Anda di halaman 1dari 51

PENANGANAN EPISTAKSIS DENGAN AVASTIN (BEVACIZUMAB) PADA

HEREDITARY HEMORRHAGIC TELANGIECTASIA (HHT) DITINJAU DARI


KEDOKTERAN DAN ISLAM
Oleh :
ADROEW PASCA PERDANA
1102011011
ABSTRAK
PENANGANAN EPISTAKSIS DENGAN AVASTIN
(BEVACIZUMAB) PADA HEREDITARY HEMORRHAGIC
TELANGIECTASIA (HHT) DITINJAU DARI KEDOKTERAN
Hereditary Hemorrhagic Telangiectasia (HHT) adalah penyakit genetik dominan autosomal yang ditandai oleh pembentukan
pembuluh darah displastik yang mengarah ke telangiektasia mukokutan, Artery Vein Malformations (AVMs) yang melibatkan
beberapa organ termasuk hidung, paru-paru, otak, hati dan saluran gastrointestinal. Pada penderita HHT 80%
memperlihatkan gejala klinis berupa perdarahan pada hidung akibat terjadinya perubahan kontraktilitas dan elastisitas
pembuluh darah. Penderita HHT memiliki peningkatan kadar plasma faktor pertumbuhan endotel vaskular (VEGF) yang
menyebabkan kelainan pada pembuluh darah.Tujuan umum dari skripsi ini adalah memberikan informasi tentang
penanganan epistaksis dengan avastin (bevacizumab) pada HHT ditinjau dari kedokteran dan Islam.Menurut ilmu
kedokteran, penanganan epistaksis pada pasien HHT sebaiknya menggunakan avastin (bevacizumab), obat tersebut bekerja
dengan menekan pertumbuhan dari Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF), pada pasien dengan HHT terdapat
peningkatan kadar VEGF yang dapat menyebabkan mudahnya terjadi perdarahan.Ditinjau dari kaidah Islam, penanganan
epistaksis dengan Avastin (bevacizumab) pada HHT diperbolehkan selama mendatangkan mashlahah kepada penderita dan
halal. Islam memerintahkan untuk berobat kepada ahli nya di bidang pengobatan, agar pengoabatan dan perawatan dapat
dilakukan dengan tepat dan membawa manfaat. Selain itu juga harus menghindarkan diri dari penggunaan obat yang terbuat
dari bahan haram. Dalam Islam juga membenarkan bahwa setiap makhluk hidup yang di ciptakan Allah SWT memiliki
pewarisan sifat genetik dari pendahulunya. Faktor keturunan dapat diturunkan dari orang tua kepada anak nya, termasuk
pewarisan sifat dan penyakit.

Kata kunci : Hereditary Hemorrhagic Telangiectasia, Avastin, Islam


BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
Hereditary Hemorrhagic Telangiectasia (HHT), juga dikenal sebagai sindrom
Osler-Weber-Rendu, adalah gangguan dominan autosomal yang ditandai oleh
pembentukan pembuluh darah displastik yang mengarah ke telangiektasia mukokutan,
Artery Vein Malformations (AVMs) yang melibatkan beberapa organ termasuk hidung,
paru-paru, otak, hati dan saluran pencernaan. Telangiektasia dari mukosa hidung
keluhan paling umum (90%) yang timbul dari gangguan ini, sehingga dapat
menyebabkan kelelahan akibat kekurangan darah. (Thompson et al, 2014; Lupa et al,
2016)
Penyakit HHT merupakan penyakit genetik yang di turunkan dari genetik orang
tua kepada anaknya. Terdapat dalam sebuah hadits yang menyatakan bahwa faktor
keturunan atau genetik yang diturunkan dari orang tua kepada anaknya, termasuk
pewarisan sifat dan penyakit. Dalam pandangan Islam, dianjurkan untuk melakukan
pengobatan apabila sedang dalam kondisi sakit. Pengobatan ialah suatu kebudayaan
untuk menyelamatkan diri dari penyakit yang mengganggu hidup. Hukum berobat
tergantung kondisi sakit yang dihadapi, diantaranya wajib, sunnat, mubah, makruh, dan
haram (Akbar, 1988)
1.2 Permasalahan
1. Bagaimana patofisiologi terjadinya Hereditary Hemorrhagic Telangiectasia (HHT)
2. Bagaimana hubungan terjadinya epistaksis berulang pada Hereditary Hemorrhagic
Telangiectasia (HHT)
3. Bagaimana peran Avastin (bevacizumab) sebagai terapi epistaksis berulang pada
Hereditary Hemorrhagic Telangiectasia (HHT)
4. Bagaimana tinjauan Islam terhadap penyakit keturunan dan penanganan
epistaksis dengan Avastin (Bevacizumab) pada Hereditary Hemorrhagic
Telangiectasia(HHT)
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui penanganan epistaksis dengan Avastin (bevacizumab) pada Hereditary
Hemorrhagic Telangiectasia (HHT).
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui dan menjelaskan patofisiologi terjadinya Hereditary Hemorrhagic
Telangiectasia (HHT).
2. Mengetahui dan menjelaskan hubungan terjadinya epistaksis berulang pada Hereditary
Hemorrhagic Telangiectasia (HHT).
3. Mengetahui dan menjelaskan peran Avastin (bevacizumab) sebagai terapi penanganan
epistaksis berulang pada Hereditary Hemorrhagic Telangiectasia (HHT).
4. Bagaimana tinjauan Islam terhadap penyakit keturunan dan penanganan epistaksis
dengan Avastin (bevacizumab) pada Hereditary Henorrhagic Telangiectasia (HHT)
1.4 Manfaat
1. Bagi Penulis
Dapat menambah pengetahuan tentang peran Avastin (bevacizumab) dalam menangani epistaksis
berulang pada pasien HHT.
2. Bagi Universitas YARSI
Dapat menambah pengetahuan dan sebagai bahan rujukkan bagi civitas akademika Universitas YARSI
yang ingin mengetahui lebih dalam tentang peran Avastin (bevacizumab) dalam menangani epistaksis pada
pasien HHT.
3. Bagi Masyarakat
Dapat menambah informasi pada masyarakat mengenai peran Avastin (bevacizumab) dalam menangani
epistaksis pada pasien HHT.
4. Bagi Peneliti
Semoga hal ini menyadarkan para mahasiswa Islam untuk menggali lebih banyak tentang obat dan cara
pengobatan , karena sesungguhnya tidak ada penyakit yang tidak ada obat nya kecuali penyakit pikun (lupa).
Skripsi ini juga diharapkan dapat menyadarkan para peneliti tentang kebesaran Allah SWT.
BAB II
PENANGANAN EPISTAKSIS DENGAN AVASTIN
(BEVACIZUMAB) PADA HEREDITARY HEMORRHAGIC
TELANGIECTASIA (HHT) DITINJAU DARI KEDOKTERAN
2.1 Hidung
2.1.1 Anatomi Hidung
2.1.1.1 Hidung Bagian Luar

Hidung terdiri atas hidung luar dan hidung bagian dalam. Hidung bagian luar
menonjol pada garis tengah di antara pipi dan bibir atas, struktur hidung luar
dibedakan atas tiga bagian: yang paling atas: kubah tulang yang tak dapat digerakkan,
di bawahnya terdapat kubah kartilago yang sedikit dapat digerakkan, dan yang paling
bawah adalah lobulus hidung yang mudah digerakkan.

Gambar 1. Anatomi Hidung Bagian Luar (Frank H Netter, 1989)


2.1.1.2 Hidung Bagian Dalam
Hidung bagian dalam dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum
nasi kanan dan kavum nasi kiri yang tidak sama ukurannya. Lubang hidung bagian depan disebut
nares anterior dan lubang hidung bagian belakang disebut nares posterior atau disebut choana.
Bagian dari rongga hidung yang letaknya sesuai dengan ala nasi disebut vestibulum yang dilapisi
oleh kulit yang mempunyai kelenjar keringat, kelenjar sebasea dan rambut-rambut yang disebut
vibrisae. Rongga hidung dilapisi oleh membran mukosa yang melekat erat pada periosteum dan
perikondrium, sebagian besar mukosa ini mengandung banyak pembuluh darah, kelenjar mukosa
dan kelenjar serous dan ditutupi oleh epitel torak berlapis semu mempunyai silia (Dhingra, 2007).

Gambar 2. Anatomi Hidung Bagian Dalam (Dhingra, 2007)


2.1.2 Fisiologi Hidung

Fungsi respirasi Fungsi penghidu Fungsi fonetik

Fungsi statistik
dan mekanik
Refleks nasal
Penghidu
Indera penghidu pada manusia tergolong rudimenter dibandingkan hewan
lainnya, namun kepekaan organ ini cukup mengejutkan. Proses persepsi bau belum
dapat dipastikan, namun terdapat dua teori yang mengisyaratkan mekanisme kimia
atau undulasi. Menurut teori kimia, partikel-partikel zat yang berbau disebarkan secara
difusi lewat udara dan menyebabkan suatu reaksi kimia saat mencapai epitel
olfaktorius. Menurut teori undulasi, gelombang energi serupa dengan tempaan ringan
pada ujung saraf olfaktorius. Tanpa memandang mekanismenya, indera penghidu
dengan cepat menghilang. (Adams, 1997).
Tahanan Jalan Napas
Napas manusia dimulai dari lubang hidung. Usaha bernapas mengantarkan
udara lewat saluran pernapasan atas dan bawah kepada alveoli paru dalam volume,
tekanan, kelembaban, suhu, dan kebersihan yang cukup, untuk menjamin suatu
kondisi ambilan oksigen yang optimal, dan pada proses sebaliknya, juga menjamin
proses eliminasi karbon dioksida yang optimal, yang diangkut ke alveoli lewat aliran
darah. Hidung dengan berbagai katup inspirasi dan ekspirasi serta kerja mirip katup
dari jaringan erektil konka dan septum, menghaluskan dan membentuk aliran udara,
mengatur volume dan tekanan udara yang lewat, dan menjalankan berbagai aktivitas
penyesuaian udara (filtrasi, pengaturan suhu dan kelembaban udara). (Adams, 1997).
Penyesuaian Udara
Dalam waktu yang singkat saat udara melintasi bagian horizontal hidung yaitu
sekitar 16-20 kali per menit, udara inspirasi dihangatkan (atau didinginkan) mendekati
suhu tubuh dan kelembaban relatifnya dibuat mendekati 100 persen. Suhu ekstrim
dan kekeringan udara inspirasi dikompensasi dengan cara mengubah aliran udara. Hal
ini dilakukan melalui perubahan fisik pada jaringan erektil hidung. (Adams, 1997).
Purifikasi Udara
Rambut hidung atau vibrisa pada vestibulum nasi yang berlapis kulit
berperanan dalam filtrasi udara. Anatomi hidung dalam iregular menimbulkan arus
balik udara inspirasi, dengan akibat penimbunan partikel dalam idung dan nasofaring.
Benda asing, termasuk bakteri dan virus (seringkali menggumpal membentuk partikel
besar) akan diekspektorans atau diangkut melalui transpor mukosiliar ke dalam
lambung untuk disterilkan sekresi lambung. (Adams, 1997).
Hubungan dengan Paru-paru
Fisiologi paru-paru normal bergantung pada pernapasan hidung. Sedangkan
tonus bronkus tergantung pada refleks nasopulmonaris yang juga menyebabkan
perubahan tahanan dan perfusi paru-paru total. Riset telah menunjukan suatu refleks
yang dihantarkan dari mukosa hidung ke paru-paru homolateral. Suatu penurunan
curah jantung dan peningkatan tahanan vaskular perifer juga telah dikaitkan dengan
rangsangan membrana hidung. Namun tahanan vaskular perifer tersebut tidak
mengubah aliran karotis. (Adams, 1997).
2.1.3 Vaskularisasi Hidung

Gambar 3. Sumber Perdarahan Epistaksis (Christy Krames, 2005)


2.2 Hereditary Hemorrhagic Telangiectasia (HHT)
2.2.1 Definisi

Hereditary Hemorrhagic Telangiectasia (HHT) adalah gangguan dominan


autosomal yang mengarah pada malformasi arteri vena (AVMs) terutama di paru, hati,
hidung, gastrointestinal, dan sirkulasi otak. Di negara Amerika HHT terjadi pada sekitar
satu dari 5,000-8,000 individu, dan hasil HHT berasal dari mutasi gen yang mengkode
protein sehingga mengubah faktor pertumbuhan-beta (TGF-b) yang berada di endotel
vaskular. Patogenis saat ini adalah ketika gen bermutasi dalam HHT maka akan
menghasilkan ketidakmampuan pembuluh darah untuk tumbuh kuat secara tepat.
(Elphick, 2013)
2.2.2 Etiologi
Renovasi dari endotel pembuluh darah dalam pembuluh mukosa terjadi secara
tidak teregulasi, yang menyebabkan hilangnya elastisitas dan dilatasi komunikasi arteri-
venula. Kadar plasma faktor pertumbuhan endotel vaskular (VEGF) yang meningkat
timbul pada pasien dengan HHT, sehingga pengobatan selama ini bekerja sebagai
penghambat VEGF. (Sautter, 2016)
2.2.3 Manifestasi Klinis

Epistaksis

Epistaksis spontan dan berulang epistaksis berulang dari telangiektasis


di mukosa hidung adalah manifestasi klinis yang paling umum dari HHT.

Telangiektasia mukokutan

Saluran pencernaan
Hati
Paru-paru
Sistem Saraf Pusat (SSP)
2.2.4 Patofisiologi

Gen ENG dan ALK1 menyandi protein yang terlibat dalam pengiriman informasi
oleh pertumbuhan transformasi faktor beta - morphogenic tulang protein (TGF-BMP)
superfamili di sel endotel vaskular. TGF-BMP mengatur pertumbuhan sel, diferensiasi
dan perbaikan luka melalui kaskade transduksi sinyal dari kompleks reseptor
transmembran. Pembuluh darah dalam HHT berkembang secara abnormal karena
tidak baiknya pengiriman informasi pada TGF-BMP selama membentuk pembuluh
darah dan homeostasis. Hal ini menyebabkan masih adanya fase aktivasi angiogenesis,
seperti faktor pertumbuhan endotel vaskular (VEGF), yang diproduksi dan memainkan
peran potensial dalam angiodisplasia. (Dheyauldeen, 2014)
2.2.5 Diagnosis
Hereditary Hemorrhagic Telangiectasia (HHT) adalah diagnosis klinis, dan kriteria
Curacao adalah andalan diagnosis. Yang pasti HHT didiagnosis dengan adanya 3 atau lebih
fitur, termasuk :
1. Pendarahan spontan hidung berulang
2. Telangiectasias mucocutaneous di salah satu mukosa, seperti ujung jari, bibir, mukosa
mulut, dan / atau lidah
3. Keterlibatan viseral dengan telangiektasis saluran cerna dan paru, hati, otak, dan /
atau AVMs tulang belakang
4. Riwayat keluarga

Jika hanya 2 kriteria yang hadir, maka HHT adalah mungkin, dan diagnosis HHT
tidak dapat ditegakkan apabila hanya ditemukan satu atau kurang dari satu gejala yang
timbul. Gejala klinis pada HHT terkait dengan usia, yaitu gejala klinis hilang pada anak-anak
dan dewasa muda, yang terlihat tidak memiliki epistaksis atau telangiektasis belum tentu
tidak terkena HHT. Di sinilah letak salah satu manfaat utama dari pengujian genetik.
2.2.6 Prognosis
Hereditary Hemorrhagic Telangiectasia (HHT) dikaitkan dengan harapan hidup yang
lebih pendek dan sebagai penyebab kematian dini. Meskipun komplikasi wanita saat
hamil dapat menyebabkan kematian wanita saat melahirkan karena perdarahan dari
AVMs paru atau otak dalam beberapa kasus, perbedaan yang signifikan secara statistik
dalam harapan hidup antara gender dan mutasi gen subkelompok penyakit belum
terbukti. (Dheyauldeen, 2014)
2.3 Epistaksis
2.3.1 Definisi

Epistaksis adalah perdarahan akut yang berasal dari lubang hidung, rongga
hidung atau nasofaring dan mencemaskan penderita serta para klinisi. Epistaksis
bukan suatu penyakit, melainkan gejala dari suatu kelainan yang mana hampir 90%
dapat berhenti sendiri. (Munir et al, 2006).
2.3.2 Etiologi
Trauma

Kelainan pembuluh darah (lokal)

Infeksi lokal

Tumor

Kelainan darah

Kelainan kongenital

Perubahan udara atau tekanan atmosfir


2.3.3 Klasifikasi

Epistaksis anterior

Perdarahan pada lokasi ini bersumber dari pleksus Kiesselbach (little


area), yaitu anastomosis dari beberapa pembuluh darah di septum
bagian anterior tepat di ujung postero superior vestibulum nasi.
Perdarahan juga dapat berasal dari bagian depan konkha inferior.

Epistaksis posterior

Epistaksis posterior dapat berasal dari arteri sfenopalatina dan arteri


etmoid posterior.
2.3.4 Tatalaksana
Penanganan epistaksis yang tepat akan bergantung pada suatu anamnesis yang cermat. Hal-hal yang
penting adalah sebagai berikut (Adams, 1997):
1. Riwayat perdarahan sebelumnya
2. Lokasi perdarahan
3. Apakah darah terutama mengalir ke dalam tenggorokan (ke posterior) ataukah keluar dari hidung depan
(anterior) bila pasien duduk tegak
4. Lama perdarahan dan frekuensinya
5. Kecenderungan perdarahan
6. Riwayat gangguan perdarahan dalam keluarga
7. Hipertensi
8. Diabetes melitus
9. Penyakit hati
10. Penggunaan antikoagulan
11. Trauma hidung yang belum lama
12. Obat-obatan, misalnya aspirin, fenilbutazon
2.4 Penanganan Epistaksis dengan Avastin (Bevacizumab) pada
Hereditary Hemorrhagic Telangiectasia (HHT)

Vascular Endothel Growth Factor (VEGF) menghambat sintesis dari eritropoeitin,


sementara Bevacizumab bekerja sebagai anti VEGF sehingga dapat menyebabkan
peningkatan dari retikulosit dan dapat menurunkan ketergantungan transfusi pada
pasien dengan HHT. Beberapa efek terapi Bevacizumab pada pasien dengan HHT :
1. Menurunkan pembentukan AVMs
2. Meningkatkan eritropoeitin (peningkatan retikulosit, eritrosit dan hemoglobin)
3. Meningkatkan jumlah trombosit dan fibrinogen yang dapat menurunkan efek
koagulasi pada AVMs (Kochanowski, 2015)
Bevacizumab dapat diterapkan dengan aman sebagai obat semprot hidung
untuk pasien dengan HHT untuk menghasilkan pengurangan berkelanjutan dalam
epistaksis keparahan. Fakta bahwa ada pengurangan persyaratan untuk laser kauter
yang dapat dialihkan dengan menggunakan bevacizumab untuk mengurangi
kecenderungan dari telangiektasia. Hasil ini menunjukkan bahwa pengobatan ini dapat
menawarkan manfaat yang signifikan pada keuangan pada pasien dan gejala yang
ditimbulkan. (Wiley, 2013)
BAB III
TINJAUAN ISLAM TERHADAP PENYAKIT KETURUNAN DALAM
ISLAM DAN PENANGANAN EPISTAKSIS DENGAN AVASTIN
(BEVACIZUMAB) PADA HEREDITARY HEMORRHAGIC
TELANGIEKTASIA (HHT)
3.1 Hereditary haemorrhagic talengiectasia( HHT) menurut Islam

Penyakit HHT ini merupakan penyakit genetik yang diturunkan dari genetik orang tua
kepada anak nya. Dalam sebuah hadits yang menyatakan bahwa faktor keturunan atau genetik
dapat diturunkan dari orang tua kepada anak nya, termasuk pewarisan sifat dan penyakit.

Ya Rasulullah, isteriku melahirkan anak yang berkulit hitam. [ia dan istrinya tidak berkulit hitam] Maka Nabi
SAW berkata, Apakah kamu memiliki unta? Ia menjawab: Ya, Nabi berkata: Apa saja warnanya? Ia
menjawab: Merah, Nabi berkata: Apakah ada yang berwarna keabu-abuan? Ia menjawab: Ya, Nabi
berkata: Mengapa demikian? Ia menjawab: Boleh jadi karena faktor keturunan/genetika. Nabi shallallahu
alaihi wa sallam lantas bersabda, Anakmu yang berkulit hitam itu boleh jadi karena faktor keturunan/genetika.
(HR. Al-Bukhari dari Abu Hurairah).
Dari hadits ini kita juga dapat mengambil kesimpulan bahwa setiap makhluk
yang ada di dunia ini memiliki pewarisan genetika yang diturunkan dari orang tua nya
terutama secara fisik. Telah dijelaskan oleh Nabi Muhammad SAW, bahwa dalam
keturunan kita sangat mungkin terjadi variasi yang terkadang menyebabkan generasi
dibawahnya tidak sama dengan induk nya. Seiring dengan perkembangan ilmu sains,
ditemukanlah disiplin ilmu genetika yang menjelaskan bahwa setiap manusia
membawa berjuta gen yang pasti berbeda satu dengan yang lainnya, yang akan
diturunkan kepada anaknya. Karena manusia sistem reproduksinya dengan jalan
fertilisasi atau pembuahan antara sel sperma dan sel ovum yang telah memiliki kode-
kode gen masing-masing, maka ketika keduanya melebur, terjadilah penggabungan
kedua sifat di antara keduanya yang kemudian dapat menimbulkan adanya
variasi.(suryo,2008)
3.2 Epistaksis pada Hereditary Hemorrhagic Telangiectasis(HHT) dan
Hukum Berobat dalam Islam

Perhatikanlah bentuk dan kondisinya. Allah SWT meletakkan hidung di tengah


pipi dalam bentuk yang sangat indah. Allah memberikan kepadanya dua buah pintu.
Allah berikan pula indra penciuman diantara kedua pintu hidung tersebut dan
menjadikannya sebagai alat untuk menghirup udara serta alat untuk mencium
berbagai macam bau-bauan. Allah menciptakan lubang hidung dalam keadaan yang
luas agar udara dapat masuk secara mudah dan agar hawa dinginnya hilang sebelum
sampai ke otak. Sebab udara yang terhirup itu, terbagi menjadi dua bagian. Sebagian
besar sampai kepada paru-paru dan sebagian lagi sampai ke otak. (Syamsuddin,
2012).
Manusia adalah makhluk yang diciptakan Allah SWT dengan sebaik-baiknya.
Membentuk dengan sebaik-baiknya bentuk dan rupa menghubungkan antar bagian
tubuh yang sempurna. Allah SWT membentuk setiap bagiannya sesuai dengan yang
diinginkan. Allah SWT tentukan ukuran nya, Allah SWT hubungkan sambungan antar
bagian, serta Allah SWT membentuknya dengan bentuk dan rupa yang paling sempurna
(Syamsuddin, 2012). Sebagaimana firman Allah SWT:

Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.


(QS: At-Tiin(95) : 4)
Hukum penggunaan penciuman seperti hidung, sebagai alat penciuman dengan
ketentuan: (Zuhroni, 2013)
Wajib: untuk pembuktian bau sesuatu yang menyebabkan perselisihan, atau
menunjukkan kualitas, keaslian, atau cacatnya sesuatu.
Haram atau Makruh: mencium wewangian bagi yang sedang ihram haji atau umrah
menurut ulama yang mengharamkannya atau memakruhkannya. Sengaja mencium
bau parfum wanita ajnabiy.
Mubah: mencium bunga, parfum, dan bebauan mubah yang lain.
Epistaksis merupakan salah satu penyakit pada alat penghidu dan gejala
tersering yang di keluhkan pada penderita HHT. Epistaksis ini merupakan keadaan
keluarnya darah dari hidung yang merupakan suatu gejala dari penyakit. Epistaksis
tidak membatalkan shalat sekalipun mengenai anggota badan, dengan syarat
darahnya tidak banyak. Ukuran sedikit atau banyak dalam hal ini berdasarkan dengan
kebiasaan ('urf) yang lumrah.
Dalam Islam apabila sakit maka dianjurkan untuk segera berobat dan bersabar karena
Allah-lah yang menurunkan penyakit dan Dia pula yang menurunkan obatnya, sesuai
dengan hadits berikut:



Sesungguhnya Allah menciptakan penyakit dan obatnya. Maka berobatlah kalian, dan
jangan berobat dengan sesuatu yang haram. (HR. Ad-Daulabi).
Hukum berobat tergantung kondisi sakit yang dihadapi, diantaranya wajib, sunnat,
mubah, makruh, dan haram. Adapun hukum berobat terkait dengan kondisi penyakit
adalah sebagai berikut: (Zuhroni, 2013)
Wajib
Jika seseorang terkena penyakit yang gawat dan sudah ditemukan
obatnya diyakini dapat menyembuhkan penyakit tersebut
Sunah
Jika dengan meninggalkannya akan melemahkan badan namun
tidak berakibatkan kebinasaan seperti tersebut pada kondisi yang
pertama.
Mubah
Jika dengan meninggalkan tidak menimbulkan efek seperti yang
tersebut pada dua kondisi diatas tadi.
Makruh
Apabila dengan berobat justru menimbulkan efek samping yang lebih
berbahaya dari pada penyakit yang akan diobati.
Haram
Jika dipastikan melakukan pengobatan tidak akan dapat
menyembuhkan
Berdasarkan uraian diatas, diketahui bahwa epistaksis yang di sebabkan oleh
HHT merupakan salah satu gangguan yang terjadi pada salah satu alat panca indera
yaitu hidung. Di dalam Islam diketahui bahwa seorang muslim dianjurkan untuk
berobat ketika dalam keadaan sakit. Dalam anjuran berobat, perlu diperhatikan bahwa
bahan yang digunakan tidak mengandung unsur yang haram. Selain dianjurkan
berobat, seorang muslim juga diharapkan memiliki sifat sabar dan tawakal.
3.3 Tinjauan Islam Terhadap Penggunaan Avastin (Bevacizumab)
Pada Kasus Epistaksis Akibat Penyakit Hereditary Haemorrhagic
Talengiektasis(HHT)

Epistaksis yang disebabkan oleh HHT sering terjadi dan sebaiknya dilakukan
penanganan untuk mencegah terjadinya kondisi yang lebih buruk hingga kebutuhan
penderita akan transfusi darah. Pengobatan yang dapat dilakukan dalam kasus
epistaksis yang di sebabkan oleh HHT dapat menggunakan terapi nasal spray atau
injeksi Avastin (bevacizumab). Obat ini bekerja untuk menghambat peningkatan VEGF
yang membuat pelebaran pembuluh darah hidung sehingga memudahkan terjadinya
perdarahan, meningkatkan eritropoeitin dan meningkatkan jumlah trombosit serta
fibrinogen. Dalam pandangan Islam, dianjurkan untuk melakukan pengobatan apabila
sedang dalam kondisi sakit. Seperti yang disebutkan di dalam hadist yang menjelaskan
bahwa setiap penyakit di ciptakan beserta obatnya dan melarang kita untuk berobat
dengan yang haram.
Menurut tinjauan Islam terhadap penggunaan obat Avastin (Bevacizumab)
berdasarkan kaidah Fiqhiyyah pada dasarnya diperbolehkan selama penggunaan obat
ini mendatangkan manfaat dan tidak menimbulkan mudharat sebagaimana kaedah
Fiqhiyyah (Zuhroni, 2008):





Asal sesuatu adalah boleh, sampai ada dalil yang menunjukkan keharamannya.
Apabila penggunan obat avastin (Bevacizumab) lebih banyak mudharatnya dari
pada manfaatnya, maka tidak boleh digunakan. Sesuai dengan kaedah lainnya yang
mengatakan: (Zuhroni, 2008).



Hukum-hukum itu bisa berubah sesuai dengan ada tidaknya sebab.
Dari tinjauan islam tentang penyakit keturunan dan penanganan Epistaksis
dengan obat Avastin (Bevacizumab) pada HHT, diperbolehkan selama obat ini tidak
mengandung zat yang diharamkan oleh agama Islam. Pengobatan ini dapat bersifat
wajib apabila mengganggu keselamatan jiwa, karena pasien HHT dengan epistaksis
perdarahan dapat muncul sering dan bertahan lama sehingga memungkinkan
penderita untuk mendapatkan transfusi darah. Alah telah menciptakan manusia
dengan sebaik-baiknya bentuk, dan menciptakan salah satu alat indera penghidu yaitu
hidung dengan berbagai macam fungsi dan manfaat. Islam juga menganjurkan
pemeluknya untuk berobat kepada yang ahli supaya tidak mendatangkan mudharat.
BAB IV
KAITAN PENANGANAN EPISTAKSIS DENGAN AVASTIN
(BEVACIZUMAB) PADA HEREDITARY HEMORRHAGIC
TELANGIECTASIA (HHT) DITINJAU DARI
KEDOKTERAN DAN ISLAM
Menurut pandangan kedokteran, Hereditary Hemorrhagic Telangiectasia (HHT)
adalah gangguan dominan autosomal yang mengarah pada Artery Vein Malformation
(AVMs) terutama di paru, hati, hidung, gastrointestinal, dan sirkulasi otak.
Perkembangan pembuluh darah abnormal yang terjadi karena peningkatan dari
Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) sehingga menyebabkan mudah terjadi
perdarahan. Perdarahan akut yang paling sering terjadi pada pasien HHT berlokasi di
hidung dengan frekuensi yang berulang. Maka sering sekali pasien dengan HHT timbul
dengan manifestasi klinis epistaksis berulang. Penanganan yang dilakukan untuk
epistaksis berulang pada pasien dengan HHT adalah dengan pemberian Avastin
(Bevacizumab). Cara kerja Bevacizumab adalah menekan pertumbuhan VEGF sehingga
pada pasien dengan HHT terdapat penurunan kadar VEGF. Bevacizumab terbukti
bermanfaat dalam mengurangi gejala dan keparahan dari epistaksis berulang dengan
dua cara yaitu intravena dan intranasal.
Menurut pandangan Islam, hidung merupakan salah satu panca indera yang
harus dijaga dengan baik. Allah SWT membuat hidung tersebut berongga sesuai
dengan kebutuhan. Allah juga memberikan pula indra penciuman diantara kedua pintu
hidung tersebut dan menjadikannya sebagai alat untuk menghirup udara serta alat
untuk mencium berbagai macam bau-bauan. Allah SWT juga menciptakan manusia
dengan sebaik-baiknya. Islam juga membahas tentang penyakit keturunan, dalam
beberapa hadist menyatakan bahwa faktor keturunan dapat diturunkan dari orang tua
kepada anaknya, termasuk pewarisan sifat dan penyakit. Penatalaksanaan saat ini
yang dilakukan kepada pasien HHT dengan epistaksis berulang adalah dengan
membertikan Avastin (Bevacizumab). Penggunaan obat Avastin (Bevacizumab)
berdasarkan kaidah Fiqhiyyah pada dasarnya diperbolehkan selama mendatangkan
manfaat dan tidak menimbulkan mudharat sebagaimana kaedah Fiqhiyyah.

Berdasarkan uraian kedokteran dan Islam sepakat bahwa apabila seseorang menderita HHT
dengan epistaksis berulang, hendaknya berobat dengan baik. Penggunaan Avastin (Bevacizumab)
dapat digunakan selama memberikan manfaat dan tidak menimbulkan mudharat.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, maka dapat
disimpulkan sebagai berikut:
1. Pembuluh dalam Hereditary Hemorrhagic Telangiectasia (HHT) berkembang secara
abnormal karena tidak baiknya pengiriman informasi pada TGF-BMP selama
membentuk pembuluh darah dan homeostasis. Hal ini menyebabkan masih
adanya fase aktivasi angiogenesis, seperti Vascular Endothelial Growth Factor
(VEGF), yang diproduksi dan memainkan peran potensial dalam angiodisplasia.
2. Epistaksis spontan dan telangiektasis di mukosa hidung adalah manifestasi klinis
yang paling umum dari HHT. Mimisan adalah gejala klinis pertama penyakit di
sekitar 80% kasus. Tingkat keparahan dan frekuensi epistaksis sangat bervariasi
bahkan di dalam keluarga yang sama.
3. Prinsip penatalaksanaan epistaksis ialah perbaiki keadaan umum, cari sumber
perdarahan, hentikan perdarahan, cari faktor penyebab untuk mencegah
berulangnya perdarahan. Avastin (Bevacizumab) bekerja dengan cara menghambat
pertumbuhan VEGF, dan terbukti bermanfaat dalam mengurangi gejala dan
keparahan dari epistaksis.
4. Tinjauan Islam tentang penyakit keturunan dan penanganan epistaksis
menggunakan Avastin (Bevacizumab) pada HHT dalam dunia kedokteran:
Bahwa setiap makhluk hidup yang diciptakan oleh Allah SWT, memiliki pewarisan
sifat genetik dari pendahulunya. Dalam hal ini faktor keturunan dapat diturunkan
dari orang tua kepada anaknya, termasuk pewarisan sifat dan penyakit.
Islam memerintahkan untuk berobat apabila dalam keadaan sakit dan berobat
kepada ahlinya di bidang pengobatan, agar pengobatan dan perawatan dapat
dilakukan dengan tepat. Selain itu juga harus menghindarkan diri dari penggunaan
obat yang terbuat dari bahan haram. Melakukan pengobatan yang mendatangkan
manfaat dan tidak menimbulkan mudharat.
Pengobatan menggunakan Avastin (Bevacizumab) diperbolehkan dan sunnah,
dikarenakan pengobatan lebih mendatangkan mashlahah dari pada mudharat
kepada penderita berdasarkan dari penelitian yang sudah dilakukan. Dan dapat
bersifat wajib apabila mengancam jiwa akibat perdarahan yang menetap.
5.2 Saran
Bagi dokter muslim
Diharapkan dokter muslim terus berusaha meningkatkan pengetahuan dalam perkembangan ilmu
kedokteran maupun islam serta memberikan penyuluhan kepada masyarakat tentang penyakit HHT
dengan epistaksis berulang. Selain itu dokter muslim juga diharapkan dapat menentukan terapi yang
tepat pada pasien serta memiliki akhlak terpuji.
Bagi Ulama
Para ulama diharapkan untuk selalu mengingatkan umat islam untuk berobat apabila sedang sakit.
Diharapkan kepada para ulama agar dapat memberikan semangat serta mengajak para pemuda
muslim untuk meneliti tentang ilmu-ilmu sains yang ada dan sudah di jelaskan dalam al-Quran dan al-
Hadits.
Bagi masyarakat
Masyarakat diharapkan untuk selalu memperhatikan kondisi tubuhnya dan segera memeriksakan
dirinya ke dokter apabila dirasakan ketidaknyamanan dalam tubuhnya. Selain itu masyarakat juga
disarankan untuk membekali dirinya masing-masing dengan ilmu yang semakin berkembang.
Bagi Peneliti
Peneliti di harapkan dapat meneliti lebih jauh tentang penggunaan Avastin (Bevacizumab), seperti efek
jangka panjang dari penggunaan obat ini.
DAFTAR PUSTAKA

Adams, George L. 1997. Boies: buku ajar penyakit THT (Boeis fundamentals of otolaryngology). Edisi ke-6. Jakarta: EGC.

Akbar, A. 1988. Etika Kedokteran dalam Islam. Jakarta: Pustaka Antara.

Azzorpadi, N., Ternant, D., et al. 2015. Dose-response relationship of bevacizumab in hereditary hemorrhagic telangiectasia. 630-637

Brinkerhoff, B.T., Choong, N.W., et al. 2012. Intravenous and topical intranasal bevacizumab (Avastin) in hereditary hemorrhagic telangiectasia. American Journal of
Otolaryngology. 349-351

Dheyauldeen,S. 2014. Hereditary hemorrhagic telangiectasia associated epistaxis in the Norwegian population. Severity, Impact on the quality of life and new treatment
modality. Norway: Division of Surgery and Neuroscience.

Dhingra, PL. 2007. Disease of Ear Nose and Throat Edisi 4. New Delhi, India : Elsevier. hal 129-135, 145-8.

Elphick, A., Shovlin, C.L., et al. 2013. Relationship Between Epistaxis, Migraines, and Triggers in Hereditary Hemorrhagic Telangiectasia. The american Laryngological.
124:1521-1528

Fiorella, M.L., et al. 2004. Hereditary haemorrhagic telangiectasia: state of the art. Acta Otorhinolaryngol Ital. 24: 330-336.

Garg, N., et al. 2014. Optimal management of hereditary hemorrhagic telangiectasia. Journal of Blood Medicine. 5: 191-206

Irawan, N., 2012. Forum Dakwah Islam. Available at: http://islamforumdakwah.blogspot.com/2012/03/hidung-dalam-kajian-islam.html Diakses: 9 Januari 2017.

Kjeldsen, A.D., Vase, P., Green, A. 1999. Hereditary haemorrhagic telangiectasia: a population-based study of prevalence and mortality in Danish patients. J Intern Med. 245:
31-39.

Kumar Mar, S., Mitra, M. et al., 2015. Hereditary Hemorrhagic Telangiectasia: Presenting with Epistaxis. Journal of University Surgery. Vol 3 No. 19.
Mangunkusumo, E. Wardani, RS. 2007. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung Tenggorok, Kepala dan Leher edisi keenam. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
McLarnon, C.M., Carrie, S., 2012. Epistaxis. Head and Neck Surgery 30:11.
Munir, D. et al., 2006. Epistaksis. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Parambil, J.G., 2016. Hereditary Hemorrhagic Telangiectasia. 513-521
Sautter, N.B., Smith, T.L., 2016. Treatment of Hereditary Hemorrhagic Telangiectasia-Related Epistaxis. Otolaryngol Clin. 639-654
Soetjipto D., Wardani RS.2007. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi Keenam. Jakarta : FK UI.
Syamsuddin, M., 2012. Anatomi Tubuh dalam Al-Quran. Available at: http://www.academia.edu. Diakses: 10 Januari 2017.
Thompson, A.B., Ross, D.A., et al. 2014. Very low dose bevacizumab for the treatment of epistaxis in patients with hereditary hemorrhagic telangiectasia.
Allergy Rhinol. 91-95
Wiley, J. et al. 2013. The treatment of recurrent epistaxis due to hereditary haemorrhagic telangiectasia with intranasal bevacizumab. British Journal of
Haematology, 162, 547-569
An-Najjar Z., Pembuktian Sains dalam Sunnah Buku 3, (Jakarta: Amzah,2007), hlm. 112-113.
Zuhroni. 2013. Hukum Islam Terhadap Berbagai Masalah Kedokteran dan Kesehatan Kontemporer. Jakarta: Bagian Agama Universitas YARSI.

Anda mungkin juga menyukai

  • Bab I
    Bab I
    Dokumen34 halaman
    Bab I
    Mutiara Sandia Oktoviana
    Belum ada peringkat
  • Dwefcedcew
    Dwefcedcew
    Dokumen2 halaman
    Dwefcedcew
    laudyaFeb
    Belum ada peringkat
  • Referat Thya
    Referat Thya
    Dokumen21 halaman
    Referat Thya
    laudyaFeb
    Belum ada peringkat
  • Bab V
    Bab V
    Dokumen3 halaman
    Bab V
    laudyaFeb
    Belum ada peringkat
  • Casdcdscd
    Casdcdscd
    Dokumen13 halaman
    Casdcdscd
    laudyaFeb
    Belum ada peringkat
  • Fwefcedvs
    Fwefcedvs
    Dokumen1 halaman
    Fwefcedvs
    laudyaFeb
    Belum ada peringkat
  • Kfhdfs
    Kfhdfs
    Dokumen6 halaman
    Kfhdfs
    laudyaFeb
    Belum ada peringkat
  • HDFDJFHD
    HDFDJFHD
    Dokumen9 halaman
    HDFDJFHD
    laudyaFeb
    Belum ada peringkat
  • Tabel Jsdkasd
    Tabel Jsdkasd
    Dokumen1 halaman
    Tabel Jsdkasd
    laudyaFeb
    Belum ada peringkat
  • Abs Trak
    Abs Trak
    Dokumen1 halaman
    Abs Trak
    laudyaFeb
    Belum ada peringkat
  • Bab V
    Bab V
    Dokumen3 halaman
    Bab V
    laudyaFeb
    Belum ada peringkat
  • Laporan Pengmas Kel 5
    Laporan Pengmas Kel 5
    Dokumen18 halaman
    Laporan Pengmas Kel 5
    laudyaFeb
    Belum ada peringkat
  • Dcewfcewfc
    Dcewfcewfc
    Dokumen10 halaman
    Dcewfcewfc
    laudyaFeb
    Belum ada peringkat
  • Bab Ii
    Bab Ii
    Dokumen28 halaman
    Bab Ii
    laudyaFeb
    Belum ada peringkat
  • Lembar Persetujuan
    Lembar Persetujuan
    Dokumen2 halaman
    Lembar Persetujuan
    laudyaFeb
    Belum ada peringkat
  • Referat THT
    Referat THT
    Dokumen22 halaman
    Referat THT
    laudyaFeb
    Belum ada peringkat
  • 11 - 245manifestasi Klinis Sindrom Behcet
    11 - 245manifestasi Klinis Sindrom Behcet
    Dokumen4 halaman
    11 - 245manifestasi Klinis Sindrom Behcet
    amirda
    Belum ada peringkat
  • Preskas Obgyn
    Preskas Obgyn
    Dokumen22 halaman
    Preskas Obgyn
    laudyaFeb
    Belum ada peringkat
  • Indonesia
    Indonesia
    Dokumen16 halaman
    Indonesia
    laudyaFeb
    Belum ada peringkat
  • Referat Obgyn
    Referat Obgyn
    Dokumen23 halaman
    Referat Obgyn
    laudyaFeb
    Belum ada peringkat
  • Revisi PH 6
    Revisi PH 6
    Dokumen139 halaman
    Revisi PH 6
    laudyaFeb
    Belum ada peringkat
  • 1
    1
    Dokumen26 halaman
    1
    laudyaFeb
    100% (1)
  • 9 Fishbone KIAfix
    9 Fishbone KIAfix
    Dokumen1 halaman
    9 Fishbone KIAfix
    laudyaFeb
    Belum ada peringkat
  • Indonesia
    Indonesia
    Dokumen16 halaman
    Indonesia
    laudyaFeb
    Belum ada peringkat
  • Pre Survey I - II
    Pre Survey I - II
    Dokumen7 halaman
    Pre Survey I - II
    laudyaFeb
    Belum ada peringkat
  • PHBS Kel. 7
    PHBS Kel. 7
    Dokumen16 halaman
    PHBS Kel. 7
    laudyaFeb
    Belum ada peringkat
  • PR Dokbam
    PR Dokbam
    Dokumen27 halaman
    PR Dokbam
    laudyaFeb
    Belum ada peringkat
  • Gambaran Radiologis
    Gambaran Radiologis
    Dokumen9 halaman
    Gambaran Radiologis
    laudyaFeb
    Belum ada peringkat
  • Bab V
    Bab V
    Dokumen3 halaman
    Bab V
    laudyaFeb
    Belum ada peringkat