Anda di halaman 1dari 22

FRAKTUR MAKSILOFASIAL

1. Anatomi Maksilofasial
Secara umum tulang tengkorak terbagi menjadi dua bagian yaitu
neurocranium (tulang yang membungkus otak) dan Viscerocranium (tulang yang
membentuk wajah).
Neurocranium dibentuk oleh : Os, frontal, Os parietal, Os Temporal, Os
Sphenoidalis, Os Occipitalis, dan Os Ethmoidalis.
Viscerocranium dibentuk oleh : Os Maksilaris, Os Palatinum, Os Nasal, Os
lakrimal, Os Zigomatikum, Os Concha Nasalin Inferiorm, Os Vomer, dan Os
Mandibula.
Neurocranium terdiri atas tulang-tulang pipih yang berhubungan satu dengan
yang lain melalui sutura-sutura. Tulang-tulang yang tebal berhubungan dengan
tulang-tulang berdinding tipis. Tulang-tulang pembentuk wajah atau viserocranium
terdiri atas tulang-tulang yang berbentuk tonjolan dan lengkungan yang sangat rentan
untuk terhadap fraktur jika mendapat suatu trauma. Tulang-tulang tersebut
dihubungkan oleh sutura-sutura yang juga dapat menjadi garis fraktur.

Gambar 1. Buttress vertical dan horizontal


Tulang-tulang kraniofasial terdiri atas tulang yang memiliki ketebalan
berbeda. Tulang dengan struktur yang tebal disebut sebagai buttress yang
menopang/penyangga proporsi kraniofasial dalam ukuran tinggi, lebar, dan proyeksi

Fraktur Maksilofasial 1
antero-posterior. Buttress pada maksila meliputi tulang nasomaksilaris pada medial,
tulang zigomatikomaksilaris pada lateral dan tulang pterygomaksilaris pada posterior.
Ketiga buttress ini menghasilkan suatu system penyangga unit-unit fungsi pada oral,
nasal, dan orbita.

2. Definisi Fraktur Maksilofasial

Fraktur adalah hilanga tau putusnya kontinuitas jaringan keras tubuh.


Berdasarkan anatominya wajah atau maksilofasial dibagi menjadi tiga bagian, ialah
sepertiga atas wajah, sepertiga tengah wajah, dan sepertiga bawah wajah. Bagian
yang termasuk sepertiga atas wajah ialah tulang frontalis, regio supra orbita, rimba
orbita, dan sinus frontalis. Maksila, zigomatikus, lakrmal, nasal, palatinus, nasal
konka inferior dan tulang vomer termasuk dalam sepertiga tengah wajah sedangkan
mandibula termasuk ke dalam bagian sepertiga bawah wajah. Fraktur maksilofasial
adalah fraktur yang terjadi pada tulang-tulang wajah yaitu tulang frontal, temporal,
orbitozigomatikus, nasal, maksila, dan mandibula.

Gambar 2. Pembagian wajah secara lateral

Trauma muka dapat disebabkan oleh banyak faktor yang dapat menimbulkan
kelainan, berupa sumbatan jalan nafas, syok karena perdarahan, gangguan pada

Fraktur Maksilofasial 2
vertebra servikalis atau terdapatnya gangguan fungsi otak. Penanganan kasus pada
trauma muka, harus dilakukan segera (immediate) atau pada waktu berikutnya
(delayed). Penanggulangan ini tergantung kepada kondisi jaringan yang terkena
trauma.
Pada periode akut (immediate) setelah terjadi kecelakaan, tidak ada tindakan
khusu untuk fraktur muka kecuali mempertahankan jalan nafas, mengatasi perdarahan
dan memperbaiki sirkulasi darah serta cairan tubuh. Tindakan reposisi dan fiksasi
definitive bukan merupakan tindakan life-saving.
Lamanya terjadi trauma serta timbulnya kelainan karena trauma muka perlu
diperhatikan. Penderita dengan trauma yang mengakibatkan kerusakan jaringan lunak
pada muka, harus dibersihkan dari kotoran atau benda asing yang menempel pada
kulit. Laserasi atau luka sayat pada muka yang mungkin terdapat harus dijahit
secepatnya bila memungkinkan dalam waktu 6-8 jam dan diusahakan kurang dari 24
jam. Setelah itu tindakan selanjunya dilakukan di kamar operasi.
Luka terbuka pada muka disertai fraktur wajah harus segera dapat didiagnosis
agar dapat dilakukan tindakan reposisi dan fiksasi.

Gambar 3. Tampak gambaran tulang pembentuk


tengkorak dari arah anterior dan lateral

Fraktur Maksilofasial 3
Benda asing yang mungkin terdapat pada muka seperti pecahan batu, pecahan
gelas, robekan kain, atau kotoran lainnya harus dibersihkan terlebih dahulu,
kerusakan pada jaringan lunak, dilakukan agar segera tindakan debridement dan
penutupan luka pada kulit. Fraktur muka dilakukan perbaikan berupa reduksi atau
fiksasi, sebaliknya dikerjakan dalam waktu 2 minggu sesudah trauma. Diberikan
vaksin ATS atau toxoid tetanus untuk mencegah timbulnya penyakit tetanus, juga
diperlukan pemberian antibiotika untuk mencegah timbulnya infeksi.

3. Etiologi
Ada banyak faktor etiologi yang menyebabkan fraktur maksilofasial itu dapat
terjadi, seperti kecelakaan lalu lintas, kecelakaan kerja, kecelakaan akibat olahraga,
akibat tidakan kekerasan, atau diakibatkan oleh hal patologis yang dapat
menyebabkan rapuhnya bagian tulang. Akan tetapi penyebab terbanyak adalah
kecelakaan lalu lintas.

4. Klasifikasi fraktur maksilofasial


Fraktur pada wajah ini dibagi atas fraktur pada organ yang terjadi yaitu :
1. Fraktur tulang hiudng
2. Fraktur tulang zigoma dan arkus zigoma
3. Fraktur tulang maksila (mid facial)
4. Fraktur tulang orbita
5. Fraktur tulang mandibula

Fraktur Tulang Hidung


Fraktur tulang hidung merupakan jenis fraktur yang sering terjadi pada wajah.
Fraktur tulang hidung menempati urutan ketiga setelah fraktur klavikula dan
pergelangan tangan. Fraktur tulang hidung dapat terjadi akibat trauma langsung
maupu tidak langsung. Bentuk fraktur bervariasi tergantung dari arah mana dan
kekuatan traumanya.

Fraktur Maksilofasial 4
Trauma yang mengenai tulang hidung maupun tulang rawan hidung dapat
menyebabkan deformitas dan sumbatan hidung. Tipe dan seberapa parah fraktur
tulang hidung yang terjadi tergantung dari kekuatan, arah, dan mekanisme terjadinya
trauma.
Berdasarkan waktu, fraktur hidung dibagi menjadi fraktur hidung baru, dan
lama. Pembagian menurut waktu ini berdasarkan atas pembentukan kalus, Bila kalus
belum terbentuk sempurna maka fraktur digolongkan dalam fraktur baru, sedangkan
bila kalus sudah mengeras digolongkan dalam fraktur lama (biasanya pada akhir
minggu kedua setelah trauma).
Berdasarkan struktur tulang yang telibat, maka fraktur pada tulang hidung
dapat diklasifikasikan menjadi 5 tipe, yaitu :
1. Tipe I : Setengah bagian bawah tulang hidung
2. Tipe II : Seluruh tulang hidung terpisah dari sutura naso frontal
3. Tipe III : Tulang hidung dan prosesus frontalis maksila
4. Tipe IV : Tulang hiudng, prosesus frontalis maksila, spina tulang frontal, dan
tulang etmoid
5. Tipe V : Tipe S/modifikasi : termasuk fraktur pada septum.
Berdasarkan pembagian tersebut maka dapat ditentukan jenis operasi yang akan
dilakukan.

1. Fraktur tulang hidung sederhana


Jika hanya fraktur tulang hidung saja, dapat dilakukan reposisi fraktur tersebut
dalam analgesia lokal. Akan tetapi pada anak-anak atau orang dewasa yang tidak
kooperatif tindakan penanggulangan memerlukan anestesi umum. Analgesia
lokal dapat dilakukan dengan pemasangan tampon lidocain 1-2% yang dicampur
dengan epinefrin 1 : 1000%.
Tampon kapas yang berisi obat analgesia lokal ini di pasang masing-masing 3
buah, pada setiap lubang hidung. Tampon pertama diletakkan pada meatus
superior tepat di bawah tulang hidung, tampon kedua diletakkan antara konka
media dan septum dan bagian distal dari tampon tersebut terletak dekat foramen

Fraktur Maksilofasial 5
sfenopalatina, tampon ketiga dotempatkan antara konka inferior dan septum nasi.
Ketiga tampon tersebut dipertahankan selama 10 menit.Kadang-kadang
diperlukan penambahan penyemprotan oxymethaxoilin spray beberapa kali,
melalui rhinoskopi anterior untuk memperoleh anestesi dan efek vasokontriksi
yang baik.

Pemeriksaan klinis pada fraktur kompleks nasal dilakukan dalam dua


pemeriksaan yakni secara ekstra oral dan intra oral. Pada pemeriksaan ekstra oral,
pemeriksaan dilakukan visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi dapat terlihat
adanya deformitas pada tulang hidung, laserasi, epistaksis, bentuk garis hidung yang
tidak normal. Sedangkan secara per palpasi dapat terlihat adanya luka robek pada
daerah frontal hidung, edema, hematom, dan tulang hidung yang bergerak dan remuk.
Pada pemeriksaan intra oral, pemeriksaan dilakukan secara visualisasi dan palpasi.
Secara visualisasi dapat terlihat adanya deformitas yang berlanjut, deviasi pada tulang
hidung, ekimosis, dan laserasi. Sedangkan secara palpasi terdapat bunyi yang khas
pada tulang hidung.
Selanjutnya pemeriksaan fraktur nasal kompleks dilakukan dengan foto
rontgen dengan proyeksi Water, CT Scan, Helical CT, dan pemeriksaan foro rontgen
dengan proyeksi dari atas hidung.

Teknik reduksi tertutup pada fraktur tulang hidung


Penggunaan analgesia lokal yang baik, dapat memberikan hasil yang
sempurna pada tindakan reduksi fraktur tulang hidung. Jika tidankan reduksi tidak
sempurna maka fraktur tulang hidung tetap saja pada posisi yang tidak normal.
Tindakan reduksi ini dikerjakan 1-2 jam sesudah trauma, dimana pada waktu tersebut
edema yang terjadi mungkin sangat sedikit. Namun demikian tindakan reduksi secara
lokal masih dapat dilakukan sampai 14 hari sesudah trauma, sesudah waktu tersebut,
tindakan reduksi mungkin sulit dikerjakan karena sudah terjadi kalsifikasi sehingga
harus dilakukan tindakan rinoplasti osteotomy.

Fraktur Maksilofasial 6
Gambar 4. Reduksi tertutup pada fraktur tulang hidung

Gambar 5. Prosedur Osteotomy

2. Fraktur tulang hidung terbuka


Fraktur tulang hidung terbuka menyebabkan perubahan tempat dari tulang
hidung tersebut yang juga disertai laserasi pada kulit atau mukoperiosteum
rongga hidung. Kerusakan atau kelainan pada kulit dari hidung diusahakan untuk
diperbaiki atau direkonstruksi pada saat tindakan.

3. Fraktur tulang nasoorbitoetmoid kompleks


Jika nasal pyramid rusak karena tekanan atau pukulan dengan beban berat
akan menimbulkan fraktur hebat pada tulang hidung, lakrimal, etmoid, maksila,
dan frontal. Tulang hidung bersambungan dengan prosesus frontalis, os maksila,
dan prosesus nasalis os frontal. Bagian dari nasal piramid yang terletak antara

Fraktur Maksilofasial 7
dua bola mata akan terdorong ke belakang. Terjadilah fraktur nasoetmoid, fraktur
nasomaksila, dan fraktur nasoorbita. Fraktur ini dapat menimbulkan komplikasi
atau sekuele di kemdian hari.
Komplikasi yang sering terjadi adalah :
1. Komplikasi neurologik
a. Robeknya duramater
b. Keluarnya cairan serebrospinal dengan kemungkinan timbulnya
meningitis
c. Pneumoensefal
d. Laserasi otak
e. Avulsi dari nervus olfaktorius
f. Hematoma epidural atau subdural
g. Kontusio otak dan nekrosis jaringan otak
2. Komplikasi pada mata
a. Telekantus traumatika
b. Hematoma mata
c. Kerusakan nervus optikus yang menyebabkan kebutaan
d. Epifora
e. Ptosis
f. Kerusakan bola mata dan lain-lain
3. Komplikasi pada hidung
a. Perubahan bentuk hidung
b. Obstruksi rongga hidung yang disebabkan oleh fraktur, dislokasi atau
hematoma pada septum
c. Gangguan penciuman
d. Epistaksis posterior yang hebat disebabkan robeknya arteri
ethmoidalis
e. Kerusakan duktus nasofrontalis dengan menimbulkan sinusitis
frontalis atau mukokel

Fraktur Maksilofasial 8
Pada keadaan terjadinya trauma hidung seperti tersebut, jika terdapat
kehilangan kesadaran mungkin terjadi kerusakan pada susunan saraf otak
sehingga memerlukan bantuan seorang ahli bedah saraf. Konsultasi pada
seorang ahli mata diperlukan untuk evaluasi kemungkinan terdapatnya
kelainan pada mata. Pemeriksaan penunjang radiologik berupa CT scan (axial
dan koronal) diperlukan pada kasus ini.

Gambar 6. Gambaran fraktur Os nasal

Diagnosis yang tepat pada fraktur tulang hidung ditegakkan berdasarkan


riwayat trauma dan pemeriksaan fisik secara menyeluruh. Riwayat trauma
yang meliputi :
1. Kekuatan, arah, dan mekanisme terjadinya trauma
2. Adanya epsitaksis atau kebocoran cairan serebrospinal
3. Riwayat trauma atau operasi sebelum terjadi fraktur hidung
4. Adanya sumbatan atau deformitas pada hidung setelah trauma

Fraktur tulang zigoma dan arkus zigoma


Tulang zigoma ini dibentuk oleh bagian-bagian yang berasal dari tulang
temporal, tulang frontal tulang sphenoid, dan tulang maksila. Bagian-bagian dari
tulang yang membentuk zigoma ini memberikan sebuah penonjolan pada pipi di

Fraktur Maksilofasial 9
bawah mata sedikit ke arah lateral. Fraktur tulang zigoma ini agak berbeda dengan
fraktur tripoid atau trimalar.
Gejala fraktur zigoma antara lain :
1. Pipi menjadi lebih rata (jika dibandingkan kontralateral atau sebelum trauma)
2. Diplopia dan terbatasnya gerak mata
3. Edema periorbita dan ekimosis
4. Perdarahan subkonjungtiva
5. Enoftalmos (fraktur dasar orbita atau dinding orbita)
6. Ptosis
7. Terdapatnya hipestesia atau anesthesia karena kerusakan saraf infra-orbitalis
8. Terbatasnya gerakan mandibular
9. Emfisema subkutis
10. Epistaksis karena perdarahan yang terjadi pada antrum

Gambar 7. Gambaran fraktur Os Zigoma

Pemeriksaan klinis pada fraktur kompleks zigoma dilakukan dalam dua


pemeriksaan yakni secara ekstra oral dan intra oral. Pada pemeriksaan ekstra oral,
pemeriksaan dilakukan dengan visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi dapat
terlihat adanya kehitaman pada sekeliling mata, mata juling, ekimosis, proptosis,
pembengkokan kelopak mata, perdarahan sub konjungtiva, asimetris pupil, hilangnya
tonjolan prominen pada daerah zigomatikus. Sedangkan secara palpasi terdapat
edema dan kelunakan tulang pipi. Pada pemeriksaan intra oral, pemeriksaan

Fraktur Maksilofasial 10
dilakukan secara visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi dapat terlihat adanya
ekimosis pada sulkus bukan atas di daerah penyangga zigomatik, kemungkinan
penyumbatan oklusi di daerah molar pada sisi yang terkena injuri. Sedangkan secara
palpasi terdapat kelunakan pada sulkus bukal atas di daerah penyangga zigomatik.
Pemeriksaan fraktur komplek zigomatikus dilakukan dengan foto rontgen
sumbentoverteks, proyeksi waters dan CT Scan.
Dapat menyebabkan perubahan tempat dari tulang zigoma tersebut ke arah
posterior, ke arah medial, atau arah lateral. Fraktur ini tidak mengubah posisi dari
rima orbita inferior kea rah atas atau kea rah bawah. Perubahan posisi dari orbita
tersebut menyebabkan gangguan pada bola mata. Reduksi dari fraktur zigoma ini
difiksasi dengan kawat baja atau mini plate.
Perbaikan fraktur komplek zigoma sering dilakukan secara elektif. Fraktur
arkus yang terisolasi bisa diangkat melalui pendekatan Gillies klasik. Adapun
langkah-langkah tehnik Gilies yang meliputi :
a. Membuat sayatan dibelakang garis rambut temporal
b. Mengidetifikasi fasia temporalis
c. Menempatkan elevator di bawah fasia mendekati lengkung dari aspek
dalam yakni dengan menggeser elevator di bidang dalam untuk fasia,
cedera pada cabang frontal dari syaraf wajah harus dihindari. Sehingga
arkus dapat kembali ke posisi anatomis yang lebih normal.
Bila hanya arkus zigoma saja yang terkena fraktur, fragmen-fragmen harus
direduksi melalui suatu pendekatan menurut Gillies. Fiksasi tidak perlu dilakukan
karena fasia temporalis yang melekat sepanjang bagian atas lengkung akan
melakukan imonilisasi fragmen-fragmen secara efektif.

Fraktur Maksilofasial 11
Gambar 8. Pendekatan Gillies untuk mengurangi fraktur arkus zigomatikus, a) Insisi
temporal melalui fasia subkutan dan fasia superfisial dibawah fasia
temporal bagian dalam, b) Reduksi fraktur dengan elevator.

Fraktur Maksila
Jika terjadi fraktur maksila maka harus segera dilakukan tindakan untuk
mendapatkan fungsi normal dan efek kosmetik yang baik. Tujuan tindakan
penanggulangan ini adalah untuk memperoleh fungsi normal pada waktu menutup
mulut atau oklusi gigi dan memperoleh kontur muka yang baik. Harus diperhatikan
juga jalan napas serta profilaksis kemungkinan terjadi infeksi.
Edema faring dapat menimbulkan gangguan pada jalan napas sehingga
mungkin dilakukan tindakan trakeostomi. Perdarahan hebat yang berasal dari arteri
maksilaris interna atau arteri ethmoidalis anterior sering terdapat pada fraktur maksila
dan harus segera diatasi. Jika tidak berhasil, dilakukan pengikatan arteri maksilaris
interna atau arteri karotis eksterna atau arteri ethmoidalis anterior.
Jika kondisi pasien cukup baik sesudah trauma tersebut, reduksi fraktur
maksila biasanya tidak sulit dikerjakan kecuali kerusakan pada tulang sangat hebat
atau terdapatnya infeksi. Reduksi fraktur maksila mengalami kesulitan jika pasien
datang terlambat atau kerusakan sangat hebat yang disertai dengan fraktur servikal
atau terdapatnya kelainan pada kepala yang tidak terdekteksi. Garis fraktur yang
timbul harus diperiksa dan dilakukan fiksasi.

Fraktur Maksilofasial 12
Klasifikasi fraktur maksila :
1. Fraktur maksila Le Fort I
Fraktur Le Fort I (fraktur Guerin) meliputi fraktur horizontal bagian
bawah antara maksila dan palatum/arkus alveolar kompleks. Garis fraktur
berjalan ke belakang melalui lamina pterigoid. Fraktur ini biasanya
unilateral atau bilateral. Kerusakan pada fraktur Le Fort akibat arah
trauma dari anteroposterior bawah dapat mengenai :
a. Nasomaksila dan zigomatikomaksila vertical butterss
b. Bagian bawah lamina pterigoid
c. Anterolateral maksila
d. Palatum durum
e. Dasar hidung
f. Septum
g. Apertura piriformis

Gambar 9. Fraktur Le Fort I

Gerakan tidak normal akibat fraktur ini dapat dirasakan dengan


menggerakkan jari pada saat palpasi. Garis fraktur yang mengarah ke
vertikal, yang biasanya terdapat pada garis tengah, membagi muka
menjadi dua bagian (palatal split).
Secara visualisasi dapat terlihat adanya edema pada bibir atas dan
ekimosis. Sedangkan secara palpasi terdapat gerakan lengkung rahang
atas. Pada pemeriksaan intra oral, pemeriksaan dilakukan secara

Fraktur Maksilofasial 13
visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi dapat terlihat adanya open bite
anterior. Sedangkan secara palpasi terdapat rasa nyeri.

Gambar 10. Gambaran open bite anterior

Selanjutnya pemeriksaan fraktur Le Fort I dilakukan dengan foto


rontgen dengan proyeksi wajah anterolateral.
2. Fraktur maksila Le fort II
Fraktur Le Fort II (fraktur pyramid) berjalan melalui tulang hidung
dan diteruskan ke tulang lakrimalis, dasar orbita, pinggir infraorbita dan
menyebrang ke bagian atas dari sinus maksilaris juga ke arah lamina
pterigoid sampai ke fossa pterigopalatina. Fraktur pada lamina
cribriformis dan atap sel ethmoid dapat merusak sistim lakrimalis. Karena
fraktur ini sangat mudah digerakkan maka disebut floating maxilla.

Gambar 11. Fraktur Le Fort II

Fraktur Maksilofasial 14
Secara visualisasi dapat terlihat pupil cenderung sama tinggi,ekimosis,
dan edema periorbita. Sedangkan secara palpasi terdapat tulang hidung
bergerak bersama dengan wajah tengah, mati rasa pada daerah kulit yang
dipersarafi oleh nervus infraorbitalis. Pada pemeriksaan intra oral, secara
visual dapat terlihat adanya gangguan oklusi tetapi tidak separah jika
dibandingkan dengan fraktur Le Fort I. Sedangkan secara palpasi terdapat
bergeraknya lengkung rahang atas.
Pemeriksaan selanjutnya dilakukan dengan pemeriksaan foto rontgen
wajah anterolateral, foto wajah polos dan CT Scan.
3. Fraktur maksila Le fort III
Fraktur Le Fort III (craniofacial dysjunction) adalah suatu fraktur yang
memisahkan secara lengkap antara tulang dan kranial. Garis fraktur
berjalan melalui sutura nasofrontalis diteruskan sepanjang ethmoid
junction melalui fissura orbitalis superior melintang kearah dinding lateral
ke orbita, sutura zigomatiko frontal dan sutura tempor-zigomatik. Fraktur
Le Fort III ini biasanya bersifat kominutif yang disebut kelainan dishface.
Fraktur maksila Le Fort III ini sering menimbulkan komplikasi intra
kranial seperti timbulnya pengeluaran cairan otak melalui atap sel ethmoid
dan lamina cribriformis.
Secara visualisasi dapat terlihat pembengkakkan pada daerah kelopak
mata, ekimosis periorbita bilateral. Usaha untuk melakukan tes mobilitas
pada maksila akan mengakibatkan pergeseran seluruh bagian atas wajah.
Pemeriksaan selanjutnya dilakukan dengan pemeriksaan foto rontgen
proyeksi wajah anterolateral, foto wajah polos, dan CT Scan.

Penanggulangan fraktur maksila sangat ditekankan agar rahang atas dan


rahang bawah dapat menutup. Dilakukan fiksasi inter maksilar sehingga
oklusi gigi menjadi sempurna.

Fraktur Maksilofasial 15
Gambar 12. Fraktur Le Fort III

Gambar 13. Perbedaan Le Fort I, Le Fort II, dan Le Fort III

Gambar 14. Tampak Le Fort I, Le Fort II, dan


Le Fort III dari arah anterior dan lateral

Fraktur Maksilofasial 16
Penatalaksanaan terapi dapat berupa :
1. Perbaikan keadaan umum
2. Medikamentosa kausal
3. Tranfusi darah
4. Operatif :
a. Le Fort I : Fiksasi interdental dan intermaksilar selama 4-6 minggu
b. Le Fort II : Seperti Le Fort I disertai fiksasi dari sutura
zigomatikum atau rima orbita
c. Le Fort III : Reduksi terbuka dengan fiksasi interdental dan
intermaksilar, suspensi dari sutura zigomatikum dan pemasangan
kawat dari rima orbita
Dapat digunakan mini/microplate untuk mobilisasi segemen fraktur
sebagai pengganti kawat. Bila dengan teknik diatas tidak didapatkan fiksasi
yang adekuat, digunakan alat fiksasi eksterna untuk membuat traksi lateral
atau anterior. Pemasangan splint bila terdapat displacement gigi, fraktur
alveolar atau maloklusi.

Gambar 15. Gambaran mini plate and screw

Pada fraktur Le Fort I dirawat dengan menggunakan arch bar, fiksasi


maksilomandibular, dan suspensi kraniomandibular yang didapatkan dari
pengawetan sirkumzigomatik. Apabila segmen fraktur mengalami impaksi,
maka dilakukan pengungkitan dengan menggunakan tang pengungkit, atau
secara tidak langsung dengan menggunakan tekanan pada splint/arch bar.

Fraktur Maksilofasial 17
Sedangkan perawatan pada fraktur Le Fort II serupa dengan fraktur Le Fort I.
Hanya perbedaannya adalah perlu dilakukan perawatan fraktur nasal dan dasar
orbita juga. Fraktur nasal biasanya direduksi dengan menggunakan molding
digital dan splinting. Selanjutnya pada fraktur Le Fort III dirawat dengan
menggunakan arch bar, fiksasi maksilomandibular, pengawatan langsung
bilateral, atau pemasangan plat pada sutura zigomatikofrontalis dan suspense
kraniomandibular pada prosesus zigomatikus ossis frontalis.

Penyulit : perdarahan, anemia, obstruksi jalan nafas, cedera saraf, kebocoran


CSF, infeksi, dan syok.

Fraktur Tulang Orbita


Fraktur maksila sangat erat hubungannya dengan timbulnya fraktur orbita
terutama pada penderita yang menaiki kendaraan bermotor. Akhir-akhir ini fraktur
tulang orbita dan fraktur maksila sangat sering terjadi akibat ketidak hati-hatian di
dalam mengendarai kendaraan. Penggunaan sabuk pengaman, kecepatan kendaraan
yang sesuai, tidak meminum alcohol atau obat yang mengganggu kesadaran sangat
penting untuk dihindarkan.
Fraktur orbita ini memberikan gejala :
1. Enoftalmos
2. Exoftalmos
3. Diplopia
Ketiga kelianan bentuk mata tersebut harus diperiksa dengan teliti dan
dilakukan rekontruksi dari tulang yang fraktur. Hal ini biasanya dikerjakan
oleh dokter spesialis mata.
4. Asimetri pada muka
Kelainan ini tidak lazim terdapat pada penderita dengan blowout fracture dari
dasar orbita. Kelainan ini sangat spesifik, terdapat pada fraktur yang meliputi
pinggir orbita inferior atau fraktur yang menyebabkan dislokasi zigoma.
5. Gangguan saraf sensoris

Fraktur Maksilofasial 18
Hipestesia dan anesthesia dari saraf sensoris nervus infraorbitalis
berhubungan erat dengan fraktur yang terdapat pada dasar orbita. Bila pada
fraktur timbul kelainan ini, sangat mungkin sudah mengenai kanalis
infraorbitalis. Selanjutnya gangguan infraorbita sangat mungkin disebabkan
oleh timbulnya kerusakan pada rima orbita. Bila timbul anesthesia untuk
waktu yang lama harus dilakukan eksplorasi dan dekompresi nervus infra
orbitalis.

Gambar 16. Gambaran fraktur Os Orbita

Fraktur Tulang Mandibula


Fraktur mandibula ini paling sering terjadi. Hal ini disebabkan oleh kondisi
mandibular yang terpisah dari cranium. Penanganan fraktur mandibular ini sangat
penting terutama untuk mendapatkan efek kosmetik yang memuaskan, oklusi gigi
yang sempurna.
Secara visualisasi terlihat adanya hematoma, pembengkakkan pada bagian
yang mengalami fraktur, perdarahan pada rongga mulut. Sedangkan secara palpasi
terdapat step deformity. Pada pemeriksaan intra oral, terlihat adanya gigi yang satu
sama lain, gangguan oklusi yang ringan hingga berat, terputusnya kontinuitas dataran
oklusal pada bagian yang mengalami fraktur. Sedangkan secara palpasi terdapat nyeri
tekan, rasa tidak enak pada garis fraktur serta pergeseran.

Fraktur Maksilofasial 19
Penanggulangan fraktur mandibula ini tergantung pada lokasi fraktur, luasnya
fraktur, dan keluhan yang diderita. Lokasi fraktur ditentukan dengan pemeriksaan
radiografi. Pemeriksaan dapat dilakukan dengan foto polos pada posisi
posteroanterior, lateral, Towne, lateral oblik, kiri dan kanan. Jika diperlukan pada hal-
hal yang kurang jelas, dilakukan pemeriksaan tomografi komputer.

Gambar 17. Gambaran fraktur Os mandibula

Penggunaan mini atau mikro plate tidak menimbulkan kalus. Mini plate ini
dipasang dengan mempergunakan skrup (screw), bersifat lebih stabil, tidak
memberikan reaksi jaringan, dapat dipakai untuk waktu yang lama, dan mudah
dikerjakan. Kekurangannya adalah sulit didapat dan harganya mahal. Pemakaian atau
penggunaan makin sering digunakan pada kasus-kasus fraktur di daerah muka di
negara maju.
Ada dua cara penatalaksanaan fraktur mandibular, yakni secara tertutup
(konservatif) dan terbuka (pembedahan). Pada teknik tertutup, reduksi fraktur dan
imobilisasi mandibula dicapai dengan jalan menempatkan peralatan fiksasi
maksilomandibular.
Pada prosedur terbuka, bagian yang fraktur dibuka dengan pembedahan dan
segmen direduksi dan difiksasi secara langsung dengan menggunakan kawat atau
plat. Terkadang teknik terbuka dan tertutup ini tidaklah selalu dilakukan tersendiri,
tetapi juga dapat dikombinasikan.

Fraktur Maksilofasial 20
Gambar 18. Tampak pemasangan mini plate and
screw pada Os mandibula

5. Perawatan
Perawatan pada masing-masing fraktur maksilofasial itu berbeda satu sama
lain. Oleh sebab itu perawatannya akan dibahas satu per satu pada masing-masing
fraktur maksilofasial. Tetapi sebelum perawatan definitive dilakukan, maka hal
pertama sekali dilakukan adalah penanganan kegawatdaruratan yakni berupa
pertolongan pertama (bantuan hidup dasar) yang dikenal dengan singkatan ABC.
Apabila perdarah aktif pada pasien, maka hal yang harus dilakukan adalah
hentikanlah dulu perdarahannya. Bila pasien mengeluh nyeri maka dapat diberi
analgetik untuk membantu menghilangkan rasa nyeri. Setelah penanganan
kegawatdaruratan tersebut dilaksanakan, maka perawatan definitive dapat dilakukan.

6. Prognosis
Fiksasi intermaksilaris merupakan treatment paling sederhana dan salah satu
yang paling efektif pada fraktur maksila. Jika tehnik ini dapat dilakukan segera
mungkin setelah terjadi fraktur, maka akan banyak deformitas wajah akibat fraktur
dapat kita eliminasi. Mandiubla yang utuh dalam fiksasi ini dapat membatasi
pergeseran wajah bagian tengah menuju ke bawah dan belakang, sehingga elongasi
dan retrusi wajah dapat dihindari. Sedangkan fraktur yang baru akan ditangani setelah
beberapa minggu kejadian, dimana sudah mengalami penyembuhan secara parsial,
hampir tidak mungkin untuk direduksi tanpa full open reduction, bahkan kalupun
dilakukan tetap sulit untuk direduksi.

Fraktur Maksilofasial 21
Daftar Pustaka

1. Fonseca R.J. 2005. Oral and Maxillofacial Trauma. 3rd ed. St Louis: Elsivier
Saunders. p 32-42.
2. Hupp J.R., Ellis E., Tucker M.R. 2008. Contamporary Oral and Maxillofacial
Surgery. 5th ed. St Louis: Mosby Elsevier. p. 132-138.
3. Hiaatt James L & Gartner Leslie P. 2010. Textbook of head and neck
anatomy. 4th ed. Lippincot Williams & Wilkins. p. 221-227.
4. Marciani R.D., Carlson E.R., Braun T.W. 2009. Oral and Maxillo facial
surgery. Vol 2. 2nd ed. St Louis: Saunders Elsevier. p. 74-78.
5. Michael M. 2004. Petersons principles of oral and maxillofacial surgery.
London: Hamilton. p. 21-25.
6. Pedersen G.W. 1996. Buku ajar praktis bedah mulut. Penerjemah: Purwanto
dan Basoeseno. Jakarta: EGC. p. 54-57.
7. Rabi A.G., Khateery S.M. 2002. Maxillo facial trauma in al madina region of
Saudi Arabia: a 5 year retrospective study. J oral maxilofac surg. p.10-14.
8. Yokoyama T., Motozawa Y., Sasaki T., Hitosugi M. 2006. A retrospective
analysis of oral and maxillofacial injuries in motor vehicle accidents. J oral
maxilofac surg. p. 1731-1735.
9. Jong W.D. 1997. Buku ajar ilmu bedah. Jakarta: EGC. p. 70-78.

Fraktur Maksilofasial 22

Anda mungkin juga menyukai

  • Dwefcedcew
    Dwefcedcew
    Dokumen2 halaman
    Dwefcedcew
    laudyaFeb
    Belum ada peringkat
  • Casdcdscd
    Casdcdscd
    Dokumen13 halaman
    Casdcdscd
    laudyaFeb
    Belum ada peringkat
  • Referat Thya
    Referat Thya
    Dokumen21 halaman
    Referat Thya
    laudyaFeb
    Belum ada peringkat
  • Fwefcedvs
    Fwefcedvs
    Dokumen1 halaman
    Fwefcedvs
    laudyaFeb
    Belum ada peringkat
  • Bab V
    Bab V
    Dokumen3 halaman
    Bab V
    laudyaFeb
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen34 halaman
    Bab I
    Mutiara Sandia Oktoviana
    Belum ada peringkat
  • Tabel Jsdkasd
    Tabel Jsdkasd
    Dokumen1 halaman
    Tabel Jsdkasd
    laudyaFeb
    Belum ada peringkat
  • Bab Ii
    Bab Ii
    Dokumen28 halaman
    Bab Ii
    laudyaFeb
    Belum ada peringkat
  • Dcewfcewfc
    Dcewfcewfc
    Dokumen10 halaman
    Dcewfcewfc
    laudyaFeb
    Belum ada peringkat
  • HDFDJFHD
    HDFDJFHD
    Dokumen9 halaman
    HDFDJFHD
    laudyaFeb
    Belum ada peringkat
  • Abs Trak
    Abs Trak
    Dokumen1 halaman
    Abs Trak
    laudyaFeb
    Belum ada peringkat
  • Kfhdfs
    Kfhdfs
    Dokumen6 halaman
    Kfhdfs
    laudyaFeb
    Belum ada peringkat
  • Bab V
    Bab V
    Dokumen3 halaman
    Bab V
    laudyaFeb
    Belum ada peringkat
  • 11 - 245manifestasi Klinis Sindrom Behcet
    11 - 245manifestasi Klinis Sindrom Behcet
    Dokumen4 halaman
    11 - 245manifestasi Klinis Sindrom Behcet
    amirda
    Belum ada peringkat
  • SKRIPSI
    SKRIPSI
    Dokumen51 halaman
    SKRIPSI
    laudyaFeb
    Belum ada peringkat
  • Revisi PH 6
    Revisi PH 6
    Dokumen139 halaman
    Revisi PH 6
    laudyaFeb
    Belum ada peringkat
  • Referat Obgyn
    Referat Obgyn
    Dokumen23 halaman
    Referat Obgyn
    laudyaFeb
    Belum ada peringkat
  • 9 Fishbone KIAfix
    9 Fishbone KIAfix
    Dokumen1 halaman
    9 Fishbone KIAfix
    laudyaFeb
    Belum ada peringkat
  • Indonesia
    Indonesia
    Dokumen16 halaman
    Indonesia
    laudyaFeb
    Belum ada peringkat
  • Preskas Obgyn
    Preskas Obgyn
    Dokumen22 halaman
    Preskas Obgyn
    laudyaFeb
    Belum ada peringkat
  • Indonesia
    Indonesia
    Dokumen16 halaman
    Indonesia
    laudyaFeb
    Belum ada peringkat
  • Lembar Persetujuan
    Lembar Persetujuan
    Dokumen2 halaman
    Lembar Persetujuan
    laudyaFeb
    Belum ada peringkat
  • PHBS Kel. 7
    PHBS Kel. 7
    Dokumen16 halaman
    PHBS Kel. 7
    laudyaFeb
    Belum ada peringkat
  • 1
    1
    Dokumen26 halaman
    1
    laudyaFeb
    100% (1)
  • Laporan Pengmas Kel 5
    Laporan Pengmas Kel 5
    Dokumen18 halaman
    Laporan Pengmas Kel 5
    laudyaFeb
    Belum ada peringkat
  • Pre Survey I - II
    Pre Survey I - II
    Dokumen7 halaman
    Pre Survey I - II
    laudyaFeb
    Belum ada peringkat
  • Bab V
    Bab V
    Dokumen3 halaman
    Bab V
    laudyaFeb
    Belum ada peringkat
  • PR Dokbam
    PR Dokbam
    Dokumen27 halaman
    PR Dokbam
    laudyaFeb
    Belum ada peringkat
  • Gambaran Radiologis
    Gambaran Radiologis
    Dokumen9 halaman
    Gambaran Radiologis
    laudyaFeb
    Belum ada peringkat