Anda di halaman 1dari 39

BAB I

PENDAHULUAN

Penyakit kardiovaskuler merupakan penyebab kematian utama di negara-negara


maju, dan negara berkembang termasuk di Indonesia. Diperkirakan diseluruh
dunia, penyakit kardiovaskuler akan meningkat prevalensinya pada tahun 2020
dan menjadi pembunuh pertama tersering yaitu 36% dari seluruh kematian.
Penyakit kardiovaskular sangat erat kaitannya dengan peningkatan mortalitas dan
morbiditas. Gejala klinis penyakit kardiovaskular diantaranya silentiskemia,
angina pektoris stabil, angina pektoris tidak stabil, infark miokard, gagal jantung
dan kematian mendadak (Hamm dkk., 2011).
Organisasi kesehatan dunia (WHO) pada tahun 2001 melaporkan bahwa
dari tiga orang diseluruh dunia, satu orang meninggal karena penyakit
kardiovaskuler (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2006).
Penyakit jantung iskemik dapat dibagi menjadi 2 yaitu penyakit arteri
koroner kronik atau chronic coronary artery disease (CAD) yang sering disebut
sebagai angina pektoris stabil (stable angina), dan sindrom koroner akut (SKA)
atau acute coronary syndromes (ACS). Sindrom koroner akut merupakan salah
satu manifestasi penyakit jantung koroner yang paling utama dan paling sering
menyebabkan terjadinya kematian (Lumban Raja, 2013).
Sindrom koroner akut disebabkan karena ketidakseimbangan antara pasokan
oxigen dan kebutuhan oxigen oleh miokard. Ketidakseimbangan ini dapat
disebabkan karena adanya robekan plak ateroskerotik dan berkaitan dengan proses
inflamasi, trombosis, vasokonstriksi dan mikroembolisasi (Departemen Kesehatan
Republik Indonesia, 2006). Manifestasi klinis SKA dapat berupa angina pektoris
tidak stabil /Unstable angina pectoris (UAP), non-ST Elevation myocardial
infarction (NSTEMI) maupun ST elevation myocardial infarction (STEMI)
(Dipiro dkk., 2008). Management terapi pada sindrom koroner akut (SKA)
dilakukan berdasarkan karakteristik SKA yang terjadi yaitu NSTEMI maupun
STEMI. Pada STEMI biasanya terjadi karena adanya oklusi/sumbatan mayor pada
arteri koroner yang disebabkan oleh trombus, sehingga tujuan terapi pada STEMI

1
yaitu memperbaiki reperfusi jaringan dengan menggunakan trombolisis dan secara
mekanik yaitu dengan melakukan PCI (Percutaneous coronary intervention).
Sebaliknya pada kasus NSTEMI, biasanya terjadi karena obstruksi pada koroner
tidak lengkap atau intermitten, sehingga penggunaan trombolisis tidak
direkomendasikan pada keadaan NSTEMI (Latour-Perez dan de-Miguel-Balsa,
2009).

Selain jantung, Di Amerika Serikat, data tahun 1995 1999 menyatakan


insiden penyakit ginjal kronik diperkirakan 100 kasus perjuta penduduk pertahun,
dan angka ini meningkat sekitar 8% setiap tahunnya. Di Malaysia, dengan
populasi 18 juta, diperkirakan terdapat 1800 kasus baru gagal ginjal pertahunnya.
Di negara negara berkembang lainnya, insiden ini diperkirakan sekitar 40 60
kasus perjuta penduduk pertahun. Di Amerika Serikat, ada meningkatnya insiden
dan prevalensi gagal ginjal, dengan hasil yang buruk dan biaya tinggi. Penyakit
ginjal adalah penyebab utama kematian kesembilan di Amerika Serikat. Nasional
Ketiga Kesehatan dan Survey (NHANES III) memperkirakan bahwa prevalensi
penyakit ginjal kronis pada orang dewasa di Amerika Serikat adalah 11% (19,2
juta): 3,3% (5,9 juta) memiliki tahap 1, 3% (5,3 juta) harus tahap 2, 4,3% (7,6
juta) memiliki stadium 3, 0,2% (400.000) memiliki stadium 4, dan 0,2%
(300.000) memiliki tahap 5.

Prevalensi penyakit ginjal kronis tahap 1-4 meningkat dari 10% pada
tahun 1988-1994 menjadi 13,1% pada 1999-2004. Peningkatan ini sebagian
dijelaskan oleh peningkatan prevalensi diabetes dan hipertensi, yang merupakan
penyebab paling umum dari penyakit ginjal kronis. Data dari Amerika Serikat
Renal Data System (USRDS) menunjukkan bahwa prevalensi gagal ginjal kronis
meningkat 104% antara tahun 1990-2001.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1.DEFINISI PENYAKIT JANTUNG KORONER
Penyakit jantung koroner (PJK) atau penyakit jantung iskemik adalah
penyakit jantung yang timbul akibat penyempitan pada arteri koronaria.
Penyempitan tersebut dapat disebabkan antara lain aterosklerosis, berbagai
jenis arteritis, emboli koronaria, dan spasme. Oleh karena aterosklerosis
merupakan penyebab terbanyak (99%) maka pembahasan tentang PJK pada
umumnya terbatas penyebab tersebut (Majid, 2007).
Arterosklerosis pada dasarnya merupakan suatu kelainan yang terdiri atas
pembentukan fibrolipid dalam bentuk plak-plak yang menonjol atau
penebalan yang disebut ateroma yang terdapat didalam tunika intima dan
pada bagian dalam tunika media. Proses ini dapat terjadi pada seluruh arteri,
tetapi yang paling sering adalah pada left anterior descendent arteri
coronaria, proximal arteri renalis dan bifurcatio carotis.

2.2 PATOGENESIS PEMBENTUKAN ATEROSKLEROSIS (Coughlin,


2006)
1. Pembentukan Aterosklerosis
Ada beberapa hopotesis yang menerangkan tentang proses
terbentuknya aterosklerosis, seperti monoclonal hypothesis, lipogenic
hypothesis dan response to injure hypothesis. Namun yang banyak
diperbincangkan adalah mengenai empat stage respon to injure
hypothesis sebagai berikut:
a. Stage A: Endothelial injure
Endotelial yang intake dan licin berfungsi sebagai barrier yang
menjamin aliran darah koroner lancar. Faktor resiko yang dimiliki
pasien akan memudahkan masuknya lipoprotein densitas rendah yang
teroksidasi maupun makrofag ke dalam dinding arteri. Interaksi antara
endotelial injure dengan platelet, monosit dan jaringan ikat (collagen),

3
menyebabkan terjadinya penempelan platelet (platelet adherence) dan
agregasi trombosit (trombosit agregation).

b. Stage B: Fatty Streak Formation

Gambar 1. Pembentukan formasi lapisan lemak dalam ruang


subendotel

c. Stage C: Fibrosis Plaque Formation


Formasi plak fibrosis terdiri atas inti atau central cholesterol dan tutup
jaringan ikat (cap fibrous). Formasi ini memberikan dua gambaran
tipe yaitu:
1) Stable fibrous plaque dan
2) Unstable fibrous plaque

4
Gambar 2. Formasi plak fibrous yang terdiri atas tutup dan inti

d. Stage D: Unstable Plaque Formation


Formasi ini akan membentuk plak yang mudah ruptur (vulnarable
plaque), sehingga menyebabkan terbentuknya trombus dan oklusi
pada arteri.

5
2. Patofisiologi Terjadinya Infark Miokard

6
2.3.MANIFESTASI KLINIS PENYAKIT JANTUNG KORONER
T elah dijelaskan bahwa aterosklerosis yang terbentuk dalam lumen
arteri dapat bersifat sebagai plak yang vulnarable maupun plak stabil. Oleh
karena itu penyakit jantung koroner memberikan dua manifestasi klinis
penting yaitu akut koroner sindrom dan angina pektoris stabil (ACC/AHA,
2007).
1. Plak Vulnarable (Plak yang memiliki dinding tipis dengan lemak yang
besar, mudah ruptur jika ada faktor pencetus akibat aktivasi enzim
protease yang dihasilkan makrofag) Akut koroner sindrom
a. ST elevasi miokard infark (STEACS); oklusi total oleh trombus
1) STEMI; infark, dengan peningkatan enzim jantung
2) Angina variant (prinzmetal), jarang terjadi; akibat spasme koroner
b. Non-ST elevasi acute coronary syndrom (NSTEACS); oklusi parsial
1) NSTEMI; infark, dengan peningkatan enzim jantung
2) Unstable angina; kresendo angina, tanpa peningkatan enzim
jantung
2. Plak Stabil (Plak yang memiliki dinding tebal dengan lemak yang sedikit)
angina pektoris stabil; dekresendo angina, tanpa peningkatan enzim
jantung

10/00 medslides.com 2

Gambar 5. Klasifikasi Sindrom Koroner Akut

7
2.4FAKTOR RESIKO PENYAKIT JANTUNG KORONER

Dislipidemia diyakini sebagai faktor risiko mayor yang dapat


dimodifikasi untuk perkembangan dan perubahan secara progresif atas
terjadinya PJK. Kolesterol ditranspor dalam darah dalambentuk lipoprotein,
75 % merupakan lipoprotein densitas rendah (low density liproprotein/LDL)
dan 20 % merupakan lipoprotein densitas tinggi (high density
liproprotein/HDL). Kadar kolesterol HDL-lah yang rendah memiliki peran
yang baik pada PJK dan terdapat hubungan terbalik antara kadar HDL dan
insiden PJK.
Pada laki-laki usia pertengahan (45 s.d 65 tahun) dengan tingkat serum
kolesterol yang tinggi (kolesterol : > 240 mg/dL dan LDL kolesterol : > 160
mg/dL) risiko terjadinya PJK akan meningkat. Pemberian terapi dengan
pravastatin dapat menurunkan rata-rata kadar LDL kolesterol sebesar 32 %,
pasien yang mendapatkan pengobatan dengan pravastatin terhindar dari
kejadian PJK sebesar 24 % dibandingkan dengan kelompok placebo.

Tabel 1. Total Kolesterol dan LDL Kolesterol

Merokok
Merokok merupakan faktor risiko mayor untuk terjadinya penyakit
jantung, termasuk serangan jantung dan stroke, dan juga memiliki hubungan
kuat untuk terjadinya PJK sehingga dengan berhenti merokok akan
mengurangi risiko terjadinya serangan jantung. Merokok sigaret menaikkan

8
risiko serangan jantung sebanyak 2 sampai 3 kali. Sekitar 24 % kematian
akibat PJK pada laki-laki dan 11 % pada perempuan disebabkan kebiasaan
merokok.

Obesitas
Terdapat saling keterkaitan antara obesitas dengan risiko peningkatan PJK,
hipertensi, angina, stroke, diabetes dan merupakan beban penting pada
kesehatan jantung dan pembuluh darah. Data dari Framingham menunjukkan
bahwa apabila setiap individu mempunyai berat badan optimal, akan terjadi
penurunan insiden PJK sebanyak 25 % dan stroke/cerebro vascular accident
(CVA) sebanyak 3,5 %.

Tabel 2. Klasifikasi Berat Badan Menurut Index Masa Tubuh

Diabetes Mellitus
Penderita diabetes menderita PJK yang lebih berat, lebih progresif, lebih
kompleks, dan lebih difus dibandingkan kelompok control dengan usia yang
sesuai.Diabetes mellitus berhubungan dengan perubahan fisik-pathologi
pada system kardiovaskuler. Diantaranya dapat berupa disfungsi endothelial
dan gangguan pembuluh darah yang pada akhirnya meningkatkan risiko
terjadinya coronary artery diseases (CAD). Kondisi ini dapat
mengakibatkan terjadinya mikroangiopati, fibrosis otot jantung, dan
ketidaknormalan metabolisme otot jantung.

9
Risiko terjadinya PJK pada psien dengan NIDDM adalah dua hingga empat
kali lebih tinggi daripada populasi umum dan tampaknya tidak terkait
dengan derajat keparahan atau durasi diabetes, mungkin karena adanya
resistensi insulin dapat mendahului onset gejala klinis 15 25 tahun
sebelumnya.

Riwayat Keluarga
Penyakit jantung koroner kadang-kadang bisa merupakan manifestasi
kelainan gen tunggal spesifik yang berhubungan dengan mekanisme
terjadinya aterosklerotik.
Riwayat keluarga PJK pada keluarga yang langsung berhubungan darah
yang berusia kurang dari 70 tahun merupakan faktor risiko independent
untuk terjadinya PJK, dengan rasio odd dua hingga empat kali lebih besar
dari pada populasi control.

Hipertensi Sistemik
Risiko PJK secara langsung berhubungan dengan tekanan darah, untuk
setiap penurunan tekanan darah disatolik sebesar 5 mmHg risiko PJK
berkurang sekitar 16 %. Peningkatan tekanan darah sistemik meningkatkan
resistensi terhadap pemompaan darah dari ventrikel kiri, sebagai akibatnya
terjadi hipertropi ventrikel untuk meningkatkan kekuatan kontraksi.
Kebutuhan oksigen oleh miokardium akan meningkat akibat hipertrofi
ventrikel, hal ini mengakibat peningkatan beban kerja jantung yang pada
akhirnya menyebabkan angina dan infark miokardium.
Disamping itu juga secara sederhana dikatakan peningkatan tekanan darah
mempercepat aterosklerosis dan arteriosclerosis, sehingga rupture dan oklusi
vaskuler terjadi 20 tahun lebih cepat daripada orang normotensi. Penelitian
Framingham menunjukkan LVH akan meninggikan PJK 4 5 kali pada
penderita usia lanjut.

10
Hiperhomosistein
Peningkatan kadar homosistein dalam darah akhir-akhir ini telah
ditegakkan sebagai faktor risiko independen untuk terjadinya trombosis
dan penyakit vaskuler. Hiperhomosisteinemia ini akan lebih meningkatkan
lagi kejadian aterotrombosis vaskuler pada individu dengan faktor risiko
yang lain seperti kebiasaan merokok dan hipertensi.

2.5.DIAGNOSIS PENYAKIT JANTUNG KORONER


Langkah pertama dalam pengelolaan PJK ialah penetapan diagnosis
pasti. Diagnosis yang tepat amat penting, karena bila diagnosis PJK telah
dibuat di dalamnya terkandung pengertian bahwa penderitanya mempunyai
kemungkinan akan dapat mengalami infark atau kematian mendadak.
Diagnosis yang salah selalu mempunyai konsekuensi buruk terhadap kualitas
hidup penderita. Pada orang-orang muda, pembatasan kegiatan jasmani yang
tidak pada tempatnya mungkin akan dinasihatkan. Selain itu kesempatan
mereka untuk mendapat pekerjaan mungkin akan berkurang. Bila hal ini
terjadi pada orang-orang tua, maka mereka mungkin harus mengalami
pensiun yang terlalu dini, harus berulang kali di rawat di rumah sakit atau
harus makan obat-obatan yang potensial toksin untuk jangka waktu lama
(Gray, dkk., 2005).
Tabel 4 memperlihatkan cara-cara diagnostik PJK yang terpenting,
baik yang saat ini ada atau yang di masa yang akan datang potensial akan
mempunyai peranan besar. Dokter harus memilih pemeriksaan apa saja yang
perlu dilakukan terhadap penderita untuk mencapai ketepatan diagnostik yang
maksimal dengan resiko dan biaya yang seminimal mungkin.

Tabel 4. Cara-cara Diagnostik Penyakit Jantung Koroner


No Diagnostik Penyakit Jantung Koroner
1 Anamnesis: Nyeri dada iskemik, identifikasi faktor pencetus dan atau
faktor resiko. Sifat nyeri dada yang spesifik angina sebagai berikut:
a. Lokasi: substermal, retrostermal dan prekordial.

11
b. Sifat nyeri: rasa sakit, seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih benda
berat, seperti ditusuk, rasa diperas, dan dipelintir.
c. Penjalaran ke: leher, lengan kiri, mandibula, gigi,
punggung/interskapula, dan dapat juga ke lengan kanan.
d. Nyeri membaik atau hilang dengan istirahat atau obat nitrat.
e. Faktor pencetus : latihan fisik, stress emosi, udara dingin, dan
sesudah makan
f. Gejala yang menyertai : mual, muntah, sulit bernafas, keringat
dingin.
g. Hati-hati pada pasien diabetes mellitus, kerap pasien tidak
mengeluh nyeri dada akibat neuropati diabetik.
Berikut perbedaan nyeri dada jantung dan non-jantung

Pada UAP Crescendo angina, Angina Pektoris Stabil


Decrescendo
Angina pada wanita dan pria:
a. Wanita: Paling sering angina (terkadang pasien hanya bilang sesak
padahal maksudnya nyeri dada)
b. Pria: Paling sering langsung miocard infark banyak yang
sudden death
2 Pemeriksaan Fisik
Tujuan dari pemeriksaan fisik adalah untuk mengidentifikasi faktor
pencetus dan kondisi lain sebagai konsekuensi dari PJK. Hipertensi
tak terkontrol, takikardi, anemis, tirotoksikosis, stenosis aorta berat
(bising sistolik), dan kondisi lain, seperti penyakit paru. Dapat juga
ditemukan retinopati hipertensi/diabetik.

12
Keadaan disfungsi ventrikel kiri/tanda-tanda gagal jantung (hipotensi,
murmur dan gallop S3) menunjukkan prognosis yang buruk. Adanya
bruit di karotis atau penyakit vaskuler perifer menunjukkan bahwa
pasien memiliki kemungkinan juga penderita penyakit jantung
koroner (PJK).
3 Laboratorium: leukositosis/normal, anemia, gula darah tinggi/normal,
dislipidemia, SGOT meningkat, jika cek enzim jantung maka
meningkat
Enzim Jantung Penanda Infark Miokardium (Gambar 8)
Enzim Meningkat Puncak Normal
CK-MB 6 jam 24 jam 36-48 jam
GOT 6-8 jam 36-48 jam 48-96 jam
LDH 24 jam 48-72 jam 7-10 hari
Troponin T 3 jam 12-24 jam 7-10 hari
Troponin I 3 jam 12-24 jam 7-14 hari
4 Foto Dada: Kardiomegali, aortosklerosis, edema paru
5 Pemeriksaan Jantung Non-invasif
a. EKG
Akut Koroner Sindrom:
- STEMI ST elevasi > 2mm minimal pada 2 sandapan
prekordial yang berdampingan atau > 1mm pada 2 sandapan
ekstremitas, LBBB baru atau diduga baru; ada evolusi EKG
- NSTEMI Normal, ST depresi > 0,05mV, T inverted
simetris; ada evolusi EKG
- UAP Normal atau transient
Angina Pektoris Stabil iskemia, dapat kembali normal waktu
nyeri hilang.
ST depresi ST elevasi Q patologis
T inverted simetris AMI
OMI

13
b. Uji Latihan Jasmani (Treadmill)
c. Uji Latihan Jasmani Kombinasi Pencitraan:
- Uji Latih Jasmani Ekokardiografi (Stress Eko)
- Uji Latih Jasmani Scintigrafi Perfusi Miokard
- Uji Latih Jasmani Farmakologik Kombinasi Teknik Imaging
d. Ekokardiografi Istirahat
e. Monitoring EKG Ambulatoar
f. Teknik Non-invasif Penentuan Klasifikasi Koroner dan Anatomi
Koroner:
- Computed Tomografi
- Magnetic Resonance Arteriography
6 Pemeriksaan Invasif Menentukan Anatomi Koroner
- Arteriografi Koroner
- Ultrasound Intra Vaskular (IVUS)
Sumber: Madjid, Abdul (2007) yang telah dimodifikasi
Jenis-Jenis Obat Sindroma Koroner Akut
- Antiiskemik
1) Nitrat
Nitrat member efek vasodilatasi pada pembuluh darah vena dan
arteriol perifer, dengan efek mengurangi preload dan afterload
sehingga dapat mengurangi wall stress dan kebutuhan oksigen. Nitrat
juga menambah suplai oksigen dengan vasodilatasi pembuluh koroner
dan memperbaiki aliran darah kolateral.
2) Nitrogliserin
Gliseriltrinitrat, trinitrit,nitrostat, nitrodermTTS (plester).Trinitrat
dari gliserol ini (1952),sebagaimana juga nitrat lainya menyebabkan
relaksasi otot pembuluh, bronchia, saluran empedu, lambung-usus, dan
kemih.
Menyebabkan vasodilatasi berdasarkan terbentuknya
nitrogenoksida (NO) dari nitratdi sel-sel pembuluh. NO ini bekerja
merelaksasi sel-sel ototnya, sehinggapembuluh darah, terutama vena

14
mendilatasi dengan langsung. Akibatnya, Tekanan darah turun dengan
pesat dan aliran darah vena yang kembali ke jantung
(preload)berkurang. Penggunaan oksigen jantung menurun dan
bebannya berkurang. Arteri koroner juga diperlebar, tetapi tanpa efek
langsung terhadap miokard.
Nitrat organik diabsorbsi dengan baik lewat kulit, mukosa
sublingual, danoral. Penggunaanya per oral untuk menangulangi
serangan angina akut secaraefektif, begitu pula sebagai profilaksis
jangka pendek, misalnya langsung sebelummelakukan aktivitas
bertenaga atau menghadapi situasi lain yang dapat menginduksi
serangan. Secara intravena digunakan pada dekompensasi
tertentusetelah infark jantung, jika digoksin dan diuretika kurang
memberikan hasil. Resorpsi nya dari usus baik, tetapi mengalami FPE
(first pass effect) amattinggi hingga hanya sedikit obat mencapai
sirkulasi besar. protein plasma kuranglebih 60%, waktu paruh 1-4
menit. Terapi sebaiknya jangan dihentikan secara mendadak,
melainkan perlahan-lahanguna mencegah reaksi penarikan. Dosis pada
serangan akut angina pektoris diberikan secara sublingual (dibawah
lidah) 0,4 1 mg sebagai tablet, kapsul (harus digigit), jika perludapat
di ulang sesudah 3 5 menit. Bila efek sudah dicapai obat harus
dikeluarkan dari mulut.
3) Isorbida-dinitrat
.
Secara sublingual kerjanya dalam 3 menit dan bertahan sampai 2
jam, secara spray masing-masing 1 menit dan 1 jam, sedangkan oral
masing-masing 20 menit dan 4 jam. Resorpsinya juga baik, tetapi
karena first pass effect besar, bioavaibilitas nya hanya kurang lebih
29%, protein plasma kurang lebih 30%, waktu paruh 30-60 menit. Di
dalam hati zat ini di rombak pesat menjadi 2 metabolit aktif :isorbida-
5-monoinitrat dan isorbida -2-minonitrat dalam perbandingan kurang
lebih 4:1 dan waktu paruh masing-masing lebih kurang 5,2 dan 2 jam.

15
Dosis pada serangan akut atau sebagai profilaksis, sublingual tablet
5mg, bila perlu diulang sesudah beberapa menit. Interval: 3 tablet/hari
20mg atau tablet/kapsul retard maksimal 1-2 tablet perhari 80mg. Spay
1,25-3,75 mg (1-3 semprotan).
Pada pasien penderita Angina tak stabil dalam keadaan akut
nitrogliserin atauisorbid dinitrat di berikan secara sublingual atau
melalui infus intravena (IV) yang adadi Indonesia terutama isorbid
dinitrat, yang dapat di berikan secara intravenadengan dosis 1-4mg per
jam. Kekurangan cara ini adalah toleransi yang cepat (24-
48jamsetelahpemberian).
Untuk itu dosis dapat di tinggikan dari waktu kewaktu. Bila
keluhan sudah terkendali dan pasien bebas angina selama 24 jam,maka
pemberian obat dapat di ganti dengan pemberian oral. Pada penderita
STEMI di ruang gawat darurat dapat diberikan nitrogliserindengan
dosis 0,4 mg dan dapat diberikan sampai 3 dosis dengan interval 5
menit.
Pada pasien NSTEMI Nitrat pertama kali harus diberikan
sublingual atauspray bukal jika pasien mengalami nyeri dada iskemia.
Jika nyeri menetap setelah diberikan nitrat sublingual 3 kali dengan
interval 5 menit, direkomendasikanpemberian nitrogliserin intravena
(mulai 5-10 Ug/menit). Laju infus dapat ditingkatkan 10 Ug/menit tiap
3-5 menit sampai keluhan menghilang atau tekanandarah sistolik <100
mmHg. Setelah nyeri dada hilang dapat digantikan dengannitrat oral
atau dapat menggantikan nitrogliserin intravena jika pasien sudah
bebasnyeri selama 12-24 jam .

- BETA-BLOCKER
-bloker digunakan dalam pengobatan serangan angina, angina tidak
stabildan infark jantung. Penggunaan -bloker jangka panjang (tanpa
aktivitassimpatomimetik intrinsik) dapat menurunkan mortalitas setelah

16
infark jantung. Pada semua pasien angina tidak stabil harus di beri -
bloker kecuali adakontra indikasi. Berbagai macam -bloker seperti
propanolol, metroprolol,atenolol,telah diteliti pada pasien dengan angina
tak stabil, yang menunjukan efektivitasyang sama.Pada penderita STEMI
ketika berada di ruang emergensi, jika morfin tidakberhasil mengurangi
nyeri dada pemberian -bloker secara intravena mungkinefektif.
Regimen yang biasa diberikan adalah metoprolol 5mg setiap 2-5 menit
sampai total 3 dosis, dengan syarat, frekuensi jantung >60 menit, tekanan
darahsistolik >100mmHg, interval PR <0,24 detik dan ronki tidak lebih
dari 10cm daridiagfragma. 15menit setelah dosis intravena terakhir
dilanjutkan denganmetoprolol oral dengan dosis 50mg tiap 6 jam selama
48 jam, dan dilanjutkan100mg tiap 12 jam.
Pada penderita NSTEMI -bloker diberikan dengan target
frekuensijantung 50-60 kali/menit. Di berikan metoprolol sampai 3 dosis
masing-masing5mg intravena dalam 15 menit pertama, dilanjutkan 200
mg per oral.
- Antagonis Kalsium
Banyak digunakan dalam terapi angina dan memilikilebih sedikit efek
samping serius dibandingkan dengan -bloker. Zat-zat inimemblokir
calcium-channels di otot polos arterial dan menimbulkan relaksasi
danvasodilatasi perifer. Tekanan darah arteri dan frekuensi jantung
menurun, begitupula dengan pengunaan oksigen pada saat mengeluarkan
tenaga. Selain itu,pemasukan darah di perbesar karena vasodilatasi
miokard.Senyawa antagonis kalsium terbagi atas dua kelompok
besar:dihidropiridin (nifedipin) dan nondihidropiridin (veramil,
diltiazem). Derivatdihidropiridin mempunyai efek yang lebih kuat
terhadap otot polos daripada ototjantung atau sistem konduksi. Efek obat
tampak setelah 30-60menit pemberian, kecuali pada derivat yang
mempunyai waktu paruh panjangseperti amlodipin, isredipin, dan
felodipin.

17
Indikasi pemberian pada pasien SKA
Pada angina tak stabil antagonis kalsium dapat digunakan sebagai
tambahan, karena efek relaksasi terhadap vasospasme pembuluh darah
pada angina tak stabil.Pada penderita NSTEMI antagonis kalsium dapat
menghilangkan keluhanpada pasien yang sudah mendapat nitrat dan -
bloker; juga berguna pada pasien dengan kontraindikasi -bloker.
- Antikoagulan
1) Heparin
Efek antikoagulansia heparin timbul karena ikatanya dengan AT-III.
ATIIIberfungsimenghambatproteasefaktorpembekuantermasukfaktorII
a(trombin),XadanIXa,dengancaramembentukkompleksyangstabildenga
nproteasefaktorpembekuan.Heparin yang terikatdenganAT-
IIImempercepatpembentukankomplekstersebutsampai1000 kali.Bila
kompleks AT-IIIproteasesudahterbentukheparin di lepaskan untuk
selanjutnya membentuk ikatan barudengan antitrombin. Hanya sekitar
1/3 molekul heparin yang dapat terikat kuat dengan AT-III.
Heparin tidak diabsorbsi secara oral, karena itu diberikan secara
subkutanatau intravena. Pemberian secara subkutan bioavailabilitasnya
bervariasi, mula kerjanya lambat 1-2 jam tetapi masa kerjanya lebih
lama. Heparin cepat dimetabolisme terutama di hati. Waktu paruhnya
tergantung dosis yang digunakan,suntikan intravena 100, 400, dan 800
unit/kgBB memperlihatkan masa paruhmasing-masing kira-kira 1, 2,
dan 5 jam. Pada penderita angina tak stabil dan NSTEMI dapat
diberikanunfractionated heparin untuk dosis awal 60 U per kg
(maksimum 4000-5000 U)dilanjutkan dengan infus awal 12-15 U per
kg per jam (maksimum 1000 U/JAM).Target normogram terapi adalah
aPTT adalah1,5 2,5 kali nilai aPTT normal atautingkat optimal 50-75
detik. Sangat dibutuhkan pencapaian target terapi ini. Pengukuran
dilakukan berulang jika terdapat perubahan dosis UFH,
biasanyasetelah 6 jam pemberuan UFH dengan dosis baru. Selama
pemberian UFHsebaiknya dilakukan pemeriksaan darah lengkap untuk

18
pengawasan terjadinyaanemia dan trombositopenia. Salah satu
kontraindikasi obat ini adalah bila adariwayat heparin induced
thrombocytopenia.Selain UFH, pada pasien angina tak stabil dan
NSTEMI dapat diberikanlow-molecular-weight heparin (LMWH).
Dosis yang biasa diberikan 0,6-1,0U/ml dengan resiko pendarahan
yang meningkat pada dosis 1,8-2 U/ml. Pada penderita STEMI dapat
diberikan UFH dengan dosis awal intravena 60 U/kg (maksimum 4000
U) dilanjutkan infus intravena 12 U/kg/jam(maksimum 1000 U) dan
mencapai target 1,5-2 nilai kontrol aPTT. Dapat juga di berikan
enoxaparin (serum kreatinin <2,5mg/dl pada laki-
lakidan<2,0mg/dlpadaperempuan)padapasienberusia<75tahun,dosisaw
al30mgintravenadilanjutkansubkutan1mg/kgsetiap12
jam.Untukpasiendiatas75tahundosisruwatansubkutan0,75mg/kgsetiap1
2 jam.BilaCCT<30mL/menitmakadosisruwatanmenjadi1 mguntuk24
jamsubkutan.Dosisruwatandiberikansampai8 hari.

2) Penghambat Faktor Xa
Penghambat faktor Xa yang tersedia sekarang adalah fondaparinux.
Obatini bekerja dengan menghambat secara selektif antithrombin-
mediated faktor Xa,menghambat pembentukan trombin tanpa
menganggu molekul trombin yangsudah ada. Diberikan secara
subkutan dengan waktu paruh yang mencapai 17 jam sehingga dapat
diberikan sekali sehari. Obat ini dieksresikan lewat ginjalsehingga
sebaiknya tidak diberikan pada pasien dengan CCT < 30mL/menit.
Karena tidak menimbulkan trombositopenia dan sangat sedikit

19
menimbulkanpendarahan maka tidak perlu juga pemeriksaan
hemostasis yang berulang. Pada penderita angina tidak stabil dan
NSTEMI penggunaan fondaparinu sudah di uji melalui OASIS-5
dengan membandingkan bersama enoxaparin.

Hasilyang di dapat adalah pemberian fondaparinux 2,5mg sehari


akan menurunkan resiko pendarahan dibandingkan dengan enoxaparin.
Fondaparinux diberikanselam 5 hari atau sampai keluar dari perawatan
dan tidak di gunakan sebagaiantikoagulan pada pelaksanaan PCL.
Sedangkan pada penderita STEMI dapat diberikan fondaparinux
(serumkreatin <3mg/dl) dosis awal 2,5 mg intravena dilanjutkan
dengan subkutan 2,5mgper hari. Dosis ruwatan di berikan sampai 8
hari.

- Anti Antiagregasi Trombosit


1) Aspirin
Aspirin menghambat sintesis tromboxan A2 (TXA2) didalam
trombosit dan protasiklin (PGI2) di pembuluh darah dengan
menghambat secara ireversibelenzim siklooksigenase (akan tetapi
sikoloogsigenase dapat dibentuk kembali olehsel endotel).
Penghambatan enzim siklooksigenase terjadi karena
aspirinmengasetilasi enzim tersebut. Aspirin dosis kecil hanya dapat
menekanpembentukan tromboxan A2, sebagai akibatnya terjadi
pengurangan agregasitrombosit. Sebagai antitrombotik dosis efektif
aspirin 80-320 mg/hari.. Pada penderita angina pektoris tak stabil,
banyak sekali studi yangmembuktikan bahwa aspirin dapat
mengurangi kematian jantung dan mengurangiinfark fatal maupun non
fatal dari 51% sampai 72% pada pasien angina tak stabil. Oleh karena
itu aspirin dianjurkan untuk di berikan seumur hidup, dengan
dosisawal 160 mg/hari dan dosis selanjutnya 80-325 mg /hari .

20
Aspirin direkomendasikan pada semua pasien NSTEMI tanpa
kontraindikasi dengan dosis awal 160-325mg (non-enteric) dan dengan
dosispemeliharaan 75-100 mg jangka panjang.
Tiklodipin
Dosis tiklodipin umumnya 250mg 2 kali sehari. Agar mula kerja
lebih cepat ada yang mengunakan dosis muat 500 mg.
Klopidogrel
Dosis klopidogrel dimulai 300mg per haridan selanjutnya 75 mg
per hari. Klopidogrel 75mg/hari per oral harus diberikan bersama
aspirin padapasien STEMI tanpa melihat apakah pasien tersebut
menjalani reperfusi denganterapi fibrinolitik atau tidak. Terapi
dilanjutkan sekurang-kurangnya 14 hari. Pada semua pasien NSTEMI,
direkomendasikan klopidogrel dosis loading30 mg/hari, dilanjutkan
klopidogrel 75 mg/hari. Klopidogrel di lanjutkan sampai12 bulan
kecuali ada resiko pendarahan hebat.
- Penghambat Glikoprotein Iib/Iiia
1) Integrilin
Merupakan suatu peptida sintetik yang mempunyai afinitas tinggi
terhadap reseptor glikoprotein IIb/IIIa. Integrilin digunakan untuk
pengobatan angina tidak stabil dan untuk angioplasti koroner. Dosis
diberikan secara bolus 135-180 Ug/kgBB diikuti dengan 0,5-3,0
g/kgBB/menit untuk sampai 72 jam. Efek samping antara lain
pendarahan dan trombositopenia.

2) Trombolitik / Fibrinolitika
Fibrin ini merupakan zat pengikat dari gumpalan darah. Terutama
digunakan pada infark jantung akut untuk melarutkan trombi yang
telah menyubat arteri koroner. Bila di berikan tepat pada waktunya,
yakni dalam jam pertama setelah timbulnya gejala, obat-obat ini dapat
membatasi luasnya infark dan kerusakan otot jantung, sehingga
memperbaiki prognosa penyakit. Efek samping yang serius dari obat

21
ini adalah meningkat nya kecendrungan perdarahan, terutama
perdarahan otak, khususnya pada manula. Juga harus waspada pada
pasien yang condong mengalami perdarahan.
Dapat digolongkan menjadi 2 kelompok trombolitika yakni:
Fibrinolysin (plasmin) adalah enzim protease (fibrinolitis) yang
langsung merombak jaringan fibrin dari trombus dan protein
plasma lainya, seperti fibrinogen, faktor beku 5 dan 8. Penggunaan
secara dermal untuk melarutkan jaringan mati di bekas luka.
Zat-zat aktivator plasminogen: streptokinase, alteplase, urokinase,
dan reteplase. Obat-obat ini bekerja tak langsung dengan jalan
menstimulir pengubahan plasminogen menjadi plasmin.
3) Streptokinase
Streptokinase adalah protein yang di buat dari filtrat
kulturStreptococus hemoliticus (1962). Dosis secara intravena untuk
dewasadianjurkan 1,5 juta IU secara infus selama 1 jam

4) Urokinase
Adalah enzim yang dihasilkan dari biakan jaringan sel ginjal
manusia (1962). Waktu paruhnya 10-20menit. Digunakan pad trombus
vena dan arteril, juga pada emboli paru.Dosis: infus permula
250.000UI dalam larutan NACL /glukosa selama 15 menit, lalu 100-
250.000UI/jam selam 8-12 jam.

22
2.7. GAGAL GINJAL KRONIK/Kidney Chronic Disease
2.7.1 Definisi
Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologis dengan
etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang
progresif, dan umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Selanjutnya, gagal
ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi
ginjal yang ireversibel, pada suatu derajat yang memerlukan terapi
pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal. Dan
ditandai dengan adanya uremia ( retensi urea dan sampah nitrogen lainnya
dalam darah).

2.7.2 KRITERIA
Kriteria Penyakit Ginjal Kronik (NKF-KDOQI, 2002)

1. Kerusakan ginjal yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan


struktural atau fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi
glomerulus (LFG), dengan manifestasi:
- Kelainan patologis
- Terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi
darah atau urin, atau kelainan dalam tes pencitraan (imaging tests)

2. Laju filtrasi glomerulus kurang dari 60 ml/menit/1,73m2 selama 3


bulan, dengan atau tanpa kerusakan ginja.

23
2.7.3. KLASIFIKASI

Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik atas Dasar Derajat Penyakit


Derajat Penjelasan LFG (ml/mn/1,73m2)
1 Kerusakan ginjal dengan LFG normal 90

K atau

l2 Kerusakan ginjal dengan LFG 60 89

a ringan

s3 Kerusakan ginjal dengan LFG 30 59


i sedang
f4 Kerusakan ginjal dengan LFG berat 15 29
i5 Gagal ginjal < 15 atau dialisis

kasi atas dasar penyakit, dibuat atas dasar LFG, yang dihitung dengan
mempergunakan rumus Kockcroft Gault sebagai berikut :

LFG (ml/mnt/1,73m2) = (140 umur) X berat badan *)


72 X kreatinin plasma (mg/dl)
*) pada perempuan dikalikan 0,85

Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik atas Dasar Diagnosis Etiologi


Penyakit Tipe mayor ( contoh )
Penyakit ginjal Diabetes tipe 1 dan 2
diabetes
Penyakit ginjal non Penyakit glomerular (penyakit autoimun, infeksi
diabetes sistemik, obat, neoplasma)
Penyakit vaskular ( penyakit pembuluh darah

24
besar, hipertensi, mikroangiopathi)
Penyakit tubulointerstitial (pielonefritis kronik,
batu, obstruksi, keracunan obat)
Penyakit kistik (ginjal polikistik)
Penyakit pada Rejeksi kronik
transplantasi Keracunan obat (siklosporin / takrolimus)
Penyakit recurrent (glomerular)
Transplant glomerulopathy

2.7.4. ETIOLOGI
Dua penyebab utama penyakit gagal ginjal kronis adalah diabetes
melitus tipe 1 dan tipe 2 (44%) dan hipertensi (27%). Diabetes melitus
adalah suatu keadaan dimana terjadi peningkatan kadar glukosa dalam
darah sehingga menyebabkan kerusakan pada organ-organ vital tubuh
seperti ginjal dan jantung serta pembuluh darah, saraf dan mata.
Sedangkan hipertensi merupakan keadaan dimana terjadi peningkatan
tekanan darah yang jika tidak terkontrol akan menyebabkan serangan
jantung, stroke, dan penyakit ginjal kronik. Gagal ginjal kronik juga dapat
menyebabkan hipertensi. Kondisi lain yang dapat menyebabkan gangguan
pada ginjal antara lain :

- Penyakit peradangan seperti glomerulonefritis (10%), dapat


menyebabkan inflamasi dan kerusakan pada unit filtrasi ginjal.
Merupakan penyakit ketiga tersering penyebab gagal ginjal kronik
- Penyakit keturunan seperti penyakit ginjal polikistik (3%)
menyebabkan pembesaran kista di ginjal dan merusak jaringan
sekitar, dan asidosis tubulus.
- Malformasi yang didapatkan oleh bayi pada saat berada di dalam
rahim si ibu. Contohnya, penyempitan aliran urin normal sehingga

25
terjadi aliran balik urin ke ginjal. Hal ini menyebabkan infeksi dan
kerusakan pada ginjal.
- Lupus dan penyakit lain yang memiliki efek pada sistem imun
(2%)
- Penyakit ginjal obstruktif seperti batu saluran kemih, tumor,
pembesaran glandula prostat pada pria danrefluks ureter.
- Infeksi traktus urinarius berulang kali seperti pielonefritis kronik.
Penggunaan analgesik seperti acetaminophen (Tylenol) dan ibuprofen
(Motrin, Advil) untuk waktu yang lama dapat menyebabkan neuropati
analgesik sehingga berakibat pada kerusakan ginjal.
- Penyakit vaskuler hipertensif misalnya nefrosklerosis dan stenosis
arteri renalis.
- Penyebab lainnya adalah infeksi HIV, penyakit sickle cell,
penyalahgunaan heroin, amyloidosis, gout, hiperparatiroidisme dan
kanker.
2.7.5. FAKTOR RESIKO
Faktor resiko gagal ginjal kronik diantara lain : pasien dengan
diabetes melitus atau hipertensi, obesitas atau perokok, berusia lebih dari
50 tahun, individu dengan riwayat diabetes melitus, hipertensi dan
penyakit ginjal dalam keluarga serta kumpulan populasi yang memiliki
angka tinggi diabetes atau hipertensi seperti African Americans, Hispanic
Americans, Asian, Pacific Islanders, dan American Indians.

2.7.6. PATOFISIOLOGI
Pada gagal ginjal kronik terjadi pengurangan massa ginjal
mengakibatkan hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang masih
tersisa. Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh
peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi
ini berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa
sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti dengan
penurunan fungsi nefron yang progresif. Perubahan fungsi neuron yang

26
tersisa setelah kerusakan ginjal menyebabkan pembentukan jaringan ikat,
sedangkan nefron yang masih utuh akan mengalami peningkatan beban
eksresi sehingga terjadi lingkaran setan hiperfiltrasi dan peningkatan aliran
darah glomerulus. Demikian seterusnya, keadaan ini berlanjut menyerupai
suatu siklus yang berakhir dengan Gagal Ginjal Terminal (GGT) atau End
Stage Renal Disease (ESRD). Adanya peningkatan aktivitas aksis renin-
angiotensin-aldosteron intrarenal, hipertensi sistemik, nefrotoksin dan
hipoperfusi ginjal, proteinuria, hiperlipidemia ikut memberikan kontribusi
terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis, dan progresifitas tersebut.
Dengan adanya penurunan LFG maka akan terjadi :
- Anemia
Gangguan pembentukan eritropoietin di ginjal menyebabkan penurunan
produksi eritropoietin sehingga tidak terjadi proses pembentukan eritrosit
menimbulkan anemia ditandai dengan penurunan jumlah eritrosit,
penurunan kadar Hb dan diikuti dengan penurunan kadar hematokrit
darah. Selain itu GGK dapat menyebabkan gangguan mukosa lambung
(gastripati uremikum) yang sering menyebabkan perdarahan saluran
cerna. Adanya toksik uremik pada GGK akan mempengaruhi masa paruh
dari sel darah merah menjadi pendek, pada keadaan normal 120 hari
menjadi 70 80 hari dan toksik uremik ini dapat mempunya efek inhibisi
eritropoiesis
- Sesak nafas
Menurut saya disebabkan karena ada kerusakan pada unit filtrasi ginjal
sehingga menyebabkan penurunan perfusi ginjal akhirnya menjadi
iskemik ginjal. Hal tersebut menyebabkan terjadinya pelepasan renin
yang terdapat di aparatus juxtaglomerulus sehingga mengubah
angiotensinogen menjadi angitensin I. Lalu oleh converting enzyme,
angiotensin I diubah menjadi angiotensin II. Angiotensin II merangsang
pelepasan aldosteron dan ADH ssehingga menyebabkan retensi NaCl dan
air volume ekstrasel meningkat (hipervolemia) volume cairan
berlebihan ventrikel kiri gagal memompa darah ke perifer LVH

27
peningkatan tekanan atrium kiri peningkatan tekanan vena pulmonalis
peningkatan tekanan di kapiler paru edema paru sesak nafas

- Asidosis
Pada gagal ginjal kronik, asidosis metabolik dapat terjadi akibat penurunan
kemampuan ginjal untuk mengeksresikan ion H+ disertai dengan
penurunan kadar bikarbonat (HCO3) dan pH plasma. Patogenesis asidosis
metabolik pada gagal ginjal kronik meliputi penurunan eksresi amonia
karena kehilangan sejumlah nefron, penurunan eksresi fosfat, kehilangan
sejumlah bikarbonat melalui urin. Derajat asidosis ditentukan oleh
penurunan pH darah. Apabila penurunan pH darah kurang dari 7,35 dapat
dikatakan asidosis metabolik. Asidosis metabolik dpaat menyebabkan
gejala saluran cerna seperti mual, muntah, anoreksia dan lelah. Salah satu
gejala khas akibat asidosis metabolik adalah pernapasan kussmaul yang
timbul karena kebutuhan untuk meningkatkan eksresi karbon dioksida
untuk mengurangi keparahan asidosis
- Hipertensi
Disebabkan karena ada kerusakan pada unit filtrasi ginjal sehingga
menyebabkan penurunan perfusi ginjal akhirnya menjadi iskemik ginjal.
Hal tersebut menyebabkan terjadinya pelepasan renin yang terdapat di
aparatus juxtaglomerulus sehingga mengubah angiotensinogen menjadi
angitensin I. Lalu oleh converting enzyme, angiotensin I diubah menjadi
angiotensin II. Angiotensin II memiliki efek vasokonstriksi kuat sehingga
meningkatkan tekanan darah.
- Hiperlipidemia
Penurunan GFR menyebabkan penurunan pemecahan asam lemak bebas
oleh ginjal sehingga menyebabkan hiperlipidemia.

- Hiperurikemia
Terjadi gangguan eksresi ginjal sehingga asam urat terakumulasi di dalam
darah (hiperurikemia). Kadar asam urat yang tinggi akan menyebabkan

28
pengendapan kristal urat dalam sendi, sehingga sendi akan terlihat
membengkak, meradang dan nyeri
- Hiponatremia
Peningkatan eksresi natrium dapat disebabkan oleh pengeluaran hormon
peptida natriuretik yang dapat menghambat reabsorpsi natrium pada
tubulus ginjal. Bila fungsi ginjal terus memburuk disertai dengan
penurunan jumlah nefron, natriuresis akan meningkat. Hiponatremia yang
disertai dengan retensi air yang berlebihan akan menyebabkan dilusi
natrium di cairan ekstraseluler. Keadaan hiponetremia ditandai dengan
gangguan saluran pencernaan berupa kram, diare dan muntah.
- Hiperfosfatemia
Penurunan fungsi ginjal mengakibatkan penurunan eksresi fosfat sehingga
fosfat banyak yang berada dalam sirkulasi darah. Jika kelarutannya
terlampaui, fosfat akan bergabung deng Ca2+ untuk membentuk kalsium
fosfat yang sukar larut. Kalsium fosfat yang terpresipitasi akan
mengendap di sendi dan kulit ( berturut-turut menyebabkan nyeri sendi
dan pruritus)
- Hipokalsemia
Disebabkan karena Ca2+ membentuk kompleks dengan fosfat. Keadaan
hipokalsemia merangsang pelepasan PTH dari kelenjar paratiroid
sehingga memobilisasi kalsium fosfat dari tulang. Akibatnya terjadi
demineralisasi tulang (osteomalasia). Biasanya PTH mampu membuat
konsentrasi fosfat di dalam plasma tetap rendah dengan menghambat
reabsorbsinya diginjal. Jadi meskipun terjadi mobilisasi kalsium fosfat
dari tulang, produksinya di plasma tidak berlebihan dan konsentrasi Ca2+
dapat meningkat. Namun pada insufisiensi ginjal, eksresinya melalui
ginjal tidak dapat ditingkatkan sehingga konsentrasi fosfat di plasma
meningkat. Selanjutnya konsentrasi CaHPO4 terpresipitasi dan
konsentrasi Ca2+ di plasma tetap rendah. Oleh karena itu, rangsangan
untuk pelepasan PTH tetap berlangsung. Dalam keadaan perangsangan
yang terus-menerus ini, kelenjar paratiroid mengalami hipertrofi bahkan

29
semakin melepaskan lebih banyak PTH. Kelaina yang berkaitan dengan
hipokalsemia adalah hiperfosfatemia, osteodistrofi renal dan
hiperparatiroidisme sekunder. Karena reseptor PTH selain terdapat di
ginjal dan tulang, juga terdapat di banyak organ lain ( sistem saraf,
lambung, sel darah dan gonad), diduga PTH berperan dalam terjadinya
berbagai kelainan di organ tersebut.
Pembentukan kalsitriol berkurang pada gahal ginjal juga berperan dalam
menyebabkan gangguan metabolisme mineral. Biasanya hormon ini
merangsang absorpsi kalsium dan fosfat di usus. Namun karena terjadi
penurunan kalsitriol, maka menyebabkan menurunnya absorpsi fosfat di
usus, hal ini memperberat keadaan hipokalsemia
- Hiperkalemia
Pada keadaan asidosis metabolik dimana konsentrasi ion H+ plasma
meningkat, maka ion hidrogen tersebut akan berdifusi ke dalam sel sel
ginjal sehingga mengakibatkan kebocoran ion K+ ke dalam plasma.
Peningkatan konsentrasi ion H+ dalam sel ginjal akan menyebabkan
peningkatan sekresi hidrogen, sedangkan sekresi kalium di ginjal akan
berkurang sehingga menyebabkan hiperkalemia. Gambaran klinis dari
kelainan kalium ini berkaitan dengan sistem saraf dan otot jantung,
rangka dan polos sehingga dapat menyebabkan kelemahan otot dan
hilangnya refleks tendon dalam, gangguan motilitas saluran cerna dan
kelainan mental.
- Proteinuria
Proteinuria merupakan penanda untuk mengetahui penyebab dari
kerusakan ginjal pada GGK seperti DM, glomerulonefritis dan hipertensi.
Proteinuria glomerular berkaitan dengan sejumlah penyakit ginjal yang
melibatkan glomerulus. Beberapa mekanisme menyebabkan kenaikan
permeabilitas glomerulus dan memicu terjadinya glomerulosklerosis.
Sehingga molekul protein berukuran besar seperti albumin dan
immunoglobulin akan bebas melewati membran filtrasi. Pada keadaan

30
proteinuria berat akan terjadi pengeluaran 3,5 g protein atau lebih yang
disebu dengan sindrom nefrotik.
- Uremia
Kadar urea yang tinggi dalam darah disebut uremia. Penyebab dari uremia
pada GGK adalah akibat gangguan fungsi filtrasi pada ginjal sehingga
dapat terjadi akumulasi ureum dalam darah. Urea dalam urin dapat
berdifusi ke aliran darah dan menyebabkan toksisitas yang mempengaruhi
glomerulus dan mikrovaskularisasi ginjal atau tubulus ginjal. Bila filtrasi
glomerulus kurang dari 10% dari normal, maka gejala klinis uremia mulai
terlihat. Pasien akan menunjukkan gejala iritasi traktus gastrointestinal,
gangguan neurologis, nafas seperti amonia (fetor uremikum), perikarditis
uremia dan pneumonitis uremik. Gangguan pada serebral adapat terjadi
pada keadaan ureum yang sangat tinggi dan menyebabkan koma
uremikum.

2.7.8. DIAGNOSIS
GEJALA KLINIS
Pada gagal ginjal kronik, gejala gejalanya berkembang secara
perlahan. Pada awalnya tidak ada gejala sama sekali, kelainan fungsi ginjal
hanya dapat diketahui dari pemeriksaan laboratorium. Sejalan dengan
berkembangnya penyakit, maka lama kelamaan akan terjadi peningkatan
kadar ureum darah semakin tinggi (uremia). Pada stadium ini, penderita
menunjukkan gejala gejala fisik yang melibatkan kelainan berbagai
organ seperti :
- Kelainan saluran cerna : nafsu makan menurun, mual, muntah dan
fetor uremik
- Kelainan kulit : urea frost dan gatal di kulit
- Kelainan neuromuskular : tungkai lemah, parastesi, kram otot,
daya konsentrasi menurun, insomnia, gelisah

31
- Kelainan kardiovaskular : hipertensi, sesak nafas, nyeri dada,
edema
- Gangguan kelamin : libido menurun, nokturia, oligouria
Pada stadium yang paling dini penyakit ginjal kronik, terjadi
kehilangan daya cadang ginjal, pada keadaan mana basal LFG masih
normal atau meningkat. . Sampai pada LFG sebesar 60 % pasien masih
belum merasakan keluhan (asimptomatik), tapi sudah terjadi peningkatan
kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 30 % mulai
terjadi keluhan pada seperti nokturia, badan lemah, mual, nafsu makan
kurang dan penurunan berat badan. Sampai pada LFG kurang 30 % pasien
memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang nyata seperti anemia,
peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium,
pruritus, mual, muntah dan lain sebagainya. Pasien juga mudah terkena
infeksi seperti infeksi saluran kemih, infeksi saluran nafas, maupun infeksi
saluran cerna. Pada LFG di bawah 15 % akan terjadi gejala dan komplikasi
yang lebih serius dan pasien sudah memerlukan terapi pengganti ginjal
(renal replacement therapy) antara lain dialisis atau transplantasi ginjal.
Pada keadaan ini pasien dikatakan sampai pada stadium gagal ginjal.

GAMBARAN LABORATORIUM
Gambaran laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi :
a) Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya
b) Penurunan fungsi ginjal berupa peningakatan kadar ureum dan
kreatinin serum, dan penurunan LFG
c) Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin,
peningkatan kadar asam urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia,
hiper atau hipokloremia, hiperfosfatemia, hipokalsemia, asidosis
metabolik
d) Kelainan urinalisis meliputi proteinuria, hematuria, leukosuria, cast,
isostenuria

32
GAMBARAN RADIOLOGIS
Pemeriksaan radiologis penyakit ginjal kronik meliputi :
a) Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio opak
b) Pielografi intravena jarang dikerjakan karena kontras sering tidak bisa
melewati filter glomerulus, disamping kekhawatiran terjadinya
pengaruh toksik oleh kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami
kerusakan
c) Pielografi antegrad atau retrograd sesuai indikasi
d) Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang
mengecil, korteks yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal,
kista, massa, kalsifikasi
e) Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi bila ada indikasi

BIOPSI DAN PEMERIKSAAN HISTOPATOLOGI GINJAL


Dilakukan pada pasien dengan ukuran ginjal yang masih mendekati
normal, dimana diagnosis secara noninvasif tidak bisa ditegakkan dan
bertujuan untuk mengetahui etiologi, menetapkan terapi, prognosis dan
mengevaluasi hasil terapi yang sudah diberikan. Kontraindikasi pada
ukuran ginjal yang mengecil, ginjal polikistik, hipertensi yang tidak
terkendali, infeksi perinefrik, gangguan pembekuan darah, gagal nafas,
dan obesitas

2.7.9. KOMPLIKASI
Gagal ginjal kronik dapat menyebabkan berbagai komplikasi sebagai
berikut :
- Hiperkalemia
- Asidosis metabolik
- Komplikasi kardiovaskuler ( hipertensi dan CHF )
- Kelainan hematologi (anemia)
- Osteodistrofi renal
- Gangguan neurologi ( neuropati perifer dan ensefalopati)

33
- Tanpa pengobatan akan terjadi koma uremik

2.7.10. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan penyakit ginjal kronik meliputi :
1) Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya
Waktu yang tepat untuk terapi penyakit dasarnya adalah sebelum terjadinya
penurunan LFG. Bila LFG sudah menurun sampai 20-30% dari normal,
terapi terhadap penyakit dasar sudah tidak banyak bermanfaat.
2) Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid
Penting sekali untuk mengikuti dan mencatat kecepatan penurunan LFG
untuk mngetahui kondisi komorbid yang dapat memperburuk keadaan
pasien.
3) Memperlambat perburukan fungsi ginjal
Faktor utama penyebab perburukan fungsi ginjal adalah terjadinya
hiperfiltrasi glomerulus. Cara untuk mengurangi hiperfiltrasi glomerulus
adalah :
o Pembatasan asupan protein
Karena kelebihan protein tidak dapat disimpan didalam tubuh tetapi di pecah
menjadi urea dan substansi nitrogen lain, yang terutama dieksresikan
melalui ginjal selain itu makanan tinggi protein yang mengandung ion
hydrogen, posfat, sulfat, dan ion anorganik lainnya juga dieksresikan
melalui ginjal. Oleh karena itu, pemberian diet tinggi protein pada penderita
gagal ginjal kronik akan mengakibatkan penimbunan substansi nitrogen dan
ion anorganik lainnya dan mengakibatkan sindrom uremia. Pembatasan
asupan protein juga berkaitan dengan pembatasan asupan fosfat, karena
protein dan fosfat selalu berasal dari sumber yang sama dan untuk
mencegah terjadinya hiperfosfatemi

34
Pembatasan Asupan Protein dan Fosfat pada Penyakit
Ginjal Kronik
LGF ml/menit Asupan protein Fosfat g/kg/hari
g/kg/hari
>60 Tidak dianjurkan Tidak dibatasi
25 60 0,6 0,8/kg/hari, < 10 g
termasuk > 0,35
gr/kg/hr nilai biologi
tinggi
5 -25 0,6 0,8/kg/hari, < 10 g
termasuk > 0,35
gr/kg/hr protein nilai
biologi tinggi atau
tambahan 0,3 g
asam amino esensial
atau asam keton
<60(sind.nefrotik) 0,8/kg/hari (+1 gr < 9 g
protein/ g
proteinuria atau 0,3
g/kg tambahan asam
amino esensial atau
asam keton

o Terapi farmakologi
Untuk mengurangi hipertensi intraglomerulus. Pemakaian obat
antihipertensi (ACE inhibitor) disamping bermanfaat untuk memperkecil
resiko kardiovaskular juga sangat penting untuk memperlambat
perburukan kerusakan nefron dengan mengurangi hipertensi
intraglomerular dan hipertrofi glomerulus
4) Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular

35
Dengan cara pengendalian DM, pengendalian hipertensi,
pengedalian dislipidemia, pengedalian anemia, pengedalian
hiperfosfatemia dan terapi terhadap kelebihan cairan dan gangguan
keseimbangan elektrolit.
5) Pencegahan dan terapi terhadap penyakit komplikasi
- Anemia
Evaluasi terhadap anemia dimulai saaat kadar hemoglobin < 10 g% atau
hematokrit < 30% meliputi evaluasi terhadap status besi ( kadar besi
serum/serum iron, kapasitas ikat besi total/ total iron binding capacity,
feritin serum), mencari sumber perdarahan morfologi eritrosit,
kemungkinan adanya hemolisis,dll. Pemberian eritropoitin (EPO)
merupakan hal yang dianjurkan. Sasaran hemoglobin adalah 11 12 g/dl.
- Osteodistrofi renal
Penatalaksaan osteodistrofi renal dapat dilakukan melalui :
i.Mengatasi hiperfosfatemia
Pembatasan asupan fosfat 600 800 mg/hari
Pemberian pengikat fosfat, seperti garam, kalsium, alluminium
hidroksida, garam magnesium. Diberikan secara oral untuk menghambat
absorpsi fosfat yang berasal dari makanan. Garam kalsium yang banyak
dipakai adalah kalsium karbonat (CaCO3) dan calcium acetate
Pemberian bahan kalsium memetik, yang dapat menghambta
reseptor Ca pada kelenjar paratiroid, dengan nama sevelamer
hidrokhlorida.
ii.Pemberian kalsitriol
iii.Pembatasan cairan dan elektrolit
Pembatasan asupan cairan untuk mencegah terjadinya edema dan
kompikasi kardiovaskular sangat perlu dilakukan. Maka air yang masuk
dianjurkan 500 800 ml ditambah jumlah urin. Elektrolit yang harus
diawasi asuapannya adalah kalium dan natrium. Terapi pengganti ginjal
berupa dialisis atau transplantasi ginjal

36
Dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu pada LFG < 15
ml/mnt. Berupa hemodialisis, peritoneal dialisis atau transplantasi ginjal.

2.7.11. PROGNOSIS
Penyakit GGK tidak dapat disembuhkan sehingga prognosis jangka
panjangnya buruk, kecuali dilakukan transplantasi ginjal. Penatalaksanaan
yang dilakukan sekarang ini, bertujuan hanya untuk mencegah
progresifitas dari GGK itu sendiri. Selain itu, biasanya GGK sering terjadi
tanpa disadari sampai mencapai tingkat lanjut dan menimbulkan gejala
sehingga penanganannya seringkali terlambat.

37
DAFTAR PUSTAKA

1. Soetomo. Pedoman diagnosis dan terapi SMF Ilmu Penyakit Jantung dan
Pembuluh Darah. Ed 2010
2. Tanto C. Kapita selekta kedokteran. Ed 4. Tahun 2014
3. Pedoma tatalaksana Sindrome Koroner Akut. Perhimpunan Dokter
Spesialis Kardiovaskuler Indonesia. Ed 1. 2015
4. Acute Coronary Sindromes. (2010). Journal of the American Medical
Association, Vol. 303, No.1
5. Bahri, Anwar. (2005). Faktor Resiko Penyakit Jantung Koroner. Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara [Versi elektronik]. e-USU
Repository.
6. Buckley., Freeman., Rogers., et. Al. (2009). Using non traditional Risk
Factors to Estimate Risk for Coronary Heart Disease. American College of
Physician
7. Coughlin, DeBeasi. (2006). Gangguan Sistem Kardiovaskuler.
Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit (6th ed.). Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
8. Guyton, AC dan Hall, JE. (2006). Texbook of Medical Physiology (11th
ed.). Philadelphia: Elsevier Saunders Inc.
9. Sudoyo, A. W dkk. Penyakit Ginjal Kronik. Buku Ajar Ilmu Penyakit

Dalam. Jilid II. Edisi V. Jakarta : Pusat Penerbitan IPD FK UI ; 2009. p.

1035 1040.

10. Kamaludin Ameliana. 2010. Gagal Ginjal Kronik. Jakarta : Bagian Ilmu

Penyakit Dalam UPH.

11. Clinical practice guidelines for chronic kidney disease: evaluation,

classification and stratification, New York National Kidney Foundation,

2002.

38
39

Anda mungkin juga menyukai