sebelumnya. Perubahan frekuensi makan dari tiap 2 jam
menjadi tiap 3 jam dan 4 jam dilakukan bila anak mampu menghabiskan porsinya. Untuk
anak dengan nafsu makan yang baik dan tanpa edema, jadwal ini dapat diselesaikan
dalam 2-3 hari (contoh: 24 jam untuk tiap tahap). Gunakan perhitungan berat badan
harian untuk menghitung berapa banyak yang harus diberikan, karena anak mengalami
penurunan berat badan (edema berkurang/ hilang) atau mengalami peningkatan berat
badan pada fase ini. Jika karena sesuatu sebab (muntah, diare, letargi, dll) asupan tidak
dapat mencapai 80 kkal/kgbb/hari (jumlah minimal yang harus dicapai), makanan harus
diberikan melalui NGT untuk mencukupi jumlah asupan. Jangan melebihi 100
kcal/kg/hari pada fase ini. Kemudian setelah itu perlu dilakukan monitoring dan mencatat
jumlah yang diberikan dan yang dikeluarkan (muntah) atau tersisa, frekuensi muntah,
frekuensi BAB cair, berat badan harian.3,7,8
8. Mencapai Kejar Tumbuh
Pada fase rehabilitasi perlu pendekatan yang baik untuk pemberian makan dalam
pencapaian asupan yang tinggi dan kenaikan berat badan yang cepat (> 10 g/kg/hari).
Formula yang dianjurkan pada fase ini adalah F100 yang mengandung 100 kkal/ 100 ml
dan 2,9 g protein/ 100 ml. Kesiapan untuk memasuki fase rehabilitasi ditandai dengan
kembalinya nafsu makan, biasanya sekitar satu minggu setelah perawatan. Transisi yang
bertahap direkomendasikan untuk mencegah resiko gagal jantung yang dapat muncul bila
anak mengkonsumsi makanan langsung dalam jumlah banyak. Transisi dilakukan dengan
mengganti formula F75 dengan F100 dalam jumlah yang sama dalam 24 jam. Kemudian
ditambah bertahap sebanyak 10-15ml per kali atau per hari hingga mencapai
150kkal/kgBB/hari. Energi 100-150 kkal/kgBB/hari dan protein 2-3 gr/kgBB/hari.
Selama fase transisi dimonitor tanda gagal jantung meliputi kenaikan frekuensi
pernapasan dan peningkatan nadi 25 atau lebih per menit. Jika terjadi, volume dikurangi
menjadi16 ml/kgBB/hari tiap 4 jam selama 24jam, kemudian 19 ml/kgBB/jam selama
224 jam, kemudian 22 ml/kgBB/jam selama 48 jam, kemudian tingkatkan 10 ml tiap kali
pemberian. Setelah fase transisi, anak memasuki fase rehabilitasi dengan menambah
pemberian F100 hingga anak tidak mampu menghabiskan porsinya yang biasanya 30
ml/kgBB/makan atau 200 ml/kgBB/hari diberikan minimal tiap 4 jam sekali dengan
kadar energi 150-220 kkal/kg/hari dan protein 4-6 gr/kgBB/hari. Asi dapat diberikan
diantara pemberian susu formula jika anak masih mendapat ASI. Setelah fase transisi
perlu dilakukan monitoring untuk menilai peningkatan berat badan yaitu dengan
memantau timbang berat badan tiap pagi sebelum makan, setelah itu dilakukan plot pada
formulir pemantauan berat badan serta menghitung dan mencatat pertambahan berat
badan dalam satuan gram/kgbb/hari tiap minggu. Bila kenaikan berat badan buruk yaitu
< 5 gr/kgbb/hari, anak perlu dilakukan penilaian ulang secara menyeluruh, apakah target
asupan makanan memenuhi kebutuhan atau cek apakah ada tanda-tanda infeksi. Sedang
jika meningkat 5-10 gram/kgbb/hari, tatalaksana dapat dilanjutkan. Baik jika kenaikan 10
gram/kgbb/hari, lanjutkan tatalaksana.3,7,8
9. Memberikan Stimuli Fisik, Sensorik, dan Dukungan Emosional
Pada malnutrisi berat didapatkan perkembangan mental dan perilaku yang terlambat,
sehingga diperlukan perawatan dengan kasih sayang disertai kegembiraan dan lingkungan
nyaman, terapi bermain yang terstruktur 15-30 menit/ hari, aktivitas fisik sesuai dengan
kemampuan psikomotor anak, dan keterlibatan ibu seperti kenyamanan, makan, mandi,
bermain).3,7,8

10. Persiapan Tindak Lanjut Setelah Perawatan


Bila anak sudah mencapai persentil 90% BB/TB (setara -1 SD) maka anak sudah pulih
dari keadaan malnutrisi, walaupun mungkin BB/U masih rendah karena umumnya anak
pendek (TB/U rendah). Pola makan yang baik dan stimulasi fisik dan sensorik dapat
dilanjutkan dirumah. Hal-hal yang perlu dijelaskan kepada orang tua atau pengasuh yaitu
pemberian makan secara sering dengan kandungan energi dan nutrien yang memadai,
memberikan terapi bermain yang terstruktur. Saran untuk orang tua atau pengasuh: 1)
Membawa anak kontrol secara teratur, 2) Memberikan imunisasi booster, 3) Memberikan
vitamin A setiap 6 bulan.
Fase stabilisasi diharapkan selesai dalam 5-10 hari (jika 2 hari sudah baik fase ini juga
dapat dianggap selesai, selebihnya merupakan fase peralihan/ transisi ke fase
rehabilitasi). Saat ini penderita diharapkan sudah stabil, tidak ada anoreksia atau siap
untuk masuk fase rehabilitasi.3,7,8
Perawatan di Outpatient Therapeutic Program / OTP
Dengan rawat jalan, tidak diperlukan ruangan dan tenaga ahli untuk merawat, serta tidak
ada resiko tertular penyakit infeksi seperti anak yang dirawat inap. Anak cukup datang seminggu
sekali untuk menimbang berat badannya, dilakukan pemeriksaan kesehatan, serta mendapat
RUTF / ready to use therapeutic food untuk 1 minggu. RUTF merupakan makanan padat energi
berbentuk pasta dengan bahan susu, gula, minyak, kacang tanah, vitamin, dan mineral. Tiap
sachet berisi 100gram dengan kandungan energi 500kkal. Namun karena harganya yang mahal,
RUTF belum ada di Indonesia, sehingga diberikan F100 atau F100 dengan makanan sapihan
padat gizi. Jumlah yang diberikan sebanyak 200 kkal/kgBB/hari. Cara pemberian secara oral,
lebih baik diberikan menggunakan gelas dan bukan sendok. Penggunaan sendok memungkinkan
terjadinya aspirasi karena akan diberikan secara setengah duduk sedangkan otot-otot anak atrofi,
termasuk otot untuk reflex tersedak. Sementara pemberian dengan gelas, posisi tubuh tegak.3,7,8

Kriteria Pemulangan Pasien dari Rawat Inap


Persiapan untuk tindak lanjut di rumah dapat dilakukan sejak anak dalam perawatan, misalnya
melibatkan ibu dalam kegiatan merawat anaknya. Kriteria sembuh bila BB/TB atau BB/PB > -2
SD dan tidak ada gejala klinis.8
Anak dapat dipulangkan bila memenuhi kriteria pulang sebagai berikut:8
1) Edema sudah berkurang atau hilang, anak sadar dan aktif
2) BB/PB atau BB/TB > -3 SD
3) Komplikasi sudah teratasi
4) Ibu telah mendapat konseling gizi
5) Ada kenaikan BB sekitar 50 g/kg BB/minggu selama 2 minggu berturut-turut
6) Selera makan sudah baik, makanan yang diberikan dapat dihabiskan.
BAB III
KESIMPULAN

Diagnosis gizi buruk dapat ditegakan berdasarkan kriteria: seseorang anak tampak sangat
kurus, ditandai dengan BB/PB < -3 SD dari median WHO child growth standard, atau
didapatkan edema nutrisional, dan pada anak umur 5-59 bulan Lingkar Lengan Atas (LLA) <
110 mm. Tatalaksana gizi buruk di rumah sakit dibagi menjadi dua tahap yaitu fase stabilisasi
dan fase rehabilitasi dengan tindakan atau kegiatan yang terdiri atas 10 langkah utama
tatalaksana gizi buruk.

DAFTAR PUSTAKA

1. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman pelayanan anak gizi buruk.


Jakarta: Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia; 2011. h. 2-5.
2. Diunduh dari www.gizi.depkes.go.id/wp-content/uploads/.../ped-tata-kurang-protein-rs-
kab-kodya-1.doc
3. IDAI. Buku ajar nutrisi pediatrik dan penyakit metabolik. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan
Dokter Anak Indonesia; 2011. h.133-50.
4. Diunduh dari
http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/63616/Chapter%20II.pdf?sequenc
e=4&isAllowed=y
5. Marcdante KJ, Kliegman RM, Jenson HB, dkk. Nelson ilmu kesehatan anak esensial.
Edisi ke-6. Jakarta: Saunders Elseviers; 2014. h. 125-8.
6. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Buku saku pedoman pelayanan kesehatan
anak di rumah sakit. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia; 2008. h.193-
221.
7. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Petunjuk teknis tatalaksana anak gizi buruk.
Buku II. Jakarta: Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia; 2011. h. 1-4.
8. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Bagan tatalaksanan anak gizi buruk. Buku I.
Jakarta: Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia; 2011. h. I.

Anda mungkin juga menyukai