Di bawah bimbingan:
Dr. Zahrul Fata, MIRKH
Oleh:
Abu Hasan
Ilmu Aqidah
Program Pasca Sarjana
Universitas Darussalam Gontor
Pondok Modern Darussalam Gontor
2016 M/1437 H
A. PEMBAHASAN
( \2 )728 2151 :
.
( - :
3
Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim al-Qusyairi al-Naisaburi, Shahih
Muslim (Beirut: Dar al-Jail, t.th), bab la tadkhul al-malaikah faiatan fihi kalbun wa la shurah, hn
5655, juz 6, hlm. 160.
4
Ibid,. bab dzikru ma yukalafu ashhab al-shuwar yaum al-qiyamah, hn 5362, juz 8, hlm.
215.
. :
5
)
( \41 )56 .:
24510
:
" :
6
: "
.:
( \6 )1407
3547
7
( \13 )155 .:
5845
5
Muhammad bin Yazid Abu Abdillah al-Qazwaini, Sunan Ibn Majah (Beirut: Dar al-
Fikri, t.th), bab al-shinaat, hn. 2151, juz 2, hlm. 728.
6
Ibid,. Musnad Aisyah al-Shiddiq, hn. 24510, juz 41, hlm. 56.
7
Malik bin Anas, al-Muwaththa (Muassasah Zaid bin Sulthan Alu Nahyan, 2004), juz 6,
hlm. 1407.
:
:
:
( : ) :
( :
: ) ( :
8
)
( \ 7 )266
. 14331 :
.14946 :
-
:
-
:
- : - .
8
Muhammad bin Hibban bin Ahmad bin Abu Hatim al-Tamimi al-Busti, Shahih Ibn
Hibban (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1993), bab al-Shuwar wa al-Mushawwirin, hn 5845, juz 13,
hlm. 155.
:
: .
9
.
Al-Baihaqi, Abu Bakar Ahmad bin Husain bin Ali, Sunan al-Kubra wa fi Dzailihi al-
9
Jawhar al-Naqi (Haidar Abad: Majlis Dairah al-Maarif al-Nizhamiyah al-Kainah, 1344 H), bab al-
Rajul yuda ila al-walimah wa fiha al-mashiyah nahahum wa in nahaw dzalika anhu wa in lam fa
lam yajib, hn. 14331 dan bab al-madu yara fi al-mawdhi al-ladzi yuda fi shurah manshubah
Dari skema sanad hadits di atas, nampak bahwa pada:
1. Sanad hadits pada riwayat imam Bukhari yaitu dari:
a. Abdullah bin Maslamah dari Malik dari Nafi dari al-Qasim bin
Muhammad dari Aisyah
b. Abu al-Numan dari Hammad bin Zaid dari Ayyub dari Nafi dari Ibnu
Umar
2. Sanad hadits pada riwayat imam Muslim yaitu, dari Yahya bin Yahya dari
Malik dari Nafi dari al- Qasim bin Muhammad dari Aisyah
3. Sanad hadits pada riwaya al-Nasai yaitu dari
a. Qutaibah bin Said dari al-Laits dari Nafi dari al-Qasim bin Muhammad
dari Aisyah
4. Sanad hadits pada riwayat Ibnu Majah yaitu Muhammad bin Rumh, dari al-
Laits bin Sad dari Nafi dari al-Qasim dari Aisyah.
5. Sanad hadits pada riwayat Ahmad yaitu dari:
a. Hasyim dari al-Laits dari Nafi dari al-Qasim dari Aisyah
6. Sanad hadits pada riwayat Malik yaitu Nafi dari al-Qasim dari Aisyah
7. Sanad hadits pada riwayat Ibnu Hibban yaitu dari Husain bin Idris dari Ahmad
bin Abi Bakar dari Malik dari Nafi dari al-Qasim bin Muhammad dari Aisyah
8. Sanad hadits pada riwayat al-Baihaqi yaitu dari Abu Abdillah al-hafizh dari
Abu Bakar bin Ishak dari Hasan bin Ali bin Ziyad dari Ibnu Abi uwais dari
Malik dari Nafi dari al-Qasim bin Muhammad dari Aisyah.
Sanad dari delapan mukharrij tersebut melalui 19 jalur sanad yang
semuanya bertemu pada Nafi. Jika diperhatikan skema hadits di atas tampak
bahwa hadits tersebut segi kuantitas (jumlah periwayat) berstatus hadits ahad, dan
termasuk dalam golongan hadits gharib, karena pada thabaqah pertengahan tabiin
masing-masing hanya terdapat satu orang perawi.
Keshahihan Sanad
Dalam kaedah keshahihan sanad ini dilakukan dengan memilih salah satu
jalur sanad riwayat imam Bukhari dengan pertimbangan bahwa kualitas hadits
pada kitab Shahih Bukhari menduduki rengking pertama dari semua kitab-kitab
hadits.
1. Aisyah ra.
Nama lengkap: Aisyah binti al-Imam al-Shiddiq al-Akbar Khalifah
Rasulullah Abu Bakar bin Abi Quhafah Utsman bin Amir bin Amr bin Kab bin
Sad bin Taim bin Murrah bin Kab bin Luai al-Qurasyi al-Taimiyyah al-
Makkiyah al-Nabawiyyah Ummul Mukminin istri Nabi saw.10
Beliau adalah wanita yang paling faqih, paham agama dan adab.
Kunyahnya Ummu Abdullah, dinikahi oleh Rasulullah pada tahun ke dua
Hijriyah. Beliau juga adalah wanita yang paling dicintai oleh Rasul serta yang
wanita yang paling banyak meriwayatkan hadits.11
2. Qasim bin Muhammad
a. Nama lengkap: al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar al-Shiddiq al-
Qurasyi al-Taimi, Abu Muhammad atau Abu Abd al-Rahman al-Madani.12
Al-Dzahabi, Syamsuddin Muhammad bin Ahmad bin Utsman, Tahdzib Siyar Alam al-
10
13
Ibid,. Jilid 27, hlm. 298.
3) Nuaim bin Hammad meriwatkan dari Sufyan bin Uyainah, ia mendengar
Ubaidillah bin Umar berkata: sungguh Allah telah memberikan karunia
kepada kita dengan hadirnya Nafi.
4) Muhammad bin Said menyebutkannya dalam Thabaqat al-Tsalits min Ahli al-
Madinah dan berkata: ia adalah seorang yang tsiqah lagi banyak meriwayatkan
hadits.
5) Ibnu Hajar menyebutkan: dia seorang yang tsiqah, tsabit, faqih dan sangat
terkenal
6) Al-Zahabi: ia termasuk imam generasi tabiin serta orang yang paling alim.
Para kritikus di atas memberikan pujian bahkan pujian yang tinggi,
sehingga dapat dinyatakan termasuk periwayat kepercayaan (tsiqah atau adil dan
dhabit), demikian juga dari segi hubungan guru dapat dinyatakan ia bertemu
dengan gurunya Qasim bin Muhammad walaupun dalam meriwayatkan
menggunakan lambang an.
4. Malik bin Anas
1. Nama lengkapnya syaikhul islam hujjat al-ummah imam dar al-hijrah Abu
Abdillah Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amir bin Amr bin Harits
bin Ghaiman bin Khutsail bin Harits al-Ashbahi al-Humairi al-Madani al-
Faqih.14
2. Guru-gurunya antara lain, Nafi, Aisyah binti Said bin Abi Waqqash,
Jafar bin Muhammad al-Shadiq dan Abdullah bin Dinar.
3. Murid-muridnya antara lain, Abdullah bin yusuf al-Tunisi, Ismail bin
Ilyah, Sufayan al-Tsauri, Sufyan bin Uyainah dan Muhammad bin Idris
al-Syafii
4. Kedudukannya menurut pakar hadist
1) Harb bin Ismail pernah bertanya kepada Ahmad bin Hanbal: siapakah yang
paling shahih haditsnya dari al-Zuhri dan Sufyan bin Uyainah, ia (Ahmad)
menjawab: Malik yang lebih shahih haditsnya
2) Yahya bin Main berkata: dia tsiqah
3) Ibnu Hajar: dia adalah imamnya penduduk dar al-hijrah (Madinah),
pemimpinnya orang-orang yang mutqin (kuat hafalannya), pembesar orang-
14
Al-Dzahabi, Syamsuddin Muhammad bin Ahmad bin Utsman, Tahdzib Siyar Alam al-
Nubala (Beirut: Muassasah Al-Risalah, 1991) juz 1, hlm. 278.
orang yang mutsbit sehingga imam Bukhari pernah berkata: sanad hadits yang
paling shahih adalah Malik dari Nafi dari Ibnu Umar.
Para ahli di atas memberikan pujian bahkan pujian yang tinggi, sehingga
dapat dinyatakan termasuk periwayat kepercayaan (tsiqah atau adil dan dhabit),
demikian juga dari segi hubungan guru dapat dinyatakan ia bertemu dengan
gurunya Nafi walaupun dalam meriwayatkan menggunakan lambang an.
Al-Mizzi, Jamaluddin Abi al-Hajjaj Yusuf, Tahdzib al-Kamal fi Asma al-Rijal (Beirut:
15
6. Imam al-Bukhari
a. Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin
Mughirah bin Bardizbah al-Jufi Abu Abdullah al-Bukhari al-Hafizh16
b. Guru-gurunya antara lain, Ahmad bin Hanbal, Sulaiman bin Harb,
Abdullah bin Yusuf al-Tunisi, Ali bin al-Madini dan Qutaibah bin Said
c. Murid-muridnya antara lain, al-Tirmidzi, Abu Zurah al-Razi, Abu Hatim
al-Razi, Ibnu Khuzaimah dan Muslim bin al-Hajjaj.
Dengan melihat para perawi yang terdapat pada sanad hadits riwayat
Bukhari tersebut, baik dari ketersambungannya antara guru dengan murid maupun
dari ke-adil-an dan ke-dhabit-annya, maka dapat dinyatakan bahwa sanad hadits
tersebut adalah muttashil (bersambung) dan para periwayatnya adalah orang-
orang kepercayaan. Dengan begitu maka sanad hadits tersebut dihukumi shahih li
dztihi.
Hukum membuat gambar.
Sebelum Islam datang, bangsa Arab telah menganut agama yang mengakui
Allah sebagai Tuhan mereka. Kepercayaan ini diwarisi turun-menurun sejak nabi
Ibrahim dan Ismail. Al-Quran menyebutnya dengan Hanif, yaitu kepercayaan
yang mengakui ke-Esaan Allah sebagai pencipta alam, Tuhan menghidupkan dan
mematikan, Tuhan yang member rizki dan sebagainya. Kepercayaan terhadap
Allah tersebut tetap diyakini oleh bangsa Arab samapai kerasulan Muhammad
SAW. Hanya saja keyakinan itu dicampuradukan dengan tahayyul dan
kemusyrikan, menyekutukan Tuhan dengan sesuatu dalam penyembaan kepada-
Nya, seperti jin, roh, hantu, bulan, matahari, tumbuh-tumbuhan, berhala dan
sebagainya. Kepercayaan yang menyimpang dari agama Hanif itu disebut agama
Watsaniyah.
Watsaniyah, yaitu agama yang memperserikatkan Allah dengan
mengadakan penyembahan kepada: Aushab (batu yang belum memiliki bentuk),
16
Ibid,. jilid 24, hlm. 430-431.
Autsan (patung yang dibuat dari batu) dan Ashaam (patung yang terbuat dari
kayu, emas, perak, logam dan semua patung yang tidak terbuat dari batu).
Penyimpangan itu terjadi perlahan-lahan. Mereka menyatakan berhala-berhala itu
sebagai perantara terhadap Allah. Allah tetap diyakini sebagai yang Maha Agung.
Tetapi antara Tuhan dan makhlukNya dirasakan ada jarak yang mengantarinya.
Berhala-berhala berlambang malaikat, putara-putra Tuhan. Berhala menjadi kiblat
atau penentu arah dalam penyembahan dan peribadatan. Berhala diyakini sebagai
tempat bersemayamnya roh nenek moyang mereka yang harus dihormati dan
dipuja. Demikian juga diantara mereka ada yang mempertuhankan binatang-
binatang dan tumbuh-tumbuhan sebagai anasir yang memberi pengaruh terhadap
alam semesta dan kehidupan manusia.17
Kondisi semacam ini terus berlangsung dan berkelanjutan hingga
kehadiran Muhammad putra Abdullah. Nabi yang dijanjikan tersebut datang untuk
membersihkan syirik yang telah mengakar pada keyakinan mereka dan
mengembalikannya kepada garis tauhid. Kerasulan Muhammad SAW dengan misi
tauhid tersebut harus dihadapkan pada kondisi masyarakat Arab yang telah kental
dengan berhala, patung, lukisan dan segala macam objek ritual-relegious dengan
wajah syirik dan penyimpangan. Beberapa masyarakat Arab telah mahir melukis,
memahat dan segala macam usaha demi menciptakan sesembahan yang
diinginkan. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang menjadikannya sebagai
punggung pendapatan sehari-hari mengingat banyaknya order dari para
masyarakat. Sebuah cerita menggelitik datang dari al-Qurthubi bahwa ia
menceritakan:
.
al-Qurthubi menyebutkan bahwa sesungguhnya orang jahiliyyah adalah mereka
yang membuat berhala-berhala, bahkan sebagaian dari mereka membuat
berhalanya dari roti kemudian ketika ia lapar maka ia memakannya.
Tampak bahwa masyarakat arab pada waktu itu sedang terjangkit virus
syirik yang telah melembaga dan membudaya. Nabi, dengan inspirasi wahyu
17
Ash Shiddieqy, T.M. Hasbi. Koleksi Hadis-Hadis Hukum. Bandung: al Maarif, 1976,
hal 13
mencoba dan berusaha menjauhkan mereka dari kegiatan keji tak berdasar itu.
Bukan hal yang mudah memang, akan tetapi sedikit demi sedikit orang-orang
lulusan syirik arab mulai menerima ajakan adan ajaran Muhammad SAW.
Ajaran tauhid yang menetapkan ke-Esaan Allah tidak serta merta mereka pahami
dan yakini. Terlebih, banyak diantara musyrik arab yang terus melanjutkan
peninggalan nenek moyang itu. Sebagai Nabi, merupakan tugas utama bahkan
sebuah kewajiban untuk menghindarkan umatnya dari belenggu penyimpangan
dan keingkaran. Perjumpaan seperti inilah yang terjadi diantara Nabi, umat
muslim, dan para musyrik arab.
Urgentisitas pelarangan pembuatan lukisan dan patung.
Hadist yang menyebutkan bahwa sesungguhnya manusia yang paling
keras diadzab pada hari kiamat ialah pembuat sesuatu rupa dan beberapa hadis
lain yang menyebutkan larangan melukis, secara redaksional menegaskan
larangan berbagai bentuk lukisan dan seni pahat (patung). Jika kita terburu-buru
dan hanya memaknai hadis tersebut secara tekstual, maka larangan lukisan dan
patung akan menjadi sebuah keharaman mutlak yang berlaku kapan dan
dimanapun itu. Akan tetapi, untuk mendapatkan pemahaman yang lebih
komperhnensif alangkah baiknya jika kita menelisik kembali sejarah dan dalam
konteks bagaimana hadis itu disabdakan.
Beranjak dari setting sosio-historis masyarakat arab pada waktu itu,
ternyata umat Islam belum lama sembuh dari penyakit-penyakit syirik yakni
menyekutukan Allah dengan menyembah berhala, patung dan sebagainya. Dalam
kapasitasnya sebagai rasul. Nabi SAW berusaha keras agar masyarakat umat
Islam waktu itu benar-benar sembuh dari kemusyrikan tersebut. Salah satu cara
yang ditempuh adalah dengan mengeluarkan fatwa larangan melukis,
memproduksi, atau memajang lukisan atau berhala (patung). Bahkan disertai
dengan ancaman yang sangat keras. Imam al-Thabari mengatakan: yang dimaksud
dengan lukisan (patung) pada hadis ini adalah segala sesuatu yang diciptakan
untuk disembah. Dengan demikian, larangan adanya lukisan atau patung tidak
terlepas dari wujud penghambaan dan pengkultusan terhadapnya. Meski umat
Islam telah menadapkan ajaran tauhid, Nabi tetap merasa khawatir terhadap
umatnya jika dibiarkan membuat dan memampang patung. kondisi semacam ini
sesuai dengan sabab wurud hadis ini.18
Tentu, konsekuensinya adalah adanya perhatian khusus dari Nabi tentang
masalah lukisan dan patung. Tidak semua lukisan pastinya, perhatian Nabi
terhadap larangan melukis atau memahat patung terfokuskan pada pola-pola yang
berpotensi dijadikan sesembahan. Oleh karena itu, dalam hadis lain disebutkan:
Dalam memahami hadis diatas, Ibnu Abbas berkata: gambar atau patung
yang termasuk dilarang terkhususkan pada gambar-gambar yang seakan
mempunyai ruh, maka tidak dilarang untuk gambar-gambar yang tidak
mempunyai ruh seperti pepohonan. Selain itu, bentuk ataupun posisi gambar
yang memungkinkan untuk dijadikan sesembahan juga tidak luput dari perhatian
nabi. Nabi melarang gambar-gambar terpampang berdiri yang memberikan
kesempatan untuk memuja. Dijelaskan pada hadis riwayat Aisyah:19
Sekali lagi, rangkaian hadis ini menegaskan bahwa salah satu alasan
dilarangnya gambar dan patung adalah antisipasi nabi terhadap umat agar tidak
terjangkit virus lama yaitu syirik. Pemahaman seperti ini juga ditegaskan oleh
Abu Ali al-Farisi dalam kitabnya al-Tadzkirah, bahwa pelukis (pembuat patung)
yang diancam oleh Nabi adalah orang-orang yang meyakini bahwa Allah
18
al-Ghazali, Muhammad. al-Sunnah al-Nabawiyah baina Ahli al-Fiqh wa ahli al-Hadits,
terj. Muhammad al-Baqir. Studi Kritis Atas Hadits Nabi SAW. Bandung: Mizan. 1994, hlm 23
19
Zuhri, Muhammad, Telaah Matan Hadits, Yogyakarta: LESFI. 2003. Hlm. 21
[30] Qaradhawi, Yusuf. Kaifa Nataammal maa al-Sunnah al-Nabawiyah. tej.
Muhammad al-Baqir. Bagaimana Memahami Hadits NabiSAW. Bandung: Karisma. 1993. hlm. 33
mempunyai bentuk ( ) . Kemudian, alasan siksaan yang begitu
besar bagi pelukis atau pembuat patung menurut al-Khattabi adalah, bahwa patung
yang dibuat dijadikan Tuhan yang disembah selain Allah. 20
Selain problem syirik, larangan gambar dan patung juga mempunyai
hubungan yang erat dengan kondisi muslim disaat melaksanakan ritul-relegious,
seperti shalat dan sebagainya. Tidak dapat dipungkiri, sebuah gambar ataupun
patung mempunyai daya tarik tersendiri bagi pandangan. Nilai estetika yang
terkandung, terkadang mengganggu kesakralan peribadatan. Maka, merupakan
sebuah keniscayaan jika Nabi memerintahkan agar gambar ataupun patung segera
disingkirkan ketika beliau melaksanakan shalat. Dalam hadis dijelaskan:
Jika demikian, maka larangan lukisan atau patung pada saat itu sangatlah
dibutuhkan bahkan merupakan suatu blunder jika umat tidak disabdakan
demikian. Persoalannya, jika kondisi masyarakat sudah berubah, dimana
masyarakat sudah mencapai pada pemikiran posifistik- meminjam istilah Agust
Comte- yang kemungkinan besar tidak lagi dikhawatirkan terjerumus dalam
penyembahan terhadap lukisan dan patung. apakah kemudian membuat dan
memajang lukisan masih tetap dilarang? Hemat penulis, sebagaimana tujuan
pelarangan, maka larangan tersebut hanya bersifat sad al-Dzariah (langkah
antisipatif) agar masyarakat tidak kembali terprosok kepada kemusyrikan,
terutama terhadap lukisan dan patung. sedang untuk zaman sekarang, tampaknya
kurang relevan lagi untuk melarang seseorang melukis, berkreasi seni sebab hal
itu merupakan hasil ekspresi kejiwaan seorang palukis tanpa bermaksud
mempertuhankannya. Akan tetapi, jika dibenak pelukis terdapat secuil niat untuk
menjadikannya sesembahan maka hukum asal tetap berlaku baginya.21
Persepsi Masyarakat Terhadap Hadis, Masyarakat kita berbeda-beda
dalam menanggapi hadis seputar larangan lukisan dan patung. Mereka memiliki
20
Ibid, hal. 33
21
Wargadinata, Wildana dan Laily Fitriani, Sastra Arab dan Lintas Budaya, Malang: UIN
Malang Press, 2008, hlm. 27
pemahaman dan argumenti masing-masing. Kelompok pertama, melarang keras
segala rupa patung dan gambar dengan alasan patung dan gambar dapat menjadi
sarana kesyirikan, karena awal mula dari kesyirikan dan kekufuran adalah adanya
pemujaan terhadap patung dan berhala. Selain itu terdapat hadis yang menyatakan
dengan jelas larangan menciptakan sesuatu yang menyerupai ciptaan Allah.
Kelompok kedua, membolehkan pembuatan lukisan dan patung karena di masa
sekarang, dimana tauhid telah melekat dalam jiwa umat Islam dan tidak
dikhawatirkan lagi terjadi syirik disebabkan patung-patung tersebut. Kelompok
ketiga, membolehkan patung dan lukisan hanya pada benda-benda tertentu. Yaitu,
pada makhluk yang tidak bernyawa atau pada makhluk bernyawa yang tidak
disempurnakan bentuknya.22
KESIMPULAN
Dari pembahasan makalah diatas, maka penulis menyimpulkan bahwa :
1. Setelah diadakan pentakhrijan hadits tentang membuat gambar / patung maka
dapat diketahui bahwa hadits tersebut shahih li dzatih.
2. Dengan menggunakan pendekatan sosio-historis, paling tidak hadits tentang
ancaman larangan bagi pelukis dan lukisan (pemahat dan patung) mempunyai
beberapa poin penting yang harus diperhatikan, diantaranya:
a. Dalam konteks umat Islam saat itu, sabda Nabi tersebut merupakan
sebuah hal yang mendesak dan mempunyai tujuan yang sangat penting,
yaitu antisipasi Nabi terhadap umat agar tidak kembali kepada kesyirikan
khususnya menyembah lukisan dan patung.
b. Untuk zaman sekarang, mungkin bisa kita kembalikan lagi kepada para
pelukis dan pemahat masing-masing, apakah motivasi dan tujuan dari
lukisan juga pahatan tersebut. Dengan kata lain, apa niat sebenarnya dari
para pelukis dan pemahat benda- benda bernyawa tersebut. Sebab,
berkreasi seni merupakan hasil ekspresi kejiwaan seorang palukis tanpa
bermaksud mempertuhankannya. Akan tetapi, jika dibenak pelukis
terdapat niat untuk menjadikannya sesembahan walaupun hanya
dibenaknya saja, maka hukum asal tetap berlaku baginya.
22
Ibid, hlm. 27
Daftar Pustaka
Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim al-Qusyairi al-Naisaburi, Shahih
Muslim, Beirut: Dar al-Jail, t.th.
Al-Nasai, Ahmad bin Syuaib Abu Abd al-Rahman, Sunan al-NasaI, Halb:
Maktab al-Mathbuat al-Islamiyah, 1986.
Muhammad bin Yazid Abu Abdillah al-Qazwaini, Sunan Ibn Majah, Beirut: Dar
al-Fikri, t.th.
Al-Bukhari, Abu Abdilllah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Mugirah,
Shahih al-Bukhari, Kairo: Dar al-Syab, 1987
Al-Baihaqi, Abu Bakar Ahmad bin Husain bin Ali, Sunan al-Kubra wa fi Dzailihi
al-Jawhar al-Naqi, Haidar Abad: Majlis Dairah al-Maarif al-Nizhamiyah
al-Kainah, 1344 H.
Ash Shiddieqy, T.M. Hasbi, Koleksi Hadis-Hadis Hukum, Bandung: al Maarif,
1976.
Al-Husaini, Ibnu Hamzah al-Dimsyaqi, al-Bayan wa al-Tarif fi Asbab Wurud al-
Hadis al-Syarif, Beirut: al-Maktabah al-Ilmiyyah, tt.
Wargadinata, Wildana dan Laily Fitriani, Sastra Arab dan Lintas Budaya, Malang:
UIN Malang Press, 2008.
Bukhari, Imam, Shahih Bukhari, CD ROM Mausuah al Hadis al Syarif Global
Islamic Software.
Al-Asqalany, Ibnu Hajar, Fathu al-Bary fi Syarh Shahih Bukhari, CD ROM al-
Maktabah al-Syamilah.
Muhammad Abdurrahman bin Abdirrahim, Tuhfadh al-Afwadzi bi Syarkh Jamiat
al-Tirmidzi, CD RoM al-Maktabah al-Syamilah.
Al-Ghazali, Muhammad, al-Sunnah al-Nabawiyah baina Ahli al-Fiqh wa ahli al-
Hadits, terj. Muhammad al-Baqir, Studi Kritis Atas Hadits Nabi SAW,
Bandung: Mizan. 1994
Qaradhawi, Yusuf, Kaifa Nataammal maa al-Sunnah al-Nabawiyah, tej.
Muhammad al-Baqir, Bagaimana Memahami Hadits Nabi SAW,
Bandung: Karisma. 1993.
Zuhri, Muhammad, Telaah Matan Hadits, Yogyakarta: LESFI. 2003.
www.hanif_muhtadin.com di 10:50
Al-Dzahabi, Syamsuddin Muhammad bin Ahmad bin Utsman, Tahdzib Siyar
Alam al-Nubala (Beirut: Muassasah Al-Risalah, 1991) juz 1
Al-Mizzi, Jamaluddin Abi al-Hajjaj Yusuf, Tahdzib al-Kamal fi Asma al-Rijal
(Beirut: Muassasah al-Risalah), jilid 26