Anda di halaman 1dari 11

BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1 Berduka
1. Defenisi berduka
Berduka merupakan reaksi terhadap kehilangan yang merupakan
respon emosional yang normal. Berduka merupakan suatu proses untuk
memecahkan masalah, dan secara normal berhubungan erat dengan
kematian. (Suliswati, 2005).
Definisi lain menyebutkan bahwa berduka, dalam hal ini dukacita
adalah proses kompleks yang normal yang mencakup respon dan perilaku
emosi, fisik, spiritual, sosial, dan intelektual ketika individu, keluarga, dan
komunitas menghadapi kehilangan aktual, kehilangan yang diantisipasi,
atau persepsi kehilangan ke dalam kehidupan pasien sehari-hari (NANDA,
2011).
Duka cita adalah perasaan subjektif yang dicetuskan oleh kematian
seseorang yang dicintai. Istilah tersebut digunakan secara sama dengan
berkabung, walaupun, dalam arti yang paling tepat berkabung adalah
proses dimana duka cita dihilangkan hal ini merupakan ekspresi
kemasyarakatan dari perilaku dan tindakan setelah kehilangan. (Harold L
Kaplan, M.D, 2010).
Duka cita dapat terjadi sebagai akibat berbagai macam kehilangan,
disamping kehilangan orang yang dicintai, hal tersebut termasuk
kehilangan status, kehilangan tokoh nasional dan kehilangan hewan
peliharaan. Ekspresi duka cita memiliki rentang emosi yang luas,
tergantung pada norma dan harapan kultural (sebagai contoh, beberapa
kultural mendorong atau membutuhkan pengungkapan emosi yang kuat,
sedangkan kultural yang lain mengharapkan yang berlawanan).
Duka cita awal seringkali dimanifestasikan sebagai keadaan
terguncang yang mungkin diekspresikan sebagai mati rasa dan suatu
perasaan kebingungan. (Harold L Kaplan, M.D, 2010).
2. Faktor penyebab berduka
Banyak situasi yang dapat menimbulkan kehilangan dan dapat
menimbulkan respon berduka pada diri seseorang (Carpenito, 2006).
Situasi yang paling sering ditemui adalah sebagai berikut:
a. Patofisiologis
Berhubungan dengan kehilangan fungsi atau kemandirian yang bersifat
sekunder akibat kehilangan fungsi neurologis, kardiovaskuler, sensori,
muskuloskeletal, digestif, pernapasan, ginjal dan trauma.
b. Terkait pengobatan
Berhubungan dengan peristiwa kehilangan akibat dialisis dalam jangka
waktu yang lama dan prosedur pembedahan (mastektomi, kolostomi,
histerektomi).
c. Situasional (Personal, Lingkungan)
Berhubungan dengan efek negatif serta peristiwa kehilangan sekunder
akibat nyeri kronis, penyakit terminal, dan kematian, berhubungan
dengan kehilangan gaya hidup akibat melahirkan, perkawinan,
perpisahan, anak meninggalkan rumah, dan perceraian, dan
berhubungan dengan kehilangan normalitas sekunder akibat keadaan
cacat, bekas luka, dan penyakit.
d. Maturasional
Berhubungan dengan perubahan akibat penuaan seperti teman-teman,
pekerjaan, fungsi, dan rumah dan berhubungan dengan kehilangan
harapan dan impian. Rasa berduka yang muncul pada setiap individu
dipengaruhi oleh bagaimana cara individu merespon terhadap
terjadinya peristiwa kehilangan. Miller (1999 dalam Carpenito, 2006)
menyatakan bahwa dalam menghadapi kehilangan individu
dipengaruhi oleh dukungan sosial (Support System), keyakinan religius
yang kuat, kesehatan mental yang baik, dan banyaknya sumber yang
tersedia terkait disfungsi fisik atau psikososial yang dialami.

3. Tanda dan gejala berduka


Terdapat beberapa sumber yang menjelaskan mengenai tanda dan gejala
yang sering terlihat pada individu yang sedang berduka. Buglass (2010)
menyatakan bahwa tanda dan gejala berduka melibatkan empat jenis reaksi,
meliputi:
a. Reaksi perasaan, misalnya kesedihan, kemarahan, rasa bersalah,
kecemasan, menyalahkan diri sendiri, ketidakberdayaan, mati rasa,
kerinduan.
b. Reaksi fisik, misalnya sesak, mual, hipersensitivitas terhadap suara dan
cahaya, mulut kering, kelemahan.
c. Reaksi kognisi, misalnya ketidakpercayaan, kebingungan, mudah lupa,
tidak sabar, ketidakmampuan untuk berkonsentrasi, ketidaktegasan.
d. Reaksi perilaku, misalnya, gangguan tidur, penurunan nafsu makan,
penarikan sosial, mimpi buruk, hiperaktif, menangis.
4. Akibat berduka
Setiap orang merespon peristiwa kehilangan dengan cara yang sangat
berbeda. Tanpa melihat tingkat keparahannya, tidak ada respon yang bisa
dikatakan maladaptif pada saat menghadapi peristiwa kehilangan akut.
Apabila proses berduka yang dialami individu bersifat maladaptif, maka akan
menimbulkan respon detrimental (cenderung merusak) yang berkelanjutan
dan berlangsung lama (Carpenito, 2006). Proses berduka yang maladaptif
tersebut akan menyebabkan berbagai masalah sebagai akibat munculnya
emosi negatif dalam diri individu. Dampak yang muncul diantaranya perasaan
ketidakberdayaan, harga diri rendah, hingga isolasi sosial.

5. Respon berduka
Terdapat beberapa teori mengenai respon berduka terhadap kehilangan.
Teori yang dikemukan Kubler-Ross (1969 dalam Hidayat, 2009) mengenai
tahapan berduka akibat kehilangan berorientasi pada perilaku dan menyangkut
lima tahap, yaitu sebagai berikut:
a. Fase penyangkalan (Denial)
Reaksi pertama individu yang mengalami kehilangan adalah syok,
tidak percaya, atau mengingkari kenyataan bahwa kehilangan benar-benar
terjadi. Sebagai contoh, orang atau keluarga dari orang yang menerima
diagnosis terminal akan terus berupaya mencari informasi tambahan.
Reaksi fisik yang terjadi pada tahap ini adalah letih, lemah, pucat,
mual, diare, gangguan pernapasan, detak jantung cepat, menangis, gelisah,
dan sering kali individu tidak tahu harus berbuat apa. Reaksi ini dapat
berlangsung beberapa menit hingga beberapa tahun.
b. Fase marah (Anger)
Pada fase ini individu menolak kehilangan. Kemarahan yang timbul
sering diproyeksikan kepada orang lain atau dirinya sendiri. Orang yang
mengalami kehilangan juga tidak jarang menunjukkan perilaku agresif,
berbicara kasar, menyerang orang lain, menolak pengobatan, bahkan
menuduh dokter atau perawat tidak kompeten. Respon fisik yang sering
terjadi, antara lain muka merah, deyut nadi cepat, gelisah, susah tidur,
tangan menggepal, dan seterusnya.
c. Fase tawar menawar (Bargaining)
Pada fase ini terjadi penundaan kesadaran atas kenyataan terjadinya
kehilangan dan dapat mencoba untuk membuat kesepakatan secara halus
atau terang-terangan seolah kehilangan tersebut dapat dicegah. Individu
mungkin berupaya untuk melakukan tawar-menawar dengan memohon
kemurahan Tuhan.
d. Fase depresi (Depression)
Pada fase ini pasien sering menunjukkan sikap menarik diri, kadang-
kadang bersikap sangat penurut, tidak mau berbicara menyatakan
keputusasaan, rasa tidak berharga, bahkan bisa muncul keinginan bunuh
diri. Gejala fisik yang ditunjukkan, antara lain, menolak makan, susah
tidur, letih, turunnya dorongan libido, dan lain-lain.
e. Fase penerimaan (Acceptance)
Pada fase ini berkaitan dengan reorganisasi perasaan kehilangan,
pikiran yang selalu berpusat pada objek yang hilang mulai berkurang atau
hilang. Individu telah menerima kenyataan kehilangan yang dialaminya
dan mulai memandang kedepan. Gambaran tentang objek yang hilang akan
mulai dilepaskan secara bertahap. Perhatiannya akan beralih pada objek
yang baru. Apabila individu dapat memulai tahap tersebut dan menerima
dengan perasaan damai, maka dia dapat mengakhiri proses berduka serta
dapat mengatasi perasaan kehilangan secara tuntas. Kegagalan untuk
masuk ke tahap penerimaan akan mempengaruhi kemampuan individu
tersebut dalam mengatasi perasaan kehilangan selanjutnya.
Sedangkan menurut John bowlby, (1980 dalam Videbeck, 2008)
membuat hipotesis tentang 4 stadium dukacita :
a) Stadium I
Adalah fase awal dari keputusasaan yang ditandai dengan mati rasa
dan protes. Penolakan mungkin segera, dan luapan kemarahan dan
penderitaan adalah sering. Stadium mungkin berlangsung singkat
sampai beberapa hari dan dapat dialami kembali secara berkala oleh
orang yang sedang berduka cita dalam keseluruhan proses berkabung.
b) Stadium II
Adalah fase merindukan dan mencari-cari orang yang telah meninggal.
Fase ini ditandai dengan kegelisahan fisik dan pengikatan perhatian
dengan orang yang telah meninggal yang menghabiskan segala-
galanya. Fase ini dapat berjalan selama beberapa bulan atau bahkan
bertahun-tahun dalam bentuk yang semakin melemah.
c) Stadium III
Adalah sebagai fase disorganisasi dan putus asa,kenyataan kehilangan
mulai menghilang. Perasaan seperti mengadakan gerakan-gerakan
adalah dominan, dan orang yang berduka cita tampak menarik diri,
apatis, dan tanpa gairah. Insomnia dan penurunan berat badan dapat
terjadi, demikian juga perasaan bahwa kehidupan kehilangan arti.
Orang yang berduka cita mungkin terus-menerus menghidupkan
kembali kenangan akan orang yang telah meninggal dan perasaan
kecewa yang tidak dapat dihindari terjadi jika orang yang berduka cita
menyadari bahwa kenangan adalah kenangan
d) Stadium IV
Adalah fase reorganisasi, selama mana aspek yang menyakitkan secara
akut dari duka acita mulai menghilang dan orang yang berduka cita
mulai merasa kembai kekehidupan. Orang yang telah meninggal
sekarang dikenal dengan rasa kegembiraan, dan juga kesedihan, dan
bayangan orang yang telah meninggal menjadi dipendam. (John
bowlby, 1980 dalam Videbeck, 2008).
Sedangkan menurut C.M. Parker menggambarkan lima stadium :
a) Peringatan (alaram) adalah suatu keadaan yang sangat menimbulkan
ketegangan yang dimanifestasikan oleh perubahan fisiologis, seperti
peningkatan tekanan darah dan kecepatan denyut jantung
b) Mati rasa(numbnes) adalah suatu keadaan dimana orang yang berduka cita
tampak dari permukaan seolah-olah tidak dipengaruhi oleh kehilangan
tetapi, pada kenyataanya, melindungi dirinya sendiri dari perasaan
keteggangan yang akut yang disebabkan oleh kehilangan
c) Dalam keadaan merana atau mencari-cari orang yang berduka cita tampak
atau terus menerus mengingat orang yang telah meninggal. Ilusi atau
halusinasi tentang orang yang telah meninggal seperti yanag disebutkan
(seringkali disebutsebagai ilusi semu atau halusinasi semu karena orang
yang berduka cita segera menyadarinya).
d) Didalam depresi, orang yang berduka cita merasa putus asatentang masa
depan, tidak dapat terus hidup, dan cenderung menarik diri dari keluarga
dan teman-teman
e) Pemulihan dan reorganisasi, orang yang berduka cita menyadari bahwa
kehidupan mereka akan terus berlanjut dengan penyesuaian yang baru dan
tujuan yang berbeda
Menurut Teori angels, 1964 Proses berduka mempunyai beberapa fase
yang dapat diaplikasikan pada sesorang yang sedang berduka maupun
menjelang ajal, yaitu:
a) Fase I (shock dan tidak percaya)
Seseorang menolak kenyataan atau kehilangan, mungkin menarik diri,
duduk, malas, atau pergi tznpa tujuan. Reaksi secarafisik: pingsan,
diaphoresis, mual, diare, detak jantung cepat
b) Fase II (berkembangnya kesadaran)
Seseorang mulai merasakan kehilangan secara nyata/akut dan mungkin
mengalami putus asa. Kemarahan, perasaan bersalah, frustasi, depresi, dan
kekosongan jiwa tiba-tiba terjadi.
c) Fase III (restusi)
Berusaha mencoba untuk berdamai dengan perasaan hampa dan kosong
karena kehilangan masih belum dapat menerima perhatian yang baru dari
seseorang yang bertujuan untuk mengalihkan kehilangan.
d) Fase IV
Menekan seluruh perasaan negative dan bermusuhan terhadap almarhum.
Bias merasa bersalah dan sangat menyesal tentang kurang perhatiannya di
masa lalu terhadap almarhum
e) Fase V
Kehilangan yang tidak dapat dihindari harus mulai diketahui/disadari.
Sehingga pada fase ini diharapkan seseorang sudah dapat menerima
kondisinya. Kesadaran baru telah berkembang
6. Tipe Berduka yaitu :
a. Berduka diantisipasi
Berduka diantisipasi merupakan pengalaman individu dalam merspon
kehilangan yang actual ataupun yang dirasakan seseorang, hubungan /
kedekatan, objek atau ketidakmampuan fungsional sebelum terjadinya
kehilangan. Tipe ini masih dalam batas normal
b. Berduka disfungsional
Berduka disfungsional merupakan pengalaman individu yang responya
dibesar-besarkan saat individu kehilangan secara actual maupun potensial,
hubungan, objek dan ketidakmampuan fungsional. Tipe ini kadang-kadang
menjurus ke tipikal,abnormal, atau kesalahan / kekacauan.

7. Asuhan keperawatan Teori berduka diantisipasi


1) Pengkajian
Pengkajian meliputi upaya mengamati dan mendengarkan isi duka cita klien:
apa yang dipikirkan, dikatakan, dirasakan, dan diperhatikan melalui perilaku.
Beberapa percakapan yang merupakan bagian pengkajian agar mengetahui
apa yang mereka piker dan rasakan adalah:
a) Persepsi yang adekuat tentang kehilangan
b) Dukungan yang adekuat ketika berduka akibat kehilangan
c) Perilaku kopingyang adekuat selama proses
2) Analisa data
Data Objektif
a) Merasa putus asa dan kesepian
b) Kesulitan mengekspresikan perasaan
c) Konsentrasi menurun
Data Subjektif (DITAMBAH)
3) Diagnosa Keperawatan
a) Antisipasi berduka (sudah terjadi kehilangan tetapi respon masih normal)
b) Berduka berkepanjangan (sudah terjadi berduka tetapi respon
berkepanjangan)
4) Intervensi Keperawatan pada pasien Berduka berkepanjangan
a. Tindakan keperawatan untuk pasien
Tujuan Khusus
1. Pasien dapat membina hubungan saling percaya dengan perawat
2. Pasien mengenali peristiwa kehilangan yang dialaminya
3. Pasien dapat memahami hubungan antara kehilangan yang dialami
dengan keadaan dirinya
4. Pasien dapat mengidentifikasi cara cara mengatasi berduka yang
dialaminya
5. Pasien dapat memanfaatkan faktor pendukung
b. Tindakan keperawatan:
Pertemuan perawat pasien lebih kurang 12 kali. Bina hubungan saling
percaya dengan pasien :
1. Perkenalkan diri
2. Buat kontrak asuhan dengan pasien
3. Jelaskan bahwa perawat akan membantu pasien
4. Jelaskan bahwa perawat akan menjaga kerahasiaan informasi
tentang pasien
5. Dengarkan dengan penuh empati ungkapan perasaan pasien .
6. Diskusikan dengan pasien kehilangan yang dialaminya : Kondisi
fikiran, perasaan, fisik, sosial dan spiritual.
5) Diskusikan dengan pasien keadaan saat ini :
a. Kondisi pikiran, perasaan, fisik, sosial, dan spiritual pasien sebelum
mengalami kehilangan terjadi
b. Kondisi pikiran, perasaan, fisik, sosial dan spiritual pasien sesudah
peristiwa kehilangan terjadi
c. Hubungan antara kondisi saat ini dengan peristiwa kehilangan yang
terjadi
6) Diskusikan cara cara pengatasi berduka yang dialaminya
a. Cara verbal adalah suatu komunikasi yang disampaikan komunikator
kepada komunikasi dengan cara tertulis atau lisan
b. Cara fisik adalah suatu bentuk gerakan tubuh yang dilakukan oleh otot-
otot tubuh (misalnya; beri kesempatan aktifitas fisik, berolahraga)
c. Cara sosial adalah sesuatu yang dibangun dan terjadi dalam sebuah situs
komunitas ( misalnya ; sharing dengan rekan senasib melalui self help
group)
d. Cara spiritual adalah dengan cara berhubungan dengan yang maha kuasa
dan maha pencipta, tergantung kepercayaan yang dianut (misalnya ;
berdoa dan berserah diri kepada tuhan yang maha esa) CARI
PENGERTIANYA
7) Diskusikan kegiatan yang biasa dilakukan
8) Diskusikan kegiatan baru yang akan dimulai.
9) Diskusi tentang sumber bantuan yang ada dimasyarakat yang dapat
dimanfaatkan oleh pasien:
a. Bantu mengidentifikasi potensi yang dimiliki dan sumber yang dimiliki
b. Eksplorasi sistem pendukung yang tersedia
c. Bantu berhubungan dengan sistem pendukung
d. Bantu membuat rangkuman aktivitas lama dan memulai aktivitas yang
baru
10) Bantu dan latih melakukan kegiatan dan memasukkan dalam jadual kegiatan.
11) Kolaborasi dengan tim kesehatan jiwa (GP+) di Puskesmas

Anda mungkin juga menyukai