PENDAHULUAN
Prediksi WHO, tahun 2020 angka kejadian PPOK akan meningkat dari posisi 12 ke 5
sebagai penyakit terbanyak di dunia dan dari posisi 6 ke 3, sebagai penyebab kematian
terbanyak. Polusi udara terutama asap rokok ditengarai penyebab meningkatnya prevalensi
penderita penyakit paru obstruktif kronis (PPOK).1
Jika seseorang datang dengan keluhan batuk-batuk lama, kadang-kadang susah buat
bernafas dan terutama dia adalah seorang perokok maka kemungkinan dia mengalami
penyakit paru obstruksi kronis (PPOK) atau di dunia internasional dikenal sebagai Chronic
Obstructive Pulmonary Disease (COPD).1
PPOK sebenarnya merupakan penyakit yang preventable dan treatable. Pada penyakit
ini terjadi kelainan paru sebagai respon inflamasi kronis terhadap partikel gas yang
menyebabkan terjadinya hambatan jalan nafas yang tidak sepenuhnya bisa reversibel dan
bersifat progresif. Selain itu kelainan ini juga memberi dampak gangguan di luar paru secara
bermakna sehingga memperberat derajat penyakit. Hambatan jalan nafas tersebut terjadi
akibat obstruksi jalan nafas kecil (obstructive bronchiolitis) dan destruksi parenkim
(emfisema). Proses inflamasi juga menyebabkan hilangnya alveolar attachment terhadap
jalan nafas kecil dan menurunnya elastic recoil paru sehingga kemampuan jalan nafas tetap
membuka saat ekspirasi menjadi terganggu.1
PPOK atau COPD ini ditandai dengan keterbatasan dalam bernafas yang cukup lama
dan terdapatnya beberapa perubahan patologi pada jalan nafas disertai gangguan pada saluran
nafas yang signifikan.
PPOK dapat dicegah dan diobati, tetapi pengobatan efektif diperlukan agar pasien
merasa nyaman (mengurangi gejala dan meningkatkan kualitas hidup pasien) dan
meningkatkan kemampuan beraktivitas dalam kegiatan sehari -hari. Walaupun demikian
keterbatasan pada saluran nafas tidak bisa disembuhkan secara total.Keterbatasan aliran udara
biasanya bersifat progresif dan dihubungkan dengan respon inflamasi paru. Menurut
dr.Wiwien H. Wiyono Sp.P dari Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi,
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Rokok merupakan penyebab utama dari
penyakit ini dan hampir semua negara melaporkan konstribusi rokok sebagai penyebab
PPOK.1
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
b. Faring (Pharynx)
Faring terbagi menjadi:2
2
c. Laring (Larynx)
Pada sistem pernapasan laring berfungsi untuk mencegah benda asing baik
padat maupun cair masuk ke dalam trakhea dan menghasilkan suara oleh Plica
vocalis. Laring dibentuk oleh enam kartilago, tiga yang berpasangan dan tiga yang
tidak berpasangan. 2
d. Trakhea
Trakhea adalah suatu pipa yang dibentuk oleh kartilago yang berbentuk huruf
U membuka ke dorsal dan ditutupi oleh jaringan ikat. Panjangnya kira-kira 11 cm dan
diameternya 2,5 cm. 2
e. Bronkus (Bronchus)
Terbagi atas dua, yaitu bronkus kiri dan kanan. Masing-masing memiliki
bronkus primer yang bercabang menjadi bronkus sekunder, yang kemudian bercabang
lagi menjadi bronkus tersier. 2
f. Paru-paru (Pulmo)
Paru-paru adalah organ yang elastis berbentuk seperti kerucut dan berisi udara,
terletak dalam rongga toraks. Paru kanan memiliki tiga lobus dan paru kiri memiliki
dua lobus. Setiap paru memiliki sebuah apeks yang mencapai bagian atas iga pertama
dan berbatasan dengan Arteri subclavia, basis pulmo terletak di atas diafragma,
sebuah permukaan (facies) mediastinalis (medial) yang terpisah dari paru lain oleh
mediastinum, dan permukaan kostal berbatasan dengan kosta. 2
Permukaan mediastinal memiliki hilus (akar), tempat masuk dan keluarnya
pembuluh darah Bronkus pulmonalis, dan bronkhiolus dari paru. Paru-paru memiliki
pembungkus yang disebut pleura. Pleura terbagi dua, yaitu Pleura parietalis yang
melekat pada dinding thoraks dan Pleura visceralis yang melekat di paru-paru. 2
2.1.2 Fisiologi
a. Ventilasi
Ventilasi adalah proses pergerakan udara masuk-keluar paru secara berkala
kedalam alveolus. Ventilasi secara mekanis dilakukan dengan mengubah secara
3
berselang-seling arah gradien tekanan untuk aliran udara antara atmosfer dan alveolus
melalui ekspansi dan penciutan berkala paru. Kontraksi dan relaksasi otot-otot
inspirasi (terutama diafragma) yang berganti-ganti, secara tidak langsung
menimbulkan inflasi dan deflasi periodik paru dengan secara berkala mengembang-
ngempiskan rongga thoraks, dengan paru secara resesif mengikuti gerakannya. Karena
kontraksi otot inspirasi memerlukan energi, maka inspirasi merupakan proses aktif
dan ekspirasi merupakan proses pasif. 3
b. Difusi
Difusi merupakan tahap pertukaran O2 di alveolus dan CO2 di kapiler paru.
Gas O2 yang berasal dari udara yang kita hirup dari atmosfer yang masuk ke saluran
napas karena adanya perbedaan tekanan dan CO2 yang berasal dari kapiler paru yang
dibawa oleh darah. Gas CO2 ini diperoleh dari sisa-sisa metabolisme dari sel-sel yang
ada ditubuh kita. Jadi, gas O2 dari paru-paru (alveolus) akan bertukar dengan gas CO2
dari jaringan dimana O2 akan dibawa ke jantung kembali untuk diedarkan ke seluruh
tubuh dan CO2 akan dibawa keluar tubuh melalui paru-paru. 3
c. Transportasi
Proses ini adalah proses penyebaran O2 dari paru yang dibawa oleh darah
(eritrosit/Hb) ke jantung. Transportasi dilakukan dengan mengikuti proses sirkulasi
sistemik/besar. O2 ini akan diberikan ke sel-sel yang memerlukan untuk menghasilkan
ATP (energi) dalam melanjutkan kehidupannya dalam tubuh. 3
2.2 DEFINISI
Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik yang ditandai
oleh hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progresif nonreversibel atau
reversibel parsial. PPOK terdiri dari bronkitis kronik dan emfisema atau gabungan
keduanya.PPOK atau COPD merupakan suatu istilah yang sering digunakan untuk
sekelompok penyakit paru yang berlangsung lama dan ditandai oleh peningkatan
resistensi terhadap aliran udara sebagai gambaran patofisiologi utamanya. Bronkitis
kronik, emfisema paru dan asma bronkial membentuk kesatuan yang disebut COPD.4
Bronkitis kronik merupakan suatu gangguan klinis yang ditandai oleh
pembentukan mukus yang berlebihan dalam bronkus dan bermanifestasi sebagai batuk
kronik dan pembentukan sputum selama selama sedikitnya 3 bulan dalam setahun,
sekurang-kurangnya dalam dua tahun berturut-turut.3
4
Emfisema paru merupakan suatu perubahan anatomis parenkim paru yang ditandai
oleh pembesaran alveolus dan duktus alveolaris yang tidak normal, serta destruksi
dinding alveolar.3
Asma merupakan suatu penyakit yang ditandai oleh hipersensitivitas cabang
trakeobronkial terhadap berbagai jenis rangsangan dan keadaan ini bermanifestasi
sebagai penyempitan jalan napas secara periodik dan reversibel akibat bronkospasme.3
2.3 EPIDEMIOLOGI
Di Indonesia tidak ada data yang akurat tentang kekerapan PPOK. Pada Survai
Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1986 asma, bronkitis kronik dan emfisema
menduduki peringkat ke - 5 sebagai penyebab kesakitan terbanyak dari 10 penyebab
kesakitan utama. SKRT Depkes RI 1992 menunjukkan angka kematian karena asma,
bronkitis kronik dan emfisema menduduki peringkat ke - 6 dari 10 penyebab tersering
kematian di Indonesia.5
Faktor yang berperan dalam peningkatan penyakit tersebut :5
Kebiasaan merokok yang masih tinggi (laki-laki di atas 15 tahun 60-70 %)
Pertambahan penduduk
Meningkatnya usia rata-rata penduduk dari 54 tahun pada tahun 1960-an menjadi
63 tahun pada tahun 1990-an
Industrialisasi
Polusi udara terutama di kota besar, di lokasi industri, dan di pertambangan
5
6. Masalah pada paru yang terjadi saat masa gestasi atau saat anak anak (BBLR,
infeksi pernapasan) juga berpotensi meningkatkan resiko terjadinya PPOK.
2.5 PATOGENESIS
Obstruksi saluran napas pada PPOK bersifat ireversibel dan terjadi karena
perubahan struktural pada saluran napas kecil yaitu : inflamasi, fibrosis, metaplasi sel
goblet dan hipertropi otot polos penyebab utama obstruksi jalan napas. 5Hambatan aliran
udara merupakan perubahan fisiologi utama pada PPOK yang diakibatkan oleh adanya
perubahan yang khas pada saluran nafas bagian proksimal, perifer, parenkim dan
vaskularisasi paru yang dikarenakan adanya suatu inflamasi yang kronik dan perubahan
struktural pada paru. Terjadinya peningkatan penebalan pada saluran nafas kecil dengan
peningkatan formasi folikel limfoid dan deposisi kolagen dalam dinding luar saluran
nafas mengakibatkan restriksi pembukaan jalan nafas. Lumen saluran nafas kecil
berkurang akibat penebalan mukosa yang mengandung eksudat inflamasi, yang
meningkat sesuai berat sakit.6
Dalam keadaan normal radikal bebas dan anioksidan berada dalam keadaan
seimbang. Apabila terjadi gangguan keseimbangan maka akan terjadi kerusakan di paru.
Radikal bebas mempunyai peranan besar menimbulkan kerusakan sel dan menjadi dasar
dari berbagai macam penyakit paru.6
Pengaruh gas polutan dapat menyebabkan stress oksidan, selanjutnya akan
menimbulkan kerusakan sel dan inflamasi. Proses inflamasi akan mengaktifkan sel
makrofag alveolar, aktivasi sel tersebut akan menyebabkan dilepaskannya faktor
kemotatik neutrofil seperti Interleukin 8 dan leukotrien B4, Tumor Necrosis Factor
(TNF), Monocyte Chemotactic Peptide (MCP)-1, dan reactive oxygen species (ROS).
Faktor faktor ersebut akan merangsang neutrofil melepaskan protease yang akan
merusak jaringan ikat parenkim paru sehingga timbul kerusakan dinding alveolar dan
hipersekresi mukus. Rangsangan sel epitel akan meyebabkan dilepaskannya limfosit
CD8, selanjutnya terjadi kerusakan seperti proses inflamasi.6
Pengaruh radikal bebas yang berasal dari polusi udara dapat menginduksi batuk
kronis sehingga percabangan bronkus lebih mudah terinfeksi. Penurunan funsi paru
terjadi sekunder setelah perubahan struktur saluran napas. Kerusakan struktur berupa
destruksi alveol yang menuju ke arah emfisema karena produksi radikal bebas yang
berlebihan oleh leukosit, polusi, dan asap rokok, 6
6
Gambar 2. Konsep patogenesis PPOK
Seseorang diduga menderita PPOK bila (i) mengalami batuk kronis yang
umumnya muncul pada siang hari, jarang pada malam hari, (ii) memproduksi sputum
kronis, (iii) -sering mengalami bronkitis akut, (iv) sesak nafas setiap hari, memburuk
pada saat melakukan aktivitas dan terkena infeksi, (v) punya riwayat terpapar asap rokok
(baik perokok aktif maupun perokok pasif), polusi udara, debu dan bahan kimia di
tempat kerja, ataupun asap hasil pembakaran alat masak, misalnya kayu bakar, arang
yang terus menerus (setiap hari sepanjang tahun), disertai dengan pemeriksaan faal paru.
Indikator diagnosis PPOK adalah penderita di atas usia 40 tahun, dengan sesak napas
yang progresif, memburuk dengan aktivitas, persisten, batuk kronik, produksi sputum
7
kronik, riwayat pajanan rokok, asap atau gas berbahaya di dalam lingkungan kerja atau
rumah.4.
2.7 KLASIFIKASI
1. Bronchitis Kronis
a. Definisi
Bronchitis Kronis merupakan gangguan klinis yang ditandai dengan pembentukan mucus
yang berlebihan dalam bronkus dan termanifestasikan dalam bentuk batuk kronis dan
pembentuk sputum selama 3 bulan dalam setahun, paling sedikit 2 tahun berturut
turut.7
b. Etiologi
2) Alergi
c. Manifestasi klinis7
1) Peningkatan ukuran dan jumlah kelenjar mukus pada bronchi besar, yang
mana akanmeningkatkan produksi mukus.
8
3) Kerusakan fungsi cilliary sehingga menurunkan mekanisme pembersihan
mukus. Oleh karena itu, "mucocilliary defence" dari paru mengalami kerusakan
dan meningkatkan kecenderungan untuk terserang infeksi. Ketika infeksi timbul,
kelenjar mukus akan menjadi hipertropi dan hiperplasia sehingga produksi mukus
akan meningkat.
4) Dinding bronchial meradang dan menebal (seringkali sampai dua kali ketebalan
normal) dan mengganggu aliran udara. Mukus kental ini bersama-sama dengan
produksi mukus yang banyakakan menghambat beberapa aliran udara kecil dan
mempersempit saluran udara besar. Bronchitis kronis mula-mula mempengaruhi
hanya pada bronchus besar, tetapi biasanya seluruh saluran nafas akan terkena.
5) Mukus yang kental dan pembesaran bronchus akan mengobstruksi jalan nafas,
terutama selama ekspirasi. Jalan nafas mengalami kollaps, dan udara
terperangkap pada bagian distal dari paru-paru. Obstruksi ini menyebabkan
penurunan ventilasi alveolar, hypoxia dan asidosis.
8) Selama infeksi klien mengalami reduksi pada FEV dengan peningkatan pada RV
dan FRC. Jika masalah tersebut tidak ditanggulangi, hypoxemia akan timbul yang
akhirnya menuju penyakit cor pulmonal dan CHF
2. Emfisema
a. Definisi
Perubahan anatomis parenkim paru yang ditandai pelebaran dinding alveolus, duktus
alveolaris dan destruksi dinding alveolar.7
9
b. Etiologi7
2) Predisposisi genetic
3) Merokok
4) Polusi udara
c. Manifestasi klinis7
1) Dispnea
2) Takipnea
6) Hipoksemia
7) Hiperkapnia
8) Anoreksia
9) Penurunan BB
10) Kelemahan
3. Asthma Bronchiale
a. Definisi
Suatu penyakit yang ditandai dengan tanggap reaksi yang meningkat dari trachea dan
bronkus terhadap berbagai macam rangsangan dengan manifestasi berupa kesukaran
bernafas yang disebabkan oleh peyempitan yang menyeluruh dari saluran nafas.7
b. Etiologi7
10
2) Infeksi saluran nafas
3) Stress
5) Obat-obatan
6) Polusi udara
7) Lingkungan kerja
c. Manifestasi Klinis7
1) Dispnea
3) wheezing,
5) takikardi
6) takipnea
2.8 DIAGNOSIS
2.8.1 Anamnesis
Gejala klinis yang biasa ditemukan pada penderita PPOK adalah sebagai berikut :5,8
1) Batuk kronik
Batuk kronik adalah batuk hilang timbul selama 3 bulan dalam 2 tahun terakhir yang
tidak hilang dengan pengobatan yang diberikan. Batuk dapat terjadi sepanjang hari
atau intermiten. Batuk kadang terjadi pada malam hari.
2) Berdahak kronik
Hal ini disebabkan karena peningkatan produksi sputum. Kadang kadang pasien
menyatakan hanya berdahak terus menerus tanpa disertai batuk. Karakterisktik batuk
dan dahak kronik ini terjadi pada pagi hari ketika bangun tidur.
3) Sesak napas
11
Terutama pada saat melakukan aktivitas. Seringkali pasien sudah mengalami adaptasi
dengan sesak nafas yang bersifat progressif lambat sehingga sesak ini tidak
dikeluhkan.
Selain gejala klinis, dalam anamnesis pasien juga perlu ditanyakan riwayat
pasien dan keluarga untuk mengetahui apakah ada faktor resiko yang terlibat.
Merokok merupakan faktor resiko utama untuk PPOK. Lebih dari 80% kematian pada
penyakit ini berkaitan dnegan merokok dan orang yang merokok memiliki resiko
yang lebih tinggi (12-13 kali) dari yang tidak merokok. Resiko untuk perokok aktif
sekitar 25%.5,8
Akan tetapi, faktor resiko lain juga berperan dalam peningkatan kasus PPOK.
Faktor resiko lain dapat antara lain paparan asap rokok pada perokok pasif, paparan
kronis polutan lingkungan atau pekerjaan, penyakit pernapasan ketika masa kanak-
kanak, riwayat PPOK pada keluarga dan defisiensi 1-antitripsin.5,8
Dinyatakan PPOK (secara klinis) apabila sekurang-kurangnya pada anamnesis
ditemukan adanya riwayat pajanan faktor risiko disertai batuk kronik dan berdahak
dengan sesak nafas terutama pada saat melakukan aktivitas pada seseorang yang
berusia pertengahan atau yang lebih tua.5,8
12
o Ekspirasi memanjang
o Bunyi jantung menjauh
o Terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada ekspirasi
Uji bronkodilator
o Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada gunakan
APE meter.
o Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, 15 - 20
menit kemudian dilihat perubahan nilai VEP1 atau APE, perubahan
VEP1 atau APE < 20% nilai awal dan < 200 ml
o Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil
2) Darah rutin
Hb, Ht, leukosit
3) Radiologi
Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit paru lain. Terlihat
gambaran hiperinflasi, hiperlusen, ruang retrosternal melebar, diafragma mendatar,
jantung menggantung ( tear drop appearance ), corakan bronkovaskuler meningkat.
Meskipun kadang-kadang hasil pemeriksaan radiologis masih normal pada PPOK
ringan tetapi pemeriksaan radiologis ini berfungsi juga untuk menyingkirkan
diagnosis penyakit paru lainnya atau menyingkirkan diagnosis banding dari keluhan
pasien.
13
2.8.3.2 Pemeriksaan khusus (tidak rutin)5
1) Faal paru
2) Uji latih kardiopulmoner
3) Uji provokasi bronkus
Untuk menilai derajat hipereaktiviti bronkus, pada sebagian kecil PPOK terdapat
hipereaktiviti bronkus derajat ringan
4) Uji coba kortikosteroid
Menilai perbaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid oral (prednison atau
metilprednisolon) sebanyak 30 - 50 mg per hari selama 2 minggu yaitu peningkatan
VEP1 pasca bronkodilator > 20 % dan minimal 250 ml. Pada PPOK umumnya tidak
terdapat kenaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid
5) Analisis gas darah
Terutama untuk menilai gagal napas kronik stabil dan gagal napas akut pada gagal
napas kronik
6) Radiologi
CT - Scan resolusi tinggi untuk mendeteksi emfisema dini dan menilai jenis serta
derajat emfisema atau bula yang tidak terdeteksi oleh foto toraks polos
CT - Scan ventilasi perfusi untuk mengetahui fungsi respirasi paru
7) Elektrokardiografi
Mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai oleh Pulmonal dan hipertrofi
ventrikel kanan.
8) Ekokardiografi untuk menilai fungsi jantung kanan
9) Bakteriologi
14
Pemerikasaan bakteriologi sputum pewarnaan Gram dan kultur resistensi diperlukan
untuk mengetahui pola kuman dan untuk memilih antibiotik yang tepat. Infeksi
saluran napas berulang merupakan penyebab utama eksaserbasi akut pada penderita
PPOK di Indonesia.
10) Kadar alfa-1 antitripsin
Kadar antitripsin alfa-1 rendah pada emfisema herediter (emfisema pada usia muda),
defisiensi antitripsin alfa-1 jarang ditemukan di Indonesia.
2.10 PENATALAKSANAAN
15
2.10.1 Penatalaksanaan PPOK Stabil
Penatalaksanaan PPOK dibagi menjadi terapi non farmakologi dan terapi
farmakologi. Penatalaksaan non farmakologi pada pasien PPOK berdasarkan penilaian risiko
eksaserbasi dan gejala, yaitu :8,9
Pasien kelompok A : smoking cessation (konseling, terapi pengganti nikotin, aktivitas
fisik
Pasien kelompok B, C, D : smoking cessation, rehabilitasi pulmonal, aktifitas fisik
Klasifikasi Eksaserbasi
Pasien Karakteristik CAT mMRC
Spirometri per tahun
Risiko rendah,
A GOLD 1-2 1 < 10 0-1
gejala sedikit
Risiko rendah,
B GOLD 1-2 1 10 2
gejala banyak
Risiko tinggi,
C GOLD 3-4 2 < 10 0-1
gejala sedikit
Risiko tinggi,
D GOLD 3-4 2 10 2
gejala banyak
Tabel 3. Kombinasi penilaian pasien PPOK ( Sumber GOLD 2015 )
16
Antikonergik kerja lama +
2 agonis kerja lama 2 agonis kerja
Kortikosteroid inhalasi +
Atau antikolinergik kerja cepat dan atau
2 agonis kerja lama
C lama + inhibitor antikolinergik kerja
Atau antikolinergik kerja
fosfodiesterase-4 (PDE-4) cepat
lama
Atau 2 agonis kerja lama teofilin
+ inhibitor PDE-4
Kortikoseroid inhalasi +
Antikonergik kerja lama +
2 agonis kerja lama
Atau steroid inhalasi + 2
Karbosistein
agonis kerja lama +
Kortikosteroid inhalasi + 2 agonis kerja
inhibitor PDE-4
2 agonis kerja lama cepat dan atau
D Atau Antikonergik kerja
Dan / atau antikolinergik antikolinergik kerja
lama + 2 agonis kerja
kerja lama cepat
lama
teofilin
Atau Atau antikolinergik
kerja lama + inhibitor
fosfodiesterase-4 (PDE-4)
17
3) eksaserbasi ringan : terdapat 1 dari 3 gejala kardinal ditambah salah satu dari kriteria
tambahan, antara lain infeksi saluran napas > 5 hari, demam tanpa sebab lainnya,
peningkatan batuk, mengi, peningkatan laju pernapasan atau frekuensi nadi > 20%
nilai dasar.
Penyebab tersering adalah infeksi saluran pernapasan oleh virus atau bakteri. Penyebab
lainnya dapat berupa pneumonia, gagal jantung, aritmia, emboli paru, asupan nutrisi buruk,
aspirasi, polusi udara, pneumothoraks atau penyebab sistemik (DM atau gangguan
elektrolit).5,8,9
Penatalaksanaan yang dilakukan, yaitu :5,8,9
1. Penilaian awal ( derajat kesadaran )
2. Pemberian oksigen
3. Pemeriksaan penunjang : darah perifer lengkap, foto toraks, EKG, analisa gas darah.
Spirometri tidak direkomendasikan untuk dilakukan ketika akut.
4. Bronkodilator : 2 agonis kerja cepat dengan/tanpa antikolinergik kerja cepat
- Nebulizer : 2 agonis kerja cepat ( salbutamol ) + antikolinergik { 2,5 + 0,5 mg }
lama kerja 4-8 jam
- Xantin IV ( bolus dan drip )
Contoh : aminofilin (sediaan oral 200mg, IV 240mg, lama kerja 4-6 jam), teofilin
(oral 100-400mg, lama kerja bervariasi hingga 24 jam ).
5. Kortikosteroid sistemik
Pemberian ini akan mempercepat waktu pemulihan, meningkatkan fungsi paru dan
hipoksemia arteri, menurunkan resiko relaps, kegagalan terapi dan durasi rawat inap.
Dianjurkan pemberian prednison 30-40 mg selama 10-14 hari. Diberikan per oral
untuk eksaserbasi ringan sedang atau IV untuk eksaserbasi berat. Pemberian
kortikosteroid sebaiknya < 2 minggu untuk mencegah efek samping.
6. Antibiotik
Antibiotik diindikasikan jika terdapat salah satu gejala kardinal atau pada pasien yang
membutuhkan ventilasi mekanik. Pemilihan regimen antiobiotik bergantung dari data
prevalensi bakteri setempat. Dianjurkan untuk menggunakan antibiotik :
- spektrum sempit jika belum memiliki riwayat penggunaan antibiotik
sebelumnya ( amoksisilin 500 mg 3x/hari PO 3-14 hari atau doksisiklin 100mg
2x/hari PO 3-14 hari ) atau
- spektrum luas jika diketahui terdapat resistensi antibiotik ( amoksisilin
klavulanat 875 mg 2x/hari atau 500mg 3x/hari PO 5 hari atau levofloksasin
18
500mg 1x/hari PO 5 hari). Dapat diberikan intravena jika dirawat di rumah
sakit.
7. Terapi suportif , tergantung dari kondisi pasien.
Contoh pemberian diuretik, bila ada retensi cairan.
19
Formoterol IDT : 4,5-12 g 12 jam
Agonis 2 kerja
lama
Salmeterol IDT : 50-100 g 12 jam
Aminofilin Oral : 200 mg 4-6 jam
Injeksi : 240 mg
Metilsantin
a) Bronkodilator
20
Bronkodilator utama yang sering digunakan adalah 2-agonis, antikolinergik dan metilxantin.
Obat tadi dapat diberikan secara monoterapi atau kombinasi. Pemberian secara inhalasi
(MDI) lebih menguntungkan dari pada cara oral atau parenteral karena efeknya cepat pada
organ paru dan efek sampingnya minimal. Pemberian secara MDI lebih disarankan dari pada
pemberian cara nebulizer. Obat dapat diberikan sebanyak 4-6 kali, 2-4 hirup sehari.
Bronkodilator kerja cepat (fenoterol, salbutamol, terbutalin) lebih menguntungkan dari pada
yang kerja lambat (salmeterol, formeterol), karena efeknya bronkodilatornya sudah dimulai
dalam beberapa menit dan efek puncaknya terjadi setelah 15-20 menit dan berakhir 4-5 jam.
Bila tidak segara memberikan perbaikan, bisa ditambah dengan pemakaian antikolinergik
sampai dengan perbaikan gejala.10
b) Glukokortikosteroid
Jika FEV1<50% prediksi, dapat diberikan 40 mg prednisolon (oral) per hari selama 10-14 hari
bersamaan dengan pemberian bronkodilator. Budesonid nebulizer bisa dipakai sebagai
alternatif terapi selain oral. Glukokotikosteroid dipakai untuk pengobatan yang non asidosis10
c) Antibiotik
Diberikan gejala sesak napas dan batuk disertai dengan peningkatan volume dan purulensi
sputum. Antibiotik hendaknya diberikan diberikan dengan spektrum luas yang bisa
menghadapi H.influenzae, S.pneumoniae dan M.catarrhalis sambil menunggu hasil kultur
sensitivitas kuman.10
1-antitripsin: diberikan pada pasien emphisema muda, bila terdapat defisiensi zat ini.
21
Mukolitik: secara keseluruhan pemberian mukolitik pada pasien dengan sputum
kental hanya memberi sedikit keuntungan, terutama pada keadaan akut eksaserbasi,
sehingga jarang dipakai secara rutin.
Antioksidan: hanya bermanfaat pada keadaan akut eksaserbasi
Imunoregulator
Menghentikan kebiasaan merokok pada pasien PPOK sebenarnya merupakan usaha yang
mudah dan ekonomis dalam rangka mengurangi progresivitas penyakit. Bila pasien dapat
berhenti merokok maka progresivitas penurunan FEV1-nya dapat diperkecil. Pasien PPOK
yang merokok akan mengalami penurunan FEV1>50 ml per tahun (pada orang normal yang
tidak merokok, penurunan FEV1 hanya 18 ml pertahun).10
2.11 KOMPLIKASI
1. Hipoxemia
Hipoxemia didefinisikan sebagai penurunan nilai PaO2 kurang dari 55 mmHg, dengan
nilai saturasi Oksigen <85%. Pada awalnya klien akan mengalami perubahan mood,
penurunan konsentrasi dan pelupa. Pada tahap lanjut timbul cyanosis.
2. Asidosis Respiratory
Timbul akibat dari peningkatan nilai PaCO2 (hiperkapnia). Tanda yang muncul
antara lain : nyeri kepala, fatique, lethargi, dizzines, tachipnea.
3. Infeksi Respiratory
4. Gagal jantung
Terutama kor-pulmonal (gagal jantung kanan akibat penyakit paru), harus diobservasi
terutama pada klien dengan dyspnea berat. Komplikasi ini sering kali berhubungan dengan
bronchitis kronis, tetapi klien dengan emfisema berat juga dapat mengalami masalah ini.
5. Cardiac Disritmia
Timbul akibat dari hipoxemia, penyakit jantung lain, efek obat atau asidosis respiratory.
22
6. Status Asmatikus
Merupakan komplikasi mayor yang berhubungan dengan asthma bronchial. Penyakit ini
sangat berat, potensial mengancam kehidupan dan seringkali tidak berespon terhadap
therapi yang biasa diberikan.Penggunaan otot bantu pernafasan dan distensi vena leher
seringkali terlihat.
DAFTAR PUSTAKA
23
6. Khairani.Fathia, Fatur Nur Kholis, Dwi Ngestiningsih. Hubungan antara skor COPD
Assesment Test ( CAT ) dengan Rasio FEV 1/FVC pada pasien penyakit paru obstruktif
Kronik ( PPOK ) Klinis, Studi kasus pada pasien di RSUP dr. Kariadi Semarang.
Laporan Hasil Karya Tulis Ilmiah. Semarang : Fakultas Kedokteran Universitas
Diponegoro ; 2013
7. Brunner &Suddart. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah edisi 8 volume 2.
Jakarta, EGC.
8. Tanto. Chris, dkk. Kapita Selekta Kedokteran Jilid II. Edisi IV. Jakarta : Media
Aesculaptus; 2014
9. Decramer M. Vestbo, dkk. Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease
(GOLD) Pocket Guide to COPD Diagnosis, Management, and Prevention; 2015
10.Aru W, Sudoyo&dkk. Ilmu Penyakit Dalam Edisi 5 Jilid III. Jakarta: Interna
Publishing.2012.
24