1. Anatomi Maksilofasial
Secara umum tulang tengkorak terbagi menjadi dua bagian yaitu
neurocranium (tulang yang membungkus otak) dan Viscerocranium (tulang yang
membentuk wajah).
Neurocranium dibentuk oleh : Os, frontal, Os parietal, Os Temporal, Os
Sphenoidalis, Os Occipitalis, dan Os Ethmoidalis.
Viscerocranium dibentuk oleh : Os Maksilaris, Os Palatinum, Os Nasal, Os
lakrimal, Os Zigomatikum, Os Concha Nasalin Inferiorm, Os Vomer, dan Os
Mandibula.
Neurocranium terdiri atas tulang-tulang pipih yang berhubungan satu dengan
yang lain melalui sutura-sutura. Tulang-tulang yang tebal berhubungan dengan
tulang-tulang berdinding tipis. Tulang-tulang pembentuk wajah atau viserocranium
terdiri atas tulang-tulang yang berbentuk tonjolan dan lengkungan yang sangat rentan
untuk terhadap fraktur jika mendapat suatu trauma. Tulang-tulang tersebut
dihubungkan oleh sutura-sutura yang juga dapat menjadi garis fraktur.
Fraktur Maksilofasial 1
antero-posterior. Buttress pada maksila meliputi tulang nasomaksilaris pada medial,
tulang zigomatikomaksilaris pada lateral dan tulang pterygomaksilaris pada posterior.
Ketiga buttress ini menghasilkan suatu system penyangga unit-unit fungsi pada oral,
nasal, dan orbita.
Trauma muka dapat disebabkan oleh banyak faktor yang dapat menimbulkan
kelainan, berupa sumbatan jalan nafas, syok karena perdarahan, gangguan pada
Fraktur Maksilofasial 2
vertebra servikalis atau terdapatnya gangguan fungsi otak. Penanganan kasus pada
trauma muka, harus dilakukan segera (immediate) atau pada waktu berikutnya
(delayed). Penanggulangan ini tergantung kepada kondisi jaringan yang terkena
trauma.
Pada periode akut (immediate) setelah terjadi kecelakaan, tidak ada tindakan
khusu untuk fraktur muka kecuali mempertahankan jalan nafas, mengatasi perdarahan
dan memperbaiki sirkulasi darah serta cairan tubuh. Tindakan reposisi dan fiksasi
definitive bukan merupakan tindakan life-saving.
Lamanya terjadi trauma serta timbulnya kelainan karena trauma muka perlu
diperhatikan. Penderita dengan trauma yang mengakibatkan kerusakan jaringan lunak
pada muka, harus dibersihkan dari kotoran atau benda asing yang menempel pada
kulit. Laserasi atau luka sayat pada muka yang mungkin terdapat harus dijahit
secepatnya bila memungkinkan dalam waktu 6-8 jam dan diusahakan kurang dari 24
jam. Setelah itu tindakan selanjunya dilakukan di kamar operasi.
Luka terbuka pada muka disertai fraktur wajah harus segera dapat didiagnosis
agar dapat dilakukan tindakan reposisi dan fiksasi.
Fraktur Maksilofasial 3
Benda asing yang mungkin terdapat pada muka seperti pecahan batu, pecahan
gelas, robekan kain, atau kotoran lainnya harus dibersihkan terlebih dahulu,
kerusakan pada jaringan lunak, dilakukan agar segera tindakan debridement dan
penutupan luka pada kulit. Fraktur muka dilakukan perbaikan berupa reduksi atau
fiksasi, sebaliknya dikerjakan dalam waktu 2 minggu sesudah trauma. Diberikan
vaksin ATS atau toxoid tetanus untuk mencegah timbulnya penyakit tetanus, juga
diperlukan pemberian antibiotika untuk mencegah timbulnya infeksi.
3. Etiologi
Ada banyak faktor etiologi yang menyebabkan fraktur maksilofasial itu dapat
terjadi, seperti kecelakaan lalu lintas, kecelakaan kerja, kecelakaan akibat olahraga,
akibat tidakan kekerasan, atau diakibatkan oleh hal patologis yang dapat
menyebabkan rapuhnya bagian tulang. Akan tetapi penyebab terbanyak adalah
kecelakaan lalu lintas.
Fraktur Maksilofasial 4
Trauma yang mengenai tulang hidung maupun tulang rawan hidung dapat
menyebabkan deformitas dan sumbatan hidung. Tipe dan seberapa parah fraktur
tulang hidung yang terjadi tergantung dari kekuatan, arah, dan mekanisme terjadinya
trauma.
Berdasarkan waktu, fraktur hidung dibagi menjadi fraktur hidung baru, dan
lama. Pembagian menurut waktu ini berdasarkan atas pembentukan kalus, Bila kalus
belum terbentuk sempurna maka fraktur digolongkan dalam fraktur baru, sedangkan
bila kalus sudah mengeras digolongkan dalam fraktur lama (biasanya pada akhir
minggu kedua setelah trauma).
Berdasarkan struktur tulang yang telibat, maka fraktur pada tulang hidung
dapat diklasifikasikan menjadi 5 tipe, yaitu :
1. Tipe I : Setengah bagian bawah tulang hidung
2. Tipe II : Seluruh tulang hidung terpisah dari sutura naso frontal
3. Tipe III : Tulang hidung dan prosesus frontalis maksila
4. Tipe IV : Tulang hiudng, prosesus frontalis maksila, spina tulang frontal, dan
tulang etmoid
5. Tipe V : Tipe S/modifikasi : termasuk fraktur pada septum.
Berdasarkan pembagian tersebut maka dapat ditentukan jenis operasi yang akan
dilakukan.
Fraktur Maksilofasial 5
sfenopalatina, tampon ketiga dotempatkan antara konka inferior dan septum nasi.
Ketiga tampon tersebut dipertahankan selama 10 menit.Kadang-kadang
diperlukan penambahan penyemprotan oxymethaxoilin spray beberapa kali,
melalui rhinoskopi anterior untuk memperoleh anestesi dan efek vasokontriksi
yang baik.
Fraktur Maksilofasial 6
Gambar 4. Reduksi tertutup pada fraktur tulang hidung
Fraktur Maksilofasial 7
dua bola mata akan terdorong ke belakang. Terjadilah fraktur nasoetmoid, fraktur
nasomaksila, dan fraktur nasoorbita. Fraktur ini dapat menimbulkan komplikasi
atau sekuele di kemdian hari.
Komplikasi yang sering terjadi adalah :
1. Komplikasi neurologik
a. Robeknya duramater
b. Keluarnya cairan serebrospinal dengan kemungkinan timbulnya
meningitis
c. Pneumoensefal
d. Laserasi otak
e. Avulsi dari nervus olfaktorius
f. Hematoma epidural atau subdural
g. Kontusio otak dan nekrosis jaringan otak
2. Komplikasi pada mata
a. Telekantus traumatika
b. Hematoma mata
c. Kerusakan nervus optikus yang menyebabkan kebutaan
d. Epifora
e. Ptosis
f. Kerusakan bola mata dan lain-lain
3. Komplikasi pada hidung
a. Perubahan bentuk hidung
b. Obstruksi rongga hidung yang disebabkan oleh fraktur, dislokasi atau
hematoma pada septum
c. Gangguan penciuman
d. Epistaksis posterior yang hebat disebabkan robeknya arteri
ethmoidalis
e. Kerusakan duktus nasofrontalis dengan menimbulkan sinusitis
frontalis atau mukokel
Fraktur Maksilofasial 8
Pada keadaan terjadinya trauma hidung seperti tersebut, jika terdapat
kehilangan kesadaran mungkin terjadi kerusakan pada susunan saraf otak
sehingga memerlukan bantuan seorang ahli bedah saraf. Konsultasi pada
seorang ahli mata diperlukan untuk evaluasi kemungkinan terdapatnya
kelainan pada mata. Pemeriksaan penunjang radiologik berupa CT scan (axial
dan koronal) diperlukan pada kasus ini.
Fraktur Maksilofasial 9
bawah mata sedikit ke arah lateral. Fraktur tulang zigoma ini agak berbeda dengan
fraktur tripoid atau trimalar.
Gejala fraktur zigoma antara lain :
1. Pipi menjadi lebih rata (jika dibandingkan kontralateral atau sebelum trauma)
2. Diplopia dan terbatasnya gerak mata
3. Edema periorbita dan ekimosis
4. Perdarahan subkonjungtiva
5. Enoftalmos (fraktur dasar orbita atau dinding orbita)
6. Ptosis
7. Terdapatnya hipestesia atau anesthesia karena kerusakan saraf infra-orbitalis
8. Terbatasnya gerakan mandibular
9. Emfisema subkutis
10. Epistaksis karena perdarahan yang terjadi pada antrum
Fraktur Maksilofasial 10
dilakukan secara visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi dapat terlihat adanya
ekimosis pada sulkus bukan atas di daerah penyangga zigomatik, kemungkinan
penyumbatan oklusi di daerah molar pada sisi yang terkena injuri. Sedangkan secara
palpasi terdapat kelunakan pada sulkus bukal atas di daerah penyangga zigomatik.
Pemeriksaan fraktur komplek zigomatikus dilakukan dengan foto rontgen
sumbentoverteks, proyeksi waters dan CT Scan.
Dapat menyebabkan perubahan tempat dari tulang zigoma tersebut ke arah
posterior, ke arah medial, atau arah lateral. Fraktur ini tidak mengubah posisi dari
rima orbita inferior kea rah atas atau kea rah bawah. Perubahan posisi dari orbita
tersebut menyebabkan gangguan pada bola mata. Reduksi dari fraktur zigoma ini
difiksasi dengan kawat baja atau mini plate.
Perbaikan fraktur komplek zigoma sering dilakukan secara elektif. Fraktur
arkus yang terisolasi bisa diangkat melalui pendekatan Gillies klasik. Adapun
langkah-langkah tehnik Gilies yang meliputi :
a. Membuat sayatan dibelakang garis rambut temporal
b. Mengidetifikasi fasia temporalis
c. Menempatkan elevator di bawah fasia mendekati lengkung dari aspek
dalam yakni dengan menggeser elevator di bidang dalam untuk fasia,
cedera pada cabang frontal dari syaraf wajah harus dihindari. Sehingga
arkus dapat kembali ke posisi anatomis yang lebih normal.
Bila hanya arkus zigoma saja yang terkena fraktur, fragmen-fragmen harus
direduksi melalui suatu pendekatan menurut Gillies. Fiksasi tidak perlu dilakukan
karena fasia temporalis yang melekat sepanjang bagian atas lengkung akan
melakukan imonilisasi fragmen-fragmen secara efektif.
Fraktur Maksilofasial 11
Gambar 8. Pendekatan Gillies untuk mengurangi fraktur arkus zigomatikus, a) Insisi
temporal melalui fasia subkutan dan fasia superfisial dibawah fasia
temporal bagian dalam, b) Reduksi fraktur dengan elevator.
Fraktur Maksila
Jika terjadi fraktur maksila maka harus segera dilakukan tindakan untuk
mendapatkan fungsi normal dan efek kosmetik yang baik. Tujuan tindakan
penanggulangan ini adalah untuk memperoleh fungsi normal pada waktu menutup
mulut atau oklusi gigi dan memperoleh kontur muka yang baik. Harus diperhatikan
juga jalan napas serta profilaksis kemungkinan terjadi infeksi.
Edema faring dapat menimbulkan gangguan pada jalan napas sehingga
mungkin dilakukan tindakan trakeostomi. Perdarahan hebat yang berasal dari arteri
maksilaris interna atau arteri ethmoidalis anterior sering terdapat pada fraktur maksila
dan harus segera diatasi. Jika tidak berhasil, dilakukan pengikatan arteri maksilaris
interna atau arteri karotis eksterna atau arteri ethmoidalis anterior.
Jika kondisi pasien cukup baik sesudah trauma tersebut, reduksi fraktur
maksila biasanya tidak sulit dikerjakan kecuali kerusakan pada tulang sangat hebat
atau terdapatnya infeksi. Reduksi fraktur maksila mengalami kesulitan jika pasien
datang terlambat atau kerusakan sangat hebat yang disertai dengan fraktur servikal
atau terdapatnya kelainan pada kepala yang tidak terdekteksi. Garis fraktur yang
timbul harus diperiksa dan dilakukan fiksasi.
Fraktur Maksilofasial 12
Klasifikasi fraktur maksila :
1. Fraktur maksila Le Fort I
Fraktur Le Fort I (fraktur Guerin) meliputi fraktur horizontal bagian
bawah antara maksila dan palatum/arkus alveolar kompleks. Garis fraktur
berjalan ke belakang melalui lamina pterigoid. Fraktur ini biasanya
unilateral atau bilateral. Kerusakan pada fraktur Le Fort akibat arah
trauma dari anteroposterior bawah dapat mengenai :
a. Nasomaksila dan zigomatikomaksila vertical butterss
b. Bagian bawah lamina pterigoid
c. Anterolateral maksila
d. Palatum durum
e. Dasar hidung
f. Septum
g. Apertura piriformis
Fraktur Maksilofasial 13
visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi dapat terlihat adanya open bite
anterior. Sedangkan secara palpasi terdapat rasa nyeri.
Fraktur Maksilofasial 14
Secara visualisasi dapat terlihat pupil cenderung sama tinggi,ekimosis,
dan edema periorbita. Sedangkan secara palpasi terdapat tulang hidung
bergerak bersama dengan wajah tengah, mati rasa pada daerah kulit yang
dipersarafi oleh nervus infraorbitalis. Pada pemeriksaan intra oral, secara
visual dapat terlihat adanya gangguan oklusi tetapi tidak separah jika
dibandingkan dengan fraktur Le Fort I. Sedangkan secara palpasi terdapat
bergeraknya lengkung rahang atas.
Pemeriksaan selanjutnya dilakukan dengan pemeriksaan foto rontgen
wajah anterolateral, foto wajah polos dan CT Scan.
3. Fraktur maksila Le fort III
Fraktur Le Fort III (craniofacial dysjunction) adalah suatu fraktur yang
memisahkan secara lengkap antara tulang dan kranial. Garis fraktur
berjalan melalui sutura nasofrontalis diteruskan sepanjang ethmoid
junction melalui fissura orbitalis superior melintang kearah dinding lateral
ke orbita, sutura zigomatiko frontal dan sutura tempor-zigomatik. Fraktur
Le Fort III ini biasanya bersifat kominutif yang disebut kelainan dishface.
Fraktur maksila Le Fort III ini sering menimbulkan komplikasi intra
kranial seperti timbulnya pengeluaran cairan otak melalui atap sel ethmoid
dan lamina cribriformis.
Secara visualisasi dapat terlihat pembengkakkan pada daerah kelopak
mata, ekimosis periorbita bilateral. Usaha untuk melakukan tes mobilitas
pada maksila akan mengakibatkan pergeseran seluruh bagian atas wajah.
Pemeriksaan selanjutnya dilakukan dengan pemeriksaan foto rontgen
proyeksi wajah anterolateral, foto wajah polos, dan CT Scan.
Fraktur Maksilofasial 15
Gambar 12. Fraktur Le Fort III
Fraktur Maksilofasial 16
Penatalaksanaan terapi dapat berupa :
1. Perbaikan keadaan umum
2. Medikamentosa kausal
3. Tranfusi darah
4. Operatif :
a. Le Fort I : Fiksasi interdental dan intermaksilar selama 4-6 minggu
b. Le Fort II : Seperti Le Fort I disertai fiksasi dari sutura
zigomatikum atau rima orbita
c. Le Fort III : Reduksi terbuka dengan fiksasi interdental dan
intermaksilar, suspensi dari sutura zigomatikum dan pemasangan
kawat dari rima orbita
Dapat digunakan mini/microplate untuk mobilisasi segemen fraktur
sebagai pengganti kawat. Bila dengan teknik diatas tidak didapatkan fiksasi
yang adekuat, digunakan alat fiksasi eksterna untuk membuat traksi lateral
atau anterior. Pemasangan splint bila terdapat displacement gigi, fraktur
alveolar atau maloklusi.
Fraktur Maksilofasial 17
Sedangkan perawatan pada fraktur Le Fort II serupa dengan fraktur Le Fort I.
Hanya perbedaannya adalah perlu dilakukan perawatan fraktur nasal dan dasar
orbita juga. Fraktur nasal biasanya direduksi dengan menggunakan molding
digital dan splinting. Selanjutnya pada fraktur Le Fort III dirawat dengan
menggunakan arch bar, fiksasi maksilomandibular, pengawatan langsung
bilateral, atau pemasangan plat pada sutura zigomatikofrontalis dan suspense
kraniomandibular pada prosesus zigomatikus ossis frontalis.
Fraktur Maksilofasial 18
Hipestesia dan anesthesia dari saraf sensoris nervus infraorbitalis
berhubungan erat dengan fraktur yang terdapat pada dasar orbita. Bila pada
fraktur timbul kelainan ini, sangat mungkin sudah mengenai kanalis
infraorbitalis. Selanjutnya gangguan infraorbita sangat mungkin disebabkan
oleh timbulnya kerusakan pada rima orbita. Bila timbul anesthesia untuk
waktu yang lama harus dilakukan eksplorasi dan dekompresi nervus infra
orbitalis.
Fraktur Maksilofasial 19
Penanggulangan fraktur mandibula ini tergantung pada lokasi fraktur, luasnya
fraktur, dan keluhan yang diderita. Lokasi fraktur ditentukan dengan pemeriksaan
radiografi. Pemeriksaan dapat dilakukan dengan foto polos pada posisi
posteroanterior, lateral, Towne, lateral oblik, kiri dan kanan. Jika diperlukan pada hal-
hal yang kurang jelas, dilakukan pemeriksaan tomografi komputer.
Penggunaan mini atau mikro plate tidak menimbulkan kalus. Mini plate ini
dipasang dengan mempergunakan skrup (screw), bersifat lebih stabil, tidak
memberikan reaksi jaringan, dapat dipakai untuk waktu yang lama, dan mudah
dikerjakan. Kekurangannya adalah sulit didapat dan harganya mahal. Pemakaian atau
penggunaan makin sering digunakan pada kasus-kasus fraktur di daerah muka di
negara maju.
Ada dua cara penatalaksanaan fraktur mandibular, yakni secara tertutup
(konservatif) dan terbuka (pembedahan). Pada teknik tertutup, reduksi fraktur dan
imobilisasi mandibula dicapai dengan jalan menempatkan peralatan fiksasi
maksilomandibular.
Pada prosedur terbuka, bagian yang fraktur dibuka dengan pembedahan dan
segmen direduksi dan difiksasi secara langsung dengan menggunakan kawat atau
plat. Terkadang teknik terbuka dan tertutup ini tidaklah selalu dilakukan tersendiri,
tetapi juga dapat dikombinasikan.
Fraktur Maksilofasial 20
Gambar 18. Tampak pemasangan mini plate and
screw pada Os mandibula
5. Perawatan
Perawatan pada masing-masing fraktur maksilofasial itu berbeda satu sama
lain. Oleh sebab itu perawatannya akan dibahas satu per satu pada masing-masing
fraktur maksilofasial. Tetapi sebelum perawatan definitive dilakukan, maka hal
pertama sekali dilakukan adalah penanganan kegawatdaruratan yakni berupa
pertolongan pertama (bantuan hidup dasar) yang dikenal dengan singkatan ABC.
Apabila perdarah aktif pada pasien, maka hal yang harus dilakukan adalah
hentikanlah dulu perdarahannya. Bila pasien mengeluh nyeri maka dapat diberi
analgetik untuk membantu menghilangkan rasa nyeri. Setelah penanganan
kegawatdaruratan tersebut dilaksanakan, maka perawatan definitive dapat dilakukan.
6. Prognosis
Fiksasi intermaksilaris merupakan treatment paling sederhana dan salah satu
yang paling efektif pada fraktur maksila. Jika tehnik ini dapat dilakukan segera
mungkin setelah terjadi fraktur, maka akan banyak deformitas wajah akibat fraktur
dapat kita eliminasi. Mandiubla yang utuh dalam fiksasi ini dapat membatasi
pergeseran wajah bagian tengah menuju ke bawah dan belakang, sehingga elongasi
dan retrusi wajah dapat dihindari. Sedangkan fraktur yang baru akan ditangani setelah
beberapa minggu kejadian, dimana sudah mengalami penyembuhan secara parsial,
hampir tidak mungkin untuk direduksi tanpa full open reduction, bahkan kalupun
dilakukan tetap sulit untuk direduksi.
Fraktur Maksilofasial 21
Daftar Pustaka
1. Fonseca R.J. 2005. Oral and Maxillofacial Trauma. 3rd ed. St Louis: Elsivier
Saunders. p 32-42.
2. Hupp J.R., Ellis E., Tucker M.R. 2008. Contamporary Oral and Maxillofacial
Surgery. 5th ed. St Louis: Mosby Elsevier. p. 132-138.
3. Hiaatt James L & Gartner Leslie P. 2010. Textbook of head and neck
anatomy. 4th ed. Lippincot Williams & Wilkins. p. 221-227.
4. Marciani R.D., Carlson E.R., Braun T.W. 2009. Oral and Maxillo facial
surgery. Vol 2. 2nd ed. St Louis: Saunders Elsevier. p. 74-78.
5. Michael M. 2004. Petersons principles of oral and maxillofacial surgery.
London: Hamilton. p. 21-25.
6. Pedersen G.W. 1996. Buku ajar praktis bedah mulut. Penerjemah: Purwanto
dan Basoeseno. Jakarta: EGC. p. 54-57.
7. Rabi A.G., Khateery S.M. 2002. Maxillo facial trauma in al madina region of
Saudi Arabia: a 5 year retrospective study. J oral maxilofac surg. p.10-14.
8. Yokoyama T., Motozawa Y., Sasaki T., Hitosugi M. 2006. A retrospective
analysis of oral and maxillofacial injuries in motor vehicle accidents. J oral
maxilofac surg. p. 1731-1735.
9. Jong W.D. 1997. Buku ajar ilmu bedah. Jakarta: EGC. p. 70-78.
Fraktur Maksilofasial 22