PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Agresi militer yang dilaksanakan oleh Belanda pada tanggal 19 Desember 1949 atas ibukota
Yogyakarta berdampak buruk pada stabilitas politik dan keamanan negara. Presiden, wakil
presiden, serta beberapa pejabat tinggi negara ditangkap. Selain itu Tentara nasional Indonesia
terpaksa keluar kota setelah markasnya diduduki oleh Belanda. Selain itu, pemerintahan
darurat dibentuk di Bukit Tinggi dengan Syafrudin Prawiranegara sebagai pimpinan untuk
mengambil alih urusan pemerintahan.
Serangan Umum 1 Maret 1949 dilaksanakan secara dadakan untuk mengejutkan musuh. Kota
Yogyakarta diserang dari segala penjuru, akibatnya ibukota Yogyakarta berhasil dikuasai selama
6 jam. Selain itu serangan ini memberi dampak secara psikologis dan politis dalam usaha
mempertahankan Republik Indonesia.
B. RUMUSAN MASALAH
C. TUJUAN
Pada Tanggal 19 Desember 1948 Belanda melancarkan serangan ke ibukota Yogyakarta dalam
Agresi Militer yang kedua. Serangan tersebut dilancarkan ke beberapa objek vital seperti Istana
Kepresidenan, markas Tentara Nasional Indonesia, dan bandara Maguwo, serta sasaran
utamanya adalah para pejabat tinggi Republik Indonesia. Presiden Sukarno, Wakil Presiden
Muhammad Hatta, dan beberapa menteri kabinet ditangkap saat siding kabinet berlangsung
dan kemudian diasingkan ke luar Jawa.
Selain itu, Jenderal Sudirman dan tentara yang markasnya telah dikuasai oleh militer Belanda
memilih untuk keluar Yogyakarta. Jenderal Sudirman terus memantau kondisi kota Yogyakarta
dari luar serta melakukan perlawanan terhadap Belanda dengan perang gerilya. Bukan hanya
itu saja, Jenderal Sudirman tetap berkonsolidasi dengan pejabat di ibukota Yogyakarta melalui
kurir-kurir.
Kondisi Negara yang kacau ini dimanfaatkan oleh pihak Belanda untuk memperluas
hegemoninya pada dunia Internasional. Belanda menganggap Pemerintahan Republik telah
hilang semenjak Soekarno-Hatta diasingkan, Tentara Nasional Indonesia lemah dan tidak dapat
menjaga stabilitas keamanan, dan kemiskinan yang cukup parah mengakibatkan pemerintah
dianggap gagal mengelola Negara ( Sumiyati 2001: 2). Belanda menginginkan agar pihak luar
negeri tidak menghiraukan Republik Indonesia.
Berita perkembangan upaya diplomasi di luar negeri terus disaksikan oleh para pejuang dari
dalam negeri. Salah satunya adalah berita mengenai sidang Dewan Keamanan Perserikatan
Bangsa-Bangsa yang akan diadakan pada akhir Februari 1949 yang didengarkan oleh Sultan
Hamengku Buwono IX lewat radio dalam keraton Yogyakarta.
B. PERENCANAAAN SERANGAN
Sultan Hamengku Buwono IX segera mengirimkan kurir untuk menghubungi Jenderal Sudirman
di luar kota. Tujuan utamanya meminta persetujuan untuk melaksanakan serangan, serta
menghubungi komandan gerilya ( Roem 1982: 79). Peranan kurir sangat penting kala itu,
mengingat ruang gerak Sultan Hamengku Buwono yang dibatasi oleh Belanda.
Para tentara membuat pengamanan untuk melindungi Letkol Suharto hingga bertemu dengan
Sultan Hamengku Buwono IX. Hal tersebut dilakukan dengan membuat pengamanan Pagar
Betis. Letkol Suharto diperkenankan memakai pakaian abdi dalem sebelum bertemu Sultan
Hamengku Buwono IX agar dapat menyelinap masuk dan tidak dicurigai musuh. Pertemuan
tersebut berlangsung pada tengah malam serta membahas rencana serangan dan menanyakan
kesanggupan Letkol Suharto untuk mempersiapkan serangan dalam waktu dua minggu.
Menjelang Serangan Umum 1 Maret 1949, pasukan Tentara Nasional Indonesia memasuki kota
Yogyakarta. Pasukan tersebut tergabung dakam SWK Kota yang dipimpin oleh Letnan Amir
Murtopo dan Letnan Marsoedi. SWK Kota mempersiapkan sarana dan prasarana yang akan
digunakan saat penyerangan. Pada malam sebelum serangan, para gerilyawan banyak
berdatangan ke Yogyakarta. Para gerilyawan menyelinap ke rumah-rumah penduduk.
Pukul 06.00 tanggal 1 Maret 1949 tepat pada saat sirine berbunyi sebagai tanda berakhirnya
jam malam, serangan umum dimulai. Pertempuran terjadi di seluruh penjuru kota. Pos-pos
Belanda di Tugu, Gondolayu, Komando Keamanan Kota, Benteng Vredenburg, Ngupasan
Timuran diserbu secara serentak. Hal ini mengejutkan tentara Belanda karena serangan yang
mendadak.
Pasukan Belanda terkepung dalam markas pertahanan dan hanya dapat meminta bantuan
pasukan dari Magelang dan Semarang melalui pesawat intai Auster/Capy. Kolonel Zanten,
Komandan Brigade Belanda wilayah Magelang mengirim Batalyon KNIL yang paling tangguh(
Sumiyati 2001: 36). Bala bantuan berangkat dari Magelang pukul 11.00. Atas saran dari Sultan
hamengku Buwono IX Serangan Umum 1 Maret 1949 hanya dilancarkan sampai dengan pukul
12.00. Sultan Hamengku Buwono IX mempertimbangkan pasukan bantuan Belanda yang
didatangkan dari luar Yogyakarta serta menghindari jumlah korban yang lebih banyak.
Serangan Umum 1 Maret 1949 memberi dampak besar bagi Republik Indonesia. Penyerangan
yang mendadak dan serentak dilakukan dari segala penjuru kota memalukan pasukan Belanda,
karena pasukan Belanda hanya dapat bertahan di markas-markas. Hal tersebut sekaligus
membantah pernyataan Belanda bahwa Republik Indonesia dan Tentara Nasional Indonesia
telah hancur.
Hal yang tak kalah penting dari Serangan Umum 1 Maret 1949 adalah dampak psikologis dan
politis yang ditimbulkan. Serangan tersebut mampu menaikkan semangat rakyat dan prajurit
yang tekah merosot semenjak Agresi Militer Belanda kedua. Secara politis banyak bangsa-
bangsa yang bersimpatik terhadap kasus Indonesia di PBB, sehingga membantu proses
diplomasi.
Atas inisiatif UNCI, pada tanggal 4 April 1949 diadakan perundingan antara Republik Indonesia-
Belanda yang dilaksanakan di Jakarta. Delegasi Belanda dipimpin oleh Dr. J.H Van Royen,
delegasi Indonesia dipimpin oleh Mr. Mohamad Roem, sedangkan pemimpin pertemuan
adalah Mark Cochran (wakil Amerika Serikat di PBB). Perundingan tersebut terkenal dengan
perundingan Roem-Royen.