Anda di halaman 1dari 37

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit kardiovaskuler merupakan penyebab kematian sebesar hampir


sepertiga dari seluruh kematian manusia didunia, dan hampir 40% penyebab kematian
pada populasi diamerika serikat. Barangkali Hipertensi merupakan faktor resiko yang
paling besar terhadap prevalensi penyakit kardiovaskular. Resiko kematian akibat
penyakit jantung iskemik dan stroke menjadi dua kali lipat pada setiap kenaikan
tekanan darah sistolik sebesar 20 mmHg dan tekanan darah diastolik 10 mmHg.
Insiden hipertensi, terutama tekanan darah sistolik meningkat sejalan dengan
bertambahnya usia. Kurang lebih separuh dari penduduk berusia 60-69 tahun dan tiga
perempat orang orang berusia diatas 70 tahun menderita hipertensi. Kira kira 20%
orang dewasa diamerika Serikat menderita tekanan darah tinggi (Lim,2009).

Dimulai dengan atherosklerosis, gangguan struktur anatomi pembuluh darah


perifer yang berlanjut dengan kekuatan pembuluh darah. Kekakuan pembuluh darah
disertai dengan penyempitan dan kemungkinan pembesaran plaque yang menghambat
gangguan peredaran darah peripher. Kekakuan dan kelambanan aliran darah
menyebabkan beban jantung bertambah berat yang akhirnya dikompensasi dengan
peningkatan upaya pemompaan jantung yang memberikan gambaran peningkatan
tekanan darah dalam sistem sirkulasi(Bustan, 2007).

Faktor resiko dari PJK ada faktor resiko yang dapat diperbaiki (reversible) dan
faktor resiko yang tidak bisa diubah (non-modifiable). Faktor resiko seperti umur,
jenis kelamin, anatomi pembuluh koroner dan faktor metabolisme adalah faktor
alamiah yang sudah tidak dapat diubah. Sedangkan hipertensi adalah sebagai faktor
resiko dari PJK yang masih dapat diperbaiki (Bustan, 2007).

1
Hipertensi berdasarkan penyebabnya dapat dibedakan menjadi 2 golongan:
hipertensi esensial yang tidak diketahui penyebabnya dan hipertensi sekunder yang
disebabkan oleh penyakit lain. Hipertensi merupakan suatu gangguan pada sistem
peredaran darah, yang cukup banyak mengganggu kesehatan masyarakat. Pada
umumnya terjadi pada manusia yang sudah berusia setengah umur yaitu lebih dari 40
tahun(Gunawan,2001).

Hubungan hipertensi dan penyakit jantung koroner, hipertensi akan


mengakibatkan perubahan struktur arteri koroner. Dimana akan terjadi luka atau lesi
pada lapisan endotelium arteri koroner yang akan menyebabkan disfungsi
endotelium. Disfungsi endotelium terjadi akibat dari pada peningkatan permiabilitas
kapiler, adesi leukosit, monosit, platlet dan pelepasan faktor pertumbuhan seperti
platlet-derived growth factor (PDGF), yang akan menyebabkan migrasi, dan
proliferasi sel sel otot polos. Akibat migrasi dan proliferasi sel otot polos akan
menyebabkan terbentuknya foam cells plaques, dimana ini terbentukdari makrofag
dan sel sel otot polos. Lama kelamaan akan terbentuk fatty sterak, dan akhirnya akan
terjadi penumpukan kolagen, dan extraseluler matrix (ECM) serta extraseluler lipid.
Akibatnya akan terbentuk plak fibrosa. Plak fibrosa akan menyumbat dan
menyempitkan arteri korener yang pada keadaan hipertensi, keperluan darah otot otot
jantung meningkat dan keadaan ini akan menyebabkan timbulnya berbagai
symptom(Paramjit&Cotran, 2010).

Aterosklerosis menurut WHO adalah peningkatan fokal pada tunika intima


arteri yang berubah dan dipenuhi oleh kombinasi substansi lemak, karbohidrat,
konstituen darah, perubahan jaringan ikat dan adanya defosit kalsium yang
berasosiasi dengan perubahan pada tunika intima media arteri. ateroskleosis dianggap
sebagai suatu penyakit inflamasi sebab sel yang berperan pada lesi awal yang berupa
makrofag berasal dari monosit dan limfosit ini merupakan hasil proses inflamasi
(Junaidi,2000).

2
Hiperkolesterolemia sendiri diyakini mengganggu fungsi endotel dengan
meningkatkan produksi radikal bebas oksigen. Radikal ini menonaktifkan
oksidanitrat, yaitu faktor endothelial-relasing utama. Apabila terjadi hiperlipidemia
kronis, lipoprotein tertimbun dalam lapisan intima ditempat meningkatnya
permeabilitas endotel. Pemajanan terhadap radikal bebas dalam sel endotel dinding
arteri menyebabkan terjadinya oksidasi LDL-C, yang berperan dan mempercepat
timbulnya plak ateromatosa. Oksidasi LDL-C diperkuat oleh kadar HDL-C yang
rendah, diabetes mellitus, defisiensi enstrogen, hipertensi, dan adanya derivate
merokok. Sebaliknya, kadar HDL-C yang tinggi bersifat protektif terhadap timbulnya
CAD bila terdiri atas sedikitnya 25% kolesterol total (Price&Loiraine, 2005).

Hiperkolesteromia memicu adhesi monosit, migrasi sel otot polos subendotel,


dan penimbunan lipid dalam makrofag dan sel sel otot polos. Apabila terpajan dengan
LDL-C yang teroksidasi, makrofag menjadi sel busa, yang beragregasi dalam lapisan
intima, yang terlihat secara makroskopis sebagai bercak lemak. Akhirnya, deposisi
lipid dan jaringan ikat mengubah bercak lemak ini menjadi ateroma lemak fibrosa
matur. Ruptur menyebabkan inti bagian dalam plak terpajan dengan LDL-C yang
teroksidasi dan meningkatnya perlekatan elemen sel, termasuk trombosit. Akhirnya
deposisi lemak dan jaringan ikat mengubah plakfibrosa menjadi ateroma, yang dapat
mengalami perdarahan, ulserasi, kalsifikasi, atau thrombosis, dan menyebabkan
infark miokardium (Price&Loiraine, 2005).
Penelitian terdahulu menunjukan peningkatan ketebalan tunika intima media
arteri carotis berhubungan dengan kejadian infark miokard dan stroke pada usia tua
dan dewasa. Beberapa penelitian menunjukkan hubungan antara ketebalan tunika
intima arteri carotis interna dengan faktor resiko stroke seperti DM, hipertensi,
hiperkolesterolemia dan perokok (Elkind MS,2001).

Berdasarkan gambaran epidemiologi serta uraian diatas yang menyatakan


bahwa hipertensi dan monosit bersifat anterogenik dan trombogenik menggambarkan
proses aterosklerosis dan merupakan dasar terjadinya penyakit jantung koroner, serta

3
belum banyaknya data penelitian tentang konsentrasi monosit pada penderita
hipertensi maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang penelitian yang telah diuraikan diatas dirumuskan


beberapa masalah sebagai berikut:

- Apakah ada hubungan antara peningkatan tekanan darah dengan kadar monosit
serum.
- Apakah semua penderita hipertensi yang melakukan pemeriksaan kadar
monosit berisiko mengalami aterosklerosis.

1.3. Hipotesis

Ada hubungan antara peningkatan tekanan darah dengan terjadinya peningkatan


monosit pada pasien yang berusia >40 tahun

1.4. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan:

1.4.1 Tujuan umum:

Mengetahui hubungan antara peningkatan tekanan darah


dengan kadar monosit pada pasien hipertensi usia >40 tahun.

1.4.2 Tujuan khusus

- Mengetahui hubungan antara peningkatan tekanan


darah dengan kadar monosit pada pasien hipertensi
pada usia >40 tahun.
- Mengetahui berapa banyak penderita hipertensi
yang mengalami peningkatan kadar monosit.

4
- Mengetahui berapa banyak penderita hipertensi
yang melakukan pemeriksaan monosit berisiko
terkena penyakit kardiovaskular.

1.5. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan dan manfaat


bagi program kesehatan, masyarakat, dan ilmu pengetahuan.

1.5.1 Program pelayanan kesehatan

- Memberikan informasi tentang hipertensi dan monosit sebagai


salah satu faktor resiko untuk terbentuknya aterosklerosis.
- Memberikan sumbangan pengetahuan untuk mencegah stroke,
PJK, dan Hipertensi melalui pemeriksaan tekanan darah dan
monosit.

1.5.2 Untuk masyarakat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi pada masyarakat


tentang pentingnya pemeriksaan monosit dan pemeriksaan tekanan darah
sebagai upaya preventif pada pasien yang berisiko terkena stroke dan PJK.

1.5.3 Dalam kaitannya dengan kepentingan ilmu pengetahuan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk mengembangkan ilmu


kesehatan dan sebagai bahan informasi untuk penelitian selanjutnya.

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori

2.1.1 Hipertensi

2.1.1.1Definisi

Hipertensi adalah kenaikan tekanan darah arterial di atas nilai relatif normal.
Pengukuran tekanan darah dilakukan menggunakan sphygmomanometer yang
terkalibrasi setiap 6 bulan untuk memastikan ketepatan pengukuran. Pengukuran
tekanan darah dilakukan untuk menilai kesehatan kardiovaskuler, termasuk skrining
hipertensi dan monitoring pengobatan pasien hipertensi (Lim, 2009).

Tekanan darah tinggi adalah tekanan darah sistolik lebih atau sama dengan 150-
180 mmHg. Tekanan diastolik biasanya juga akan meningkat dan tekanan diastolik
yang tinggi misalnya 90-120 mmHg atau lebih, akan berbahaya karena merupakan
beban jantung (Kaplan,1998).
Hipertensi adalah keadaan peningkatan tekanan darah yang memberi gejala
yang akan berlanjut kesuatu organ targen seperti stroke (untuk otak), penyakit jantung
koroner (untuk pembuluh darah jantung) dan hipertropi ventrikel kanan/left ventricle
hypertrophy (untuk otot jantung). Dengan target organ di otak yang berupa stroke
yang membawa kematian tinggi (Bustan, 2007).

2.1.1.2 Epidemiologi

Sampai saat ini prevalensi hipertensi di indonesia berkisar antara 5 10 %


sedangkan Tercatat pada tahun 1985 proporsi penyakit jantung hipertensi sekitar
14,3% dan meningkat menjadi sekitar 39% pada tahun 1983 sebagai penyebab

6
penyakit jantung di indonesia.Sejumlah 85 90 % hipertensi tidak diketahui
penyebabnya atau disebut sebagai hipertensi primer (hipertensi esensial atau
idiopatik). Hanya sebagian kecil hipertensi yang dapat ditetapkan penyebabnya
(hipertensi skunder). Tidak ada data akurat mengenai prevalensi hipertensi sekunder
dan sangat tergantung dimana angka itu diteliti. Diperkirakan terdapat sekitar 6%
pasien hipertensi sekunder sedangkan dipusat rujukan dapat mencapai sekitar 35%.
Hampir semua hipertensi sekunder didasarkan pada 2 mekanisme yaitu gangguan
sekresi hormon dan gangguan fungsi ginjal. Pasien hipertensi sering meninggal dini
karena komplikasi jantung. Juga dapat menyebabkan stroke, gagal ginjal, atau
gangguan retina mata (Panggabean, 2009).

2.1.1.3 Klasifikasi Tekanan Darah

Berdasarkan laporan Joint National Committee of High Blood Pressure ke 7


disebutkan bahwa hipertensi didasarkan pada pengukuran tekanan darah sistolik dan
diastolik (Lim, 2009).

7
Tabel 2.1 Klasifikasi tekanan darah oleh JNC VII

Klasifikasi Tekanan sistolik Tekanan diastolik


(mmHg) (mmHg) (mmHg)

Normal < 120 Dan <80

Pre- hipertensi 120 139 Atau 80 89

Hipertensi stadium 1 140 159 Atau 90 - 99

Hipertensi stadium 2 160 Atau 100

Tujuan klasifikasi baru ini untuk mengidentifikasi individu melakukan


perubahan gaya hidup dalam menurunkan tekanan darah secara dini untuk mencegah
progresivitas peninggian tekanan darah (Lim, 2009).

8
2.1.1.4 Etiologi

Berhubungan lebih dari 90% penderita hipertensi digolongkan atau disebabkan


oleh hipertensi primer, maka secara umum yang disebut hipertensi adalah hipertensi
primer. Meskipun belum diketahui penyebabnya, data data penelitian telah
menemukan beberapa faktor yang sering menyebabkan terjadinya hipertensi. Faktor
faktor tersebut antara lain adalah faktor keturunan dan kebiasaan hidup (Gunawan,
2001).

Berikut adalah beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya hipertensi

1 Genetika

Apabila riwayat hipertensi didapat pada orang tua maka terjadinya hipertensi primer
pada seseorang akan cukup besar. hal ini terjadi karena pewarisan sifat melalui gen.
Faktor keturunan dan gaya hidup yang tidak sehat dapat menyebabkan tekanan darah
tinggi. Menurut sebagian ahli kesehatan sebagian besar kasus hipertensi dipengaruhi
oleh faktor keturunan. Hal ini terbukti dengan ditemukanya kejadian bahwa hipertensi
lebih banyak terjadi pada monozigot dibanding heterozigot (Susanto, 2010).

2 Obesitas

Curah jantung dan sirkulasi volume darah penderita yang obesitas lebih tinggi dari
penderita hipertensi yang tidak mengalami obesitas. terbukti bahwa daya pompa
jantung dan sirkulasi volume darah penderita obesitas dengan hipertensi lebih tinggi
dibanding penderita hipertensi dengan berat badan normal (Susanto, 2010).

3 Stres lingkungan

Hubungan antara stres dengan hipertensi diduga melalui aktivitas saraf simpatis yang
dapat meningkatkan tekanan darah secara bertahap. stres yang berkepanjangan dapat
mengakibatkan tekanan darah menjadi tinggi (Susanto, 2010).

9
4 Jenis kelamin

Pada umumnya intensitas pada pria lebih tinggi dari pada wanita, namun pada usia
pertengahan dan lebih tua, insiden pada wanita mulai meningkat, sehingga pada usia
diatas 65 tahun, insidens pada wanita lebih tinggi (Tambayong, 2000).

5 Pertambahan usia
Berbagai penelitian telah menemukan hubungan antara berbagai faktor resiko
terhadap timbulnya hipertensi. berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, ternyata
prevalensi (angka kejadian) hipertensi meningkat dengan bertambahnya usia.
hilangnya elastisitas jaringan dan arterosklerosis serta pelebaran pembuluh darah
adalah faktor penyebab hipertensi pada usia tua. dari berbagai penelitian yang
dilakukan diindonesia menunjukkan penduduk yang berusia diatas 20 tahun sudah
memiliki faktor resiko penderita hipertensi (Susanto, 2010).
6 Asupan garam berlebih
Pengaruh asupan garam terhadap hipertensi adalah melalui peningkatan volume
plasma atau cairan tubuh dan tekanan darah. keadaan ini akan diikuti oleh
peningkatan ekskresi (pengeluaran) kelebihan garam sehingga kembali pada kondisi
keadaan sistem hemodinamik (pendarahan) yang normal. pada hipertensi primer
(esensial) mekanisme tersebut terganggu, disamping kemungkinan adanya faktor lain
yang berpengaruh.
Natrium memegang peranan penting terhadap timbulnya hipertensi. natrium dan
klorida adalah ion utama cairan ekstraseluler. konsumsi natrium yang berlebihan
menyebabkan konsentrasi natrium didalam cairan ekstraseluler meningkat. untuk
menormalkannya kembali, cairan intraseluler harus ditarik keluar sehingga volume
cairan ekstraseluler meningkat. meningkatnya volume cairan ekstra tersebut
menyebabkan meningkatkan volume darah, sehingga berdampak pada timbulnya
hipertensi (Susanto, 2010).

10
7 Gaya hidup yang kurang sehat
Faktor faktor yang dapat menyebabkan timbulnya gangguan atau kerusakan pada
pembuluh darah turut berperan terhadap munculnya penyakit hipertensi. faktor faktor
tersebut antara lain merokok, asupan makan lemak jenuh, dan tingginya kolestrol
dalam darah. selain faktor faktor tersebut, faktor lain yang mempengaruhi terjadinya
hipertensi antara lain alkohol, gangguan mekanisme natrium yang mengatur jumlah
cairan tubuh, dan faktor hormon yang mempengaruhi tekanan darah (Susanto, 2010).
8 Obat obatan
Obat pencegah kehamilan, steroid, dan obat anti infeksi dapat meningkatkan tekanan
darah. beberapa jenis obat dapat menaikkan kadar insulin. penggunaan obat-obatan
tersebut dalam jangka waktu yang panjang mengakibatkan tekanan darah naik secara
permanen yang merupakan ciri khas penderita hipertensi (Susanto, 2010).
9 Akibat penyakit lain
Hipetensi muncul bukan karena suatu penyebab secara pasti, namun jika dikaji lebih
jauh, tiap-tiap penderita memiliki suatu sebab yang dominan meski bersifat spesifik
dan pada tingkat individu. sedangkan secara umum hipertensi terjadi sebagai akibat
komplikasi berbagai faktor.
Oleh karena itu, pencegahan penyakit hipertensi dengan menjalankan gaya hidup
sehat menjadi sangat penting (Susanto, 2010).

2.1.1.5 Manifestasi klinis

Sebagian besar manifestasi klinis terjadi setelah mengalami hipertensi


bertahun-tahun dan berupa:

- Sakit kepala saat terjaga, kadang kadang disertai mual dan


muntah, akibat peningkatan tekanan darah intrakranium
- Penglihatan kabur akibat kerusakan hipertensif pada retina
- Cara berjalan yang tidak mantap karena kerusakan susunan saraf
pusat

11
- Nokturia yang disebabkan peningkatan aliran darah ginjaldan
filtrasi glomerulus.
- Edema dependen dan pembengkakan akibat peningkatan tekanan
kapiler (Corwin, 2009).

2.1.1.6 Klasifikasi

Hipertensi dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologi yaitu dengan penyebab


yang tidak diketahui (hipertensi esensial/primer /idiopatik) atau diketahui (hipertensi
sekunder), sebagian besar kasus hipertensi diklasifikasikan sebagai essensial, tetapi
kemungkinan penyebab yang melatar belakanginya harus selalu ditentukan.

Klasifikasi etiologi hipertensi :

- Primer (hipertensi dari sebab yang tidak dapat ditentukan):

Labil (perbatasan)

Sistolik (pada orang muda atau orang tua)

Esensial benigna

Esensial maligna

- Sekunder (berhubungan dengan sebab yang telah ditentukan):

Parenkim ginjal (pielonefritis, glomerulonefritis, penyakit kistik, dsb)

Arteri renalis (Aterosklerotik, fibrosis, emboli, hematoma perinefrik dsb)

Renoprival (nefrektomi bilateral atau tanpa fungsi ginjal)

Endokrin : tirotoksikosis, hiperparatiroidisme, feokromositoma, akromegali,


sindrom dan penyakit cushing, kelebihan licorice, aldosteronisme primer,
cacat enzim biosintetik, kontrasepsi oral.

12
Koarktasio aortaSaraf : porfiria, poliomyelitis, peningkatan tekanan
intracranial, sindrom diensefalik, ensefalitis timah hitam, transeksi medulla
spinalis (Chung, 1995).

2.1.1.7 Patofisiologi

Mekanisme yang mengontrol konstriksi dan relaksasi pembuluh darah terletak


di pusat vasomotor, pada medula di otak. Dari pusat vasomotor ini bermula jaras saraf
simpatis, yang berlanjut ke bawah ke korda spinalis dan keluar dari kolumna medula
spinalis ke ganglia simpatis di toraks dan abdomen. Rangsangan pusat vasomotor
dihantarkan dalam bentuk impuls yang bergerak ke bawah melalui saraf simpatis ke
ganglia simpatis. Pada titik ini, neuron preganglion melepaskan asetilkolin, yang akan
merangsang serabut saraf pasca ganglion ke pembuluh darah, dimana dengan
dilepaskannya norepinefrin mengakibatkan konstriksi pembuluh darah. Berbagai
faktor seperti kecemasan dan ketakutan dapat mempengaruhi respon pembuluh darah
terhadap rangsang vasokontriktor. Individu dengan hipertensi sangat sensitif terhadap
norepinefrin, meskipun tidak diketahui dengan jelas mengapa hal tersebut bisa terjadi
(Corwin,2009).

2.1.1.8 Diagnosa

Untuk menegakan diagnosa hipertensi dapat diperoleh dari data anamnese


penderita. Pemeriksaan tekanan darah secara akurat yang dilakukan setelah cukup
istirahat 5-19 menit pemeriksaan lebih teliti pada target organ menilai komplikasi dan
pemeriksan laboratorium sehingga cara pendukung seperti pemeriksaan gula, urine
kalium dalam darah dan kreatin pemeriksaan laboratorium ini juga diperlukan untuk
mengikuti perkembangan pengobatan dan untuk menilai kemungkinan dari efek
samping yang timbul (Sidabutar R.P, 1990).

Tekanan darah sebesar 140/90 mmHg dinyatakan tinggi untuk satu kali
pengukuran saja belum bisa mendasari diagnosis, karena tekanan darah kita bervariasi

13
dalam sehari sebaiknya dilakukan beberapa pengukuran dalam kondisi yang sama,
hanya bila hasilnya sangat tinggi yaitu angka sistolik 210 mmHg atau lebih dan angka
diastolik 120 mmHg atau lebih, maka diagnosis boleh diambil berdasarkan hanya satu
pengukuran (Sidabutar R.P, 1990).

Agar yakin bahwa hasil pengukuran yang didapat akan akurat, sebaiknya tidak
merokok, makan dalam jumlah banyak atau minum minuman beralkohol atau kafein
sebaiknya 30 menit sebelum pengukuran dilakukan faktor faktor ini dapat
menyebabkan kenaikan sementara tekanan darah (Sidabutar R.P, 1990).

2.1.1.9 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan umum hipertensi mengacu kepada tuntutan umum (JNC VII


2003, ESH/ESC 2003). Pengolahan lipid agresif dan pemberian aspirin sangat
bermanfaat. Pada pasien hipertensi pasca infark jantung sangat mendapat manfaat
pengobatan dengan penyakat beta, penghambat ACE atau antialdosteron. Pasien
hipertensi dengan resiko PJK yang tinggi mendapat manfaat deuretik, penyekat beta
dan penghambat kalsium. Pasien hipertensi dengan gangguan fungsi ventrikel
mendapat manfaat tinggi dengan pengobatan diuretik, penghambat, ACE/ARB,
penyekat beta dan antagonis aldosteron. Bila sudah lama tahap gagal jantung
hipertensi, maka prinsip pengobatanya sama dengan pengobatan gagal jantung yang
lain yaitu diuretik, penghambat ACE/ARB, penghambat beta dan aldosteron
(Panggabean, 2009).

Pengobatan hipertensi yang ideal diharapkan mempunyai sifat sifat seperti:

1. Menurunkan tekanan darah secara bertahan dan aman


2. Mampu menurunkan darah secara multifaktoral
3. Berkhasiat untuk semua tingkat hipertensi
4. Melindungi organ organ vital
5. Mendukung pengobatan penyakit penyerta eq.DM

14
6. Mengurangi faktor resiko PJK dalam hal memperbaiki LVH (left ventricle
hypertrophy) dan mencegah pembentukan atherosklerosis
7. Mengurangi frekuensi dan beratnya serangan angina
8. Memperbaiki fungsi ginjal dan menghambat kerusakan ginjal lebih lanjut
9. Efek samping serendah mungkin seperti batuk, sakit kepala, Edema, rasa
lelah mual, dan muka merah
10. Dapat membuat jantung bekerja lebih efisien
11. Melindungi jantung terhadap resiko infark
12. Tidak menggangu gaya dan kualitas hidup penderita misalnya ngantuk dan
batuk.

Secara khusus obat anti hipertensi diharapkan pula:

1. Mempunyai biovailabilitas yang tinggi dan konsisten sehingga efektivitasnya


dapat diperkirakan (predictable). jika tekanan darah diturunkan diharapkan
obat obat anti hipertensi itu dapat diperkirakan sejauh mana penurunanya.
penurunan yang berlebihan dan tak dapat diperkirakan tentu tidak diinginkan.
2. Mempunyai waktu paruh (plasma elimination half-life) yang panjang
sehingga diharapkan mempunyai efek pengendalian tekanan darah yang
panjang sepanjang haridan dengan efek 24 jam ini diharapkan juga efek yang
tidak mendadak dan tanpa akumulasi obat. proteksi 24 jam penuh ini
diharapkan juga dapat menghindari kemungkinan efek mendadak pada masa
krisis sirkadian.
3. Smooth onset action dengan kadar puncak plasma setelah 6 -12 jam untuk
mengurangi kemungkinan efek mendadak seperti takikardia.

4 Dapat dipakai untuk jangka panjang.

5 Mampu meningkatkan sensitivitas jaringan terhadap insulin.


6 Turut memperbaiki profil lemak, misalnya menurunkan LDL (Bustan, 2007).

15
A. Penatalaksanaan Non Farmakologis
Pendekatan nonfarmakologis merupakan penanganan awal sebelum
penambahan obat obatan Penatalaksanaan hipertensi, disamping perlu diperhatikan
oleh seorang yang sedang dalam terapi obat. Sedangkan pasien hipertensi yang
terkontrol, pendekatan nonfarmakologis ini dapat membantu pengurangan dosis obat
pada sebagian penderita. Oleh karena itu, modifikasi gaya hidup merupakan hal yang
penting diperhatikan (Nurkhalida, 2003).
Strategi pengobatan hipertensi harus dimulai degan perubahan gaya hidup
berupa diet rendah garam, berhenti merokok, mengurangi komsumsi alkhol, aktivitas
fisik yang teratur dan penurunan berat badan bagi pasien dengan berat badan lebih.
Selain dapat juga menurunkan tekanan darah, perubahan gaya hidup juga terbukti
meningkatkan efektivitas obat antihipertensi dan menurunkan resiko kardiovaskular.
Untuk hipertensi tingkat 1 tanpa faktor risiko dan tanpa target organ damage
(TOD), perubahan pola hidup dapat dicoba sampai 12 bulan. Sedangkan bila disertai
kelainan penyerta (compelling indications) seperti gagal jantung, pasca infark
miokard, penyakit jantung koroner, diabetes melitus dan riwayat stroke, maka terapi
farmakologi harus dimulai lebih dini mulai dari hipertensi tingkat 1. Bahkan untuk
pasien dengan kelainan ginjal atau diabetes, pengobatan dimulai pada tahap
prehipertensi dengan target TD <130/80 mmHg (Nafrialdi, 2009).
B. Penatalaksanaan Farmakologis
Selain cara pengobatan nonfarmakologis, penatalaksanaan utama hipertensi
primer adalah dengan obat. Keputusan untuk mulai memberikan obat antihipertensi
berdasarkan beberapa faktor seperti derajat peninggian tekanan darah, terdapatnya
kerusakan organ target dan terdapatnya manifestasi klinis penyakit koardiovaskuler
atau faktor risiko lain (Suyono&Slamet, 2001).
Dikenal 5 kelompok obat lini pertama (firsX3t line drug) yang lazimdigunakan
untuk pengobatan awal hipertensi, yaitu : Diuretik, penyekat reseptor beta adrenergik,
penghambat reseptor angiotensin (angiotensin-reseptor bloker, ARB), antagonis
kalsium (Nafrialdi, 2009).

16
Pada JNC Vll, penyekat reseptor alfa adrenergik tidak dimasukkan dalam
kelompok obat lini pertama. Sedangkan pada JNC sebelumnya termasuk lini pertama.
Selain itu dikenal juga kelompok obat yang dianggap lini kedua yaitu: penghambat
saraf adrenergik, agonis sentral, dan Vasodilator (Nafrialdi, 2009).
2.1.1.10 Pencegahan

Upaya pencegahan

1. Pencegahan primordial
2. Promosi kesehatan
3. Proteksi spesifik : kurangi garam sebagai salah satu faktor resiko
4. Diagnosis dini : skrining, pemeriksaan check up
5. Pengobatan tepat : segera mendapatkan pengobatan komprehensif dan kausal
awal keluhan

6 Rehabilitasi:upaya perbaikan dampak lanjut hipertensi yang tidak bisa diobati


(Bustan, 2007).

2.1.1.11 Komplikasi

Penderita hipertensi berisiko terserang penyakit lain yang timbul kemudian.


Beberapa penyakit yang timbul sebagai akibat hipertensi diantaranya sebagai berikut.

1) Penyakit jantung koroner


Penyakit ini sering dialami penderita hipertensi sebagai akibat terjadinya
pengapuran pada dinding pembuluh darah jantung. Penyempitan lubang pembuluh
darah jantung. Penyempitan lubang pembuluh darah pada beberapa bagian otot
jantung. Hal ini menyebabkan rasa nyeri didada dan dapat berakibat gangguan pada
otot jantung. Bahkan, dapat menyebabkan timbulnya serangan jantung
2) Gagal jantung
Tekanan darah tinggi memakan otot jantung bekerja lebih berat untuk
memompa darah. Kondisi itu berakibat otot jantung akan menebaldan meregang

17
sehingga daya pompa otot menurun. Pada akhirnya, dapat terjadi kegagalan kerja
jantung secara umum. Tanda tanda adanya komplikasi yaitu : sesak napas.
3) Kerusakan pembuluh darah otak
Beberapa penelitian diluar negeri mengungkapkan bahwa hipertensi menjadi
penyebab utama pada kerusakan pembuluh darah otak. Ada dua jenis kerusakan yang
ditimbulkan yaitu pecahnya pembuluh darah dan rusaknya dinding pembuluh darah
darah.
4) Gagal ginjal
Gagal ginjal merupakan peristiwa dimana ginjal tidak dapat berfungsi sebagai
mana mestinya. Ada dua jenis kelainan ginjal akibat hipertensi, yaitu nefrosklerosis
benigna dan nefrosklerosis maligna (Martiani&tantan, 2007).

2.1.1.12 Prognosa

Pengobatan maka hipertensi akan berakibat lanjut sesuai dengan target organ
yang diserangnya. Faktor faktor yang mempengaruhi prognosis seseorang penderita
hipertensi adalah:

1. Etiologi hipertensi ; hipertensi sekunder yang ditemukan pada tahap dini akan
lebih baik prognosisnya.
2. Umur ; usia muda mempunyai prognosis yang kurang baik dibanding dengan
usia lebih tua.
3. Jenis kelamin ; umumnya wanita lebih bisa mentolerir lebih baik terhadap
kenaikan tekanan dibanding dengan pria.
4. Suku / ras ; orang hitam diamerika mempunyai prognosis lebih jelek dibanding
orang berkulit putih.
5. Sifat hipertensi ; tekanan darah yang bersifat labil dan progresif kurang baik
prognosisnya.
6. Komplikasi ; adanya komplikasi memperberat prognosis.

18
7. Banyaknya faktor resiko lain ; ada tidaknya faktor resiko lain seperti DM atau
kolestrolemis bisa memperburuk hipertensi (Bustan, 2007).

2.1.2 Monosit

Berbagai jenis sel darah putih, bersama sama disebut leukosit, memiliki nukleus
dan tidak berwarna dalam keadaan segar. Bentuknya yang bulat dalam peredaran
darah, tapi berupa sel amuboid pleiomorfik dalam jaringan, atau pada substratpadat
invitro. Leukosit digolongkan sebagai leukosit granular atau leukosit nongranular,
tergantung ada tidaknya granul spesifik dalam sitoplasmanya. Leukosit granular
mencakup eosinofil, basofil, dan neutrofil. Leukosit nongranular mencakup limfosit
dan monosit. Jumlah leukosit dalam sirkulasi bekisar antara 5000-9000 per milimeter
kubik darah, tetapi jumlah ini bervariasi sesuai umur, bahkan pada waktu berbeda
sepanjang hari bervariasi sesuai umur. Jumlah leukosit dalam jaringan dan organ
sangat besar, tetapi tidak dapat dihitung. Variasi kecil dalam jumlah leukosit tidak
mempunyai arti klinik, tetapi adanya infeksi dalam tubuh dapat meningkatkan
leukosit sampai 20.000 bahkan 40.000 permilimeter kubik darah. Jumlah relatif
sebagai jenis leukosit, disebut hitung jenis leukosit, biasanya cukup konstan: neutrofil
55-60%, eosinofil 1-3%,basofil 0-0,7%, limfosit 25-33%, dan monosit 3-7%. Proses
penyakit berbeda yang mempengaruhi jumlah beberapa jenis sel lebih banyak dari
pada yang lain, dan hitung jenis seringkali membantu diagnosis (Bloom&Fawcett,
2002).

Monosit Fungsi sistem tersebut adalah menghancurkan dan mengolah bahan


asing yang masuk ke dalam tubuh sehingga dapat memberikan respon tanggap kebal
(Tizard, 1982).

2.1.3 Hubungan monosit dengan aterosklerosis

19
Aterosklerosis adalah suatu penyakit arteri berukuran besardan sedang akibat
terbentuknya lesi lemah yang disebut plak ateromatosa pada permukaan dalam
dinding arteri (Guyton, 2007).

Satu kelainan yang dapat diperiksa secara dini dipembuluh darah yang menjadi
cikal bakal aterosklerosis adalah kerusakan endotel vaskular. hal ini selanjutnya
meningkatkan paparan molekul adhesi pada sel endotel dan menurunkan kemampuan
endotel tersebut untuk melepaskan nitric oxide dan zat lain yang membantu
mencegah perlekatan makromolekul, trombosit, dan monosit pada endotel vaskular
terjadi, monosit, dan lipid (kebanyakan berupa lipoprotein berdensitas rendah) yang
beredar, mulai menumpuk ditempat yang mengalami kerusakan. Monosit melalui
endotel, memasuki lapisan intima dinding pembuluh, dan berdiferensiasi menjadi
makrofag, yang selanjutnya mencerna dan mengoksidasi setumpukan lipoprotein,
sehingga penampilan makrofag menyerupai busa.sel busa makrofag ini kemudian
bersatu pada pembuluh darah dan membentuk fatty streak yang dapat dilihat (Guyton,
2007).

Dengan berjalannya waktu, fatty streak menjadi lebih besar dan bersatu, dan
jaringan otot polos serta jaringan fibrosa disekitarnya berproliferasi untuk membentuk
plak yang makin lama makin besarmakrofag juga melepaska zat yang menimbulkan
inflamasi dan proliferasi lebih lanjut dan jaringan fibrosa dan otot polos pada
permukaan dalam dinding arteri (Guyton, 2007).

2.1.4 Patogenesis aterosklerosis

Resiko perkembangan aterosklerosis sebagian ditentukan secara


genetik.insidensi dari konsekunsi klinis aterosklerosis seperti penyakit jantung
iskemik meningkat seiring usia, terutama setelah usia 40 tahun. aterosklerosis jauh
lebih umum terjadi pada pria dibandingkan wanita. perbedaan ini kemungkinan
karena efek protektif dari estrogen, dan secara progresif menghilangkan setelah

20
menopouse. faktor resiko penting yang merupakan predisposisi terhadap
aterosklerosis mencakup merokok, hipertensi, diabetes, dan tingginya kolestrol serum
(Aaronson et al, 2008).

Hipotesis mengenai patogenesis aterosklerosis yang paling banyak diterima


adalah aterosklerosis diinisiasi oleh cedera atau disfungsi endotel. plak cendrung
terbentuk pada area yang memiliki berbagai stres regangan hemodinamik (misalnya
ditempat percabangan arteri atau bifurkasi). endotel terutama rentan terhadap
kerusakan pada lokasi tersebut, seperti yang dibuktikan dengan peningkatan
pergantian (turnover) sel endotel dan permeabilitas. disfungsi endotel memacu adhesi
monosit, sel darah putih yang tertimbun dibawah lapisan monolayer endotel, dan
menjadi makrofag.makrofag dalam keadaan normal berperan penting selama
inflamasi, merupakan respons tubuh terhadap cedera dan infeksi. makrofag
merupakan peran tersebut dengan kerja sebagai sel pengangkut (scavenger cell)
untuk mengangkut sel mati dan benda asing,dan juga melepaskan sitokin dan faktor
pertumbuhan untuk memacu penyembuhan. Namun demikian, seperti yang dijelaskan
diatas, makrofag dalam dinding arteri dapat teraktivasi secara abnormal,
menyebabkan suatu tipe reaksi inflamasi lambat, yang akhirnya menghasilkan plak
lanjut dan berbahaya secara klinis (Aaronson et al, 2008).

LDL teroksidasi diduga dapat memacu aterogenesis melalui beberapa


mekanisme. LDL teroksidasi bersifat kemotaktik (menarik) terhadap monosit dalam
sirkulasi, dan meningkatkan ekspresi molekul yang menjadi tempat perlekatan
monosit. selanjutnya monosit berpenetrasi ke lapisan monolayer endotel, menumpuk
dibawahnya, dan mengalami maturasi menjadi magrofag (Aaronson et al, 2008).

Limfosit T juga dapat memasuki dinding vaskular dan melepaskan


sitokin.sitokin tambahan dilepaskan oleh trombosit yang beragregasi pada endotel
pada lokasi dimana trombosit yang beragregasi pada endotel pada lokasi dimana
trombosit rusak oleh LDL teroksidasi dan substansi toksik lainnya yang dilepaskan

21
oleh sel sel busa. sitokin bekerja pada sel sel otot polos vaskular pada media,
kemudian sitokin bermigrasi kedalam intima, berproliferasi, dan menyekresi
sejumlah kolagen dan protein jaringan ikat lain secara abnormal. seiring dengan
waktu, akumulasi sel otot polos dan jaringan ikat pada intima membentuk selubung
fibrosa pada bagian dalam dinding arteri. dibawah selubung ini, pembentukan dan
perburukan sel busa yang terus terjadi akan membentuk lapisan lipid ekstraselular
(terutama kolestrol dan kolesteril ester) dan debris selular.sel sel busa yang tetap aktif
seringkali terlokalisasi pada tepi atau bahu lesi. dibawah lipid, lapisan medial sel otot
polos melemah dan mengalami atrofi (Aaronson et al, 2008).

22
2.2 Kerangka konsep

PENENTU GENETIK HIPERTENSI

DISFUNGSI ENDOTEL

ATHEROSKLEROSIS

JANTUNG OTAK
PJK STROKE

MAKROFAG

MONOSIT

NORMAL
200-1000/L

2.3 Hipotesa
Ada hubungan antara peningkatan tekanan darah dengan terjadinya
peningkatan monosit pada pasien yang berusia >40 tahun.

23
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan merupakan penelitian epidemiologi yang


bersifat analitik dengan desain cross sectional study.Desain ini dipilih karena dapat
digunakan untuk mencari hubungan hipertensi dengan kadar monosit pada usia > 40
tahun (Sastroasmoro, 2011).

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada masyarakat yang menderita hipertensi yang berada
dikota medan dan kemudian akan dilakukan pemeriksaan kadar monosit di
laboratorium klinik Prodia Jl.S.Parman No.17/223G, Medan, Sumatra utara,
Indonesia. Waktu pelaksanaan penelitian ini terhitung mulai Februari 2014 sampai
dengan Maret 2014.

3.3 Populasi dan Sampel

3.3.1. Populasi

Populasi target (target populasi) adalah keseluruhan subyek yang dibatasi oleh
karakteristik klinis dan demografis yaitu masyarakat yang menderita hipertensi pada
orang dewasa..

Populasi terjangkau atau populasi sumber adalah bagian dari populasi target yang
dibatasi oleh tempat dan waktu yaitu semua penderita hipertensi pada orang dewasa
yang berada dikota medan.

24
3.3.2. Sampel

Sampel dalam penelitian ini adalah penderita hipertensi yang berada di kota
medan yang terjadi pada orang dewasa, yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak
memenuhi kriteria eksklusi.

3.4 Kriteria inklusi dan eksklusi

3.4.1. kriteria inklusi

- Usia >40 tahun


- Pria / Wanita yang menderita hipertensi
- Pasien / Keluarga bersedia mengikuti penelitian ini dan bersedia
memberikan izin tertulis / informed consent.

3.4.2. Kriteria eksklusi

- Pasien dalam keadaan sakit berat atau tidak memungkinkan


mengikuti penelitian ini
- Pasien sedang mengkomsumsi obat anti hipertensi atau menjalani
terapi untuk pasien hipertensi
- Pasien sedang mengalami infeksi atau menderita penyakit lainya
dapat meningkatkan kadar monosit.

3.5 Besar Sampel

Untuk menentukan total besar sampel minimal maka digunakan rumus besar
sampel untuk koefisien korelasi tunggal yaitu :

(Z + Z) 2

n= +3

0,5 In ((1+r)/(1-r))

25
Dimana :

n = total besar sampel minimal

Z = kesalahan tipe 1 berdasarkan nilai yang telah ditentukan


(= 0,1) Z = 1,645

Z = kesalahan tipe 2 berdasarkan nilai yang telah ditentukan


(= 0,2)Z = 0,842

r = Perkiraan koefisien korelasi (r = 0,48)

(Dorffel et al,1999).

Berdasarkan rumus besar sampel diatas maka didapatkan :

(Z+Z) 2

n= +3

0,5 In ((1+r)/(1-r))

2
(1,645 + 0,842)

n= +3

0,5 In ((1+0,48)/(1-0,48))

n = 20

Maka berdasarkan perhitungan diatas diketahui bahwa total besar sampel minimal
adalah 20 orang (Sastroasmoro, 2011).

26
3.6 Teknik sampling

Pengambilan sample dilakukan secara non Probability sampling dengan


menggunakan teknik judgmental sampling atau purposive sampling. Caranya adalah
peneliti memilih responden berdasarkan pada pertimbangan subyektif dan praktis,
bahwa responden tersebut dapat memberikan informasi yang memadai untuk
menjawab pertanyaan penelitian (Sastroasmoro, 2011).

27
3.7 Rancangan pelenelitian

POPULASI

PURPOSIVE SAMPLING

SAMPEL

UKUR TEKANAN DARAH

HIPERTENSI >140/ atau PREHIPERTENSI120-


NORMAL <120/
>90 139/ atau 80-89
dan <80

>140/ atau >90

UKUR KADAR MONOSIT

NORMAL 2 -10% TINGGI > 2 -10%

3.8 Variabel penelitian


2
1. Variabel bebas ( variabel independen ) : Hipertensi
2. Variabel terikat ( variabel dependen ) : Kadar Monosit

28
3.9 Definisi Operasional

3.9.1 Monosit

Monosit membentuk 2-10% sel darah putih. Saat monositmatur, sel ini pindah
dari darah dan menuju jaringan, saat menjadi magrofag. Magrofag dapat
menghancurkan patogen dengan fagositosis dan dapat meningkatkan respon imun.
Sel ini juga menghilangkan dan hancur karena penuaan dan rusak. Dalam sistem
magrofag monosit, yang kadang disebut sistem retikuloendotelium, terdiri dari
komponen tubuh, yaitu monosit dan magrofag. Beberapa monosit dapat bergerak,
sedangkan yang lain tidak bergerak. Sistem ini terdiri dari : histosis dijaringanikat,
mikroglia diotak, sel kupffer di hati, makrofag alveolus diparu, dan sistem yang ada
dilimpa. Makrofag merupakan fagosit aktif (Holland, 2008).

Pemeriksaan Untuk kadar Monosit : Darah vena yang diambil dari daerah vena
mediana cubiti dengan spuit sebanyak 5cc. sebelum darah tersebut disenfeksi dengan
alkhol 70%. Darah dimasukan dalam tabung berisi EDTA dengan cara dilepas
jarumnya dan dialirkan pelan-pelan sebanyak 2cc. setelah tabung itu dipilin untuk
mencampur EDTA dengan darah. Sisa darah dimasukan dalam tabung tanpa
antikoagulan untuk pemeriksaan kimia klinik dan imunologi.

Tabung berisi darah EDTA ditempatkan sesuai tempatnya pada alat


hematology analyser Cell-Dyn 3700, sehingga darah akan diaspirasi oleh probe dan
masuk dalam sample rotorvalve. Larutan pengencer (diluent) juga mengalir dalam
sample rotor valve, sehingga keduanya tercampur sampel yang telah diencerkan
tersebut menujuke mixingchamber, sampel akan masuk kembali ke sample rotor
valve dan bercampur kembali dengan larutan pengencer (pengenceran kedua).
Sampel diaspirasi melalui aperture ke dalam transducer chamber. Leukosit akan
dihitung jumlahnya berdasarkan jenisnya dengan metode DC (Discrimination Circuit)
dan ditampilkan dalam kertas print out (Lewis SM, 2001).

29
Nilai rujukan menurut(Lewis SM,2001).

Normal : 200 1000 /l (2 -10%)

Tinggi : > 2 -10% dari kadar leukosit

Grau JA, et al mendapatkan :

Resiko tinggi penyakit Kardiovaskuler : leukosit >8200 sel/mm3


Resiko rendah penyakit Kardiovaskuler : leukosit < 5900
sel/mm3

Skala : Numerik

Katagori : Normal dan Tinggi

Cara pengukuran : Pemeriksaan laboratorium : pemeriksaan

darah rutin

3.9.2 Hipertensi

Hipertensi adalah kenaikan tekanan darah arterial di atas nilai relatif normal.
Pengukuran tekanan darah dilakukan menggunakan sphygmomanometer yang
terkalibrasi setiap 6 bulan untuk memastikan ketepatan pengukuran. Pengukuran
tekanan darah dilakukan untuk menilai kesehatan kardiovaskuler, termasuk skrining
hipertensi dan monitoring pengobatan pasien hipertensi (Lim, 2009).

Pengukuran tekanan darah dilakukan dalam posisi pasien duduk bersandar


dengan meletakkan tangan diatas meja atau posisi berbaring. Dengan menggunakan
manset sesuai dengan ukuran lengan pasien. Manset dililitkan pada lengan atas kira
kira 2 cm dari siku. Kemudian meletakkan stetoskop di atas arteri brakialis. Tekanan
dinaikkan dengan memencet alat pompa pada sphygmomanometer sampai pada
tekanan 20-30 mmHg diatas tekanan obliterasi pulsasi, maksudnya diatas hilangnya

30
pulsasi arteri radialis. Kemudian tekanan diturunkan dengan kecepatan 2 mmHg
perdetik sambil mendengar bunyi Korotkoff (Lim, 2009).

Turbulensi aliran darah dalam arteri brakialis menyebabkan bunyi Korotkoff;


bunyi yang dihasilkan gelombang pulsasi arteri. Kualitas dan intensitas bunyi
Korotkoff terbagi atas 5 fase. Fase 1 dengan bunyi yang terdengar jernih, bertepatan
pada munculnya kembali pulsasi arteri radialis, dan dicatat sebagai tekanan sistolik.
Pada fase 2, terdengar bunyi lebih halus dan panjang. Fase 3, terdengar bunyi lebih
keras, dan fase 4 terdengar bunyi berubah menjadi lebih halus, dan pada fase 5 saat
hilangnya bunyi Korotkoff dicatat sebagai tekanan diastolic (Lim, 2009).

Prinsip pemeriksaan : Hemodinamik

Pemeriksaan menggunakan Sphygmomanometer Air raksa merek Reister dan


Stetoskop merek Littman yang digunakan secara manual oleh peneliti.

Nilai rujukan (JNC 7) :

KATEGORI TDS (mmHg) TDD (mmHg)

Normal < 120 dan < 80

Prehipertensi 120-139 dan 80-89

Hipertensi stadium 1 140-159 atau 90-99

Hipertensi stadium 2 160 atau 100

Skala : Numerik

Kategori : Normal, Prehipertensi, Hipertensi

Cara pengukuran : Ukur Tekanan Darah

31
3.10 Alat dan Bahan

1. Darah diambil menggunakan spuit (suntik) sekitar 2 cc, dimasukan ke


dalam tabung yang telah berisi antikoagulan (EDTA atau sitrat),
kemudian dibawa ke laboratorium akan dilakukan pemeriksaan darah
rutin
2. Sphygmomanometer Reister dan Stetoskop Litmann untuk mengukur
tekanan darah.

3.11 Cara kerja

1. Peneliti mengajukan pembuatan surat izin kode etik kepada ketua


komite etika penelitian Fakultas Kedokteran Universitas Methodist
Indonesia untuk mendapatkan Ethical Clearance.
2. Setelah mendapatkan izin, peneliti mengajukan surat izin penelitian ke
laboratorium klinik prodia Medan.
3. Kemudian setelah mendapatkan izin, peneliti melakukan anamneses
untuk mendapatkan keterangan tentang identitas subyek seperti
usia(>40 tahun), riwayat penyakit dan riwayat obat-obatan.
4. Bila subyek memenuhi kriteria inklusi dan tidak memenuhi kriteria
eksklusi, subyek dapat diikut sertakan sebagai sampel.
5. Selanjutnya peneliti menjelaskan secara garis besar tujuan penelitian
ini.
6. Peneliti juga menjelaskan bahwa pada penelitian ini tidak dilakukan
intervensi yang mewakili sampel (Principle of Non Maleficence).
7. Selain itu peneliti juga menjelaskan manfaat apa yang akan diperoleh
bila subyek mengikuti penelitian ini (Principle of Beneficence).
8. Peneliti juga menjelaskan bahwa identitas dan hasil setiap sampel akan
dijaga kerahasiaannya (Principle of Confidentiality).

32
9. Bila sampel tersebut bersedia mengikuti penelitian ini, maka sampel
harus menandatangani Informed Consent (Principle of Autonomy and
Respect).
10. Setelah sampel bersedia dan menandatangani informed consent, maka
peneliti akan mengirim pasien ke Laboratorium klinik prodia Medan
untuk dilakukan pemeriksaan kadar monosit.
11. Selanjutnya pasien akan dikirim ke laboratorium klinik prodia medan
untuk melakukan pemeriksaan kadar monosit. Prinsip pemeriksaan
monosit adalah pemeriksaan darah rutin.
12. Seluruh data yang diperoleh selanjutnya dianalisis menggunakan
teknik analisis data yang telah dipilih.

3.12 Analisis data

Analisis data statistik yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

1 Menggambar scatter diagram (Armitage dan Barry, 1994).

2. Uji korelasi pearson untuk menentukan besar r dan mengetahui seberapa


besar hubungan antara kadar monosit dengan hipertensi (Armitage dan
Barry, 1994).

3. Menghitung nilai t untuk mengetahui nilai p sehingga dapat melihat


signifikasi hubungan antara kadar monosit dengan hipertensi (Armitage
dan Barry, 1994).

4 Menarik garis regresi di scatter diagram pada standar deviasi untuk


mengetahui hubungan antara kadar monosit dengan hipertensi apakah
mempunyai hubungan positive atau negative (Armitage dan Barry, 1994).

5 Data dioleh menggunakan program SPSS 19 for windows

33
3.13 Masalah etika

1. Semua biaya penelitian ditanggung oleh peneliti


2. Setiap pasien yang dilakukan pemeriksaan diberikan Informed Consent
3. Jika terjadi sesuatu atas diri pasien pada waktu pemeriksaan, segala
biaya perawatan dan pengobatan ditanggung oleh peneliti
4. Adanya izin penelitian dari Komisi Kode Etik dari Fakultas
Kedokteran Universitas Methodist Indonesia

34
DAFTAR PUSTAKA

Aida Amelda (2011). Membandingkan kadar lipoprotein (a) pada pasien stroke
iskemik dengan dan tampa diabetes Melitus. FK Universitas Andalas.phD
Thesis

Armitage PA, Berry G, Matthews JNS. 2002. Stathiscal Methods in Medical


Research Fourth Edition. Oxford : Blackwell pp : 101-113

Bloom,Fawcett (2002). Buku ajar histologi. Ed bahasa indonesia.Jakarta: EGC

Bustan (2007). Epidemiologi penyakit tidak menular.Edisi ke 2. Jakarta: Rineka


Cipta, pp: 60 61

Corwin,Elizabeth J (2009). patofisiologi,edisi 3. Jakarta: EGC

Chung, K. E. (1995). Penuntun Praktis Penyakit Kardiovaskuler Ed. 3. Jakarta : EGC


pp: 60 - 61

Don W.fawcett (2002). Buku ajar histologi.Edisi ke 12. Jakarta : EGC,p:105

Dorffel V.Y, Christoph Latsch, Bruno Stuhlmuller, Stefan Schreiber, Susann Scholze,
Gerd R. Burmester and Jurgen Scholze. (1999). Hipertensi. Preactivated
Peripheral Blood Monocytes in Patients With Essential Hypertension.
Dallas: American Heart Association,p:116

Elkind MS, Cheng J, Boden B, Albala, Myunghee C. Plark MC ,Ralph L, Sacco.


(2001). Stroke. Elevated White Blood Cell Count and Carotid Plaque
Thickness : The Northern Manhattan Stoke Study,p:2001;32;842-9

35
Grau, J.A (2004). Leukosit count as an Independent Predictor of Ischemic events.
Stroke. ; 35. ;1147-52

Gunawan (2001). Hipertensi.Cetakan ke 8.yogyakarta: Kanisius,p:17

Guyton,Arthur C (2007). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran.Edisi 11. Jakarta :


EGC,pp:891

Holland, K. (2005) Ensiklopedia Keperawatan. Jakarta : EGC

Junaidi l (2000). Pencegahan dan pengobatan stroke. Jakarta. Buana Ilmu Populer: 4-
28

Kaplan M. Norman (1998). Hypertension in The Population at large In Clinical


Hypertension: Seventh Edition. Baltimore, Maryland USA: Williams
&Wilkins,pp:1-17

Lewis SM (2001). Reference ranges and normal values. In: Dacie and Lewis Practical
Hematology 9 ed. Churchill livingstone.London

Lim,Hadyanto (2009). Farmakologi Kardiovaskuler, edisi 2.Jakarta : PT.


Softmedia,p:2

Martiani L.tantan (2007).100 Questions&answersHipertensi.cetakan ke 2 : PT Elex


Media komputindo kelompok gramedia: 13-14

Nurkhalida (2003). Warta Kesehatan Masyarakat. Dalam keberhasilan penanganan


hipertensiJakarta: Depkes RI:19-21
Nafrialdi. 2009. Antihipertensi. Dalam : Gunawan,G.S. Farmakologi dan terapi Ed.5.
Jakarta : Balai penerbit FKUI, P: 343
Panggabean M (2009). Patogenesis dan penatalaksaan penyakit jantung Hipertensi.
Dalam alwi,setiati S, kasjmir YI dkk, editor.Jakarta: NaskaH Lengkap
Pertemuan Ilmiah ilmu Penyakit Dalam: 130-4

36
Philip l. Aaronson, Jeremy P.T.Ward (2008). At a Glance Siistem Kardiovaskuler,
Edisi 3. Jakarta : Erlangga Medical Series,pp: 81

Price,A.S. Lorraine M.W (2005). Patofisiologi : Konsep Kronis Proses Penyakit.


Jakarta : EGC. P: 586

Sastroasmoro S, Sofyan l. (2001). Dasar-dasar Metologi Penelitian Klinis. Jakarta :


Sagung seto,pp:100-372
Singh P, Gurmuk S. (2010).Hubungan Hipertensi Sebagai Faktor Resiko Kejadian
Penyakit Jantung Koroner di RSU Pusat Haji Adam Malik Medan. Medan:
Sekolah PascaSarjana Universitas Sumatra Utara.p:13
Sidabutar,R.P (1990). Ilmu penyakit dalam jilid ll, Jakarta. Balai Penerbit FKUI

Susanto (2010). Cekal (cegah dan tangkal) Penyakit Modren, ed 1.Jakarta:C.V andi
offset,pp:12-17

Suyono, Slamet (2001). Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid II.FKUI, Jakarta: Balai

Pustaka:253, 454-459,463-464

Tambayong (2000). patofisiologi untuk keperawatan.cetakan I.Jakarta : Buku


Kedokteran EGC: 95

Tizard I (1982). Pengantar Immunologi Veteriner. Surabaya: Airlangga University


Press.

37

Anda mungkin juga menyukai