Hidung terdiri atas hidung luar dan hidung bagian dalam. Hidung bagian luar
menonjol pada garis tengah di antara pipi dan bibir atas, struktur hidung luar
dibedakan atas tiga bagian: yang paling atas: kubah tulang yang tak dapat digerakkan,
di bawahnya terdapat kubah kartilago yang sedikit dapat digerakkan, dan yang paling
bawah adalah lobulus hidung yang mudah digerakkan.
Fungsi statistik
dan mekanik
Refleks nasal
Penghidu
Indera penghidu pada manusia tergolong rudimenter dibandingkan hewan
lainnya, namun kepekaan organ ini cukup mengejutkan. Proses persepsi bau belum
dapat dipastikan, namun terdapat dua teori yang mengisyaratkan mekanisme kimia
atau undulasi. Menurut teori kimia, partikel-partikel zat yang berbau disebarkan secara
difusi lewat udara dan menyebabkan suatu reaksi kimia saat mencapai epitel
olfaktorius. Menurut teori undulasi, gelombang energi serupa dengan tempaan ringan
pada ujung saraf olfaktorius. Tanpa memandang mekanismenya, indera penghidu
dengan cepat menghilang. (Adams, 1997).
Tahanan Jalan Napas
Napas manusia dimulai dari lubang hidung. Usaha bernapas mengantarkan
udara lewat saluran pernapasan atas dan bawah kepada alveoli paru dalam volume,
tekanan, kelembaban, suhu, dan kebersihan yang cukup, untuk menjamin suatu
kondisi ambilan oksigen yang optimal, dan pada proses sebaliknya, juga menjamin
proses eliminasi karbon dioksida yang optimal, yang diangkut ke alveoli lewat aliran
darah. Hidung dengan berbagai katup inspirasi dan ekspirasi serta kerja mirip katup
dari jaringan erektil konka dan septum, menghaluskan dan membentuk aliran udara,
mengatur volume dan tekanan udara yang lewat, dan menjalankan berbagai aktivitas
penyesuaian udara (filtrasi, pengaturan suhu dan kelembaban udara). (Adams, 1997).
Penyesuaian Udara
Dalam waktu yang singkat saat udara melintasi bagian horizontal hidung yaitu
sekitar 16-20 kali per menit, udara inspirasi dihangatkan (atau didinginkan) mendekati
suhu tubuh dan kelembaban relatifnya dibuat mendekati 100 persen. Suhu ekstrim
dan kekeringan udara inspirasi dikompensasi dengan cara mengubah aliran udara. Hal
ini dilakukan melalui perubahan fisik pada jaringan erektil hidung. (Adams, 1997).
Purifikasi Udara
Rambut hidung atau vibrisa pada vestibulum nasi yang berlapis kulit
berperanan dalam filtrasi udara. Anatomi hidung dalam iregular menimbulkan arus
balik udara inspirasi, dengan akibat penimbunan partikel dalam idung dan nasofaring.
Benda asing, termasuk bakteri dan virus (seringkali menggumpal membentuk partikel
besar) akan diekspektorans atau diangkut melalui transpor mukosiliar ke dalam
lambung untuk disterilkan sekresi lambung. (Adams, 1997).
Hubungan dengan Paru-paru
Fisiologi paru-paru normal bergantung pada pernapasan hidung. Sedangkan
tonus bronkus tergantung pada refleks nasopulmonaris yang juga menyebabkan
perubahan tahanan dan perfusi paru-paru total. Riset telah menunjukan suatu refleks
yang dihantarkan dari mukosa hidung ke paru-paru homolateral. Suatu penurunan
curah jantung dan peningkatan tahanan vaskular perifer juga telah dikaitkan dengan
rangsangan membrana hidung. Namun tahanan vaskular perifer tersebut tidak
mengubah aliran karotis. (Adams, 1997).
2.1.3 Vaskularisasi Hidung
Epistaksis
Telangiektasia mukokutan
Saluran pencernaan
Hati
Paru-paru
Sistem Saraf Pusat (SSP)
2.2.4 Patofisiologi
Gen ENG dan ALK1 menyandi protein yang terlibat dalam pengiriman informasi
oleh pertumbuhan transformasi faktor beta - morphogenic tulang protein (TGF-BMP)
superfamili di sel endotel vaskular. TGF-BMP mengatur pertumbuhan sel, diferensiasi
dan perbaikan luka melalui kaskade transduksi sinyal dari kompleks reseptor
transmembran. Pembuluh darah dalam HHT berkembang secara abnormal karena
tidak baiknya pengiriman informasi pada TGF-BMP selama membentuk pembuluh
darah dan homeostasis. Hal ini menyebabkan masih adanya fase aktivasi angiogenesis,
seperti faktor pertumbuhan endotel vaskular (VEGF), yang diproduksi dan memainkan
peran potensial dalam angiodisplasia. (Dheyauldeen, 2014)
2.2.5 Diagnosis
Hereditary Hemorrhagic Telangiectasia (HHT) adalah diagnosis klinis, dan kriteria
Curacao adalah andalan diagnosis. Yang pasti HHT didiagnosis dengan adanya 3 atau lebih
fitur, termasuk :
1. Pendarahan spontan hidung berulang
2. Telangiectasias mucocutaneous di salah satu mukosa, seperti ujung jari, bibir, mukosa
mulut, dan / atau lidah
3. Keterlibatan viseral dengan telangiektasis saluran cerna dan paru, hati, otak, dan /
atau AVMs tulang belakang
4. Riwayat keluarga
Jika hanya 2 kriteria yang hadir, maka HHT adalah mungkin, dan diagnosis HHT
tidak dapat ditegakkan apabila hanya ditemukan satu atau kurang dari satu gejala yang
timbul. Gejala klinis pada HHT terkait dengan usia, yaitu gejala klinis hilang pada anak-anak
dan dewasa muda, yang terlihat tidak memiliki epistaksis atau telangiektasis belum tentu
tidak terkena HHT. Di sinilah letak salah satu manfaat utama dari pengujian genetik.
2.2.6 Prognosis
Hereditary Hemorrhagic Telangiectasia (HHT) dikaitkan dengan harapan hidup yang
lebih pendek dan sebagai penyebab kematian dini. Meskipun komplikasi wanita saat
hamil dapat menyebabkan kematian wanita saat melahirkan karena perdarahan dari
AVMs paru atau otak dalam beberapa kasus, perbedaan yang signifikan secara statistik
dalam harapan hidup antara gender dan mutasi gen subkelompok penyakit belum
terbukti. (Dheyauldeen, 2014)
2.3 Epistaksis
2.3.1 Definisi
Epistaksis adalah perdarahan akut yang berasal dari lubang hidung, rongga
hidung atau nasofaring dan mencemaskan penderita serta para klinisi. Epistaksis
bukan suatu penyakit, melainkan gejala dari suatu kelainan yang mana hampir 90%
dapat berhenti sendiri. (Munir et al, 2006).
2.3.2 Etiologi
Trauma
Infeksi lokal
Tumor
Kelainan darah
Kelainan kongenital
Epistaksis anterior
Epistaksis posterior
Penyakit HHT ini merupakan penyakit genetik yang diturunkan dari genetik orang tua
kepada anak nya. Dalam sebuah hadits yang menyatakan bahwa faktor keturunan atau genetik
dapat diturunkan dari orang tua kepada anak nya, termasuk pewarisan sifat dan penyakit.
Ya Rasulullah, isteriku melahirkan anak yang berkulit hitam. [ia dan istrinya tidak berkulit hitam] Maka Nabi
SAW berkata, Apakah kamu memiliki unta? Ia menjawab: Ya, Nabi berkata: Apa saja warnanya? Ia
menjawab: Merah, Nabi berkata: Apakah ada yang berwarna keabu-abuan? Ia menjawab: Ya, Nabi
berkata: Mengapa demikian? Ia menjawab: Boleh jadi karena faktor keturunan/genetika. Nabi shallallahu
alaihi wa sallam lantas bersabda, Anakmu yang berkulit hitam itu boleh jadi karena faktor keturunan/genetika.
(HR. Al-Bukhari dari Abu Hurairah).
Dari hadits ini kita juga dapat mengambil kesimpulan bahwa setiap makhluk
yang ada di dunia ini memiliki pewarisan genetika yang diturunkan dari orang tua nya
terutama secara fisik. Telah dijelaskan oleh Nabi Muhammad SAW, bahwa dalam
keturunan kita sangat mungkin terjadi variasi yang terkadang menyebabkan generasi
dibawahnya tidak sama dengan induk nya. Seiring dengan perkembangan ilmu sains,
ditemukanlah disiplin ilmu genetika yang menjelaskan bahwa setiap manusia
membawa berjuta gen yang pasti berbeda satu dengan yang lainnya, yang akan
diturunkan kepada anaknya. Karena manusia sistem reproduksinya dengan jalan
fertilisasi atau pembuahan antara sel sperma dan sel ovum yang telah memiliki kode-
kode gen masing-masing, maka ketika keduanya melebur, terjadilah penggabungan
kedua sifat di antara keduanya yang kemudian dapat menimbulkan adanya
variasi.(suryo,2008)
3.2 Epistaksis pada Hereditary Hemorrhagic Telangiectasis(HHT) dan
Hukum Berobat dalam Islam
Sesungguhnya Allah menciptakan penyakit dan obatnya. Maka berobatlah kalian, dan
jangan berobat dengan sesuatu yang haram. (HR. Ad-Daulabi).
Hukum berobat tergantung kondisi sakit yang dihadapi, diantaranya wajib, sunnat,
mubah, makruh, dan haram. Adapun hukum berobat terkait dengan kondisi penyakit
adalah sebagai berikut: (Zuhroni, 2013)
Wajib
Jika seseorang terkena penyakit yang gawat dan sudah ditemukan
obatnya diyakini dapat menyembuhkan penyakit tersebut
Sunah
Jika dengan meninggalkannya akan melemahkan badan namun
tidak berakibatkan kebinasaan seperti tersebut pada kondisi yang
pertama.
Mubah
Jika dengan meninggalkan tidak menimbulkan efek seperti yang
tersebut pada dua kondisi diatas tadi.
Makruh
Apabila dengan berobat justru menimbulkan efek samping yang lebih
berbahaya dari pada penyakit yang akan diobati.
Haram
Jika dipastikan melakukan pengobatan tidak akan dapat
menyembuhkan
Berdasarkan uraian diatas, diketahui bahwa epistaksis yang di sebabkan oleh
HHT merupakan salah satu gangguan yang terjadi pada salah satu alat panca indera
yaitu hidung. Di dalam Islam diketahui bahwa seorang muslim dianjurkan untuk
berobat ketika dalam keadaan sakit. Dalam anjuran berobat, perlu diperhatikan bahwa
bahan yang digunakan tidak mengandung unsur yang haram. Selain dianjurkan
berobat, seorang muslim juga diharapkan memiliki sifat sabar dan tawakal.
3.3 Tinjauan Islam Terhadap Penggunaan Avastin (Bevacizumab)
Pada Kasus Epistaksis Akibat Penyakit Hereditary Haemorrhagic
Talengiektasis(HHT)
Epistaksis yang disebabkan oleh HHT sering terjadi dan sebaiknya dilakukan
penanganan untuk mencegah terjadinya kondisi yang lebih buruk hingga kebutuhan
penderita akan transfusi darah. Pengobatan yang dapat dilakukan dalam kasus
epistaksis yang di sebabkan oleh HHT dapat menggunakan terapi nasal spray atau
injeksi Avastin (bevacizumab). Obat ini bekerja untuk menghambat peningkatan VEGF
yang membuat pelebaran pembuluh darah hidung sehingga memudahkan terjadinya
perdarahan, meningkatkan eritropoeitin dan meningkatkan jumlah trombosit serta
fibrinogen. Dalam pandangan Islam, dianjurkan untuk melakukan pengobatan apabila
sedang dalam kondisi sakit. Seperti yang disebutkan di dalam hadist yang menjelaskan
bahwa setiap penyakit di ciptakan beserta obatnya dan melarang kita untuk berobat
dengan yang haram.
Menurut tinjauan Islam terhadap penggunaan obat Avastin (Bevacizumab)
berdasarkan kaidah Fiqhiyyah pada dasarnya diperbolehkan selama penggunaan obat
ini mendatangkan manfaat dan tidak menimbulkan mudharat sebagaimana kaedah
Fiqhiyyah (Zuhroni, 2008):
Asal sesuatu adalah boleh, sampai ada dalil yang menunjukkan keharamannya.
Apabila penggunan obat avastin (Bevacizumab) lebih banyak mudharatnya dari
pada manfaatnya, maka tidak boleh digunakan. Sesuai dengan kaedah lainnya yang
mengatakan: (Zuhroni, 2008).
Hukum-hukum itu bisa berubah sesuai dengan ada tidaknya sebab.
Dari tinjauan islam tentang penyakit keturunan dan penanganan Epistaksis
dengan obat Avastin (Bevacizumab) pada HHT, diperbolehkan selama obat ini tidak
mengandung zat yang diharamkan oleh agama Islam. Pengobatan ini dapat bersifat
wajib apabila mengganggu keselamatan jiwa, karena pasien HHT dengan epistaksis
perdarahan dapat muncul sering dan bertahan lama sehingga memungkinkan
penderita untuk mendapatkan transfusi darah. Alah telah menciptakan manusia
dengan sebaik-baiknya bentuk, dan menciptakan salah satu alat indera penghidu yaitu
hidung dengan berbagai macam fungsi dan manfaat. Islam juga menganjurkan
pemeluknya untuk berobat kepada yang ahli supaya tidak mendatangkan mudharat.
BAB IV
KAITAN PENANGANAN EPISTAKSIS DENGAN AVASTIN
(BEVACIZUMAB) PADA HEREDITARY HEMORRHAGIC
TELANGIECTASIA (HHT) DITINJAU DARI
KEDOKTERAN DAN ISLAM
Menurut pandangan kedokteran, Hereditary Hemorrhagic Telangiectasia (HHT)
adalah gangguan dominan autosomal yang mengarah pada Artery Vein Malformation
(AVMs) terutama di paru, hati, hidung, gastrointestinal, dan sirkulasi otak.
Perkembangan pembuluh darah abnormal yang terjadi karena peningkatan dari
Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) sehingga menyebabkan mudah terjadi
perdarahan. Perdarahan akut yang paling sering terjadi pada pasien HHT berlokasi di
hidung dengan frekuensi yang berulang. Maka sering sekali pasien dengan HHT timbul
dengan manifestasi klinis epistaksis berulang. Penanganan yang dilakukan untuk
epistaksis berulang pada pasien dengan HHT adalah dengan pemberian Avastin
(Bevacizumab). Cara kerja Bevacizumab adalah menekan pertumbuhan VEGF sehingga
pada pasien dengan HHT terdapat penurunan kadar VEGF. Bevacizumab terbukti
bermanfaat dalam mengurangi gejala dan keparahan dari epistaksis berulang dengan
dua cara yaitu intravena dan intranasal.
Menurut pandangan Islam, hidung merupakan salah satu panca indera yang
harus dijaga dengan baik. Allah SWT membuat hidung tersebut berongga sesuai
dengan kebutuhan. Allah juga memberikan pula indra penciuman diantara kedua pintu
hidung tersebut dan menjadikannya sebagai alat untuk menghirup udara serta alat
untuk mencium berbagai macam bau-bauan. Allah SWT juga menciptakan manusia
dengan sebaik-baiknya. Islam juga membahas tentang penyakit keturunan, dalam
beberapa hadist menyatakan bahwa faktor keturunan dapat diturunkan dari orang tua
kepada anaknya, termasuk pewarisan sifat dan penyakit. Penatalaksanaan saat ini
yang dilakukan kepada pasien HHT dengan epistaksis berulang adalah dengan
membertikan Avastin (Bevacizumab). Penggunaan obat Avastin (Bevacizumab)
berdasarkan kaidah Fiqhiyyah pada dasarnya diperbolehkan selama mendatangkan
manfaat dan tidak menimbulkan mudharat sebagaimana kaedah Fiqhiyyah.
Berdasarkan uraian kedokteran dan Islam sepakat bahwa apabila seseorang menderita HHT
dengan epistaksis berulang, hendaknya berobat dengan baik. Penggunaan Avastin (Bevacizumab)
dapat digunakan selama memberikan manfaat dan tidak menimbulkan mudharat.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, maka dapat
disimpulkan sebagai berikut:
1. Pembuluh dalam Hereditary Hemorrhagic Telangiectasia (HHT) berkembang secara
abnormal karena tidak baiknya pengiriman informasi pada TGF-BMP selama
membentuk pembuluh darah dan homeostasis. Hal ini menyebabkan masih
adanya fase aktivasi angiogenesis, seperti Vascular Endothelial Growth Factor
(VEGF), yang diproduksi dan memainkan peran potensial dalam angiodisplasia.
2. Epistaksis spontan dan telangiektasis di mukosa hidung adalah manifestasi klinis
yang paling umum dari HHT. Mimisan adalah gejala klinis pertama penyakit di
sekitar 80% kasus. Tingkat keparahan dan frekuensi epistaksis sangat bervariasi
bahkan di dalam keluarga yang sama.
3. Prinsip penatalaksanaan epistaksis ialah perbaiki keadaan umum, cari sumber
perdarahan, hentikan perdarahan, cari faktor penyebab untuk mencegah
berulangnya perdarahan. Avastin (Bevacizumab) bekerja dengan cara menghambat
pertumbuhan VEGF, dan terbukti bermanfaat dalam mengurangi gejala dan
keparahan dari epistaksis.
4. Tinjauan Islam tentang penyakit keturunan dan penanganan epistaksis
menggunakan Avastin (Bevacizumab) pada HHT dalam dunia kedokteran:
Bahwa setiap makhluk hidup yang diciptakan oleh Allah SWT, memiliki pewarisan
sifat genetik dari pendahulunya. Dalam hal ini faktor keturunan dapat diturunkan
dari orang tua kepada anaknya, termasuk pewarisan sifat dan penyakit.
Islam memerintahkan untuk berobat apabila dalam keadaan sakit dan berobat
kepada ahlinya di bidang pengobatan, agar pengobatan dan perawatan dapat
dilakukan dengan tepat. Selain itu juga harus menghindarkan diri dari penggunaan
obat yang terbuat dari bahan haram. Melakukan pengobatan yang mendatangkan
manfaat dan tidak menimbulkan mudharat.
Pengobatan menggunakan Avastin (Bevacizumab) diperbolehkan dan sunnah,
dikarenakan pengobatan lebih mendatangkan mashlahah dari pada mudharat
kepada penderita berdasarkan dari penelitian yang sudah dilakukan. Dan dapat
bersifat wajib apabila mengancam jiwa akibat perdarahan yang menetap.
5.2 Saran
Bagi dokter muslim
Diharapkan dokter muslim terus berusaha meningkatkan pengetahuan dalam perkembangan ilmu
kedokteran maupun islam serta memberikan penyuluhan kepada masyarakat tentang penyakit HHT
dengan epistaksis berulang. Selain itu dokter muslim juga diharapkan dapat menentukan terapi yang
tepat pada pasien serta memiliki akhlak terpuji.
Bagi Ulama
Para ulama diharapkan untuk selalu mengingatkan umat islam untuk berobat apabila sedang sakit.
Diharapkan kepada para ulama agar dapat memberikan semangat serta mengajak para pemuda
muslim untuk meneliti tentang ilmu-ilmu sains yang ada dan sudah di jelaskan dalam al-Quran dan al-
Hadits.
Bagi masyarakat
Masyarakat diharapkan untuk selalu memperhatikan kondisi tubuhnya dan segera memeriksakan
dirinya ke dokter apabila dirasakan ketidaknyamanan dalam tubuhnya. Selain itu masyarakat juga
disarankan untuk membekali dirinya masing-masing dengan ilmu yang semakin berkembang.
Bagi Peneliti
Peneliti di harapkan dapat meneliti lebih jauh tentang penggunaan Avastin (Bevacizumab), seperti efek
jangka panjang dari penggunaan obat ini.
DAFTAR PUSTAKA
Adams, George L. 1997. Boies: buku ajar penyakit THT (Boeis fundamentals of otolaryngology). Edisi ke-6. Jakarta: EGC.
Azzorpadi, N., Ternant, D., et al. 2015. Dose-response relationship of bevacizumab in hereditary hemorrhagic telangiectasia. 630-637
Brinkerhoff, B.T., Choong, N.W., et al. 2012. Intravenous and topical intranasal bevacizumab (Avastin) in hereditary hemorrhagic telangiectasia. American Journal of
Otolaryngology. 349-351
Dheyauldeen,S. 2014. Hereditary hemorrhagic telangiectasia associated epistaxis in the Norwegian population. Severity, Impact on the quality of life and new treatment
modality. Norway: Division of Surgery and Neuroscience.
Dhingra, PL. 2007. Disease of Ear Nose and Throat Edisi 4. New Delhi, India : Elsevier. hal 129-135, 145-8.
Elphick, A., Shovlin, C.L., et al. 2013. Relationship Between Epistaxis, Migraines, and Triggers in Hereditary Hemorrhagic Telangiectasia. The american Laryngological.
124:1521-1528
Fiorella, M.L., et al. 2004. Hereditary haemorrhagic telangiectasia: state of the art. Acta Otorhinolaryngol Ital. 24: 330-336.
Garg, N., et al. 2014. Optimal management of hereditary hemorrhagic telangiectasia. Journal of Blood Medicine. 5: 191-206
Irawan, N., 2012. Forum Dakwah Islam. Available at: http://islamforumdakwah.blogspot.com/2012/03/hidung-dalam-kajian-islam.html Diakses: 9 Januari 2017.
Kjeldsen, A.D., Vase, P., Green, A. 1999. Hereditary haemorrhagic telangiectasia: a population-based study of prevalence and mortality in Danish patients. J Intern Med. 245:
31-39.
Kumar Mar, S., Mitra, M. et al., 2015. Hereditary Hemorrhagic Telangiectasia: Presenting with Epistaxis. Journal of University Surgery. Vol 3 No. 19.
Mangunkusumo, E. Wardani, RS. 2007. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung Tenggorok, Kepala dan Leher edisi keenam. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
McLarnon, C.M., Carrie, S., 2012. Epistaxis. Head and Neck Surgery 30:11.
Munir, D. et al., 2006. Epistaksis. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Parambil, J.G., 2016. Hereditary Hemorrhagic Telangiectasia. 513-521
Sautter, N.B., Smith, T.L., 2016. Treatment of Hereditary Hemorrhagic Telangiectasia-Related Epistaxis. Otolaryngol Clin. 639-654
Soetjipto D., Wardani RS.2007. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi Keenam. Jakarta : FK UI.
Syamsuddin, M., 2012. Anatomi Tubuh dalam Al-Quran. Available at: http://www.academia.edu. Diakses: 10 Januari 2017.
Thompson, A.B., Ross, D.A., et al. 2014. Very low dose bevacizumab for the treatment of epistaxis in patients with hereditary hemorrhagic telangiectasia.
Allergy Rhinol. 91-95
Wiley, J. et al. 2013. The treatment of recurrent epistaxis due to hereditary haemorrhagic telangiectasia with intranasal bevacizumab. British Journal of
Haematology, 162, 547-569
An-Najjar Z., Pembuktian Sains dalam Sunnah Buku 3, (Jakarta: Amzah,2007), hlm. 112-113.
Zuhroni. 2013. Hukum Islam Terhadap Berbagai Masalah Kedokteran dan Kesehatan Kontemporer. Jakarta: Bagian Agama Universitas YARSI.