PENDAHULUAN
Prevalensi gizi buruk meningkat dilihat dari angka prevalensi nasional tahun 2007 (18,4 %)
dan tahun 2010 (17,9 %) yang terlihat meningkat. Untuk mengantisipasi masalah di atas,
diperlukan upaya pencegahan dan penanggulangan secara terpadu di setiap tingkat pelayanan
kesehatan, termasuk pada sarana kesehatan seperti Rumah Sakit, Puskesmas perawatan,
Puskesmas, Balai Pengobatan, Puskesmas Pembantu, Pos Pelayanan Terpadu, dan Pusat
Pemulihan Gizi yang disertai peran aktif masyarakat.1,2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Gizi Buruk
Gizi buruk adalah keadaan dimana seseorang anak tampak sangat kurus, ditandai dengan
BB/PB < -3 SD dari median WHO child growth standard, dan atau didapatkan edema, dan atau
terlihat sangat kurus, dan atau Lingkar Lengan Atas (LLA) < 11,5 cm pada anak umur 6-59
bulan. Gizi buruk merupakan keadaan kurang gizi yang disebabkan oleh rendahnya konsumsi
energi dan protein dalam makanan shari-hari sehingga tidak memenuhi angka kecukupan gizi.
Gizi buruk dibagi menjadi 3 yaitu: marasmus, kwashiorkor, dan marasmus-
kwashiorkor. Marasmus merupakan bentuk malnutrisi protein kalori, terutama akibat
kekurangan kalori berat dan kronis, paling sering terjadi selama tahun pertama kehidupan,
disertai retardasi pertumbuhan serta atrofi lemak subkutan dan otot. Kwashiorkor merupakan
bentuk malnutrisi dengan edem yang disebabkan oleh kekurangan asupan protein, dapat disertai
dengan defisiensi kalori, namun bisa juga terjadi pada anak dengan kalori yang
tercukupi. Sedangkan Marasmic – Kwashiorkor merupakan kombinasi dari tanda klinis
marasmus dan kwashiorkor yaitu suatu keadaan defisiensi kalori dan protein, disertai penyusutan
jaringan yang hebat, hilangnya lemak subkutan, dan biasanya dehidrasi.1,3
Adanya 1 atau lebih dari tanda-tanda berikut: BB/TB < -3SD, terlihat sangat kurus, adanya
edema, LLA < 115 mm untuk anak 6-59 bulan.1
Gizi buruk dengan tanda-tanda tersebut diatas disertai salah satu atau lebih dari tanda
komplikasi medis berikut: anoreksia, pneumonia berat, anemia berat, dehidrasi berat, demam
tinggi, penurunan kesadaran.1
Epidemiologi
Secara nasional, prevalensi berat-kurang pada tahun 2013 adalah 19,6 persen, terdiri dari
5,7 persen gizi buruk. Jika dibandingkan dengan angka prevalensi nasional tahun 2007 (18,4 %)
dan tahun 2010 (17,9 %) terlihat meningkat. Perubahan terutama pada prevalensi gizi buruk
yaitu dari 5,4 persen tahun 2007, 4,9 persen pada tahun 2010, dan 5,7 persen tahun 2013.
Diantara 33 provinsi di Indonesia,18 provinsi memiliki prevalensi gizi buruk-kurang di atas
angka prevalensi nasional yaitu berkisar antara 21,2 persen sampai dengan 33,1 persen.1
Etiologi
Ada 2 faktor penyebab yang mempengaruhi gizi buruk diantaranya penyebab langsung
dan tidak langsung. Penyebab langsung dapat dikarenakan kurangnya jumlah dan kualitas
makanan yang dikonsumsi, menderita penyakit infeksi, cacat bawaan dan menderita penyakit
kanker. Sedangkan penyebab tidak langsung dapat berupa ketersediaan pangan rumah tangga,
perilaku, pelayanan kesehatan.4
Secara garis besar gizi buruk disebabkan oleh karena asupan makanan yang kurang, anak
sering sakit, atau terkena infeksi. Asupan makanan yang kurang disebabkan oleh berbagai faktor,
antara lain tidak tersedianya makanan secara adekuat, anak tidak mendapatkan makanan bergizi
seimbang yang cukup, dan pola makan yang salah.
Berikut penjelasan alur pemeriksaan yang dapat digunakan untuk menentukan langkah-
langkah yang dapat dilakukan dalam menangani penemuan kasus anak gizi buruk:1
Penemuan anak gizi buruk dari hasil penimbangan anak di posyandu, menggunakan hasil
pemeriksaan di fasilitas kesehatan (puskesmas dan jaringannya, rumah sakit dan dokter/
bidan praktek swasta), dan hasil laporan masyarakat (media massa, LSM dan organisasi
kemasyarakatan lainnya).
Penapisan anak gizi buruk, anak yang dibawa oleh orangtuanya atau anak yang berdasarkan
hasil penapisan LLA < 12,5 cm, atau semua anak yang dirujuk dari posyandu maka
dilakukan pemeriksaan antropometri dan tanda klinis, semua anak diperiksa tanda-tanda
komplikasi (anoreksia, pneumonia berat, anemia berat, dehidrasi berat, demam sangat tinggi,
penurunan kesadaran), lalu diperiksa nafsu makan dengan cara tanyakan kepada orang tua
apakah anak mau makan atau tidak mau makan minimal dalam 3 hari terakhir berturut-turut.
Bila dalam pemeriksaan pada anak didapatkan satu atau lebih tanda berikut: tampak sangat
kurus, edema minimal pada kedua punggung kaki atau tanpa edema, BB/PB atau BB/TB < -3
SD, LLA < 11,5 cm (untuk anak usia 6-59 bulan), nafsu makan baik, maka anak
dikategorikan gizi buruk tanpa komplikasi dan perlu diberikan penanganan secara rawat
jalan.
Bila hasil pemeriksaan anak ditemukan tanda-tanda sebagai berikut: tampak sangat kurus,
edema pada seluruh tubuh, BB/PB atau BB/TB < -3 SD, LLA < 11,5 cm (untuk anak usia 6-
59 bulan) dan disertai dari salah satu atau lebih tanda komplikasi medis sebagai berikut:
anoreksia, pneumonia berat, anemia berat, dehidrasi berat, demam sangat tinggi, penurunan
kesadaran, maka anak dikategorikan gizi buruk dengan komplikasi sehingga perlu
penanganan secara rawat inap.
Bila hasil pemeriksaan anak ditemukan tanda-tanda sebagai berikut: BB/TB < -2 s/d -3 SD,
LLA 11,5 s/d 12,5 cm, tidak ada edema, nafsu makan baik, tidak ada komplikasi medis,
maka anak dikategorikan gizi kurang dan perlu diberikan Program Makan Tambahan (PMT)
Pemulihan.
Bila kondisi anak rawat inap sudah membaik dan tidak lagi ditemukan tanda komplikasi
medis, tanda klinis membaik (edema kedua punggung tangan atau kaki), dan nafsu makan
membaik maka penanganan anak tersebut dilakukan melalui rawat jalan.
Bila kondisi anak rawat inap sudah tidak lagi ditemukan tanda-tanda komplikasi medis, tanda
klinis baik dan status gizi kurang, nafsu makan baik maka penanganan anak dengan
pemberian PMT pemulihan.
Anak gizi buruk yang telah mendapatkan penanganan melalui rawat jalan dan PMT
pemulihan, jika kondisinya memburuk dengan ditemukannya salah satu tanda komplikasi
medis, atau penyakit yang mendasari sampai kunjungan ketiga berat badan tidak naik
(kecuali anak dengan edema), timbulnya edema baru, tidak ada nafsu makan maka anak perlu
penanganan secara rawat inap.
Patofisiologi
Adapun energi dan protein yang diperoleh dari makanan kurang, padahal untuk
kelangsungan hidup jaringan, tubuh memerlukan energi yang didapat, dipengaruhi oleh
makanan yang diberikan sehingga harus didapat dari tubuh sendiri, sehingga cadangan protein
digunakan juga untuk memenuhi kebutuhan energi tersebut.
Patofisiologi gizi buruk pada balita adalah anak sulit makan atau anorexia bisa terjadi
karena penyakit akibat defisiensi gizi, psikologik seperti suasana makan, pengaturan makanan
dan lingkungan. Rambut mudah rontok dikarenakan kekurangan protein, vitamin A, vitamin C
dan vitamin E. Karena keempat elemen ini merupakan nutrisi yang penting bagi rambut.
Turgor atau elastisitas kulit jelek karena sel kekurangan air (dehidrasi). Sedangkan,
hepatomegali terjadi karena kekurangan protein. Jika terjadi kekurangan protein, maka terjadi
penurunan pembentukan lipoprotein. Hal ini membuat penurunan HDL dan LDL. Karena
penurunan HDL dan LDL, maka lemak yang ada di hepar sulit ditransport ke jaringan-
jaringan, pada akhirnya penumpukan lemak di hepar.
Tanda khas pada penderita kwashiorkor adalah pitting edema. Pitting edema adalah
edema yang jika ditekan, sulit kembali seperti semula. Pitting edema disebabkan oleh
kurangnya protein, sehingga tekanan onkotik intravaskular menurun. Jika hal ini terjadi, maka
terjadi ekstravasasi plasma ke intertisial. Plasma masuk ke intertisial, tidak ke intrasel, karena
pada penderita kwashiorkor tidak ada kompensansi dari ginjal untuk reabsorpsi natrium.
Padahal natrium berfungsi menjaga keseimbangan cairan tubuh. Pada penderita kwashiorkor,
selain defisiensi protein juga defisiensi multinutrien. Ketika ditekan, maka plasma pada
intertisial lari ke daerah sekitarnya karena tidak terfiksasi oleh membran sel dan
mengembalikannya membutuhkan waktu yang lama karena posisi sel yang rapat. Edema
biasanya terjadi pada ekstremitas bawah karena pengaruh gaya gravitasi, tekanan hidrostatik
dan onkotik.
Penyebab utama marasmus adalah kurang kalori protein yang dapat terjadi karena : diet
yang tidak cukup, kebiasaan makan yang tidak tepat seperti hubungan orang tua dengan anak
terganggu, karena kelainan metabolik atau malformasi kongenital. Keadaan ini merupakan
hasil akhir dari interaksi antara kekurangan makanan dan penyakit infeksi. Selain faktor
lingkungan ada beberapa faktor lain pada diri anak sendiri yang dibawa sejak lahir, diduga
berpengaruh terhadap terjadinya marasmus.
Manifestasi Klinis
1. Kwashiorkor
Wajah membulat, perubahan mental sampai apatis, anemia, perubahan warna dan tekstur
rambut seperti rambut jagung, mudah dicabut, gangguan gastrointestinal, pembesaran
hati, perubahan kulit, atrofi otot, edema seluruh tubuh terutama punggung kaki.2
2. Marasmus:
Penampilan seperti orang tua, terlihat sangat kurus, perubahan mental, cengeng, kulit
kering, dingin, mengendor, dan keriput, lemak subkutan menghilang hingga turgor kulit
berkurang, iga gambang, atrofi otot sehingga kontour tulang terlihat jelas.2
3. Marasmik-Kwashiorkor:
Gambaran klinik merupakan campuran dari beberapa gejala klinik Kwashiorkor dan
Marasmus.2
Pemeriksaan Fisik
Tatalaksana
Malnutrisi akut berat (MAB) dikategorikan menjadi dua yaitu malnutrisi berat dengan
komplikasi dan tanpa komplikasi. Kriteria dari malnutrisi berat dengan komplikasi yaitu :5
1. Edema pitting bilateral derajat 3 (edema berat) atau
2. LLA < 115 mm dan edema pitting bilateral derajat 1-2 atau
3. LLA < 115 mm atau pitting edema bilateral derajat 1-2,
dan ditambah 1 komplikasi antara lain : anoreksia, pneumonia berat, anemia berat, demam
tinggi, dehidrasi berat, letargis, hipotermia, dan hipoglikemia. MAB dengan komplikasi harus
dirawat inap di RS atau Puskesmas. Anoreksia menjadi indikasi rawat untuk penderita gizi
buruk karena anoreksia akan mempengaruhi asupan nutrisi, sehingga dapat terjadi
hipoglikemia atau berdampak terhadap kesembuhan penderita. Idealnya, setiap penderita gizi
buruk dilakukan appetite test dengan cara penderita diberi makanan siap saji/ ready to use
therpeutic formula (RUTF) dengan dosis 200 kkal/kgbb/hari. Jika penderita tidak dapat
menghabiskan 75% (< 150 kkal/kgBB/hari), penderita dianggap anoreksia, jadi penderita di
rawat inap. Sedangkan kriteria malnutrisi berat tanpa komplikasi yaitu:4
1. LILA < 115 mm dan nafsu makan baik, secara klinis baik, sadar,
2. LILA ≥ 115 mm dengan edema pitting bilateral derajat 1-2 dan nafsu makan baik, klinis
stabil, dan sadar.
MAB tanpa komplikasi tidak perlu dirawat inap. Melainkan hanya tetap di rumah masing-
masing, kemudian seminggu sekali mereka datang ke tempat pemantauan status nutrisi dan
kesehatannya serta mendapat makanan khusus. Tatalaksana MAB dengan rawat jalan ini
disebut dengan Outpatient Therapeutic Program (OTP) yang bertujuan untuk mengurangi
dampak rawat inap bagi penderita maupun keluarganya. 3
Tatalaksana gizi buruk di rumah sakit dibagi menjadi dua tahap yaitu fase stabilisasi dan fase
rehabilitasi yang terdiri atas 10 langkah utama, yaitu: 1) Atasi / cegah hipoglikemia, 2) Atasi/
cegah hipotermia, 3) Atasi/ cegah dehidrasi, 4) Koreksi ketidakseimbangan elektrolit, 5)
Atasi/ cegah infeksi, 6) Koreksi defisiensi mikronutrien, 7) Memulai pemberian makan, 8)
Mengupayakan tumbuh-kejar, 9) Memberikan stimulasi sensoris dan dukungan emosional,
10) Mempersiapkan untuk tindak lanjut pasca perbaikan. Pada fase stabilisasi penderita
dianjurkan dirawat di ruang khusus non-infeksi dengan suhu ruangan yang cukup (tidak
dingin) karena anak kekebalannya sangat terganggu dan reaksi tubuh kacau. Dapat terjadi
hipotermi dan leukopeni ketika anak terinfeksi. Segera beri makanan berupa Formula 75
(F75) setiap 2-3 jam sekali dan pada 2 jam pertama F75 diberikan ¼ dari jumlah yang
dibutuhkan setiap 30 menit.3
1. Mengatasi / mencegah hipoglikemia.
Semua anak gizi buruk berisiko untuk terjadi hipoglikemia (kadar gula darah < 3 mmol/dl
atau < 54 mg/dl), yang seringkali merupakan penyebab kematian pada 2 hari pertama
perawatan. Pemberian makanan dengan frekuensi sering (setiap 2-3 jam) sangat penting
dalam mencegah hipoglikemia dan hipotermia. Hipoglikemia dapat terjadi karena adanya
infeksi berat atau anak tidak mendapat makanan selama 4-6 jam. Bila anak sadar dan
dapat minum dapat diberikan bolus 50 ml larutan Glukosa 10% atau sukrosa 10% (1
sendok teh penuh gula dengan 50 ml air), baik per oral maupun dengan pipa nasogastrik.
Kemudian mulai pemberian F75 setiap 2 jam saing dan malam, untuk 2 jam pertama
berikan ¼ dari dosis makanan setiap 30 menit. Kemudian diberi antibiotik spektrum luas.
Bila anak tidak sadar, diberikan gl,ukosa 10% intravena (5ml/kg BB), diikuti dengan 50
ml Glukosa 10% atau sukrosa lewat pipa NGT. Kemudian mulai pemberian F75 setiap 2
jam, untuk 2 jam pertama berikan ¼ dari dosis makanan setiap 30 menit dan diberikan
antibiotik spektrum luas.3,7,8
Tabel 1. Tatalaksana Hipoglikemia pada Anak Tidak Sadar dan Anak Sadar yang Dapat Minum3
Bila anak sadar dan dapat minum Bila anak tidak sadar
Bolus 50 ml larutan Glukosa 10% atau Glukosa 10% intra vena (5ml/kg BB),
sukrosa 10% (1 sendok teh penuh gula dengan diikuti dengan 50 ml Glukosa 10% atau
50 ml air), baik per oral maupun dengan pipa sukrosa lewat pipa NGT. Kemudian mulai
nasogastrik. Kemudian mulai pemberian F75 pemberian F75 setiap 2 jam, untuk 2 jam
setiap 2 jam, untuk 2 jam pertama berikan ¼ pertama berikan ¼ dari dosis makanan
dari dosis makanan setiap 30 menit setiap 30 menit
Antibiotik spektrum luas Antibiotik spektrum luas
Pemberian makan per 2 jam, siang dan malam Pemberian makanan per 2 jam, siang
dan malam
Diagnosis gizi buruk dapat ditegakan berdasarkan kriteria: seseorang anak tampak sangat
kurus, ditandai dengan BB/PB < -3 SD dari median WHO child growth standard, atau
didapatkan edema nutrisional, dan pada anak umur 5-59 bulan Lingkar Lengan Atas (LLA) <
110 mm. Tatalaksana gizi buruk di rumah sakit dibagi menjadi dua tahap yaitu fase stabilisasi
dan fase rehabilitasi dengan tindakan atau kegiatan yang terdiri atas 10 langkah utama
tatalaksana gizi buruk.
DAFTAR PUSTAKA