Belanda makin gencar menyiarkan berita ke seluruh dunia bahwa negara Indonesia sudah
tidak ada lagi. Sri Sultan Hamengkubuwono IX yang selama ini menyitrakan diri sebagai
pihak netral kepada Belanda dan RI sehingga ia tidak ikut ditawan oleh Belanda, selalu
mengetahui perkembangan dunia melalui radio. Ia kemudian mendengar rencana DK-PBB
untuk mengangkat masalah Indonesia pada sidang PBB bulan maret mendatang. Hal tersebut
merupakan momen yang tepat untuk menjatuhkan Belanda, namun bagaimana jika sebelum
sidang PBB bulan maret mendatang dilaksanakan, dunia internasional sudah lebih dulu
termakan hastuan Belanda dan mempercayai Indonesia telah tiada? Maka Sri Sultan
Hamengkubuwono IX terus memutar otak, mencari cara untuk membuktikan pada dunia
bahwa propaganda Belanda hanyalah omong kosong belaka. Tercetuslah sebuah ide dari Sri
Sultan mengenai serangan yang spektakuler, yang mampu membuat mata dunia melirik
Indonesia dan menyadari bahwa Indonesia masih ada. Tujuan dari serangan itu adalah;
Tujuan internal: mendukung perjuangan yang dilaksanakan secara diplomasi, dan
meningkatkan moril rakyat dan TNI yang sedang bergerilya.
Tujuan eksternal: menunjukkan kepada dunia internasional bahwa TNI tetap mampu
untuk mengadakan ofensif, dan mematahkan moril pasukan Belanda.
Serangan tersebut direncanakan untuk mencuri perhatian wartawan asing yang berada
di Yogyakarta, agar mereka segera menyebarluaskan berita tersebut ke seluruh dunia. Taktik
yang lain juga ditempuh. Untuk menginformasikan bahwa negara RI masih ada kepada
wartawan asing, diperlukan pemuda-pemuda yang diberi seragam Tentara Nasional
Indonesia, yang dapat berbahasa Inggris, Belanda atau Prancis. Mereka ini ditugaskan untuk
bersiap di Hotel Garuda. Konsep tersebut disampaikan Letkol Dr. Hutagalung dalam rapat
pimpinan pemerintahan dan militer di lereng Gunung Sumbing, Jawa Tengah.
SWK 101 yang berada di dalam kota bertugas untuk mengkoordinir keperluan Pasukan
Wehrkreise III, termasuk perbekalan. Letnan Amir Murtono dan Letnan Masduki
ditugaskan pada sektor ini.
SWK 102 yang masuk dari arah selatan bertugas untuk menyerang markas Belanda di
kantor pos, Gedung Negara, Benteng Vredeburg, Pabrik Watson (gudang amunisi), Kota
Baru, Stasiun Lempuyangan, dan Pabrik Aniem Wirobrajan hingga alun-alun kota. SWK
102 dipimpin oleh Mayor Sardjono.
SWK 103 yang masuk dari arah barat bertugas untuk menyerang Pingit, Stasiun Tugu,
Hotel Tugu, serta pos-pos Belanda di sepanjang Malioboro. SWK 103 dipimpin oleh
Mayor Ventje Sumual.
SWK 104 yang masuk dari arah utara bertugas untuk menyerang pos dan konsentrasi
pasukan Belanda di sekitar Kota Baru, Hotel Tugu, Gondokusuman, Pingit, Jetis, dan
Hotel Merdeka. SWK 104 dipimpin oleh Mayor Kusno.
SWK 105 yang masuk dari arah timur bertugas untuk menyerang Tanjungtirto, Maguwo,
Kalasan, dan Prambanan. SWK 105 dipimpin oleh Kapten Rakido.
SWK 106 bertugas untuk mencegah datangnya bantuan untuk pasukan Belanda yang
berada di Yogyakarta.
Satu hari sebelum serangan berlangsung, T.B. Simatupang mendatangi kantor radio
AURI di Playen, Gunung Kidul. Ia membawa surat dari Sri Sultan yang ditujukan kepada
Menteri Penerangan Budihardjo. Dalam surat tersebut, Sri Sultan meminta Budihardjo untuk
segera menyiarkan berita mengenai serangan besar tersebut tepat setelah serangan tersebut
dilaksanakan. Beberapa malam sebelum tanggal 1 Maret 1949, pasukan sudah mulai
mendekati kota, kemudian dalam jumlah kecil mereka mengenda-endap masuk ke kota lalu
menumpang pada rumah-rumah penduduk, keluarga, atau rekan mereka yang tinggal di
dalam kota.
Tepat pada 1 Maret 1949, saat sirine penanda jam malam berakhir dinyalakan, pasukan
Indonesia menyerang pasukan Belanda yang berada di bawah pimpinan Kolonel van Langen.
Pasukan Belanda tersebut adalah brigade T yang sebagian anggotanya terdiri dari tentara
KNIL yang sudah tidak begitu mempercayai Belanda. Oleh sebab itu, saat pasukan Indonesia
menyerang gudang amunisi, tentara KNIL yang berjaga tidak dengan serius mencegah
mereka dan membiarkan gudang amunisi milik Belanda tersebut jatuh ke tangan Indonesia.
Letkol Soeharto sebagai komandan tertinggi serangan ini, masuk ke dalam kota
melalui arah barat. Dalam waktu satu jam, Letkol Soeharto sudah memasuki jalan utama
Yogyakarta, yakni Malioboro, dan secara langsung pula memimpin pasukan-pasukan di
bagian barat. Meski serangan di sektor utara tidak selancar rencana, namun mereka berhasil
menghadang bantuan untuk Belanda dari arah Maguwo.
Pada puku 12.00 siang, dari arah utara datang bantuan bagi Belanda. Bantuan tersebut
datang dari Magelang dan Gombang berupa dua Batalyon KNIL yakni Anjing NICA dan
Gajah Merah di bawah komando Brigade Kolonole van Zanten. Secara perlahan, dalam
waktu satu jam, tentara Indonesia mundur dan meninggalkan Yogyakarta. Sementara itu, di
Playen, Gunung Kidul, dengan menggunakan radio AURI PC 2, Budihardjo telah mengirim
morse kepada pemerintah di Bukit Tinggi mengenai serangan besar tersebut. Dilanjutkanlah
siaran tersbut ke Birma, India, dan berakhir di New York, markas besar PBB. Maka
tercenganglah dunia atas kebohongan Belanda, seketika dunia percaya bahwa Indonesia
masih ada dan TNI masih dalam kondisi yang kuat. Pendudukan tentara Indonesia selama
enam jam di Yogyakarta tersebut mampu menarik simpati dunia akan perjuangan
kemerdekaan Indonesia dan memperlancar usaha diplomasi Indonesia untuk mendapat
pengakuan kedaulatannya kelak.
Pihak Belanda 6 orang tewas dan 14 orang luka-luka, sementara di pihak Indonesia tercatat
300 prajurit gugur, 53 polisi gugur, dan jumlah rakyat yang ikut gugur tidak bisa dihitung
secara pasti. Sementara itu, menurut media Belanda, korban dari pihak mereka selama bulan
maret adalah 200 orang tewas dan luka-luka.
1. Menunjukkan kepada dunia internasional keberadaan pemerintah dan TNI masih kuat
dan solid
2. Dukungan terhadap perundingan/diplomasi yang berlangsung di PBB
3. Meningkatkan moral bangsa Indonesia
4. Meruntuhkan mental pasukan Belanda
5. Mempertahankan kedaulatan Republik Indonesia
F. Hubungan Serangan 1 Maret dengan Nilai-nilai Pancasila
Sila Pertama “ Ketuhanan Yang Maha Esa”
Semangat pejuang Indonesia tidak pernah membeda-bedakan, mereka bekerjasama
untuk satu tujuan, yaitu mempertahankan Indonesia.
Sila Kedua “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”
Menghormati hak orang lain, terbukti dengan Sri Sultan Hamengkubuwono IX
menawarkan diri untuk membantu Indonesia menyerang Belanda. Rasa tolong
menolong yang kuat antar seluruh warga negara Indonesia untuk mempertahankan
Indonesia.
Sila Ketiga “Persatuan Indonesia”
Menempatkan kepentingan, kesatuan, kepentingan bangsa dan negara serta
keselamatan bangsa dan negara diatas kepentingan pribadi dan golongan. Terbukti
dengan persatuan bangsa yang berbondong-bondong demi kepentingan bangsa dan
negara Indonesia.
Sila keempat “ Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan
Mengutamakan musyawarah dalam pengambilan keputusan untuk kepentingan
bersama, terbukti dengan Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Soeharto melakukan
musyawarah untuk menyerang Belanda.
Sila Kelima “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia”
Menjunjung tinggi nilai keadilan sosial dan menolak kesewenang-wenangan bangsa
lain terhadap bangsa Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA:
• Drs. Tanu, Suherly. 1971. Sedjarah Perang Kemerdekaan Indonesia. Departemen
Pertahanan-Keamanan Pusat Sedjarah ABRI: Jakarta.
• Drs. G. Moedjanto, M.A. 1991. Indonesia Abad Ke-20 Jilid 2. Kanisius: Yogyakarta
• Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. 1998. Biografi Pahlawan Nasional Sultan
Hamengku Buwana IX. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI: Jakarta.
MENGANALISIS NILAI-NILAI PANCASILA DARI FILM
Disusun Oleh:
1. Khoiriyah Puspita Ningrum 17108241034
2. Wening Sari 17108241070
3. Lulu Kholifah 17108241082
4. Arrowana Harries Panghegar 17108241121
5. Titis Amelia Christanti 17108244015
YOGYAKARTA
2018