lalu. Ny A juga mengeluhkan lutut kiri nyeri sejak sebulan yang lau terutama saat bangun tidur,
biasa nyeri berkurang bila dibalur obat gosok, tetapi sekrang tidak mempan lagi. Pasien juga
sering nyeri ulu hati dan kembung. Setelah dilakukan pemeriksaan lengkap, Dr B mendiagnosis
Ny A menderita pneumonia komuniti ringan, osteoarthritis, hipertensi (TD 150/90) dan
dyspepsia. Dr B memberikan kaptopril 2x12,5 mg/hari, levofloksasin 1x500 mg/hari, diklofenak
2x25 mg/hari dan omeprazol 2x1 tab/hari. Ny A harus control 1 minggu lagi.
1. Berikan komentar dan uraian alasan mengenai obat-obat yang diberikan dokter B,
ditinjau dari efikasi, keamanan, kesesuaian, dan harga obat-obat tersebut. Adakah
kemungkinan interaksi antar obat?
2. Bagaimana pengelolaan terbaik untuk ny A?
Jawaban :
1. Berikan komentar dan uraian alasan mengenai obat-obat yang diberikan dokter B,
ditinjau dari efikasi, keamanan, kesesuaian, dan harga obat-obat tersebut. Adakah
kemungkinan interaksi antar obat?
Pada pasien ini memiliki beberapa masalah yaitu adanya pneumonia komuniti ringan,
osteoarthritis, hipertensi grade 1 dan dyspepsia. Sehingga membutuhkan tatalaksana yang
tepat untuk mengatasi masalah tersebut baik secara farmakologi maupun nonfarmakologi.
Pengobatan pada pasien ini membutuhkan beberapa obat sehingga perlu diperhatikan dari
efikasi, suitability, safety dan costnya serta adakah interaksi obat yang diberikan pada pasien
ini.
Pada pasien ini telah diberikan obat oleh dr B berupa kaptopril 2x12,5 mg/hari, levofloksasin
1x500 mg/hari, diklofenak 2x25 mg/hari dan omeprazol 2x1 tab/hari. Pembahasannya
sebagai berikut :
P-Drug Levofloxacin
FD ESO KI Levofloxacin
Metabolisme, di hepar
Pengobatan pada pasien pneumonia prinsipnya adalah eradikasi kuman penyebab serta
berikan pengobatan yang simptomatik. Pada pasien ini diberikan obat levofloksasin, ini
sudah sesuai karena obat ini merupakan salah satu pilihan terapi pada infeksi saluran
napas bawah karena memiliki daya antibakeri yang cukup baik terhadap kuman Gram-
positif, Gram-negatif dan kuman atipik infeksi saluran napas bawah. Namun, pemberian
obat ini harus hati-hati karena memiliki efek samping ke saluran cerna serta ke tendon
terutama pada pasien ini memiilki riwayat dyspepsia. Pilihan terapi lainnya adalah
golongan beta laktam dan makrolide tergantung kondisi pasien.
b. Osteoarthritis
Pada pasien ini didiagnosis sebagai osteoarthritis tetapi pada kasus ini anamnesis dan
pemeriksaan fisiknya belum lengkap untuk mengetahui penyebab dan seberapa berat
penyakit tersebut. Pasien ini diberikan obat NSAID COX 2 preferential berupa
diklofenak sebagai berikut :
P-drug Diklofenak
Pemberian obat diklofenak tepat untuk mengatasi nyeri pada pasien ini karena obat ini
bnayak terakumulasi di cairan synovial sehingga dapat mengurangi gejala pada pasien
ini. Masa kerjanya lebih panjang dibandingkan waktu paruhnya. Namun, pada obat ini
memiliki efek samping ke saluran cerna sedangkan pada pasien ini memiliki riwayat
dyspepsia sehingga perlu dipertimbangkan pemilihan obat lain.
c. Dyspepsia
Pada pasien ini diberikan obat golongan pengambat pompa proton berupa omeprazol
sebagai berikut :
Pada pasien ini mengalami nyeri ulu hati dan kembung yang disebabkan karena
peningkatan asam lambung. Pada pasien ini diberikan penghambat pompa proton yang
dapat menghambat sekresi asam lambung yang kuat dari AH2.
d. Hipertensi grade 1
Pada pemeriksaan tekanan darah pada pasien ini adalah 150/90 ini menunjukkan bahwa
pasien mengalami hipertensi grade 1 namun sebaiknya dipastikan kembali apakah pasien
pertama kali atau sebeulmnya memang sudah mengalami riwayat hipertensi dan apakah
sudah mendapatkan pengobatan atau tidak. .pada pasien ini diberikan kaptopril 2x12,5
mg/hari
P-Drug Kaptopril
Eliminasi
Pada kasus ini pasien mendapatkan beberapa obat dan sebagian terdapat interaksi seperti :
Kaptopril dengan diklofenak dimana pemberian dua obat tersebut bisa mengurangi efek
hipotensi dari ACE inhibitor yang diperantarai oleh bradikin serta prostaglandin.
2. Penatalaksanaan Hipertensi
Penatalaksanaan hipertensi meliputi tatalaksana non-medikamentosa dan tatalaksana
medikamentosa. Target terapi adalah menurunkan morbiditas dan mortalitas (mengontrol
tekanan darah dan mencegah komplikasi kardiovaskular).
Untuk tatalaksana non-medikamentosa yaitu :
1. Edukasi mengenai penyakit hipertensi (etiologi, rencana penatalaksanaan dan komplikasi
penyakit).
2. Mengurangi intake sodium sampai 2,4 g sodium per-hari.
3. Berhenti merokok (jika pasien merokok) dan mengurangi konsumsi makanan berlemak
dan berkolesterol.
4. Melakukan olahraga aerobik selama 30 menit per-hari.
5. Edukasi minum obat teratur serta kontrol rutin.
Untuk tatalaksana medikamentosa berdasarkan JNC-8 adalah sebagai berikut :
Berdasarkan algoritma JNC 8 pada pasien ini berusia dibawah 60 tahun tanpa mengalami
DM dan CKD, sehingga dapat diberikan obat antihipertensi golongan ACE inhibitor, ARB, CCB
atau thiazide. Pada pasien ini pemberian anti hipertensi diberikan obat golongan ACE inhibitor
yaitu kaptopril 2x12,5 mg. Salah satu efek samping dari kaptopril adalah batuk. Pasien
mengalami pneumonia dimana salah satu gejalanya adalah batuk maka obat anti hipertensi
diganti dengan golongan CCB yaitu amlodipin 1x80 mg.
3. Penatalaksanaan Dispepsia
Dispepsia adalah kumpulan gejala berupa nyeri atau rasa tidak nyaman menetap atau
berulang yang berpusat pada bagian atas abdomen. Secara garis besar penyebab sindrom
dispepsia dibagi menjadi 2 kelompok yaitu :
Dispepsia organik
Dispepsia dengan penyebab patologis yang diketahui secara pasti, seperti ulkus
peptic, gastritis, batu kandung empedu dll
Dispepsia fungsional
Dispepsia dengan penyebab patologis structural atau biokimiawi yang tidak diketahui
setelah dilakukan pemeriksaan penunjang diagnostic yang konvensional atau baku
(radiologi, endoskopi, laboratorium).
Ulcer like dispepsia nyeri ulu hati yang lebih dominan dan disertai nyeri pada malam
hari
Dismotility dispepsia kembung, mual, cepat kenyang menjadi keluhan dominan
Non-spesifik dispepsia bila tidak ada keluhan yang spesifik
Tatalaksana Dispepsia
Non farmakologi
Edukasi mengenai pentingnya menghindari makanan pencetus, yakni makanan pedas dan
asam. Pasien juga perlu menghindari minuman pencetus dyspepsia, yakni alkohol dan kopi.
Salah satu hal yang perlu dihindarkan adalah stress yang sering mencetuskan terjadinya
dispepsia. Pasien juga diedukasi tentang obat obat yang dapat memperberat dispepsia, seperti
pada kasus ini pasien memiliki osteoarthritis dan mendapatkan terapi NSAID.
Farmakologi
Obat yang diberikan pada dyspepsia dapat bekerja dengan cara menetralkan langsung
asam lambung, menghambat sekresi asam lambung, meningkatkan pertahanan mukosa lambung.
Pada pasien ini diberikan obat golongan proton pump inhibitor (PPI) dimana obat ini sebagai
penghambat sekresi asam lambung yang lebih efektif dibandingkan antihistamin H2. Namun
perlu diingat bahwa penggunaan PPI dapat menimbulkan keadaan hipergastrinemia lebih sering
dan lebih berat dibandingkan H2 antagonis. Penghambatan sekresi asam lambung yang lebih
kuat dapat menimbulkan reboun sekresi asam lambung pada pemberhentian terapi PPI, sehingga
dapat menginduksi tumor gastrointestinal. Oleh karena itu penggunaan golongan antihistamin H2
yaitu ranitidin.
P-Drug Ranitidin
Efficacy Safety Suitability Cost
4. Penatalaksanaan Osteoarthritis.
FARMAKOLOGI
Pada pasien ini, sebelumnya sudah diberikan obat analgetik diklofenak 2x25 mg/hari.
Diklofenak merupakan OAINS non selektif sementara pasien ini juga mengalami dispepsia.
Sehingga perlu diberikan anti nyeri lain seperti obat anti inflamasi non steroid (OAINS). Pada
pasien ini juga terdapat dyspepsia, sehingga sebaiknya menggunakan OAINS yang cenderung
menghambat COX-2, yakni meloksikam 1x7,5 mg.
P-Drug Meloksikam
Efficacy Safety Suitability Cost
Farmakodinamik ESO KI Tablet
Menghambat enzim Gangguan saluran hipersensitivitas 7,5 mg x 10 tablet
siklooksigenase 2 cerna, pusing, meloksikam, = Rp. 8,000-
Farmakokinetik tinnitus, nyeri gangguan 15 mg x 10 tablet =
Absorbsi kepala pembekuan Rp 16.000,-
Bioavabilitas secara oral darah,
89%. kehamilan,
Distribusi perdarahan
Cmax 4-5 jam. Terikat 99.4 gastrointestinal
% dengan protein plasma
Metabolisme oleh hati Ketersediaan
menjadi oleh CYP3A4 Tablet
Eksresi 7,5 dan 15 mg
Urine dan feses
2. Seorang wanita berusia 24 tahun, penderita epilepsy yang terkontrol dengan makan obat fenitoin
setiap hari, baru saja menikah, dan datang kebidan untuk meminta obat kontrasepsi oral Karena ingin
menunda kehamilan dulu. Wanita tersebut diberi pil kontrasepsi oral kombinasi yang diminumnya
secara teratur. Dalam 2 bulan pertama minum pil kontrasepsi, haid nya teratur, tapi pada bulan ketiga dan
keempat wanita tersebut tidak mendapat haid, meskipun dia secara teratur meminum pil kontrasepsi.
Wanita tersebut datang ke dokter, tes kehamilannya ternyata positif, dan menurut pemeriksaan dokter
dia sudah hamil 8 minggu.
Fenitoin berefek antikonvulsi tanpa menyebabkan depresi umum SSP. Dosis toksik menyebabkan
eksitasi dan dosis letal menimbulkan rigiditas deserebrasi. Sifat antikonvulsi fenitoin didasarkan pada
penghambatan penjalaran rangsang dari fokus ke bagian lain di otak. Efek stabilisasi membran sel oleh
fenitoin juga terlihat pada saraf tepi dan membran sel lainnya yang juga mudah terpacu misalnya sel
sistem konduksi di jantung. Fenitoin mempengaruhi berbagai sistem fisiologik; dalam hal ini, khusus nya
konduktans Na+, K+, Ca2+ neuron, potensial membran dan neurotransmitor norepinefrin, asetilkolin, dan
GABA.
Absorbsi fenitoin yang diberikan secara per oral berlangsung lambat, sesekali tidak lengkap; 10%
dari dosis oral diekskresi bersama tinja dalam bentuk utuh. Kadar puncak dalam plasma dicapai dalam 3-
12 jam. Bila dosis muat (loading dose) perlu diberikan, 600-800 mg, dalam dosis terbagi antara 8-12 jam,
kadar efektif plasma akan tercapai dalam waktu 24 jam. Pemberian fenitoin secara IM, menyebabkan
fenitoin mengendap di tempat suntikan sehingga absorpsi erotik. Setelah suntikan IV, kadar yang terdapat
dalam otak, otot skelet dan jaringan lemak lebih rendah daripada kadar didalam hati, ginjal dan kelenjar
ludah.
Pengikatan fenitoin oleh albumin plasma kira-kira 90%. Pada orang sehat, termasuk wanita hamil
dan wanita pemakai obat kontrasepsi oral, fraksi bebas kira-kira 10%; sedangkan pada pasien dengan
penyakit ginjal, penyakit hati atau penyakit hepatorenal dan neonatus fraksi bebas rata-rata di atas 15%.
Pada pasien epilepsi, fraksi bebas berkisar antara 5,8% - 12,6%. Fenitoin terikat kuat pada jaringan saraf
sehingga kerjanya bertahan leih lama; tetapi mula kerja lebih lambat daripada fenobarbital.
Biotransformasi terutama berlangsung dengan cara hidroksilasi oleh enzim mikrosom hati. Metabolit
utamanya ialah derivat parahidroskifenil. Biotransformasi oleh enzim mikrosom hati sudah mengalami
kejenuhan pada kadar terapi, sehingga peninggian dosis akan meningkatkan kadar fenitoin dalam serum
secara tidak proporsional dan menyebabkan intoksikasi. Oksidasi pada satu gugus fenil sudah
menghilangkan efek antikonvulsinya. Sebagian besar metabolit fenitoin disekskresi bersama empedu,
kemudian mengalami reabsorpsi dan absorpsi dan biotransformasi lanjutan dan diekskresi melalui ginjal.
Di ginjal, metabolit utama nya mengalami sekresi oleh tubuli, sedangkan bentuk utuhnya mengalami
reabsorpsi. Kadar fenitoin dalam plasma akan meninggi bila diberikan bersama kloramfenikol, disulfiram,
INH, simetidin, dikumarol, dan beberapa sulfonamide tertentu, karena obat-obat tersebut menghambat
biotransformasi fenitoin. Sedangkan sulfisoksazol, fenilbutazon, salisilat dan asam valproat akan
mempengaruhi ikatan protein plasma fenitoin sehingga meninggikan juga kadarnya dalam plasma.
Teofilin menurunkan kadar fenitoin bila diberikan bersamaan, diduga karena teofilin meningkatkan
biotransformasi fenitoin juga mengurangi absorpsinya. Fenitoin juga dapat merangsang katabolisme
warfarin dan kontrasepsi oral estrogen dosis rendah yang menyebabkan gagalnya kontrasepsi.
Kontrasepsi hormonal yang digunakan pada kasus ini adalah preparat kombinasi, berisi estrogen
dan progestin. Obat ini memiliki efektivitas yang secara teoritis diperkirakan 99,9% dan efektivitas
penggunaan 97-98%. Mekanisme kerja kombinasi hormonal adalah dengan cara penghambatan sekresi
GnRH dan gonadotropin sedemikian rupa sehingga tidak terjadi perkembangan folikel. Selain itu,
penggunaan estrogen dan progestin mengatur proliferasi sel epitel endometrium, yang menyebabkan
permukaan endometrium tidak dapat menerima implantasi.
Estradiol, estrogen terkonjugasi dan etinil estradiol biasanya diberikan secara oral. Etinil estradiol
oral diabsorpsi dengan cepat dan sempurna, kemudian mengalami metabolism lintas pertama di hepar
yang ekstensif, tetapi substitusi etinil pada atom C17 dapat menghambat proses tersebut. Secara umum
hormon mengalami biotransformasi segera dihati dengan diperantari enzim CYP3A, dan perantara enzim
CYP1A atau CYP1B1 diluar hati. Etinil estradiol lebih lambat dieksresi dibandingkan estradiol
dikarenakan penurunan metabolisme di hepar, dengan waktu paruh sampai fase eleminasinya berkisar 13-
27 jam. Estradiol maupun etinil estradiol diekskresikan lewat urin. Progesteron oral memiliki
bioavaibilitas yang rendah, karena itu lebih sering diberikan secara injeksi intramuskular, suppositoria
vagina maupun pemberian bersama AKDR. Progesteron mengalami metabolism lintas pertama di hepar
dengan cepat, tetapi sudah dikembangkan analog progesterone yaitu MPA dan megestrol asetat yang
dapat memperlambat metabolisme di hati secara signifikan. Secara umum eliminasinya melalui urin
sebagai konjugat dan berbagai metabolit polar.
Efek samping paling sering adalah gangguan haid, mual mungkin timbul pada awal penggunaan,
peningkatan tekanan darah, rasa sakit di kelenjar mammae, gangguan toleransi glukosa pada diabetes,
tromboemboli. Komponen progestin dapat menyebabkan sakit kepala. Gangguan kardiovaskular
umumnya lebih sering terjadi pada usia lebih dari 35 tahun, perokok atau mempunyai faktor obesitas,
diabetes yang terapinya kurang baik atau hipertensi.
Maka dapat disimpulkan bahwa kegagalan kontrasepsi pada pasien ini dapat disebabkan karena
penggunaan fenitoin bersamaan dengan kontrasepsi pil hormonal kombinasi. Karena fenitoin akan
mempercepat proses katabolisme obat yang menjadi substrat enzim CYP3A3 salah satunya adalah
estradiol dan progesterone sehingga efek kontrasepsi menurun.
Ada dua hal yang dapat dilakukan pada pasien ini, yaitu:
a) Mengganti kontrasepsi oral dengan kontrasepsi non-hormonal seperti AKDR, untuk mencegah
interaksi dengan fenitoin.
b) Menggani anti-epilepsi dengan jenis yang tidak menginduksi kerja enzim CYP3A4. Pilihan lain anti-
epilepsi adalah golongan barbiturat (fenobarbital, primidon), karbamazepin, dan asam valproat. Dari jenis
anti-epilepsi yang dianjurkan hanya asam valproat karena tidak memiliki efek menginduksi enzim
CYP3A4. Asam valproat, dapat dimulai dengan dosis terapi 3x200 mg. Tetapi asam valproat mempunyai
angka kejadian efek samping lebih tinggi daripada antiepilepsi lain, sehingga penggunaannya kurang
direkomendasikan.